Studi Empiris 1. Integrasi Ekonomi Kawasan Eropa

180 dan belanja pemerintah, dan beragamnya pendekatan masing-masing negara dalam mengatasi permasalahan di industri perbankan dan menggelembungnya utang swasta. Menurut Volz 2012 keparahan krisis semakin bertambah ketika negara-negara Eropa sedang berusaha mengatasi krisis di 2008-2009, namun di saat yang bersamaan negara anggota lainnya seperti Yunani tidak cermat dalam pengelolaan anggaran pemerintahnya. Defisit anggaran Yunani pada 2009 mencapai 12,7 dari PDB, dan ini mengubah persepsi pasar terhadap kemampuan Yunani dalam menjaga kesinambungan pendanaan perekonomiannya, termasuk kemampuan untuk pengembalian utang pemerintahnya. Hal ini berdampak pada penurunan downgrades rating baik oleh Standard Poor’s, Moody’s maupun Fitchs, bahkan jauh di bawah investment grade, dan kemudian berdampak pada semakin meningkatnya suku bunga utang pemerintah. Dengan yields utang pemerintah yang tinggi, tentunya menyulitkan Yunani dalam mengakses pendanaan dari pasar modal capital market. Gambar 1. 10-Year Government Bond Yields di Beberapa Negara Eropa 2007-2011 Gambar 2. Sovereign Credit Default Swaps di Beberapa Negara Eropa 2007-2011 Sumber: Datastream, Volz 2012 Sumber: Datastream, Volz 2012 Krisis di Yunani dan respon politik negara-negara lain di Eropa yang tidak sama terkait bagaimana penanganan krisis di negara tersebut justru semakin melemahkan kondisi ekonomi di beberapa negara periphery di kawasan Eropa, khususnya PIIGS Portugal, Irlandia, Italia, Yunani dan Spanyol. Konsekuensinya, biaya pinjaman borrowing cost semakin meningkat seiring menurunnya tingkat kepercayaan pasar terhadap kondisi ekonomi di negara-negara tersebut. Menurut Volz 2012 penyebab krisis di Eropa dapat dijelaskan melalui beberapa hal sebagai berikut:

i. Krisis Lembaga Keuangan yang Memicu Sovereign Debt Crisis Begitupun sebaliknya

Krisis finansial global pada 2008-2009 berdampak pada terjadinya sovereign debt crisis di beberapa negara Eropa pada 2010. Untuk mengkompensasi pelemahan tingkat output, beberapa negara di kawasan Eropa merespon melalui kebijakan fiskal counter-cyclical yang justru meningkatkan defisit fiskal. Lebih lagi, dengan melemahnya tingkat output, berimbas pada menurunnya penerimaan pajak serta membengkaknya transfer payment seiring dengan meningkatnya pengangguran selama krisis. Di beberapa negara, kebijakan pemerintahnya untuk melakukan bailout kepada industri perbankannya juga berkontribusi terhadap meningkatnya utang pemerintah. Selain itu, bubble burst pada industri properti juga banyak menambah utang pemerintah melalui adanya pengambilalihan utang swasta ke pemerintah. Kondisi ini menunjukkan fakta bahwa beberapa negara di kawasan Eropa tidak lagi memenuhi Stability and Growth Pact sebagai syarat pemenuhan konvergensi ekonomi kawasan dengan utang pemerintah tidak melebihi 60 dari PDB. 181 ii. Kesalahan Penilaian Risiko dan Misalokasi Modal Salah satu elemen penting yang berkontribusi terjadi krisis di Eropa adalah kesalahan penilaian risiko di pasar modal dan juga misalokasi modal satu dekade sebelum terjadinya krisis. Dengan terbentuknya EMU, berimplikasi pada terkonvergensinya tingkat suku bunga di antara negara-negara anggota. Selisih tingkat suku bunga negara-negara PIIGS semakin kecil dibandingkan Jerman yang dianggap sebagai acuan di kawasan Eropa. Tingkat suku bunga utang pemerintah Yunani untuk jangka waktu 10 tahun dari sebelumnya 25 pada 1992 dapat menurun drastis sejak bergabung dalam EMU menjadi hanya sekitar 5 pada 2001. Menurut Mersch 2011, dengan adanya Maastricht Treaty dan SGP, pasar terlalu beranggapan positif bahwa negara-negara yang tergabung dalam EMU sudah memiliki disiplin anggaran pemerintah yang tinggi. Dengan masuknya era tingkat suku bunga rendah, akses untuk mendapatkan pendanaan berbiaya rendah semakin terbuka pula. Hal ini ternyata berdampak pada akumulasi utang swasta yang berlebihan di Irlandia, Portugal dan Spanyol, sedangkan akumulasi utang pemerintah berlebihan terjadi di Yunani dan Portugal. Dengan akses pendanaan yang mudah, justru semakin mendorong belanja fiskal yang tinggi melalui pembiayaan utang pemerintah di Yunani. iii. Ketidakseimbangan Struktural Ekonomi di Kawasan Eropa Perbedaan level pertumbuhan ekonomi di negara-negara periphery dibandingkan negara-negara utama di kawasan Eropa menyimpan ketidakseimbangan struktural ekonomi. Menurut Mayer 2011, sejak negara-negara PIIGS tergabung dalam EMU, dan dapat mengakses pendanaan melalui suku bunga rendah dan banyak masuknya aliran modal, hal ini dimanfaatkan untuk mendorong pertumbuhan di negara-negara tersebut. Hasilnya, terjadi booming ekonomi domestik di masing-masing negara tersebut. Peningkatan produktivitas berlebihan mendorong peningkatan upah, peningkatan biaya tenaga kerja dan juga berdampak pada inflasi yang lebih tinggi dibandingkan Jerman sebagai acuan negara yang mampu menjaga stabilitas harga di kawasan tersebut. Mayer 2011 menyatakan bahwa kondisi tersebut berdampak pada apresiasi real effective exchange rates REER dan berimbas pada kinerja ekspor serta defisit neraca berajalan current account yang lebih tinggi. Dengan kebijakan moneter tunggal dalam EMU, sangat tidak memungkinkan untuk mengeluarkan kebijakan untuk mendevaluasi nilai tukar untuk mendorong ekspor lebih kompetitif dan mengurangi defisit neraca berjalan di PIIGS. Gambar 3. Rasio Utang Pemerintah terhadap PDB di Kawasan Eropa Periode 2007-2010 Sumber: Volz 2012