II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kesejahteraan Petani Padi
Beras merupakan komoditas pertanian yang mempunyai peran strategis dan selalu menjadi isu utama pembangunan pertanian. Komoditas ini sangat
berkaitan erat dengan hajat hidup orang banyak, sehingga berbagai permasalahan yang terkait dengan komoditas ini rawan sekali untuk dipolitisi. Pengalaman di
banyak negara termasuk Indonesia, menunjukkan krisis pangan terbukti dapat menjatuhkan pemerintah yang sedang berkuasa Hardinsyah et al., 1996.
Tantangan berat yang harus dijawab pemerintah terkait dengan perberasan ini adalah bahwa ketika swasembada beras sebagai bagian pemantapan ketahanan
pangan ternyata belum menciptakan kesejahteraan pelakunya. Tingkat keuntungan usahatani padi relatif masih kecil sehingga kesejahteraan petani yang terlibat
relatif rendah. Sumaryanto 2004 menunjukkan, usahatani padi dengan status garapan milik, rata-rata keuntungan atas biaya tunai pada musim hujan, musim
kemarau I, dan musim kemarau II berturut-turut adalah Rp 2.70 juta, Rp 2.60 juta, dan Rp 2.30 juta per hektar. Pada usahatani padi dengan status garapan sewa,
keuntungan atas biaya tunai untuk usahatani padi pada musim hujan hanya sekitar Rp 1.00 juta per hektar. Pada musim kemarau I keuntungan menjadi lebih rendah
dan bahkan pada musim kemarau II keuntungan kurang dari Rp 500.00 ribu per hektar. Pada persil garapan sakap bagi hasil, pendapatan usahatani padi lebih
tinggi dari usahatani garapan sewa. Pada musim hujan, rata-rata keuntungan atas biaya tunai sekitar Rp 1.15 juta per hektar, sedangkan pada musim kemarau I
meningkat menjadi Rp 1.35 juta per hektar.
Berbagai program sebenarnya telah dilakukan pemerintah untuk meningkatkan pendapatan petani padi ini. Perbaikan teknik produksi, subsidi
input, perbaikan infrastruktur, dan kelembagaan meskipun secara nyata mampu meningkatkan produksi padi nasional, namun belum secara signifikan mampu
mengeluarkan pelaku usahatani padi ini dari kemiskinan. Misalnya dari aspek harga jual gabah, pemerintah telah menetapkan semacam harga dasar untuk
mengontrol gejolak harga gabah dan beras ini, bahkan menurut Malian et al. 2003, kebijakan semacam harga dasar tersebut telah ada sejak musim tanam
19691970, namun ternyata kebijakan tersebut juga belum banyak membantu kesejahteraan petani. Dengan berbagai keterbatasan yang dimiliki pemerintah
terpaksa mencabut unsur-unsur penopang kebijakan harga dasar tersebut sehingga kebijakan tersebut tidak efektif.
Semakin lemahnya peran pemerintah dalam mengontrol harga dasar gabah disadari atau tidak juga terlihat dari perubahan konsep harga dasar gabah HDG
menjadi harga pembelian pemerintah HPP. Ada dua hal penting yang perlu
dicermati perubahan kebijakan tersebut. Pertama, dengan kebijakan HPP maka
pemerintah tidak lagi memiliki kewajiban dan tanggung jawab formal atau yuridis untuk menjamin harga gabah. Pemerintah hanya berjanji akan membeli gabah
pada tingkat harga tertentu, bukan menjamin harga gabah minimum di tingkat
petani sebagaimana lazimnya pada konsep kebijakan HDG. Kedua, HPP berlaku
di gudang Bulog bukan di tingkat petani seperti lazimnya pada kebijakan HDG. Dengan kebijakan HPP tersebut pemerintah tidak wajib membeli gabah dari
petani. Bulog yang menjadi lembaga pemerintah pelaksana pembelian gabah hanya pasif menunggu di gudangnya, tidak membeli gabah langsung dari petani.