Permasalahan Hukum, Non-hukum dan Sumber-sumbernya

68

III. Beraneka Sumber Permasalahan Hukum. 1.

Hukum Nasional dan Transplantasi Hukum Asing. Pada tataran konstitusional, permasalahan hukum timbul akibat transplantasi hukum dan sistem perekonomian yang bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila sebagai ideologi NKRI, maupun jiwa UUD 1945 yang asli. Hal ini menimbulkan anomie di kalangan masyarakat, yang dalam bahasa hukum berati ketidak-pastian hukum, karena masyarakat bingung mana yang harus diikuti: norma-norma hukum lama yang asli, atau norma-norma hukum asing yang baru ditransplantasikan. Berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 NKRI adalah Negara Hukum; maka segala perencanaan dan kegiatan pembangunan –terutama di bidang ekonomi, khususnya sektor perdagangan—, harus mengacu pada norma konstitusionel —Undang-Undang Dasar 1945 terutama pasal 33 ayat 1-3—, yang bersumber pada landasan ideologis Pancasila, sehingga dalam arus globalisasi sekalipun harus tetap mempertahankan eksistensi Bhineka Tunggal Ika dan NKRI. Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 asli sangat jelas mengamanatkan sistem perekonomian kerakyatan, yang lebih mengutamakan kepentingan komunal dibanding kepentingan individu; dan lebih menghargai nilai spiritualis daripada nilai materialism. Namun ironisnya, produk-produk Peraturan Perundang-undangan yang ada sebagian besar mengacu pada upaya perwujudan sistem perekonomian liberal, yang lebih mengutamakan kepentingan individu dibandingkan nilai komunal, didominasi nilai materialism dibanding spiritualism. “Dualism” dalam sistem perekonomian akibat transplantasi sistem perekonomian liberal ini menimbulkan situasi “ anomie” di kalangan masyarakat, yang berakibat tidak adanya kepastian hukum. Berdasarkan pasal 33 ayat 1-3 Undang-Undang Dasar 1945, sistem perekonomian yang menjadi tujuan bangsa Indonesia adalah sistem perekonomian kerakyatan, bukan sistem perekonomian liberal. Namun pada amandemen ke-4, pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara RI 1945 ditambahkan ayat 4 yang mengandung kata: efisiensi, yang merupakan kata kunci sistem perekonomian liberal. 6 Kontradiksi ini menimbulkan anomie, karena rakyat tidak tahu lagi mana yang harus diikuti: sistem perekonomian kerakyatan yang dijamin pasal 33 ayat 1-3 Undang- Undang Dasar 1945, atau sistem perekonomian liberal yang dikehendaki oleh ayat 4, pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara RI 1945? Perdebatan tentang hal inilah yang membuat pejoang pembela sistem ekonomi kerakyatan Prof. Mubyarto mengundurkan diri dari Panitia Ad Hock Amandemen UUD 1945. Sementara itu dampak perekonomian liberal sudah semakin nyata. Sebagaimana telah diramalkan oleh Coleman, dikejarnya efisiensi telah semakin meningkatkan jurang antara pihak yang kaya dan miskin. Hal ini tercermin pada Gini-Ratio Index di negara kita. Pada saat Indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi yang tinggi, jurang pendapatan antara si kaya dan si miskin semakin meningkat. Bila pada tahun 1999 Gini index menunjukkan 0.31, index meningkat menjadi 0.37 di 2009, 0.38 di 2010, 0.41 di 2011, dan 0.42 2012. Padahal pada saat yang sama perekonomian tumbuh 4.58 di 2009, 6.1 di 2010 dan 6.5 di 2011. Kalangan akademisi berpendapat Gini index diatas 0.4 berbahaya bagi stabilitas sosial masyarakat karena menimbulkan kekecewaan di kalangan si miskin akibat jurang pendapatan yang semakin meningkat. Data Biro Pusat Statistik menunjukkan pada tahun 1999 20 persen kalangan terkaya di negeri ini menguasai 40.57 dari keseluruhan pendapatan, tapi pada 2011 kekayaan 20 kelompok terkaya meningkat menjadi 48.42 . Sebaliknya, 40 kelompok masyaraakat miskin yang pada tahun 1999 memperebutkan 21.66 , porsinya merosot tinggal 16.85 di 2011. 6 Oleh C.E. Baker Philosophy and Public Affairs, 1975 the Economic Analysis of Law yang mengutamakan efisiensi dikritik sebagai pencerminan ideologi kapitalistik dan berorientasi pasar bebas, sehingga pendekatan ini juga merupakan apologia untuk konservatism. Demikian pula Coleman Ethics, 1984 yang ikut membidani lahirnya the Economic Analysis of Law pada akhirnya mengkritik faham ini bahwa: bilamana oleh pengadilan diterapkan pendekatan the Economic Analysis of Law sehingga dikedepankan prinsip effisiensi, akibatnya bukan saja pihak yang kaya akan semakin kaya, tetapi mereka akan berada pada posisi yang lebih baik untuk meningkatkan lagi kekayaannya. Ditekankannya bahwa efisiensi tidak hanya pada awalnya mempersyaratkan: tidak-meratanya kekayaan; tetapi juga bahwa dikejarnya efisiensi tidak pelak lagi mengarah pada timbulnya akibat: semakin meningkatnya kondisi tidak-meratanya kekayaan di masyarakat. 69 Pada tataran operasional, ketidak-pastian hukum timbul sebagai konsekuensi logis dari kenyataan bahwa setelah lebih dari 68 tahun merdeka, Indonesia tidak memiliki “ trade policy”, sehingga segala peraturan di bidang perdagangan hanya berupa keputusan-keputusan “ Ad Hock”, bersifat reaktif terhadap permasalahan sesaat, yang ada di depan mata saja. 7 Sampai saat ini Indonesia tidak memiliki Undang-udang Perdagangan yang integral dan komprehensif, yang dapat dijadikan sebagai pedoman bagi para perumus kebijakan maupun pelaku transaksi bisnis di bidang perdagangan. Kelemahan ini tidak disia-siakan oleh pihak asing, sehingga ketidak-pastian hukum akibat transplantasi perekonomian liberal ke dalam konstitusi NKRI tersebut semakin diperparah dengan kenyataan besarnya pengaruh asing dalam proses legislatif penyusunan undang-undang di negeri ini. Seorang anggota DPR, Dr. Eva Sundari, mengakui paling sedikit ada 76 undang- undang yang penyusunannya dibiayai pihak asing. Sebagian besar peraturan perundang- undangan terkait perdagangan seringkali lebih menguntungkan pihak asing, dan merugikan pelaku usaha nasional. 8 Lebih menyedihkan lagi, hukum asing yang telah ditranplantasikanpun dalam implementasi mengalami proses sedemikian rupa, sehingga seringkali hanya menguntungkan pihak asing. Sebagai contoh, kewajiban internal RI setelah meratifikasi keanggotaannya di WTO seharusnya adalah mengejawantahkan seluruh ketentuan-ketentuan WTO ke dalam hukum nasional. Yang terjadi adalah bahwa ketentuan-ketentuan WTO yang telah diwujudkan ke dalam hukum nasional hanyalah yang menguntungkan pihak asing, misalnya saja ketentuan-ketentuan Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights TRIPS Agreement, telah dibuat beraneka undang-undang, antara lain: UU No. 30 tahun 2000 tentang Rahasia Dagang; UU No. 31 tahun 2000 tentang Desain Industri; UU No. 32 tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu; UU No. 14 tahun 2001 tentang Paten; UU No. 15 tahun 2001 tentang Merek; dan UU No. 19 tahun 2002 tentang Hak Cipta. Gambaran bahwa hak monopoli atas kekayaan intelektuel yang kepemilikannya lebih banyak didominasi oleh pihak asing telah dilindungi dengan sangat rapi oleh undang-undang di negeri ini dapat dilihat pada tabel 1 mengenai permohonan paten, dan tabel 2 tentang hasil pemeriksaan paten berikut. Tabel tersebut menunjukkan bahwa pemohon hak paten nasional hanya 2,77 7 Lihat Agus Brotosusilo: International Trade Law Indicators, 2003: Indonesia. Indonesian Journal of International Law, Volume 1, No. 2, January, 2004. 8 Lihat Agus Brotosusilo: “Globalisasi Ekonomi dan Perdagangan Internasional: Studi tentang Kesiapan Hukum Indonesia Melindungi Produksi Dalam Negeri Melalui Undang-Undang Anti Dumping dan Safeguard”, Universitas Indonesia, 2006. 145 1733 2750 2901 7529 21,73 Sumber: Diolah dari Data Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual, Laporan Tahunan, 2001. 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 Jumlah 19 12 28 33 61 59 80 109 168 213 197 979 2,83 3 43 43 60 71 76 80 32 19 38 24 489 1,41 1.336 4.027 2.140 2.427 3.006 4.132 4.178 1.987 3.123 4.141 4.147 36.644 100 Tabel 1 Permohonan Paten Tahun Paten Paten Sederhana Nasional Nasional PCT Asing Asing PCT Lokal Asing Jumlah 34 67 38 29 61 40 79 93 152 156 210 959 2,77 1 2 3 0.01 1280 3905 2031 2305 2813 3957 3939 1608 1051 983 813 24.685 71,25