Kondisi Kesehatan “IA” Temuan Lapangan 1. Kondisi Biopsikososial Anak

dalam bentuk rasa rindu yang dirasakan oleh “IA”, sangatlah berpengaruh terhadap kesehatannya seperti nafsu makan yang menurun dan masalah-masalah pada kesehatan lainnya seperti infeksi saluran kencing, asma yang di derita oleh “IA”. Dari hasil wawancara dengan ibu “U” ternyata setelah perceraian orang tuanya “IA” mengalami gangguan pada kesehatannya seperti berat badan yang turun, infeksi saluran kencing dan asma. Karena sebelum kedua orang tuanya bercerai “IA” tidak mengalami gangguan pada kesehatannya. Jadi terdapat pengaruh pada aspek kesehatan “IA” setelah orang tuanya bercerai. 2 Kondisi Kesehatan “SP” Selain itu, anak yang mengalami masalah dengan kesehatannya pasca perceraian orang tua adalah “SP”, berikut ungkapan Ibu “T” selaku orang tua dari “SP”: “Dia tuh dari kecil udah sering sakit apalagi setelah tante dan ayahnya cerai. Sudah sering periksa ke Rumah Sakit yang terkenal di Jakarta katanya alergi, katanya kelenjar getah bening, sampai pernah disuruh operasi sama dokter. Macem- macemlah kata dokter.” 4 Dari penuturan ibu “T” menjelaskan bahwa sejak kecil “SP” memang sering menderita sakit walaupun kedua orang tuanya belum bercerai. Hanya saja setelah ayahnya bercerai ternyata “SP” semakin sering mengalami gangguan pada kesehatannya. Hal tersebut dijelaskan dengan adanya beberapa hasil test yang dikeluarkan oleh beberapa rumah sakit terkenal di Jakarta untuk mengetahui penyakit 4 Wawancara Pribadi dengan Ibu “T” selaku orang tua dari SP. Bekasi, 16 Mei 2015. yang diderita “SP”, namun semuanya belum bisa menunjukkan penyakit apa yang sebenarnya di derita oleh “SP”. Ternyata perceraian or ang tua memiliki dampak pada gangguan kesehatan “SP”. 3 Kondisi Kesehatan “AP” K ondisi kesehatan “AP” sangat berbeda dengan kedua kondisi informan diatas. “AP” yang orang tuanya telah bercerai pada usianya yang baru 40 hari. Sejak kecil “AP” memang jarang menderita sakit, seperti penuturan dari ibu “N” selaku orang tua dari “AP”: “Anak ini mah jarang sakit si, paling juga dia kalo sakit batuk pilek aja itu juga jarang banget, hampir enggak pernah ke dokter. Dia juga makannya banyak banget semenjak abis berenti nyusu botol. Kalo minta makan bisa dua jam sekali. Kalo engga diturutin nangis.” 5 Dari pernyataan ibu “N” diatas terlihat bahwa sejak kecil memang “AP” jarang menderita sakit. Sakit yang di derita hanyalah batuk pilek dan jarang pergi ke dokter. Se lain itu nafsu makan “AP” juga meningkat semenjak “AP” berhenti meminum susu formula. Jika “AP” meminta makan namun tidak diberikan oleh mamanya biasanya “AP” menangis. Dari penuturan ibu “N” diatas terlihat bahwa perceraian kedua orang tuaya tidak berdampak pada kondisi kesehatan “AP”. 5 Wawancara pribadi dengan ibu “N” selaku orang tua dari AP. Depok, 6 Mei 2015. 4 Kondisi Kesehatan “RP” Sebelum orang tuanya berpisah “RP” adalah anak yang sehat, ia jarang menderita sakit. Seperti penuturan dari ibu “W” selaku orang tua “RP”: “Dia itu engga ada gangguan kesehatan apa-apa sebelum saya pisah sama suami, tapi sejak saya pisah sama suami ya ada aja yang dirasain.” 6 Namun ketika orang tuanya bercerai “RP” mulai mengalami gangguan pada kesehatannya. Pasca percerain “RP” yang tinggal dengan ibunya harus merasakan sulitnya kehidupan. Bahkan dulu ibunya sempat bekerja sebagai penjaga warung makan dan ketika ada sisa makanan dari warung makan tersebut, barulah “RP” dan ibunya bisa makan. Sehingga ketika “RP” duduk di bangku kuliah ia menderita penyakit lambung karena jam makan yang tidak teratur karena ia harus bekerja menjadi asisten laboratorium di kampusnya. Dan karena ia sering talat makan dan memiliki aktivitas yang cukup tinggi akhirnya ia menderita penyakit typus. Kurang lebih satu tahun “RP” menderita penyakit typus dan harus beberapa kali dirawat di sebuah rumah sakit di Depok. Seperti penuturan dari “RP”, sebagai berikut: “Dulu waktu orang tua pisah gue jadi sering sakit. Dulukan gue hidupnya enak, nah sekarang gue harus hidup susah sama ibu, makan aja nunggu ada makanan sisa dari warung, soalnya dulu ibu kerja jadi penjaga warung nasi. Kan kerena dulu kalo makan nunggu makanan sisa jadi suka telat makan dan kena deh penyakit lambung. Udah gitu gue kan kerja jadi asisten laboratorium di kampus yang kerjanya 6 Wawancara pribadi dengan ibu “W” selaku orang tua dari RP. Depok, 9 Mei 2015. cape jadi kena typus hampir setahun sampe beberapa kali dirawat tapi engga sembuh- sembuh.” 7 Karena menderita typus yang cukup lama, akhirnya “RP” memutuskan untuk cuti kuliah selama 2 semester. Selain itu “RP” juga kerap kali memikirkan ayahnya yang tidak pernah menghubunginya lagi. Berikut penjelasan dari “RP”: “Gara-gara gue sakitnya lama, akhirnya gue ngambil cuti setahun. Soalnya kalo gue kuliah, gue takut kenapa-kenapa di jalan, takut pingsan soalnya bawaannya lemes banget. Udah gitu gue juga suka kepikiran sama bapak, dia engga pernah hubungin gue lagi semenjak pisah sama ibu.” 8 Dari penuturan ibu “W” ternyata sebelum adanya perceraian tidak ada gangguan kesehatan yang dirasakan oleh anak tunggalnya. Namun ketika kedua orang tua memutuskan untuk bercerai, gangguan kesehatan mulai dirasakan oleh “RP”. Ia jadi sering menderita sakit seperti typus yang dideritanya cukup lama hingga mengharuskan dirinya untuk mengambil cuti dari kuliahnya, hingga penyakit lambung dan rasa rind u yang dirasakan “RP” kepada ayahnya yang sekarang sudah tidak lagi menghubunginya. Dari temuan lapangan yang peneliti dapatkan, ternyata tiga dari empat anak yang orang tuanya bercerai memiliki gangguan pada kesehatan mereka, seperti yang diungkapkan ole h “RP” salah satu anak yang menjadi korban dari perceraian orang tuanya serta ketiga ibu sebagai wali dari anak tersebut yaitu ibu “U”, ibu “W” dan ibu “T”. 7 Wawancara Pri badi dengan “RP”. Depok, 16 Mei 2015. 8 Wawancara Pribadi dengan “RP”.

2. Kondisi Psikologis Anak

Selain berdampak pada kesehatan anak, ternyata perceraian orang tua juga berdampak pada psikologis anak. Faktor-faktor yang akan dibahas dalam aspek psikologis yaitu, perkembangan anak berdasarkan fase-fase perkembangannya, melihat bagaimana hubungan anak dengan lingkungan keluarga, status ekonomi orang tua, lingkunngan sekolah serta hubungan dengan teman sebaya.

a. Fase-fase Perkembangan Anak

1 Fase-fase perkembangan “IA” Ketika orang tuanya memutuskan untuk bercerai, saat itu “IA” masih dalam usia 1,5 tahun. Usia tersebut seharusnya seorang anak mendapatkan banyak pelajaran sepeti berkembangnya kebebasan pengungkapan diri yang akan melahirkan kepercayaan diri pada anak. seperti pengungkapan ibunya, “IA” selalu diberikan kebebasan dalam menentukan apa yang diinginkan. Ibu “U” hanya akan memberikan pilihan konsekuensi apa yang akan dirasakan ketika sudah memilih suatu pilihan. Dan ibu “U” tidak akan marah jika “IA” memilih pilihan yang tidak sejalan dengan apa yang dianjurkannya, berikut ungkapannya: “Gue selalu ngasih kebebasan sama dia. terserah mau ngapain, paling gue cuma ngasih tau baik buruknya aja. Kaya misalnya beli mainan nih, dia pengen warna merah, gue bilang dirumah udah ada yang merah, kamu belom punya warna kuning, dan kalo dia tetap minta warna merah, yaudah itu hak dia.” 9 9 Wawancara pribadi dengan ibu U. Dari pernyataan ibu “U” diatas terlihat bahwa ibu “U” sangat memberikan kebebasan kepada anaknya, namun ia hanya mengarahkan saja dan pada akhirnya pilihan tetap jatuh di tangan “IA” sendiri. Karena “IA” selalu dibiasakan untuk memilih apa yang menjadi pilihannya, hal tersebut berdampak pada kepercayaan diri “IA” yang tinggi. Seperti halnya ia tidak pernah merasa takut jika harus bertemu dengan orang yang baru dikenalnya, dan “IA” juga tidak malu untuk menjawab pertanyaan jika ditanya dengan orang lain. Terlihat dari hasil observasi yang peneliti lakukan: “Ketika peneliti berkunjung kerumahnya di daerah Ciganjur, “IA” tidak merasa takut dengan kedatangan peneliti. “IA” tetap enjoy dengan aktivitasnya. Bahkan “IA” mengajak peniliti untuk membeli makanan yang ada di seberang jalan. Selain itu ketika peneliti sedang berbincang- bincang dengan mamanya, “IA” sangatlah aktif. Ia berlari- lari melewati pintu depan menuju pintu samping dan sesekali “IA” menaiki ayunan yang berada di ruang tamu sambil berkata “aku robot”. 10 Dari informasi diatas terlihat bahwa perceraian orang tuanya tidak mempengaruhi fase dalam perkembangan psikologis “IA”. “IA” tetap tumbuh layaknya anak yang tumbuh ditengah-tengah keluarga yang utuh, meskipun sebenarnya “IA” dibesarkan dalam keluarga yang bercerai. 2 Fase Perkembangan “SP” K etika orang tuanya bercerai “SP” masih berusia 6 tahun. Ia masih berada di bangku sekolah dasar tepatnya berada di kelas 1. Pada usia ini seorang anak akan memiliki kemampuan untuk 10 Hasil observasi pribadi. Jakarta 7 Mei 2015. berhubungan dengan teman sebaya atau peer group . “SP” yang harus menerima kenyataan bahwa orang tuanya telah berpisah, ternyata memiliki masalah dalam berhubungan dengan temannya. “SP” menjelaskan bahwa ia hanya akan bermain dengan teman yang sudah ia dan mamanya kenal saja, sehingga “SP” tidak terlalu memiliki banyak teman: “Gue suka susah gitu kalo kenal sama orang baru. Engga tau kenapa ya kayanya tuh emang engga gampang buat deket sama orang baru. Gue kalo udah nyaman sama orang yaudah males buat kenal sama orang baru, mau itu pacar, mau temen sekolah. Jadi tuh dari jaman sekolah dulu harus ada barengannya yang emang udah kenal deket. Kaya kuliah nih ya, harus ada temen sekolah dari Jambi yang kuliah disini juga. Karena enggak gampang buat gue untuk kenal dan percaya sama orang baru. Makanya temen gue engga terlalu banyak.” 11 Hal senada juga diungkapkan oleh sahabat “SP” yang menyatakan bahwa “SP” memang tidak terlalu suka berhubungan dengan orang yang baru dikenal: “Sebenernya dia orangnya rame kalo udah kenal deket, tapi kalo sama orang baru ya agak susah juga deketnya, dia enggak gampang percayaan sama orang, apalagi orang yang baru dikenal. Butuh waktu lama buat kenal lebih deket lagi.” 12 Dari pernyataan diatas terlihat bahwa perceraian orang tua mempengaruhi fase pada perkembangan “SP”. “SP” tumbuh menjadi anak yang memiliki kesulitan ketika harus berinteraksi dengan orang yang baru dikenalnya dan menyebabkan “SP” yang merasa cukup meskipun tidak memiliki banyak teman. 11 Wawancara pribadi dengan “SP”. 12 Wawancara pribadi dengan sahabat “SP”. Tangerang, 11 Mei 2015.