Kawasan Perdagangan Bebas ASEANAFTA dan WTO
71
Keberadaan WTO tidak terlepas dari The Bretton Woods System, sebagai upaya mencegah
kebangkrutan sistem kapitalisme akibat perang dagang diantara negara-negara kapitalis di awal tahun 1930an yang berakibat timbulnya
The Great Depression. Kesepakatan negara-negara kapitalis untuk menghindari pengalaman buruk tersebut melahirkan 3 lembaga:
The World Bank untuk rekonstruksi dan pembangunan internasional
, The International Monetary FundIMF untuk memonitor neraca pembayaran
, dan GATT sebagai embrio The International Trade Organization ITO yang gugur sebelum berkembang yang harus mempertahankan prinsip-prinsip ekonomi
pasar liberal dan sistem kapitalisme.
13
Apabila WTO konon menganut prinsip Non-Discrimination, sedangkan kawasan perdagangan
bebas menerapkan prinsip diskriminasi perlakuan terhadap Negara-negara bukan anggota, dapatkah Indonesia sebagai anggota WTO juga menjadi anggota
ASEAN Free Trade Agreement AFTA? Prinsip Non-Discrimination dalam WTO dapat disimpangi melalui pengecualian dengan
pembentukan free trade agreementFTA sebagaimana diatur pada pasal XXIV GATT. Dalam free
trade agreementFTA biasanya diatur kesepakatan-kesepakatan perdagangan timbal-balik reciprocal trade commitments diluar apa yang telah di atur di dalam kerangka WTO, atau bahkan
untuk mengatasi masalah-masalah yang tidak dapat diselesaikan melalui perundingan- perundingan WTO selanjutannya, misalnya topik-topik yang belum disetujui dalam
Doha Round. Beberapa motif yang mendorong suatu Negara ikut seta dalam FTA antara lain adalah untuk:
memperbesar akses pasar, mengikat pemerintah dalam komitmen perdagangan jangka panjang, untuk mencapai tujuan non-ekonomis politik luar negeri, dan memberikan tekanan politik kepada
Negara-negara anggota lain untuk akselerasi negosiasi dan meningkatkan komitmen.
14
Kegagalan Doha Round merupakan salah satu sebab semakin maraknya FTA diantara Negara-negara
anggota WTO.
15
Namun di dalam AFTA sendiri, Indonesia tidak terlepas dari masalah. Pangkal permasalahan adalah karena Indonesia tidak memiliki “
trade policy”, sehingga segala peraturan di bidang perdagangan hanya berupa keputusan-keputusan “
Ad Hock”, bersifat reaktif terhadap permasalahan sesaat, yang ada di depan mata saja.
16
Sampai kini Indonesia tidak memiliki Undang-Undang Perdagangan yang integral dan komprehensif, yang dapat dijadikan sebagai
pedoman bagi para perumus kebijakan maupun pelaku transaksi bisnis di bidang perdagangan. Tiadanya “
Trade Policy” membuka kesempatan bagi bermainnya Rent Seekers, yang akan dengan sigap memainkan perannya pada saat timbul kelangkaan komoditi tertentu. Kita kenal dengan
“8 Samurai” yang selalu muncul dan menguasai medan pada saat terjadi kelangkaan komoditi gula. Pada saat mendamping Menteri Pertahanan RI dalam Forum ADMM di Vietnam, Penulis
menyaksikan betapa herannya Menteri Pertahanan Kamboja melihat Indonesia membeli beras dari Thailand dengan harga tinggi, padahal menurut sang Menteri, beras yang dibeli Indonesia
dengan harga tinggi tersebut dibeli oleh pedagang Thailand dari Kamboja dengan harga jauh lebih murah. Menteri Pertahanan Kamboja menawarkan bahwa kalau Indonesia membeli komoditi
beras ke Kamboja langsung, harganya akan jauh lebih murah.
Disamping perihal tersebut di atas, masalah juga timbul karena sebagian besar komoditi pokok maupun tujuan ekspor Negara-negara Asean saling bersaing di lingkup regional maupun di
pasar global. Komoditi gula adalah arena persaingan antara Philiphina, Indonesia dan Thailand; pasar komoditi karet alam diperebutkan oleh Indonesia dan Malaysia; pasar komoditi beras
diperebutkan oleh Thailand, Kamboja dan Indonesia, serta pasaran komoditi kelapa sawit diperebutkan oleh Indonesia dan Malaysia. Anehnya, meskipun dalam kuantitas perkebunan
kelapa sawit di Indonesia lebih luas daripada Malaysia, namun posisi Indonesia di pasar global ternyata tidak lebih baik dari Negara jiran tersebut.
13
Thomas M. Frank: Why do Nations Obey International Law? Yale Law Journal, vol. 106, 1997, p. 2614.
14
Boris Rigod, “Global Europe”: The EU’s New Trade Policy in Its Legal Context. Columbia Journal of European Law. Vol 18. 2012.
15
Agus Brotosusilo: WTO, Regional and Bilateral Trade Liberalization and Its Implication for Indonesia, a paper presented at an ASEAN Law Association ALA Conference, Bangkok, 2005.
16
Agus Brotosusilo: International Trade Law Indicators, 2003: Indonesia. Indonesian Journal of International Law, Volume 1, No. 2, January, 2004. Lihat juga:
72
Dari kasus sengketa tanah di perkebunan yang timbul antara pemilik tanah WNI berdasarkan hak adat yang tidak tertulis, melawan perusahaan-perusahaan asing sebagian besar Malaysia
pemilik perkebunan yang mengantongi hak tertulis yang diberikan oleh Penguasa Pemerintah Daerah, dapat disimpulkan bahwa dalam kondisi tidak adanya kepastian hukum, pihak yang
kuat Pemerintah PusatDaerah, Pemilik Modal seringkali memanipulasi keadaan untuk menindas pihak yang lemah. Disini timbul hal yang ironis: dalam suasana ketidak-pastian hukum,
pihak yang kuat memanfaatkan faham
Legal Positivism untuk melegitimasi dukungan aparat penegak hukum. Berdasarkan faham ini jelas pertimbangan keadilan –yang seharusnya menjadi
rujukan hukum—, diabaikan, dan pihak yang hanya memiliki hak adat tidak tertulis tidak akan dipandang sebelah matapun. Faham
Legal Positivism yang mendewa-dewakan kepastian hukum lebih jakin pada dokumen tertulis, tanpa peduli bagaimana diperolehnya dokumen tersebut,
apakah melanggar keadilan atau tidak. Kerawanan-kerawanan sosial akibat tiadanya kepastian hukum di pusat maupun daerah telah ikut berperan menciptakan ekonomi biaya tinggi di negeri
ini, sehingga menurunkan daya saing Indonesia di kalangan sesama Negara anggota AFTA maupun di pasar global.