Kondisi Daya Saing Ekonomi Daerah
34
Sekitar setengah dari provinsi Indonesia memiliki tingkat kemiskinan diatas rata-rata nasional yang sebesar 11,6 persen. Provinsi dengan tingkat kemiskinan terendah adalah DKI Jakarta sebesar 3,7
persen, dan provinsi dengan tingkat kemiskinan tertinggi adalah Papua dengan tingkat kemiskinan sebesasr 30,7 persen. Kondisi ini menunjukkan besarnya disparitas pendapatan dan tingkat
kesejahteraan antar provinsi di Indonesia. Sehingga, hal ini merupakan salah satu tantangan bagi Indonesia dalam mempersiapkan diri untuk menghadapi AEC, karena perbedaan tingkat kesejahteraan
dan tingkat pembangunan akan memberikan konsekuensi terhadap perbedaan dalam menentukan langkah-langkah persiapan yang diperlukan.
Gambar 10. PDRB Berdasarkan Provinsi Tahun 2011
Sumber: Buku Pegangan Perencanaan Daerah 2014, Bappenas 2013
Gambar 11. Tingkat Kemiskinan Berdasarkan Provinsi September 2012
Sumber: Buku Pegangan Perencanaan Daerah 2014, Bappenas 2013
Kemudian, kondisi infrastruktur di daerah juga menunjukkan tingkat keberagaman yang cukup tinggi. Salah satu indikatornya adalah rasio kerapatan jalan yang dihitung dengan jumlah panjangan jalan
km terhadap luasan provinsi km
2
. Rasio ini menunjukkan adanya disparitas yang cukup besar antara provinsi yang berlokasi di Pulau Jawa dengan Provinsi yang berlokasi di Indonesia bagian
Timur.
35
Perbedaan tingkat pembangunan antar wilayah di Indonesia telah menyebabkan tidak meratanya penyebaran investasi. Realisasi Penanaman Modal Asing PMA maupun Penanaman Modal Dalam
Negeri PMDN masih terkonsentrasi di Pulau Jawa, dimana kontribusi PMA dan PMDN di Pulau Jawa adalah sebesar 65 persen dan 55 persen. Sementara itu, di Maluku dan Papua hanya sebesar
5 persen dari total PMA dan 1 persen dari total PMDN pada tahun 2013.
Gambar 12. Rasio Kerapatan Jalan kmkm
2
Tahun 2012
Sumber: Buku Pegangan Perencanaan Daerah 2014, Bappenas 2013
Gambar 14. Realisasi PMA Tahun 2013
Gambar 13. Realisasi PMDN Tahun 2013
Sumber: BKPM diolah Keterangan : sampai dengan Semester I – 2013
Sementara itu, perdagangan antar wilayah sebagian besar berasal dan menuju ke Pulau Jawa, dengan kontribusi sebesar 64,3 dari total perdagangan antar wilayah di Indonesia.
Gambar 15. Perdagangan Antar Wilayah
Sumber: perhitungan dengan Inter-Regional Input Output 2005
Disparitas antar daerah juga tercermin dari perbedaan layanan yang diberikan oleh Pemerintah Daerah dalam memproses perijinan untuk memulai usaha. Dalam laporan
Subnational Doing Business 2012, terlihat bahwa jumlah hari, banyaknya prosedur, serta biaya yang dibutuhkan untuk memproses ijin
memulai usaha berbeda-beda di setiap kota yang disurvei. Tiga kota terbaik dalam memberikan pelayanan perijinan untuk memulai usaha adalah: Yogyakarta, Palangkaraya, dan Surakarta.
Sebaliknya, tiga kota terburuk dalam pelayanan perijinan untuk memulai usaha adalah Jambi, Medan, dan Menado.
36
2010 2011
2012 2010
2011 2012
Singapore 0.804
0.804 0.804
0.892 0.894
0.895 Brunei Darussalam
0.757 0.757
0.757 0.854
0.854 0.855
Malaysia 0.731
0.731 0.731
0.763 0.766
0.769 Thailand
0.599 0.599
0.599 0.686
0.686 0.690
Philippines 0.679
0.679 0.679
0.649 0.651
0.654
Indonesia 0.577
0.577 0.577
0.620 0.624
0.629
Viet Nam 0.539
0.539 0.539
0.611 0.614
0.617 Kamboja
0.52 0.52
0.52 0.532
0.538 0.543
Laos 0.453
0.453 0.453
0.534 0.538
0.543 Myanmar
0.402 0.402
0.402 0.49
0.494 0.498
Apabila dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya, Indeks Pendidikan Indonesia dan Indeks Pembangunan Manusia
Human Develoment Index Indonesia berada di urutan ke-6. Singapura menempati urutan pertama, yang disusul oleh Brunei, Malaysia, Thailand, dan Filipina.
Gambar 13. Tiga Kota Terbaik dan Terburuk Dalam Memberikan Izin Memulai Usaha
Sumber: IFC, Bank Dunia, 2012 diolah Bappenas
Education index Human Development
Index HDI Negara
Tabel 6. Perbandingan Indeks Pendidkan dan Pembangunan Manusia Antar Negara ASEAN
Sumber: UNDP
5
5
Diakses melalui website: http:hdr.undp.org pada tanggal 16 September 2013
6
Winantyo dan Rohmadyati 2008
Sementara itu, hampir lebih dari setengah tenaga kerja yang tersedia di setiap provinsi hanya memiliki ijazah pendidikan SMP ke bawah; kecuali di provinsi DKI Jakarta dan Jambi yang tenaga kerja
berpendidikan SMP ke bawah kurang dari 50 persen. Tenaga kerja berpendidikan universitas terbilang sangat sedikit dibandingkan dengan jumlah tenaga kerja yang memiliki ijazah non-universitas
Lampiran C. Kondisi ini merupakan tantangan ke depan bagi Indonesia untuk menghadapi aliran tenaga kerja terampil antara negara ASEAN pada saat AEC diimplementasikan.
Di lain pihak, kekakuan pasar tenaga kerja sering menjadi permasalahan bagi pengusaha, terutama terkait dengan: penentuan upah minimum, aturan pesangon, dan aturan tenaga kerja kontrak
6
. Pasar tenaga kerja yang kaku merupakan salah satu faktor yang menghambat terbukanya kesempatan
kerja, karena para investor tidak memperoleh insentif untuk mengembangkan usahanya di Indonesia. Di sisi lain, penetapan upah minimum yang terlalu rendah diangggap tidak memenuhi standar hidup
layak dan berdampak pada tingkat kesejahteraan masyarakat yang rendah.
37
Namun demikian, SMERU 2003 menemukan bahwa upah mimimum yang merupakan salah satu indikator fleksibilitas tenaga kerja mempengaruhi kesempatan kerja secara signifikan dan upah
minimum tampaknya juga telah mengurangi insentif bagi pekerja untuk meningkatkanproduktivitas. Hal ini karena membatasi kemampuan perusahaan untukmenggunakan upah sebagai sistem insentif
untuk meningkatkan produktivitas pekerja. Sementara itu, kenaikan upah minimum di Indonesia terlihat lebih tinggi dibandingkan dengan kenaikan upah minimum di Thailand dan Filipina.
Gambar 14. Peningkatan Upah Minimum Beberapa Negara ASEAN
Sumber: ILO Database diolah
Sementara itu, JETRO 2006 telah melakukan analisis terhadap iklim ketenagakerjaan di enam negara ASEAN, China, dan India. Hasil perbandingan menunjukkan bahwa iklim ketenagakerjaan di Indonesia
cenderung lebih kaku dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya. Sebagai contoh, tenaga kerja kontrak tidak diperkenankan di Indonesia tetapi masih dimungkinkan untuk dilakukan di negara ASEAN
lainnya walaupun dengan beberapa persyaratan. Contoh lainnya adalah proses pemutusan hubungan kerja yang relatif lebih sulit serta regulasi yang terlalu melindungi pihak buruh sehingga merugikan
pihak pengusaha. Perbandingan iklim ketenagakerjaan ini selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran D.
Stiglitz 2012 dalam acara Seminar World Economic Forum on “Asean Connectivity: Road Map to
2015 secara tegas mengingatkan:
“Asean has been warned of downside risks of economic integration, especially the free movement of skilled labour, which could lead to a brain drain from poor countries
to richer ones”
Hal ini karena arus perpindahan tenaga kerja terampil akan terjadi dari negara yang lebih miskin ke negara yang lebih maju, sehingga akan menyebabkan kekosongan
hollow-outtenaga kerja terampil di negara yang lebih miskin.
Sementara itu, kesiapan daerah untuk menghadapi AEC dapat tergambarkan dari hasil survei yang dilakukan oleh Benny dan Abdullah 2011. Survei yang dilakukan terhadap 399 responden di 5 kota
Indonesia Jakarta, Medan, Makassar, Pontianak, dan Surabaya menunjukkan ketidakpahaman masyarakat terhadap keberadaan AEC yang akan diimplementasikan pada tahun 2015. Masyarakat
sudah memahami keberadaaan ASEAN, tetapi sebagian besar belum mengetahui adanya ASEAN Community. Kemudian, bagi yang telah mengetahui adanya ASEAN Community, hanya 39 persen
yang mengetahui bahwa pelaksanaannya akan dilaksanakan pada thaun 2015. Namun demikian, masyarakat pada umumnya sekitar 88 responden menyatakan akan mendukung pelaksanaan
AEC.
38
Keterangan: :
pertanyaan diajukan kepada responden yang telah tahu adanya ASEAN Community A
: Jakarta
B :
Makasar C
: Medan
D :
Pontianak E
: Surabaya
Kemudian, pada bulan Maret 2013 Kementerian Luar Negeri melakukan survei tentang kesiapan masyarakat Sulawesi Selatan terhadap AEC 2015. Survei ini dilakukan kepada 153 peserta sosialisasi
AEC, yang terdiri dari: pelaku usaha, pegawai negeri, mahasiswa, dan peserta lainnya. Dari hasil survei ini diperoleh bahwa sebagian besar sudah mengetahui tentang AEC, namun belum memiliki
pemahaman yang cukup. Para responden merasa optimis terhadap AEC yang akan memberikan manfaat bagi masyarakat Sulawesi Selatan. Selanjutnya, para responden menyatakan bahwa tantangan
terbesar yang dihadapi oleh Indonesia dalam menghadapi AEC adalah kurangnya dukungan pemerintah kepada pelaku usaha dan daya saing Indonesia yang masih lemah.
7