Proses Hirarki Analitik Jaringan Syaraf Tiruan

27 Backpropagation Keterbatasan JST dengan satu layer telah menyebabkan berkurangnya minat para ahli dalam pengembangan JST pada tahun 1970-an. Namun, ditemukannya metode training JST multilayer telah membangkitkan kembali upaya untuk pengembangan aplikasi JST dalam berbagai persoalan Fausset, 1994. Metode training ini dikenal sebagai back propagation atau the generalized delta rule . Pada dasarnya, metode ini berupaya meminimumkan error dari output yang dihitung oleh JST. Training JST dengan backpropagation terdiri dari tiga tahap yaitu: 1 feedforward data input, 2 perhitungan error dan menariknya kembali ke belakang dan 3 penyesuaian bobot dalam jaringan. Setelah training, penggunaan JST hanya terdiri dari fase komputasi feedforward. Dalam periode selanjutnya, telah dikembangkan berbagai macam variasi dari backpropagation untuk memperbaiki kecepatan proses training. Algoritma dan langkah-langkah dalam backpropagation untuk JST seperti Gambar 10 dikemukakan oleh Fausset 1994 sebagai berikut: Gambar 10. Jaringan Syaraf Tiruan dengan Satu Lapisan Tersembunyi dan Bias Sumber: Fausset 1994 28 Langkah 0. Inisialisasi bobot. Masing-masing bobot diset ke nilai sembarang yang kecil. Langkah 1 . Jika kondisi untuk mengakhiri backpropagation belum terpenuhi, dilakukan Step 2-9. Langkah 2. Untuk tiap pasangan data training, dilakukan Langkah 3-8. Feedforward: Langkah 3. Tiap unit input X i , i = 1, ..., n akan menerima sinyal input x i dan menyalurkannya ke semua unit pada layer di atasnya lapisan tersembunyi. Langkah 4. Tiap-tiap node dalam lapisan tersembunyi Z j , j = 1, ..., p menerima jumlah terbobot dari sinyal input, n i ij i j v x in z 1 , _ Selanjutnya, dengan fungsi aktivasi dihitung sinyal output, z j = fz_in j , dan mengirimnya ke semua node pada layer di atasnya node output. Langkah 5. Tiap-tiap node output Y k , k = 1, …, m merupakan jumlah terbobot masing-masing sinyal input, k j jk j k w z in y 1 _ Selanjutnya, dengan fungsi aktivasi dihitung sinyal output, y k = fy_in k . Backpropagation dari kesalahan : Langkah 6. Tiap-tiap node output Y k , k = 1, ..., m akan menerima pola target yang berhubungan dengan pola input training, dan dihitung deviasinya, δ k = t k -y k fy_in k , dihitung koreksi bobotnya untuk digunakan untuk memperbaiki w jk selanjutnya, Δw jk = α δ k z j , 29 serta dihitung koreksi bias yang digunakan untuk memperbaiki w 0k selanjutnya, Δw 0k = α δ k dan mengirim δ k kepada node-node pada layer di bawahnya. Langkah 7. Setiap node pada lapisan tersembunyi Z j , j = 1, ...,p menjumlahkan delta input masing-masing dari node-node pada layer di atasnya, m k jk k j w in 1 , _ selanjutnya mengalikannya dengan turunan dari fungsi aktivasinya untuk menghitung informasi penyimpangan, , _ _ j j j in z f in dan menghitung koreksi terbobotnya yang digunakan untuk memperbaiki v ij selanjutnya Δv ij = α δ j x i , serta menghitung koreksi bias yang akan digunakan untuk memperbaiki v 0j selanjutnya, Δv 0j = α δ j . Perbaikan bobot dan bias: Langkah 8. Tiap-tiap node output Y k , k = 1, ..., m memperbaiki bias dan bobotnya j = 0, ..., p: w jk new = w jk old + Δw jk . Masing-masing node dalam lapisan tersembunyi Z j , j = 1, ..., p mengupdate bias dan bobotnya i = 0, ..., n: v ij new = v ij old + Δv ij Langkah 9. Uji kondisi untuk mengakhiri proses ini. Secara ringkas, algoritma backpropagation disajikan pada Gambar 11. 30 Gambar 11. Algoritma Backpropagation untuk Perbaikan Bobot dalam Jaringan Syaraf Tiruan Diringkas dari Fausset, 1994 Langkah 0 Langkah 1 Langkah 4 Langkah 5 Langkah 6 Langkah 7 Langkah 8 Langkah 3 INISIALISASI t-y STOP MULAI n i ij i j v x in z 1 , _ z j = fz_in j k j jk j k w z in y 1 _ y k = fy_in k . δ k = t k -y k fy_in k Δw jk = α δ k z j Δw 0k = α δ k m k jk k j w in 1 , _ , _ _ j j j in z f in Δv ij = α δ j x i Δv 0j = α δ j w jk new = w jk old + Δw jk v ij new = v ij old + Δv ij Penerimaan + Pemancaran Sinyal Input 31

2.11 Beberapa Penelitian Terdahulu

Tinambunan 2008 melakukan penelitian tentang pendapatan usaha tani dan pemasaran gambir di Kabupaten Pakpak Bharat pada tahun 2007. Dari penelitian tersebut didapatkan bahwa pendapatan bersih petani apabila menjual output dalam bentuk daun dan ranting muda per hektar per tahun adalah sebesar Rp. 11.476.200,00 sementara apabila menjual output dalam bentuk getah basah bubur dan getah kering masing-masing adalah sebesar Rp. 14.073.200,00 dan Rp. 15.129.200,00. Pemasaran untuk output getah basah maupun getah kering masih cukup efisien yang ditunjukkan oleh marjin harga yang diterima petani cukup tinggi yaitu 100 untuk daun dan ranting muda, 75 persen untuk getah kering dan 90,57 persen untuk getah basah. Besarnya marjin pemasaran antara lembaga-lembaga pemasaran pada masing-masing output cukup seimbang 6-19 persen dan keuntungan dari lembaga pemasaran pada masing-masing output berkisar antara 5,63 persen sampai 14 persen. Rivai 2003 melakukan penelitian mengenai analisis finansial usaha tani dan pengolahan gambir di Kecamatan Babat Toman, Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan. Dalam penelitian tersebut dilakukan survey terhadap 28 petani dari 100 petani yang tersedia. Dari penelitian tersebut diketahui rasio pendapatan dan biaya pengusahaan gambir adalah 2.52 dengan rata-rata keuntungan petani sebesar Rp. 1,439,600 per hektar per tiga bulan. Selanjutnya, untuk pengembangan lebih lanjut Rivai 2003 menyarankan penumbuhan perkebunan gambir dengan bimbingan pemerintah Kabupaten Musi Banyasin. Penelitian Yuhono 2004 di Kecamatan Pangkalan Kotobaru, Kabupaten 50 Kota pada tahun 2003 menunjukkan bahwa usaha tani gambir, teknik budidaya dan pengolahan yang masih bersifat tradisional, merupakan salah satu penyebab rendahnya mutu, rendemen dan pendapatan petani. Pendapatan atas biaya total yang diperoleh sebesar Rp. 4.840.625,- per hekter per tahun, sedang pendapatan atas biaya tunai sebesar Rp. 6.238.125,- per hektar per tahun. Pemasaran yang terjadi masih cukup efisien, ditunjukkan oleh marjin harga yang diterima petani cukup tinggi 67 persen, besarnya marjin pemasaran antara lembaga-lembaga pemasaran seimbang 12,49 - 20,88 persen, dan keuntungan dari lembaga pemasaran berkisar antara 10 – 20 persen. 32 Pambayun et al. 2007 melakukan ekstraksi produk gambir dengan berbagai jenis pelarut menghasilkan jumlah bahan terekstrak, kandungan fenol, dan sifat antibakteri yang bervariasi. Hasil ekstraksi menunjukkan bahwa pada metoda maserasi dan Soxhlet, bahan terekstrak paling tinggi diperoleh pada campuran etanol air 1:1, masing-masing sebesar 84,77 dan 87,69 persen. Kandungan fenol tertinggi ditemukan pada bahan terekstrak dari ekstraksi dengan pelarut etil asetat, yakni 88,30 dan 90,85 persen. Dalam hal IKM dan klasternya, penelitian Kuncoro dan Supomo 2003 tentang pola klaster dan orientasi pasar di sentra industri keramik Kasongan, DI Yogyakarta, menunjukkan bahwa variabel aktifitas berpromosi, teknologi, jumlah tenaga kerja dan umur perusahaan sangat berpengaruh dalam menentukan orientasi pasar industri keramik Kasongan. Semakin aktif pengusaha berpromosi maka semakin besar probabilitasnya berorientasi pasar ke luar negeri. Semakin modern penerapan teknologi pembakaran keramik, semakin besar kemungkinan pengusaha untuk berorientasi pasar luar negeri. Semakin tua usia perusahaan, semakin tinggi pula probabilitas perusahaan untuk berorientasi ke luar negeri. Dari hasil formasi keterkaitanpola sentra industri keramik Kasongan, maka dapat disimpulkan bahwa pada umumnya industri keramik di Kasongan menjalin kerjasama baik dengan pihak-pihak di dalam klaster maupun di luar klaster. Heatub un 2008 mengkaji peranan usaha kecil dan menengah dalam pertumbuhan ekonomi dan ekspor, sedangkan Djaimi 2006 melakukan penelitian tentang peranan, perilaku dan kinerja industri kecil dan menengah dalam perekonomian Indonesia. Dalam penelitian tersebut, Heatubun 2008 maupun Djaimi 2006 menggunakan metode statistika untuk mengevaluasi hubungan antar variabel yang berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi dan ekspor Indonesia. Oktavina 2008 melakukan rancang bangun model manajemen strategi evaluasi kinerja usaha mikro dan kecil makanan ringan di Provinsi Lampung. Untuk pengukuran kinerja usaha mikro dan kecil, Oktavina 2008 menggunakan Teknik Ordered Weighted Averaging OWA Operators dan Balanced Scorecard . Selanjutnya, untuk pemilihan alternatif dan pengembangan strategi peningkatan kinerja ia menggunakan Teknik Proses Hirarki Analitik Fuzzy 33 Fuzzy Analitycal Hierarchy Process serta Teknik Penyebaran Fungsi Kualitas Quality Function Deployment. Partiwi 2007 melakukan rancang bangun model pengukuran kinerja klaster agroindustri hasil laut khususnya teri nasi untuk wilayah Jawa Timur. Dalam rancang bangun tersebut digunakan model pengukuran kinerja komprehensif menggunakan model Scoring Board dengan berbasis model SMART-2, OMAX dan Balanced Scorecard. Selanjutnya, Partiwi 2007 mengembangkan model pengukuran kinerja tersebut dalam bentuk Sistem Penunjang Keputusan SPK untuk manajemen kinerja pada sistem klaster agroindustri hasil laut Kusnandar 2006 merancang model pengembangan industri kecil jamu dengan menggunakan Sistem Manajemen Ahli. Penelitian tersebut dilakukan di Kabupaten Sukoharjo yang melibatkan 56 industri kecil jamu yang terdaftar secara formal di samping industri kecil jamu lain yang tidak terdaftar secara formal. Dalam penelitian tersebut dilakukan kajian mengenai aspek pengadaan bahan baku, pemasaran, pembiayaan dan kelembagaan untuk pengembangan industri kecil jamu. Yudoko dan Mulyati 2003 melakukan penelitian karakteristik industri penyamakan kulit di Kabupaten Garut menggunakan pendekatan klaster. Dalam penelitian ini, pelaku dalam klaster industri kulit terdiri dari industri penyamak kulit skala kecil, industri penyamak kulit skala menengah dan pemasok bahan- bahan kimia. Dari penelitian ini didapatkan bahwa keterkaitan industri penyamak kulit dengan sektor peternakan, lembaga penelitian, institusi pendidikan dan lembaga keuangan sangat lemah. Tarigan 2008 melakukan penelitian pengembangan agroindustri sutra alam di Kabupaten Wajo melalui pendekatan klaster. Dalam klaster sutra alam tersebut, industri pertenunan merupakan industri inti yang bertujuan untuk meningkatkan pemasaran, meningkatkan kualitas, produktivitas dan efisiensi serta mengembangkan desain. Kendala yang dihadapi industri inti meliputi keterbatasan teknologi, rendahnya kualitas bahan baku serta keterbatasan modal usaha. Permasalahan tersebut perlu diselesaikan terlebih dahulu melalui