Hasil Empiris Pengujian Hipotesis Export-led Growth dan Growth-Driven Export

286

2.3. Implikasi Kebijakan

Dari hasil analisis deskriptif, mayoritas provinsi di Indonesia masih berada pada wilayah dengan pertumbuhan PDRB dan ekspor di bawah rata-rata tipe IV. Jumlah provinsi terbanyak kedua masuk pada kategori tipe I pertumbuhan PDRB dan ekspor di atas rata-rata. Untuk kelompok tipe I dan IV ini tidak terlihat ada ciri-ciri khusus yang menandainya jika dilihat dari struktur PDRB maupun dari sumber pertumbuhannya. Tetapi ada hal yang menarik dimana baik di kelompok Tipe I maupun IV, mayoritas provinsi memiliki derajat keterbukaan perdagangan rasio ekspor dan impor terhadap PDRB yang tinggi di atas 80 persen. Tetapi untuk Tipe I, nilai rata-rata term of trade rasio ekspor terhadap imporpada tahun 2010 bernilai 1,07. Artinya ekspor tetap lebih tinggi dibandingkan impor tetapi perbedaannya relatif sedikit. Lain halnya dengan provinsi di kelompok IV, dimana rata-rata term of trade bernilai 1,44. Hal ini memiliki arti bahwa nilai ekspor 44 persen lebih besar dibandingkan impor. Beda halnya dengan kelompok tipe II dan III. Terdapat 4 provinsi dimana pertumbuhan PDRB di atas rata-rata sementara pertumbuhan ekspornya di bawah rata-rata Tipe II. Keempat provinsi tersebut yaitu Gorontalo, Maluku Utara, Jawa Timur dan Sulawesi Utara. Jika dilihat secara lebih detail, keempat provinsi tersebut ternyata memiliki struktur PDRB yang ditopang dengan begitu besar oleh sisi konsumsi, bahkan lebih dari 70 persen kecuali Sulawesi Utara dengan pangsa ekspor bersih yang relatif kecil. Selain itu, pada kelompok ini ditandai juga dengan pertumbuhan ekspor yang lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan impor Jawa Timur dan Gorontalo. Untuk Maluku dan Sulawesi Utara terjadi sebaliknya, tetapi perbedaan pertumbuhannya relatif kecil. Jadi untuk provinsi yang berada pada kelompok Tipe II, untuk memacu perekonomian daerah harus dijalankan dengan tujuan untuk meningkatkan sisi konsumsi baik masyarakat maupun pemerintah. Sementara untuk provinsi-provinsi yang masuk Tipe III, sumber pertumbuhan selain ekspor harus digenjot karena ternyata pertumbuhan ekspor yang tinggi belum mampu meningkatkan pertumbuhan PDRB. Provinsi-provinsi yang termasuk pada Tipe III ini juga memiliki karakteristik khusus dimana pertumbuhan impor lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan ekspornya. Dari hasil analisis data panel didapat bahwa hipotesis ELG maupun GDE terbukti secara empiris. Meskipun demikian, hasil penelitian ini didapat pula bahwa pengaruh PDRB pertumbuhan PDRB lebih besar dalam memengaruhi ekspor pertumbuhan ekspor dibandingkan dengan pengaruh sebaliknya. Implikasinya, perekonomian daerah yang semakin bagus yang salah satunya diproksi dengan PDRB atau pun growth--nya akan semakin mendorong aktivitas ekspor. Dalam teori perdagangan umum dinyatakan bahwa derajat keterbukaan perdagangan suatu negara atau daerah yang semakin tinggi berpeluang meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Tetapi, seperti yang dinyatakan Chang et al. 2005 bahwa manfaat dari aktivitas dan keterbukaan Tabel 3. Hasil Perbandingan antar Model Hipotesis ELG Hipotesis GDE Elastisitas Jangka Panjang Model Panel Elastisitas Jangka Pendek Model Panel Elastisitas Jangka Panjang Model Panel Elastisitas Jangka Pendek Model Panel Variabel Penjelas Model 33 Provinsi Model 1 Model 2 Model 3 0.53 LN_Ekspor 0.20 0.31 LN_PDRB LN_Ekspor LN_PDRB LN_Ekspor LN_PDRB FEM FEM FEM 0.21 0.22 0.17 REM REM REM REM REM REM REM PLS PLS 1.23 1.03 1.21 1.98 2.17 1.85 Ket: angka cetak tebal berarti signifikan pada taraf nyata 5 persen 287 perdagangan lebih dapat dirasakan jika masalah-masalah fundamental sudah teratasi. Masalah fundamental yang dimaksud seperti pendidikan human capital, infrastruktur, sistem keuangan dan pemerintahan. Jika hal-hal tersebut belum berjalan cukup baik, maka manfaat dari keterbukaan perdagangan juga tidak akan optimal atau bahkan tidak akan dirasakan. Secepat apa pun ekspor tumbuh, pengaruh positifnya terhadap pertumbuhan akan tergerus oleh masalah- masalah tersebut. Sama halnya seperti yang dinyatakan Helpman dan Krugman 1985 bahwa ekspor dapat meningkat dari realisasi economies of scale sebagai manfaatdari produktivitas.Pertumbuhan ekonomi daerah menyebabkan peningkatan dalam keterampilan tenaga kerja dan juga teknologi. Peningkatan keduanya dapat meningkatkan efisiensi yang pada akhirnya mampu menciptakan keunggulan komparatif bagi daerah-daerah tersebut. Tetapi untuk provinsi-provinsi yang belum memiliki perekonomian daerah yang cukup baik, tentunya belum dapat memacu ekspor secepat dan sebesar provinsi-provinsi yang lebih maju. Belum lagi keadaan infrastruktur yang biasanya berhubungan positif dengan perkembangan perekonomian daerah. Padahal infrastruktur juga merupakan faktor pendorong utama lancarnya aktivitas perdagangan baik antar daerah, antar pulau, maupun antar negara. Hal kedua yang menjadi alasan mengapa ekspor kurang menjadi mesin pertumbuhan seperti yang diungkapkan oleh Thirlwall 2000 dan Dowrick dan Golley 2004. Keduanya berpendapat bahwa manfaat trade opennes terhadap perekonomian tergantung pada karakteristik barang yang diproduksi dan diekspor. Trade opennes akan lebih optimal memengaruhi perekonomian untuk negara yang berspesialisasi pada barang manufaktur dibandingkan dengan negara yang berspesialisasi pada produk primer. Hal inilah yang terjadi di Indonesia, sehingga pengembangan produk hilir dari produk primer yang menjadi andalan ekspor saat ini menjadi mutlak untuk segera dilakukan. Apalagi jika provinsi-provinsi di Indonesia belum mampu berspesialisasi pada komoditas manufaktur. Sehingga, kebijakan promosi ekspor yang sebenarnya baik untuk pengembangan wilayah, perlu didahului atau dibarengi dengan kebijakan-kebijakan pemerintah pusat maupun daerah yang dapat memacu pertumbuhan ekonomi daerah. Karena dari hasil penelitian ini ditemukan bahwa ekspor dapat dipacu lebih baik dengan kondisi perekonomian daerah yang baik pula. Jadi strategi promosi ekspor yang dijalankan dengan besar-besaran mungkin akan menjadi kurang efektif jika kondisi perekonomian daerah tidak mendukung untuk itu. Secara umum, kebijakan perdagangan dengan orientasi keluar memang dapat memberikan peluang dan keuntungan bagi aktivitas usaha. Tetapi terdapat kekhawatiran apakah ketergantungan ekspor tersebut akan menciptakan pertumbuhan ekonomi yang sustainable dalam jangka panjang karena adanya ketidakpastian dalam pasar dunia, apalagi jika terjadi perlambatan perekonomian dunia. Belum lagi dengan adanya isu hambatan perdagangan baik eksplisit maupun implisit yang diterapkan wilayah atau negara tujuan ekspor. Promosi terhadap industri substitusi impor menjadi salah satu strategi umum yang dapat diterapkan untuk provinsi manapun. Karena selain bersifat komplementer dengan strategi promosi ekspor, promosi terhadap industri substitusi impor dapat membantu membangun keragaman pada struktur industri provinsi sedangkan promosi ekspor dapat membantu beberapa industri tertentu saja, yang memang dianggap sebagai produk unggulan. Jika dalam jangka panjang hubungan antara ekspor dan aktivitas ekonomi terjadi, orientasi ekspor belum tentu masih menjadi strategi terbaik untuk menjamin pertumbuhan ekonomi daerah juga terjadi. Hal tersebut terjadi jika pertumbuhan ekspornya sendiri belum mampu menjadi sumber pertumbuhan utama bagi pertumbuhan ekonomi daerah. Pemerintah daerah dan pusat harus lebih fokus mengembangkan produksi domestik selain promosi ekspor. Pengembangan produksi domestik memerlukan perhatian khusus pemerintah dan dapat dipromosikan dengan cara menciptakan kondisi perekonomian daerah dan regulasi yang bersifat friendly terhadap investasi.