299
dan meningkatnya pangsa perdagangan Indonesia telah mengakibatkan berkurangnya keuntungan komparatif yang diraih negara-negara lain seperti Malaysia dan Thailand. China dan
Singapura yang sejak sebelum berlakunya kesepakatan ACFTA tidak berhasil mendapatkan keuntungan komparatif, justru semakin terpuruk ketika kesepakatan liberalisasi tarif diberlakukan.
Keadaan berbalik pada komoditi manufaktur. Pada komoditi ini China adalah negara yang berhasil meriah keuntungan komparatif dan sekaligus merebut pangsa perdagangan di regional ini setelah
disepakatinya pemberlakuan liberalisasi tarif dalam kerangka ACFTA. Kesempatan ini juga berhasil dimanfaatkan oleh Thailand yang berhasil mendapatkan keuntungan komparatif dimana sebelum
kesepakatan liberalisasi tarif ACFTA disepakati belum berhasil mendapatkan keuntungan komparatif. Disamping itu Thailand juga berhasil merebut pangsa perdagangan di regional ini
meski tidak sebesar yang diperoleh China. Keuntungan komparatif yang diperoleh kedua negara tersebut telah mengakibatkan berkurang keuntungan komparatif yang diperoleh Filipina dan
bahkan mengakibatkan kerugian komparatif bagi Malaysia. Komoditi manufaktur Indonesia dan Singapura yang sebelumnya sudah mengalami kerugian komparatif, makin terpuruk setelah
kesepakatan liberalisasi tarif ACFTA ditandatangani. Pukulan yang dialami Indonesia dalam hal ini lebih besar dibandingkan dengan yang dialami oleh Singapura.
Gambar 6. Keunggulan Komparatif vs Tingkat Persaingan Komoditi di Beberapa Negara ASEAN dan China
Sumber: WITS, hasil olah data penulis.
300
4. Simpulan dan Saran
Daya saing produk Indonesia dalam lingkup regional ASEAN dan China, selama periode 2000-2010 tampak bahwa Indonesia memiliki keuntungan komparatif tertinggi untuk komoditi primer dan
keuntungan ini cenderung meningkat seiring dengan berjalannya waktu. Sebaliknya China adalah negara di tingkat regional ASEAN yang paling dirugikan secara komparatif, dan seiring dengan
berjalannya waktu komoditi primer China tampak semakin terpuruk. Jika pada komoditi primer Indonesia merupakan negara yang mendapatkan keuntungan komparatif tertinggi, maka untuk
komoditi manufaktur Indonesia-lah yang paling tidak diuntungkan. Kondisi ini tampak semakin memburuk seiring dengan berjalannya waktu.
Sementara itu China yang paling tidak mendapatkan keuntungan dari komoditi primer justru merupakan “pemenang” dalam perdagangan di komoditi manufaktur. Keuntungan komparatif China untuk komoditi
manufaktur tampak semakin “meroket” seiring dengan berjalannya waktu terutama setelah pemberlakuan kesepakatan ACFTA. Meski negara-negara ASEAN masih mendapatkan keuntungan
komparatif, akan tetapi besarnya keuntungan tersebut tampak semakin menurun seiring dengan berjalannya waktu.
Berdasarkan data neraca perdagangan intra ASEAN-China ditemukan bahwa untuk komoditi primer Indonesia merupakan
net exporter dan kecuali Singapura kecenderungan meningkat juga dialami oleh negara-negara ASEAN lainnya. Sebaliknya produk primer China tampak semakin cenderung
menjadi net importer. Untuk komoditi manufaktur, Indonesia merupakan net importer, dimana
sebelumnya produk ini merupakan net exporter. Kondisi ini dapat dikatakan buruk mengingat neraca
perdagangan negara-negara lainnya cenderung mengalami peningkatan. Terakhir berdasarkan indikator
competitiveness ditemukan bahwa untuk komoditi primer pada tingkat regional ASEAN dan China dikuasai oleh Indonesia, Malaysia dan Thailand. Sedangkan untuk komoditi manufaktur China
tampak berhasil merebut pangsa perdagangan di regional ASEAN dan berdampak pada berkurangnya pangsa Malaysia dan Singapura. Sementara, ekspor manufaktur Indonesia tampak tidak mengalami
banyak perubahan pangsa perdagangan yang relatif kecil.
Berdasarkan kesimpulan hasil penelitian, terdapat sejumlah implikasi kebijakan yang dapat dijadikan rekomendasi bagi Pemerintah dan berbagai pemangku kepentingan lainnya, beberapa alternatif
kebijakan dalam upaya menghadapi perdagangan bebas RI dengan ASEAN dan China adalah dengan meningkatkan daya saing ekspor Indonesia. Perdagangan RI dengan ASEAN dan China
menggambarkan bahwa produk ekspor dan impor sama-sama meningkat, namun persaingan dan implikasi dampak terhadap daya saing ekspor dan produsen Indonesia perlu diperhatikan dengan
seksama. Persaingan kedepan akan berlangsung lebih ketat, oleh karena itu Indonesia perlu melakukan upaya untuk meningkatkan daya saing ekspor Indonesia. Penulis mencatat setidaknya terdapat dua
faktor utama terkait rendahnya daya saing ekspor Indonesia yaitu: ekonomi biaya tinggi dan kurangnya pasokan dan tingginya harga bahan baku. Dukungan Pemerintah merupakan keniscayaan, beberapa
upaya yang dapat dilakukan adalah: perbaikan infrastruktur, akses pembiayaan dana, tangani masalah pungutan liar, dan tak kalah penting adalah penerapan hukum dan peraturan yang tidak
menghambat pengembangan berusaha. Selama praktik-praktik ekonomi biaya tinggi masih terus berlanjut, Indonesia akan terus mengalami kesulitan untuk dapat berdaya saing dalam menghadapi
produk-produk dari China. Sedangkan, terkait upaya penanganan masalah bahan baku, dalam hal ini kiranya
policymaker harus memiliki political will and political actions serta kreatif dalam menjalankan diplomasi ekonomi. Salah satu upaya diplomasi ekonomi yang dapat dilakukan oleh Pemerintah
adalah secara proaktif membantu mencari peluang pasokan bahan baku yang berkesinambungan dengan harga yang murah, di berbagai mancanegara. Kemampuan mencari peluang serta melakukan
negosiasi yang efektif dengan mitra negara pasokan bahan baku yang ditargetkan merupakan faktor krusial dalam keberhasilan langkah ini.
Selain itu, seluruh pihak kiranya perlu upaya lebih lagi untuk meningkatkan keunggulan komparatif negara inimelalui: 1 peningkatan teknologi; 2 usaha penghematan tenaga kerja dan
input-input alamiah lainnya SDA; dan 3 peningkatan kualitas tenaga kerja dalam rangka meningkatkan
produktivitas tenaga kerja dan efisiensi dalam proses produksi serta kualitas produk bertambah baik.
301
Daftar Pustaka
Badan Pusat Statistik 2009, Kajian Peran Statistik Perdagangan Sebagai Input Perumusan Kebijakan,
Jakarta. Balassa, B., 1965, “Trade Liberalization and Revealed Comparative Advantage,”,
The Manchester School, 33, hal. 99-123.
Kuncoro, M.,2010, Ekonomika Pembangunan: Masalah, Kebijakan, dan Politik, Erlangga, Jakarta.
Markusen, J.R., Melvin, R.J., Kaempfer, W.H., Maskus, E.K., 1995, International Trade: Theory and
Evidence, International Edition, Singapore, McGraw-Hill. Mikic, M.,Gilbert, J., 2009, “Trade Statistics in Policymaking: A Handbook of Commonly Used Trade
Indices and Indicators – Revised Edition,” United Nations ESCAP, Bangkok. Dapat diakses pada situs: http:www.unescap.orgtidpublicationtipub2559.pdf
Sanidas, E.,Shin, Y., 2010, “Comparison of Revealed Comparative Advantage Indices with Application to Trade Tendencies of East Asian Countries,”Department of Economics, Seoul National University.
Dapat diakses pada situs: http:www.akes.or.krengpapers201024.full.pdf Sukirno, S., 2004,
Makroekonomi Teori Pengantar, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada. Dalam buku Kajian Peran Statistik Perdagangan sebagai Input Perumusan Kebijakan, Badan Pusat Statistik,
Jakarta, 29 April 2009. Tambunan, T., 2000,
Perdagangan Internasional dan Neraca Pembayaran: Teori dan Penemuan Empiris, LP3ES, Jakarta.
Toida, M., Uemura, J., 2005, FTA in East Asia: Trade Link Model I, Institute of Developing Economies
– Japan External Trade Organization. Widodo, T., 2010, “Comparative Advantage: Theory, Empirical Measures and Case Studies,”
Review on Economic and Business Studies. Dapat diakses pada situs: http:www.rebs.roarticlespdfs21.pdf
Widodo, T., 2008, “ Dynamic Changes in Comparative Advantage: Japan “Flying Geese” Modal and Its
Implication for China”. Journal of Chinese Economic and Foreign Trade Studies. Vol. 1. No. 3, pp. 200-213.
WITSTRAINS, 2003, Database on International Trade and Tariffs, UNCTAD-World Bank, Jenewa dan
Washington. Yeats, A.J., 1985, “On the Appropriate Interpretation of the Revealed Comparative Advantage Index:
Implications of a Methodology Based on Industry Sector Analysis,” Weltwirtschaftliches Archiv, 121,
hal. 61-73. Yu, R., Cai, J. Leung, P., 2009, “The Normalized Revealed Comparative Advantage Index,”
Annals of Regional Science, 43, hal. 267-282.
302
I. Pendahuluan
ejak pertengahan 1990-an industri pengolahan Indonesia melemah, dalam arti kontribusi pangsa di dunia dan Asia Timur menurun. Hal ini terkait dengan pertumbuhan ekspor yang melambat.
Melambatnya pertumbuhan ekspor tersebut terkait dengan kelemahan struktural yang terjadi di industri pengohan.
Kelamahan struktural tersebut mencakup: 1 terbatasnya jumlah industrialis dan sebagian besar industrialis berasal dari pedaganga, 2 ekonomi biaya tinggi rente yang terjadi di hampir seluruh sektor
perekonomian, 3 perijinan dan birokrasi yang berbelit-belit, 4 biaya logistik dan transportasi yang tinggi, dan 5 pemupukan keahlian sumberdaya manusia yang lambat. Dalam kasus Indonesia, UNIDO
2000 dalam studinya mengelompokkan masalah yang dihadapi industri manufaktur nasional ke dalam 2 kategori, yaitu: 1 kelemahan yang bersifat structural dan 2 kelemahan yang bersifat organisasi.
Kelemahan-kelemahan struktural di antaranya: 1 basis ekspor dan pasarnya yang sempit: a empat produk, yakni kayu lapis, pakaian jadi, tekstil dan alas kaki memiliki pangsa 50 dari nilai total
manufaktur. b Pasar tekstil dan pakaian jadi sangat terbatas. c Tiga Negara US, Jepang dan Singapura, menyerap 50 dari total ekspor manufaktur Indonesia, sementara US menyerap hampir
setengah total nilai ekspor tekstil dan pakaian jadi. d Sepuluh produk menyumbang 80 seluruh hasil ekspor manufaktur. e Banyak produk manufaktur padat karya yang terpilih sebagai produk
unggulan Indonesia mengalami penurunan harga di pasar dunia akibat persaingan ketat. f Banyak produk manufaktur yang merupakan ekspor tradisional Indonesia mengalami penurunan daya saing.
2 Ketergantungan impor yang sangat tinggi. 3 Tidak adanya industri berteknologi menengah. 4 Terjadinya konsentrasi regional. Kelemahan-kelemahan organisasi, di antaranya: 1 industri skala
kecil dan menengah IKM masih
underdeveloped. 2 Terjadinya konsentrasi pasar. 3 Lemahnya kapasitas untuk menyerap dan mengembangkan teknologi. 4 Lemahnya sumberdaya manusia.
Untuk mengatasi kelemahan struktural tersebut telah dilakukan berbagai upaya melalui kebijakan dan strategi di bidang industri. Harus diakui hasilnya belum optimal, bahkan sebenarnya dapat
dinyatakan belum atau tidak ada obat mujarab untuk megatasi kelemahan tersebut. Berbagai pilihan alternatif strategi industrialisasi telah dicoba diterapkan. Strategi subtitusi impor SI adalah industri
domestik yang membuat barang menggantikan impor. Strategi SI lebih menekankan pada pengembangan industri yang berorientasi pada pasar domestik. Strategi subtitusi impor dilandasi
oleh pemikiran bahwa laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi dapat dicapai dengan mengembangkan industry dalam negeri yang memproduksi barang pengganti impor. Penerapan strategi subtitusi impor
dan hasilnya di Indonesia, industri manufaktur nasional tidak berkembang baik selama orde baru. Ekspor manufaktur Indonesia belum berkembang dengan baik. Kebijakan proteksi yang berlebihan
selama orde baru menimbulkan
high cost economy. Teknologi yang digunakan oleh industri dalam negeri, sangat diproteksi.
Kemudian strategi promosi ekspor PE, lebih berorientasi ke pasar internasional dalam pengembangan usaha dalam negeri. Tidak ada diskriminasi dalam pemberian insentif dan fasilitas kemudahan lainnya
dari pemerintah. Dilandasi pemikiran bahwa laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi dapat dicapai jika produk yang dibuat di dalam negeri dijual di pasar ekspor. Strategi promosi ekspor
mempromosikan fleksibilitas dalam pergeseran sumber daya ekonomi yang ada mengikuti perubahan pola keunggulan komparatif. Strategi industrialisasi PE sempat digenjot pada tahun 1980-an, hasilnya
dianggap lebih efektif dibandingkan SI, namun hasilnya juga belum optimal sesuai dengan harapan.
Djisman Simanjuntak
Prasetiya Mulia Business School, Jakarta
RE-INDUSTRIALISASI INDONESIA, KONSOLIDASI OTONOMI DAERAH, MASYARAKAT EKONOMI ASEAN
S
303
Perlu kebijakan industri yang lain untuk mendorong agar sektor industri pengolahan mampu bersaing di pasar internasional. Salah satu kebijakan untuk meningkatkan daya saing adalah revitalisasi industri.
Pemerintah selama ini telah melakukan revitalisasi industri di sektor industri TPT dan industri gula. Revitalisasi mesin di in dustri TPT menjadi prioritas karena hingga saat ini masih banyak peralatan
industri tersebut yang sudah tua, usianya lebih dari 20 tahun, sehingga perlu diganti dengan mesin baru yang hemat energi serta mampu meningkatkan produksi. Program restrukturisasi permesinan
untuk meningkatkan kinerja bidang
off-farm, harus dibarengi secara simultan pelaksanaan intensifikasi lahan untuk meningkatkan kinerja bidang
on-farm. Peningkatan kinerja bidang off-farm melalui restrukturisasi permesinan, tidak akan dapat diukur kalau tidak diikuti dengan peningkatan suplai
bahan baku tebu secara seimbang. Selanjutnya perlu dilakukan revitalisasi aneka industri dan akses ke industri permesinan, alat-alat angkutan, dan alat-alat telekomunikasi.
II. Pembahasan 2.1 Beberapa Fakta Tentang Ekonomi Dunia
Berikut beberapa fakta terkait dengan kondisi ekonomi dunia terkini: 1. Kedatangan wisatawan internasional mencapai 980 juta dari penduduk sebanyak 7 milyar
dalam 2012. Indonesia kebagian sebesar 6 juta kedatangan wisatawan internasional, masih di bawah Malaysia yang mencapai 25 juta wisayawan asing pada tahun 2012.
2. Produk Domestik Bruto PDB dunia mencapai USD 72 trilyun, nilai ekspor barang sebesar USD 18 trilyun pada tahun 2012, sedangkan ekspor jasa mencapai USD 4 trilyun pada tahun
2011. Indonesia juga mengalami peningkatan PDB, namun peningkatan PDB tersebut harus disertai dengan peningkatan kualitas bukan sekedar kuantitas. Besaran PDB Indonesia tahun
2012 atas dasar harga berlaku mencapai Rp 8.241,9 triliun, sedangkan atas dasar harga konstan tahun 2000 mencapai Rp 2.618,1 triliun.
3. Stok penanaman modal asing langsung foreign direct investmentFDI yang masuk sebesar USD 23.6 trilyun pada tahun 2012. Arus stok FDI tersebut masuk di kawasan Asia Timur East
Asia and Asia Tenggara South East Asia sebesar USD 3.8 trilyun. Selanjutnya yang masuk
ke Republik Rakyat CinaRRC USD 0,8 trilyun, Hongkong USD 1,4 trilyun, dan Indonesia sebesar USD 0,2 trilyun.Arus FDI ke Indonesia dapat ditingkatkan dengan cara meningkatkan
kualitas iklim investasi dan meningkatkan infrastruktur ekonomi. 4. Posisi investasi bersih sebagai persentase Produk Domestik Brtuto PDB, di Hongkong
mencapai 353; Singapura sebesar 224; Taiwan mencapai 153; Swiss sebesar dan 136. Sementara itu negara seperti RRC sebesar 37; Indonesia sebesar 36; Amerika Serikat
sebesar 17; United Kingdom sebesar 9; Spanyol sebesar 91; dan Portugal mencapi 116.
5. Kondisi penggunaan teknologi komunikasi dan informasi Information and Communication
TechnologyICT: tilpon genggam handphone per 100 penduduk: RRC 81; India 69; Indonesia 115; dan Amerika Serikat 98. Untuk pemakaian tilpon genggam di In donesia lebih besar dari
RRC, Amerika Serikat, dan India. 6. Kondisi pemakaian ICT, khususnya pemakai internet per 100 penduduk: RRC 42; India 12,6;
Indonesia 15,4; Amerika Serikat 81. Untuk Indonesia masih sedikit lebih tinggi dari India namun di baw3ah RRC dan Amerika Serikat.
2.2. Komposisi Ekspor Indonesia
Realisasi ekspor Indonesia hingga akhir 2012 diprediksikan hanya mampu mencapai US190 milyar, lebih rendah dibandingkan 2011 sebesar US210 milyar, seiring lesunya permintaan dari
sejumlah negara tujuan ekspor yang masih terkena krisis ekonomi. Pada 2012, kinerja ekspor migas dan nonmigas Indonesia turun 5,5 persen menjadi US 153 milyar. Oleh karena itu,
pemerintah berupaya meningkatkan pangsa pasar dan mengembangkan program hilirisasi, khususnya pertanian, yang menyerap banyak tenaga kerja. Lebih lanjut, ia menyampaikan, neraca
perdagangan Indonesia pada 2012 mengalami defisit US 1,66 milyar.\
Pada Januari 2013, neraca masih defisit US 171 juta. Bualn Februari 2013, neraca perdagangan tercatat mengalami defisit sekitar US 300 juta. Defisit tersebut terjadi karena kenaikan impor
304
migas. Setidaknya, ada empat upaya yang bisa dilakukan untuk menekan defisit. Pertama, melakukan diversifikasi pasar ekspor nonmigas ke
emerging market, seperti Timur Tengah, Eropa Timur, Amerika Latin, dan Afrika. Kedua, melakukan hilirisasi nasional agar Indonesia memiliki
added value yang besar. Ketiga, menyelesaikan hambatan perdagangan, misalnya melalui instrumen anti-dumping. Keempat, memanfaatkan kegiatan internasional di dalam negeri secara
optimal, seperti APEC 2013.
Bagaimana dengan komposisi ekspor Indonesia? Pada tahun 2012 ekspor, khususnya non-migas, Indonesia didominasi oleh produk-produk SITC 0, SITC 1, SITC 2, SITC 3, SITC 4, dan SITC 6
74,5. Produk-produk yang termasuk golongan tersebut antara lain: bahan makanan, minuman, tembakau, bahan mentah, dan sebagainya. Untuk kelompok SITC 5 produk kimia, SITC 7 produk
permesinan, dan SITC produk aneka indistri pangsa ekspor masing-masing mencapai 5,7, 10,7, dan 8,1 kihat Tabel 1. Harus ada upaya yang signifikan untuk mendorong peningkatan
produksi dan ekspor kelompok industri yang menghasilkan SITC5, SITC 7, dan SITC 8. Salah satu bentuk nyata upaya tersebut dengan melakukan revitalisasi terhadap industri-industri tersebut.
Revitalisasi dapat dilakukan dengan memberikan insentif fiskal dan mendorong peningkatan produktivitas faktor produksi. Revitalisasi dan restrukturisasi industri merupakan wujud dari re-
industrialisasi. Seperti diketahui kebijakan re-industrialisasi sendiri diterapkan untuk mengatasi fenomena terjadinya de-industrialisasi.
Tabel 1 Komposisi Ekspor Dunia dalam
Keterangan Indonesia 2012
2000 2012
Semua Produk 100
100 100
SITC 0,1,2,3,4,6: Makanan dll . 74.5
38.4 42.3
SITC 5 Kimia 5.7
8.9 10.3
SITC 7 Permesinan 10,7
41.3 31,5
SITC 8 Aneka Industri 8.1
12.2 10.9
Sumber: Comtrade olahan sendiri
Pangsa pasar ekspor produk SITC 7 dan SITC 8 di pasdar dunia pada tahun 2000 di dominasi oleh negara-negra Eropa Maju 39,6, USA 12,3, dan Jepang 6,8. Pada tahun 2012
sedikit terjadi pergeseran yaitu Eropa Maju 32,3, RRC 11,1, dan USA 8,3. RRC berhasil menggeser Jepang, negara-negra Eropa Maju dan Usa tetap bertahan di peringkat 3 besar.
Bagaimanakah kinerja ekspor produk SITC 7 dan SITC 8 Indonesia di pasar dunia? Untuk total produk SITC 7 dan SITC 8, pada tahun 2000 pangsa pasarnya mencapai 0,5 dari total pasar
dunia. Selanjutnya pada tahun 2012 meningkat menjadi 1.
Tabel 2 Pangsa Beberapa Negara dalam Ekspor SITC 7 dan SITC 8 dalam
Total Total
SITC SITC
SITC SITC
2000 2012
72000 72012
82000 82012
Keterangan
RRC 3.9
11.1 3.2
16.6 11.1
27.0 Eropa Maju
39.6 32.3
38.8 35.3
37.1 33.3
Jepang 6.8
4.3 12.6
8.3 5.6
3.2 USA
12.3 8.3
15.8 9.1
12.0 7.7
Asia Tenggara 6.7
6.7 8.6
7.5 2.5
4.0 Indonesia
0.5 1.0
0.4 0.39
1.3 0.83
Sumber: Comtrade olahan sendiri