Jenis-Jenis Pola Asuh KAJIAN TEORI

aspek lain kehidupan orang tua lebih penting dari pada diri mereka. Anak-anak ini cenderung tidak memiliki kemampuan sosial dan banyak diantaranya memiliki kemampuan pengendalian diri yang buruk.

d. Pengasuhan Yang Menuruti

Indulgent Parenting Suatu pola dimana orang tua sangat terlibat penuh dengan anak tetapi tidak menaruh banyak tuntutan dan kontrol yang ketat pada mereka. Hasilnya, anak tidak pernah belajar mengendalikan perilakunya sendiri dan selalu berharap mendapatkan keinginannya. Anak yang memiliki orang tua yang selalu menurutinya jarang belajar menghormati orang lain dan mengalami kesulitan untuk mengendalikan perilakunya. Mereka mungkin mendominasi, egosentris, tidak menuruti aturan, dan kesulitan dalam hubungan dan teman sebaya. Dalam mengasuh anak, orangtua hendaknya bersikap arif dan bijaksana, tidak ekstrim terhadap salah satu pola asuh yang ada, dalam arti mampu memberi pengasuhan sesuai dengan apa yang sedang dilakukan anak dan apa harapan orangtua. Dengan demikian pengasuhan yang diberikan oleh orangtua lebih mengutamakan kasih sayang, kebersamaan, musyawarah, saling pengertian dan penuh keterbukaan. Jika anak-anak dibesarkan dan diasuh dengan pola asuh yang demokratis, niscaya dapat tumbuh dan berkembang dengan baik. Seluruh potensi yang dimiliki anak dapat dikembangkan secara optimal. Dengan demikian pada gilirannya nanti anak-anak yang sehat, cerdas, ceria dan berakhlak mulia dapat terwujud. Dampak positif yang akan muncul adalah terwujudnya suatu tatanan masyarakat yang baik, saling menghargai, saling menghormati, saling menyayangi, saling mengasihi, masyarakat yang terbuka, berpikiran positif, jujur, dan mempunyai toleransi yang baik.

B. Kelekatan Attachment

Kelekatan yang aman pada orang tua dalam masa remaja bisa membantu kompetensi sosial dan kesejahteraan anak yang tercermin dalam harga diri, penyesuaian emosional, dan kesehatan fisik. Anak yang lekat secara aman memiliki kemungkinan yang lebih rendah untuk melakukan perilaku bermasalah. 12

C. Hukuman

Selama berabad-abad, hukuman fisik seperti memukul dianggap sebagai metode yang perlu dan bahkan disarankan untuk mendisiplinkan anak. Penelitian terbaru menyimpulkan bahwa hukuman fisik oleh orang tua berasosiasi dengan tingkat ketaatan dan agresi cepat yang lebih tingi oleh anak-anak. Selain itu hukuman fisik berhubungan dengan tingkat internalisasi moral dan kesehatan mental yang lebih rendah. 13 Berikut adalah alasan mengapa orang tua tidak dibenarkan memberikan hukuman fisik ataupun hukuman serupa, yaitu: 14 1. Ketika orang tua menghukum anak dengan berteriak, menjerit atau sebagainya, mereka menunjukkan kepada anak model lepas kendali ketika menghadapi situasi yang menekan. Anak-anak mungkin akan meniru perilaku agresif dan lepas kendali ini. 12 John W. Santrock, Perkembangan Anak, h. 177. 13 Santrock, Perkembangan Anak, h. 169. 14 Ibid, h. 170 2. Hukuman bisa menanamkan rasa takut, kemarahan, dan penghindaran. Pemukulan terhadap anak bisa menyebabkan anak takut dengan orang tua dan pada akhirnya memilih untuk menghindari orang tua. 3. Hukuman memberi tahu anak apa yang tidak boleh dilakukan, tetapi anak seharusnya diberikan umpan balik. 4. Hukuman bisa bersifat menyiksa. Ketika orang tua mendisiplinkan anak mereka, mereka mungkin tidak bermaksud menyiksa. Namun mereka menjadi begitu terpancing ketika menghukum anak tersebut sehingga menjadi bersifat menyiksa. Kebanyakan psikolog anak merekomendasikan orang tua agar mengajak anak berpikir logis, khususnya menjelaskan akibat tindakan anak terhadap orag lain, sebagai cara terbaik untuk menangani perilaku anak yang salah.

D. Perlakuan Salah Terhadap Anak

Penting untuk diketahui bahwa kekerasan terhadap anak adalah kondisi yang beragam, bahwa keparahan kekerasan itu biasanya mulai dari ringan ke sedang, dan bahwa kekerasan terhadap anak hanya disebabkan oleh karakteristik kepribadian orang tua. Berikut akan dijelaskan tipe perlakuan yang salah terhadap anak menurut National Clearinghouse on Child Abuse and Neglect: 15 1. Kekerasan fisik, dicirikan oleh terjadinya cidera fisik karena penonjokan, pemukulan, penendangan, penggigitan, pembakaran atau pembahayaan anak. 15 Santrock, Perkembangan Anak, h. 172. 2. Penelantaran anak, dicirikan oleh kegagalan dalam memenuhi kebutuhan dasar anak. Penelantaran bisa berupa penelantaran fisik, meliputi peninggalan, pengusiran dari rumah, pengawasan yang kurang memadai dan penundaan dalam mencari perawatan kesehatan. Penelantaran pendidikan, meliputi membiarkan anak bolos sekolah yang parah, tidak mendaftarkan anak usia sekolah ke sekolah, dan tiadak memenuhi kebutuhan pendidikan khusus anak, dan penelantaran emosional meliputi, tidak adanya perhatian terhadap kebutuhan anak akan kasih sayang, penolakan atau ketidakmampuan untuk memberikan kepedulian psikologis yang perlu, penyiksaan pasangan di depan anak, dan pembiaran penggunaan alkohol dan obat-obatan oleh anak. 3. Kekerasan seksual meliputi mempermainkan alat kelamin anak, hubungan seksual, pemerkosaan, sodomi, eksploitasi komersial melalui pelacuran atau produksi materi pornografi. 4. Kekerasan emosional meliputi tindakan pengabaian orang tua atau pengasuh yang menyebabkan atau bisa mengakibatkan pada masalah behavioral, kognitif atau emosional yang serius. Walaupun bentuk-bentuk perlakuan salah terhadap anak diatas bisa ditemukan secara terpisah, namun bentuk-bentuk tersebut sering juga terjadi dalam kombinasi. Kekerasan emosional hampir selalu ada ketika bentuk kekerasan lain terjadi.

E. Akibat Kekerasan pada Perkembangan Anak

Akibat perlakuan salah terhadap anak pada perkembangannya antara lain adalah pengendalian emosi yang buruk, masalah keterikatan,