Dengan status ekonomi orang tua “SP” yang tinggi, maka “SP” dengan mudah mendapatkan apa yang dia butuhkan seperti
pemberian mobil dan gedget yang diberikan oleh mamanya. Namun hal tersebut jika tidak disikapi dengan positif akan
membawa “SP” pada gaya hidup hedonisme.
3 Status Ekonomi orang tua “AP”
Meskipun “AP”terlahir dari orang tua dengan status ekonomi yang rendah, namun hingga saat ini “AP” masih bisa
mengembangkan dirinya karena “AP” adalah anak tunggal. Otomatis semua pendapatan orang tua selain untukbiaya hidup,
juga diperuntukkan bagi “AP”. Seperti penuturan dari ibu “N”: “Untuk sekarang si semuanya cukup. Namanya baru
punya anak satu jadi ya semuanya pasti buat dia, misalnya beli ipad buat dia belajar dirumah. Tapi enggak tau deh
gimana nanti kalo dia punya ade lagi.”
28
Untuk saat ini, segala keperluan dan kebutuhan “AP” masih dapat terpenuhi oleh mamanya, karena “AP” yang tidak
memiliki saudara. Namun orang tuanya sendiri meragukan jika kelak “AP” memiliki adik, apakah segala kebutuhan “AP” masih
bisa dipenuhi atau tidak.
4 Status Ekonomi orang tua “RP”
“RP” yang terlahir sebagai anak tunggal memang selalu menjadi prioritas bagi kedua orang tuanya. Namun semenjak
ayahnya mengalami kebangkrutan, status ekonomi kedua orang
28
Wawancara pribadi dengan ibu “N”.
tuanya pun berubah. “RP” yang biasa hidup dengan segala sesuatu yang berkecukupan, kini ia harus hidup dengan seadanya. Seperti
yang diungkapkan oleh “RP”: “Dulukan gue termasuk orang yang ada, tapi gara-gara
bokap bangkrut akhirnya ya kita hidup seadanya aja.”
29
Namun, “RP” dan ibunya kembali menata perekonomian yang sempat terjatuh agar kehidupan mereka kembali menjadi lebih
baik lagi. Seperti yang diungkapkan ibu “W”, saat itu ia pernah bekerja menjadi seorang pelayan di warteg karena tidak
mengetahui harus bekerja apa. Namun saat itu ia ditawarkan bekerja menjadi guru bahasa Inggris di sebuah sekolah di kawasan
Depok: “Dulu sebelum jadi guru, ibu pernah kerja jadi pelayan di
warteg. Ya lumayan ajalah sekalian buat makan sehari- hari, soalnya kalo ada makanan sisa boleh dibawa pulang.
Tapi waktu itu ibu ditawarin buat ngajar di sekolah sama temen, yaudah akhirnya ibu coba dan alhamdulillah
keterima jadi guru bahasa Inggris.”
30
Berdasarkan informasi diatas, dapat disimpulkan bahwa status ekonomi sangatlah mempengaruhi perkembangan pada anak. Orang tua yang
memiliki status ekonomi yang tinggi akan mempermudah sang anak untuk mengembangkan dirinya seperti pada pendidikan dan kebutuhan sehari-hari
yang memang membutuhkan biaya yang cukup besar.
29
Wawancara pribadi dengan “RP”.
30
Wawancara pribadi dengan ibu “W”.
3. Kondisi Sosial Anak a. Budaya
Dalam aspek budaya ini, akan terlihat bagaimana pola-pola kebiasaan yang diterapkan oleh orang tua sehingga akan berdampak pada nilai-nilai
yang diyakini oleh sang anak.
1 Budaya Keluarga “IA”
“IA” yang selalu diajarkan untuk hidup mandiri, ternyata membuat dirinya terbiasa untuk melakukannya sendiri. Ibu “U” memang sejak
kecil menanmkan kemandirian dan berani pada diri “IA” agar kelak, ”IA” tidak bergantung dengan orang lain. seperti penuturan dari ibu “U”
sebagai berikut: “Dia tuh selalu gue ajarin untuk mandiri. Biar dia engga
bergantung sama orang lain. dia juga harus berani engga boleh takut sama orang baru.”
31
Hal tersebut terlihat ketika peneliti mengunjungi rumah “IA”. Saat itu
“IA” yang baru pertama kali bertemu dengan peneliti tidak merasa takut ataupun malu dengan orang yang baru dikenalnya. Justru “IA” malah
menghampiri peneliti dan mengajak bersalaman serta mengajak membeli makanan diluar, seperti hasil observasi yang peneliti dapatkan:
“Saat itu peneliti yang baru tiba dirumah “IA”, melihat “IA” yang sedang duduk di sebuah ayunan di dalam
rumah. Setelah peneliti bertemu dengan ibu “U”, “IA”
juga ikut menghampiri peneliti dan bersalaman dan sambil menunjuk kearah luar untuk mengajak peneliti membeli
makanan di luar.”
32
31
Wawancara pribadi dengan ibu “U”.
32
Hasil observasi pribadi.
Dari kebiasaan yang diterapkan oleh ibu “U”, ternyata berdampak pada sikap “IA” yang mandiri dan tidak takut dengan orang yang baru
dikenalnya.
2 Budaya Keluarga “SP”
“SP” yang memiliki masalah dengan hubungan dengan orang yang baru ia kenal ternyata dipengaruhi oleh budaya yang diterapkan oleh
mamanya. Sejak kecil “IA” dibiasakan untuk selalu bermain dengan orang yang sudah dianggapnya dekat saja. Seperti apa yang diungkapnya sebagai
berikut: “Temen gue mah dikit. Gue kan emang susah ya kalo
deket sama orang baru. Soalnya gue kan dari kecil dibiasain maen sama orang yang itu-itu aja. Sama orang
yang udah dikenal mama.”
33
Karena “SP” dibiasakan untuk selalu bermain dengan orang yang itu- itu saja, maka berdampak pada sifat “SP” yang sulit untuk menjalin relasi
dengan orang yang baru dikenalnya.
3 Budaya Keluarga “AP”
“AP” yang banyak mengahabiskan waktunya dirumah dengan mamanya, ternyata membuat dirinya menutup diri dengan lingkungan luar.
“AP” tidak suka jika terlalu lama berada diluar rumah, ia ingin selalu berada dirumah. Seperti penuturan dari ibu “N” sebagai berikut:
“Kalo untuk pergi-pergi keluar rumah si jarang ya, soalnya saya males kalo pergi-pergi gitu. Emang kebanyakan
dirumah aja. Lagian nih sekalinya diajak pergi, anaknya
minta pulang mulu. Dia lebih seneng dirumah.”
34
33
Wawancara pribadi dengan “RP”.
34
Wawancara pribadi den gan ibu “N”.
Dari kebiasaan “AP” yang jarang diajak untuk berinteraksi dengan lingkungan luar, ternyata hal tersebut berpengaruh pada kehidupan “AP”
yang tidak menyukai jika berada diluar rumah sehingga membuat “AP” menjadi pribadi yang terutup dan menarik diri dari lingkungannya.
4 Budaya Keluarga “RP”
“RP” yang berasal dari daerah Jawa sangat menjunjung tinggi nilai adat dan istiadat di dalam keluarganya. Seperti “RP” yang selalu diajarkan
untuk bertutur kata yang halus dan menjaga sopan santun. Seperti pernyataan dari “RP”:
“Gue kan dari Jawa ya, jadi tuh bener-bener nerapin nilai- nilai adat sehari-hari. kaya gue yang selalu diajarin untuk
ngomong halus sama ibu. Jadi kalo temen gue ngomong kasar atau apa ya gue engga suka. Gue pasti bakalan negor
temen gue soalnya kaya gitu tuh enggak
sopan.”
35
Dari kebiasaan yang selalu diajarkan untuk bertutur kata yang halus, membuat “RP” menilai orang lain dari segi tutur katanya. Untuk “RP” jika
ada seseorang yang berbicara kasar maka hal tersebut merupakan hal yang tidak sopan. Seperti ungkapan dari teman dekat wanitanya sebagai berikut:
“Dia mah kadang nih ngomong elu, gue aja tuh kasar. Jadi kalo mau ngomong sama dia ya harus aku kamu, harus
alus. Orang waktu dia ketemu temen gue aja kan dia ngomong elu, gue, terus dia langsung bilang, ih temen
kamu tuh kasar banget deh engga sopan.”
36
Dari budaya yang diajarkan kepada “RP” ternyata membuat ”RP”
memiliki penilaian tersendiri terhadap orang, salah satunya menilai melalui tutur katanya saat berbicara.
35
Wawancara pribadi dengan “RP”.
36
Wawancara pribadi dengan teman dekat “RP”. Tangerang, 15 Mei 2015.