Implikasi Kebijakan Pengembangan agroindustri Gambir di kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat

6 SIMPULAN DAN SARAN

6.1 Simpulan

Dari penelitian ini dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Dibandingkan dengan India, Malaysia, Singapura dan Republik Rakyat Cina, dalam bisnis gambir global, Indonesia memiliki keunggulan dalam kemampuan penyediaan bahan baku baik karena ketersediaan lahan yang sesuai untuk perkebunan gambir maupun karena kemampuan masyarakat dalam budidaya dan pengolahan gambir asalan selama ini. Sebaliknya, Indonesia lemah dalam pemasaran internasional, penguasaan teknologi serta diversifikasi produk dari gambir. 2. Permasalahan dalam agroindustri gambir di Kabupaten Lima Puluh Kota adalah keterbatasan teknologi, mutu produk gambir asalan yang rendah dan sangat beragam, ketergantungan yang tinggi terhadap pasar India, kelemahan dalam pengembangan pasar, kurangnya diversifikasi produk, terbatasnya kualitas sumberdaya manusia, lemahnya akses pemodalan, terbatasnya akses informasi oleh para UMK Gambir maupun pedagang pengumpul di sentra-sentra produksi gambir di Kabupaten Lima Puluh Kota. Semua permasalahan tersebut terjadi karena lemahnya kelembagaan dalam bisnis gambir. 3. Langkah awal yang harus dilakukan untuk pengembangan agroindustri gambir pada masa yang akan datang adalah pendirian industri katekin dan tanin yang didukung perbaikan kelembagaan melalui pembentukan klaster agroindustri gambir untuk melaksanakan pengembangan pemasaran domestik maupun ekspor, perbaikan teknologi, pengembangan produk, peningkatan kualitas sumberdaya manusia maupun penanganan masalah pemodalan. 4. Pada tahap awal pengembangan, industri pengolah Katekin dan Tanin perlu didirikan di beberapa nagari yang dimulai dari daerah Kecamatan Kapur IX, Kecamatan Pangkalan dan Kecamatan Bukit Barisan. Di samping itu, dikembangkan penggunaan unit pengolahan gambir bergerak pada daerah-daerah 144 yang cukup jauh dari lokasi Pabrik Katekin dan Tanin tersebut, namun memiliki potensi gambir yang besar dan terkonsentrasi pada daerah yang berdekatan. Sejalan dengan pertumbuhan pasar katekin dan tanin, dapat dilakukan pengembangan industri katekin dan tanin di daerah lain sehingga secara bertahap, ekspor yang hingga saat ini masih dalam bentuk gambir asalan dialihkan ke dalam bentuk produk hilir. Peningkatan kaasitas produksi katekin dan tanin dilakukan dengan menambah unit pengolahan di sentra-sentra produksi gambir untuk mendekati sumber bahan baku. 5. Hasil analisis mengenai rantai pasok gambir menunjukkan bahwa pendirian industri katekin dan tanin di tingkat nagari maupun penggunaan unit pengolahan gambir bergerak akan menghemat biaya transportasi. Besarnya penghematan biaya transportasi tersebut berhubungan dengan jumlah ekspor gambir asalan yang dapat dikonversi menjadi ekspor dalam bentuk katekin dan tanin. Pada tingkat konversi ekspor menjadi bentuk katekin dan tanin sebesar 10 dari total ekspor gambir asalan pada tahun 2009, maka penghematan biaya transportasi per tahun mencapai 365.8 milyar rupiah untuk pabrik tetap dan 631.14 milyar rupiah untuk unit pengolahan gambir bergerak dibandingkan dengan biaya transportasi dengan rantai pasok saat ini. 6. Hasil analisis finansial menunjukkan bahwa pendirian industri katekin dan tanin dalam bentuk pabrik tetap dengan kapasitas 10.5 ton gambir asalan 1.575 ton katekin dan 1.575 ton tanin per tahun maupun lima unit pengolahan gambir bergerak dengan kapasitas produksi yang sama dan ditangani satu pengelola layak didirikan. Dari analisis dengan menggunakan nilai emas diketahui bahwa pabrik tetap memberikan NPV sebesar 135.99 oz emas, BC rasio 1.16 dan payback period 6.58 tahun, sedang penggunaan lima unit pengolahan gambir bergerak memiliki NPV sebesar 527.14 oz emas, BC rasio 1.39 dan payback period 2.73 tahun. Hasil analisis finansial dengan pendekatan time value of money dalam US Dollar menunjukkan bahwa pendirian industri katekin dan tanin dalam bentuk pabrik tetap memiliki NPV sebesar US80,944.68, IRR 11.29, BC rasio 1.14 dan payback period 6.58 tahun sedang penggunaan lima unit pengolahan gambir 145 bergerak memiliki NPV sebesar US 505,786.56, IRR 34.97, BC rasio 1.37 dan payback period 2.75 tahun. 7. Hasil analisis nilai tambah menunjukkan perkiraan manfaat manfaat finansial yang dapat diperoleh masyarakat baik sebagai tenaga kerja maupun bagian keuntungan dari industri katekin dan tanin yang sebagian kepemilikannya oleh masyarakat. Pada poporsi konversi ekspor dalam bentuk gambir asalan ke bentuk katekin dan tanin antara 1 hingga 10 dari total ekspor dalam bentuk gambir asalan, maka bagian dari nilai tambah untuk tenaga kerja adalah sebesar 0.9 - 9 milyar rupiah per tahun. Selanjutnya, pada proporsi kepemilikan UMK Gambir dalam unit pengolahan katekin dan tanin 1 hingga 10, maka bagian dari nilai tambah untuk UMK Gambir adalah sebesar 9 - 90 milyar rupiah per tahun.

6.2 Saran

Beberapa hal yang dapat disarankan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Perlu dilakukan pengkajian multiplier effect dari pengembangan agroindustri gambir khususnya pendirian industri katekin dan tanin di Kabupaten Lima Puluh Kota. Untuk kajian ini dapat digunakan pendekatan spatial dalam pengembangan agroindustri dalam suatu wilayah. 2. Sejalan dengan berkembangnya klaster agroindustri gambir, penelitian dan pengembangan teknologi proses serta pengembangan produk antara maupun produk akhir dari gambir perlu terus dilakukan karena dalam jangka panjang kekuatan bisnis di pasar global sangat ditentukan oleh adanya inovasi berkelanjutan. 3. Perlu disiapkan model sistem manajemen ahli untuk penyusunan rencana pengembangan agroindustri gambir yang diawali dengan analisis situasi agroindustri gambir di Kabupaten Lima Puluh Kota hingga perumusan alternatif pengembangan dan formulasi serta perkiraan manfaat strategi pengembangan yang ditempuh. Untuk analisis situasi, model tersebut mencakup evaluasi teknologi, analisis mutu produk, analisis pemasaran, analisis SWOT, identifikasi permasalahan serta potensi dan kebutuhan pengembangan. Dari model yang