16
Tabel 3. Jumlah Penduduk, Jumlah Keluarga dan Jumlah Keluarga Petani Gambir
di Kabupaten Lima Puluh Kota No
Kecamatan Jumlah
Penduduk Jiwa
Jumlah Keluarga
KK Jumlah Keluarga
Petani Gambir KK
1 Kapur IX
26,300 6,128
3,497 2
Pangkalan Koto Baru 27,665
6,536 1,312
3 Suliki
14,098 4,012
192 4
Guguak 33,383
8,668 28
5 Lareh Sago Halaban
32,805 8,630
341 6
Mungka 23,059
5,959 467
7 Harau
42,019 10,175
715 8
Payakumbuh 29,568
7,001 65
9 Bukit Barisan
21,921 7,102
1,385 Sumber: Bahan Presentasi Dinas Perkebunan Kabupaten Lima Puluh Kota, 2008
Wawancara dengan Staf Dinas Perkebunan, Agustus 2009
2.5 Permasalahan dalam Pengembangan Agroindustri Skala Kecil
Banyak permasalahan yang dihadapi UKM menyebabkan perkembangan UKM cenderung statis. Sebagai contoh adalah penelitian Sumaryanto et al.
2007 tentang penguatan UKM Produk Tradisional Perikanan di Daerah Pesisir. Dari penelitian tersebut diketahui beberapa kelemahan dalam pengembangan
UKM antara lain: mutu yang rendah dan tidak seragam, fluktuasi produksi yang seringkali mengganggu sistem penawaran, lemahnya penguasaan teknologi
sehingga sering menimbulkan perubahan karakteristik, lemahnya manajemen kelembagaan yang menyebabkan hubungan produksi dan pasar terputus.
Mangunwidjaja dan Saillah 2005 menyebutkan beberapa permasalahan dan kendala dalam pengembangan agroindustri skala kecil khususnya di pedesaan
meliputi keterbatasan modal, kemampuan sumberdaya manusia, keterbatasan penerapan teknologi, sarana dan prasarana yang kurang atau tidak memadai serta
kelembagaan. Permasalahan tersebut juga umum dihadapi petani pada berbagai komoditas pertanian yang penting di Indonesia, seperti permasalahan yang
dihadapi petani kelapa sawit yang dikemukakan Darussamin 2011 yaitu: skala yang kecil, lemah dalam akses informasi, lemah dalam akses teknologi,
penggunaan bibit yang tidak terjamin, lemah dalam manajemen, permasalahan
17 permodalan, produktivitas yang rendah, ketiadaan atau lemahnya organisasi. Hal
yang sama juga terjadi pada industri kecil gambir. Berdasarkan hasil survei Tim Peneliti Gambir IPB 2009, permasalahan
dalam agroindustri gambir yang seluruhnya dilakukan dalam skala kecil oleh masyarakat di Sumatera Barat meliputi permasalahan teknologi, mutu produk,
pemasaran dan pemodalan Gumbira Sa’id et al., 2009. Selanjutnya, Dhalimi
2006 merinci permasalahan permodalan yang berkaitan dengan keterbatasan modal petani serta kelembagaan yang belum mendukung untuk berkembangnya
industri gambir yang kuat. Dari segi pemasaran, permasalahan yang ada meliputi fluktuasi harga gambir yang tinggi serta lemahnya posisi tawar petani dan
pengempa dalam rantai pasok gambir. Dari segi pembibitan dan budidaya, permasalahan industri gambir pada dasarnya terkait dengan mutu dan
produktivitas daun dan ranting yang masih harus ditingkatkan, sedangkan dari segi pengolahan permasalahannya terkait dengan kemampuan produksi serta
masalah kualitas gambir yang dihasilkan masyarakat. Mengingat pentingnya peranan agroindustri gambir di Kabupaten Lima
Puluh Kota, maka pemecahan permasalahan di sektor tersebut akan berkontribusi besar bagi masyarakat Lima Puluh Kota khususnya, dan Sumatera Barat
umumnya. Sejalan dengan kebijakan Departemen Perindustrian 2007, maka penguatan agroindustri gambir dapat ditempuh melalui strategi pembinaan secara
terpadu pada aspek teknologi, pemasaran, sumberdaya manusia dan pendanaan yang didukung oleh penguatan kelembagaan.
2.6 Teknologi Proses Produksi Gambir dan Pemisahan Komponen Gambir
Terdapat berbagai teknologi proses yang dapat digunakan untuk produksi gambir. Menurut Tarwiyah 2001, tahapan proses produksi gambir terdiri dari
pengukusan, pemerasan, pengentalan, penirisan pencetakan dan pengeringan. Daswir, Risfaheri dan Yuliani 2003 mengemukakan tehapan proses pengolahan
gambir cara Cina dan Eropa yang berbeda Gambar 6. Di antara tahapan proses
tersebut aktivitas inti dalam pengolahan gambir adalah ekstraksi getah gambir dan pengeringan. Dari hasil survei lapangan di Kabupaten Lima Puluh Kota selama
periode Agustus 2009 sampai dengan Juli 2010 Gumbira-Said et al., 2010
18 diketahui bahwa pengeringan gambir umumnya dilakukan melalui penjemuran
gambir menggunakan sinar matahari. Pada malam hari atau ketika penjemuran tidak dapat dilakukan karena cuaca yang tidak mendukung, maka gambir
ditempatkan di atas para-para yang berada di atas tungku pemasakan sehingga pengeringan dapat memanfaatkan panas dan asap dari tungku. Penggunaan bak
pengering dengan blower dan pemanas berbahan bakar minyak hanya dilakukan beberapa pedagang pengumpul atau eksportir.
Untuk mendapatkan nilai tambah yang tinggi, di samping berbagai upaya peningkatan mutu gambir rakyat, maka sangat perlu dilakukan fraksinasi gambir
menjadi komponen-komponennya. Terdapat berbagai pilihan teknologi untuk pemisahan senyawa-senyawa fenol, tanin dan katekin yang dapat digunakan untuk
fraksinasi gambir. Sebagian di antara penelitian mengenai teknologi proses
tersebut disajikan pada Tabel 4.
Pambayun et al. 2007 melakukan ekstraksi produk gambir dengan berbagai jenis pelarut menghasilkan jumlah bahan terekstrak, kandungan fenol,
dan sifat antibakteri yang bervariasi. Hasil ekstraksi menunjukkan bahwa pada metoda maserasi dan Soxhlet, bahan terekstrak paling tinggi diperoleh pada
campuran etanol air 1:1, masing-masing sebesar 84.77 dan 87.69 persen. Kandungan fenol tertinggi ditemukan pada bahan terekstrak dari ekstraksi dengan
pelarut etil asetat, yakni 88.30 dan 90.85 persen. Amos 2005 melakukan penelitian untuk mengekstrak katekin dari daun
gambir dengan menggunakan pelarut alkohol etanol pada berbagai konsentrasi dan waktu perebusan. Penelitan Amos 2005 menunjukkan bahwa makin tinggi
konsentrasi etanol, maka makin tinggi katekin yang diperoleh. Pada penelitian tersebut diketahui bahwa waktu perebusan berpengaruh terhadap kadar katekin
yang diperoleh dalam sampel gambir. Selanjutnya diketahui bahwa waktu perebusan optimum adalah 25 menit sejak air mendidih.