Prospek dan Potensi Pariwisata DIY .1 Dinamika Pariwisata di DIY

232

II.4.2 Pasar Pariwisata DIY

Berdasarkan data Dinas Pariwisata DIY 2012 tercatat bahwa persentase wisatawan yang berasal dari negara-negara Eropa semakin menurun. Untuk menarik minat wisatawan Eropa dan sekitarnya, DIY berupaya mengembangkan beberapa sumber daya budaya yang dapat dikemas menjadi acara event pariwisata. Selama ini, DIY dikenal sebagai kreator budaya yang unggul di antara daerah-daerah lain di Indonesia. Berdasarkan hal ini maka prospek wisata DIY di masa depan diupayakan berkembang cukup baik. Sumberdaya dan potensi pariwisata yang berbasis kebudayaan banyak yang dapat dikemas menjadi sebuah acara event yang menarik untuk keperluan wisata, bukan hanya untuk konsumsi wisatawan mancanegara, tetapi juga wisatawan nusantara domestik. Pasar pariwisata DIY pada tahun 2011 menyerap 1,6 juta wisatawan domestik dan 200 ribu orang wisatawan mancanegara. Tahun 2010, jumlah kunjungan wisatawan ke DIY mencapai 1,4 juta untuk wisatawan Nusantara dan 170 ribu untuk wisatawan mancanegara. Pada Gambar II.4 terlihat jika total jumlah wisatawan yang berkunjung ke DIY dari tahun 2005-2012 dalam trend positif, mengalami peningkatan. Dalam tujuh tahun, kenaikannya mencapai hampir 1 juta orang. Gambar II.4 Jumlah Wisatawan Ke DIY 2005-2012 Sumber: BPS 2011 Kebanyakan wisatawan yang berkunjung ke DIY menginap di hotel non bintang yang harga kamarnya relatif murah. Hal ini juga menunjukkan pula bahwa wisatawan yang berkunjung ke DIY masih didominasi oleh orang yang mempunyai penghasilan tidak cukup tinggi. Di DIY, kecuali urban tourism juga tersedia jenis rural tourism. Di sini wisatawan dapat menikmati hidup di alam pedesaan termasuk melihat kehidupan keseharian warga desa dengan menginap di rumah penduduk. Kemudian wisatawan dapat melihat langsung pertunjukan kesenian tradisional dan kegiatan warga desa lainnya. Beberapa Desa Wisata di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta DIY pada 2014 diproyeksikan memiliki prospek cukup baik sehingga bisa menjadi andalan pariwisata daerah. Daerah ini memiliki keunikan berupa suasana khas terutama budaya, adat istiadat dan seni maupun pemandangan alam yang dapat dikemas menjadi sebuah acara yang berbasis eko-budaya eco-culture pada sebuah cultural landscape. 233

III METODE PENELITIAN

III.1 Lokasi dan Data Penelitian Lingkup wilayah kajian penelitian ini adalah Daerah Istimewa Yogyakarta DIY, dengan penggalian datanya menggunakan data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data yang dikumpulkan dari sumber-sumber asli Kuncoro, 2009. Data primer ini digali dengan cara observasi dan survei. Dalam survei, peneliti menggali data dengan melakukan wawancara mendalam terhadap 200 orang responden yang diambil secara purposif. Untuk mempermudah wawancara, pewawancara dipandu dengan serangkaian kuesioner yang telah disiapkan sebelumnya. Subyek wawancara adalah pemangku kepentingan yaitu tokoh masyarakat, kelembagaan lokal, SKPD Pemda DIY dan Jateng, Pemkab Sleman dan Pemkab Klaten, pengelola Candi Prambanan, dan pelaku wisata PHRI dan ASITA. Expert Meeting EM dan Focus Group Discussion FGD dilakukan dengan perwakilan ASITA, PHRI, Pusat-pusat Studi Pariwisata, Dinas Pariwisata KabupatenKotaProvinsi. Adapun data sekunder merupakan data yang telah dikumpulkan oleh pihak–pihak lain Kuncoro, 2009. Data sekunder dikumpulkan dari berbagai sumber publikasi, termasuk dari internet. III.2 Metode Analisis dan Sintesis Analisis dalam penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif, dengan cara mengidentifikasi karakteristik dari fenomena yang diamati atau melakukan eksplorasi kemungkinan hubungan dua atau lebih fenomena Leedy dan Ormrod, 2005. Analisis deskriptif memberikan gambaran pola yang konsisten dalam data sehingga hasilnya dapat dipelajari dan ditafsirkan secara singkat dan penuh makna, melakukan komparasi antar hasil penelitian terkait dan dilakukan korelasi antara hasil penelitian tersebut dengan teori atau konsep yang relevan Kuncoro, 2009. Analisis deskriptif dapat juga dilakukan dengan teknik statistik yang relatif sederhana, seperti misalnya menggunakan tabel, grafik, dan ukuran tendensi sentral yaitu nilai rata-rata, nilai tengah, dan modus Kontour, 2003. Jadi, sekalipun metode analisis dalam studi ini relatif sederhana, namun dapat memberikan informasi yang memadai sesuai dengan tujuan penelitian. Selanjutnya setelah dianalisis, dilakukan sintesis berupa interprestasi data yang ada dalam penelitian untuk diubah menjadi informasi yang berguna. III.3 Tahapan Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan melalui beberapa tahapan berikut, pertama, melakukan dokumentasi, inventarisasi dan pengumpulan data sekunder dari literatur, publikasi dan lembaga terkait BPS, Pemerintah Daerah, dll serta menyusun kuesioner untuk panduan wawancara mendalam serta kegiatan focus group discussion FGD. Setelah itu, melakukan wawancara mendalam terhadap responden; Tahap kedua adalah melakukan diskusi, tukar pikiran brainstorming antara peneliti dengan pihak yang kompeten dan dilanjutkan survei lapangan, pertemuan dengan pakar expert meeting, EM serta FGD dengan masyarakat dan lembaga. Agar lebih efisien maka dalam FGD digunakan teknik mind mapping yaitu suatu cara mengembangkan kegiatan berpikir ke segala arah dan menangkap berbagai pemikiran dalam berbagai sudut. Mind mapping adalah upaya pengembangan cara berpikir secara divergen, kreatif, inovatif dan efektif, dengan memetakan pikiran-pikiran peserta FGD secara menarik, mudah, efisien dan berdaya guna sehingga lebih mudah untuk menempatkan informasi ke dalam otak dan mengambil informasi itu ketika dibutuhkan. Langkah ketiga adalah menganalisis serta mensintesiskan hasil penelitian dan kemudian diikuti tahap terkahir yaitu menarik kesimpulan dan merekomendasikan kebijakan. 234 IV HASIL PENELITIAN

IV.1 Pemetaan Potensi Sumberdaya Kebudayaan DIY

Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki berbagai macam sumberdaya yang berhubungan dengan kebudayaan. Mayoritas penduduk DIY beretnis Jawa dengan bahasa pengantar keseharian Jawa dialek Mataraman; dan juga bahasa Indonesia untuk kegiatan formal. Etnis Jawa memiliki stereotipe sebagai suku bangsa yang sopan dan halus baik dalam tutur kata maupun tingkah laku, tetapi mereka juga dikenal sebagai komunitas yang tertutup dan tidak mau terus terang. Sifat ini konon berdasarkan watak orang Jawa yang ingin menjaga harmoni atau keserasian dan menghindari konflik, karena itulah mereka cenderung untuk diam dan tidak membantah apabila terjadi perbedaan pendapat. Masyarakat Jawa di Yogyakarta memiliki sikap hidup religius dengan menahan diri dari berbagai godaan material, prasojo atau secukupnya sesuai dengan takaran kewajaran, setia kawan dengan mengutamakan kepentingan kolektif dibandingkan individu, tepo- seliro toleransi atau tenggang rasa serta mengutamakan ajinining diri menjunjung kehormatan, harkat, martabat dan kualitas eksistensi dibandingkan kepemilikan Tranggono, 2007. Dalam membina rasa persatuan dan kesatuan orang Jawa memiliki pedoman “ Desa mawa cara, Negara mawa tata” yaitu kesadaran terhadap pluralisme setiap daerah. Oleh karena itu hubungan dibuat hamonis dengan mengedepankan subasita atau tata perilaku yang santun, saling menghormati. Kemudian juga rasa kegotong-royongan dalam memikul beban kehidupan sehingga pameo “berat sama dipikul, ringan sama dijinjing” dijalankan di dalam kehidupan masyarakat, dan permasalahan yang muncul dikomporomikan melalui rembug warga atau rembug desa. Namun sayangnya cara seperti ini mulai terkikis oleh arus globalisasi yang bersifat individualistis sehingga acara-acara events sambatan membantu tetangga yang mempunyai hajat, gugur gunung bekerja bersama tetangga membersihkan, merawat lingkungan tempat tinggalnya tanpa menerima upah dan lain-lain sudah jarang dilakukan. Karakteristik masyarakat Jawa bersifat agraris dengan mengembangkan lahan persawahan wetland yang seringkali dikombinasikan dengan pembenihan ikan, mina padi dan kolam. Sektor ini menjadi andalan karena relatif tidak memerlukan ketrampilan khusus. Namun, seperti pada umumnya masyarakat pertanian, bercocok tanam baginya bukan hanya matapencaharian tetapi juga praktik upacara dengan tata susila dan memperlihatkan identitas etnis, sehingga pertanian terjalin dalam kebudayaan O’Connor, 1995: 969. Beragam seni dan budaya yang tersebar di DIY merupakan kekayaan tidak ternilai yang merupakan produk kreasi budaya masyarakat di wilayah DIY. Kekayaan seni dan budaya yang dimiliki DIY merefleksikan tatanan kehidupan dan daya kreativitas yang memberikan corak, warna identitas budaya DIY. Potensi budaya yang dimaksud di sini adalah elemen-elemen budaya yang memiliki “ruh kekuatan” dan nilai penting dalam hidup dan kehidupan masyarakat pendukungnya. Kekayaan budaya yang tersebar itu, ada yang kondisinya dalam keadaan timbul tenggelam, memudar, tetapi ada pula yang mengakar kuat dalam kehidupan masyarakat pendukungnya dan berkembang mengikuti zaman. Dari Gambar IV.1-2 terlihat bahwa DIY memiliki potensi 66 jenis upacara adat yang tersebar di seluruh wilayah mulai dari siraman pusaka, garebeg, sekaten, rajawedha, bersih desa, saparan bekakak gamping, suran mbah demang, tunggul wulung minggir, becekan, tawur agung, saparan wanalela, ngombeake jaran kepang, berbagai bentuk labuhan seperti labuhan Merapi, alit, ageng, nelayan, hondodento, pisusung Jaladri, serta melasthi, ngliwet pitik, nyekar atau ruwahan, rosulan, kupatan jala sutra, nyadran, rebo pungkasan, cembengan, kirab pusaka, midhangan, barithon, nawu sendhang Jambi, rejeban Gunung Kelir, Dzulkaidah Pringtali, cincing goling, madhilakiran, wiwit, sri negal, garap siti, pembukaan cupu Jala, kenduri dan sebagainya. 235 Potensi kesenian di DIY meliputi Jathilan, keroncong, kerawitan, macapat, kethoprak, wayang orang, kulit dan klithik, gejlok lesung, campur sari, panembromo, salawatan, thek-thek, thek- bung, pedhalangan, lawak, qasidahan, samroh, seni-rupa, seni tari klasik, calung, siteran, cokekan, rodat, srandul, hadrah, laras madya, emprak, kubrasiswa, tari Badui, ande-ande lumut, kuntulan, klenthing, nini thowog, montro, orkes bambu, brambangan, cokekan, gambus, trengganom, langen swara, langen crito, terbangan, pajidor, krumpyung, ndolalak, saniswa, oglek, angguk, barzanji, lenggek, bangilun dan lain-lain. Khusus untuk wayang, UNESCO menetapkan sebagai “ a masterpiece of the oral and intangible heritage of humanity” pada tahun 2003 UNESCO, 2003, sebuah karya agung warisan budaya dunia. Seni pertunjukan berjumlah 86 buah dari 9 jenis yang ada yaitu mulai tari, musik, wayang, macapat, kethoprak, upacara adat, seni, keagamaan dan hari jadi Tabel IV.1. Gambar IV 1 Peta Pertunjukan dan Acara Wisata di Kota Yogyakarta, Kabupaten Bantul dan Kabupaten Sleman Sumber: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Propinsi DIY 2000 dan Survei 2011 Gambar IV 2 Peta Pertunjukan dan Acara Wisata di Kabupaten Kulon Progo dan Kabupaten Gunung Kidul Sumber: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Propinsi DIY 2000 dan Survei 2011 Tabel IV.1 Jenis Seni Pertunjukan No. Jenis Pertunjukan Kota Yogya Sleman Bantul Kulonprogo Gunungkidul 1. Tari 4 1 - - - 2. Musik 3 - - - - 3. Wayang 3 - - - - 4. Macapai 2 - - - - 5. Ketoprak 1 - - - - 6. Upacara adat 7 11 24 9 16 7. Seni - - 3 - - 8. Keagungan - - - 1 - 9. Hari Jadi - - - 1 - Jumlah 20 12 27 11 16 Sumber: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Propinsi DIY 2013