31
digunakan dalam menganalisis tingkat efisiensi operasional adalah analisis Marjin Tataniaga, analisis
Farmer’s share, dan analisis rasio keuntungan atas biaya. Efisiensi harga menunjukkan pada kemampuan harga dan tanda-tanda
harga untuk penjual serta memberikan tanda kepada konsumen sebagai panduan dari penggunaan sumber daya produksi dari sisi produksi dan tataniaga. Efisiensi
harga dapat tercapai apabila masing-masing pihak yang terlibat merasa puas atau responsif terhadap harga yang berlaku dan terjadi keterpaduan atau integrasi
antara pasar acuan dengan pasar di tingkat petani.
3.1.7.1. Rasio Keuntungan Atas Biaya Tataniaga
Efisiensi operasional menurut Asmarantaka 2009 lebih tepat menggunakan rasio antara keuntungan п atas biaya C karena pembanding
opportunity cost dari biaya adalah keuntungan sehingga indikatornya ad alah пC
dan harus bernilai positif 0. Jika penyebaran rasio keuntungan terhadap biaya
merata pada setiap lembaga tataniaga, maka secara teknis saluran tataniaga tersebut semakin efisien. Rasio keuntungan terhadap biaya dapat dirumuskan
sebagai berikut:
Keterangan: пi
: Keuntungan lembaga tataniaga ke-i Ci
: Biaya tataniaga pada lembaga tataniaga ke-i 3.1.7.2. Marjin Tataniaga
Marjin tataniaga dapat ditinjau melalui dua pendekatan yaitu pendekatan statis atau sudut pandang harga dan pendekatan dinamis atau sudut pandang
biaya. Dari pendekatan statis, marjin tataniaga merupakan selisih antara harga yang dibayar konsumen akhir dengan harga yang diterima petani produsen.
Sedangkan dari pendekatan dinamis, margin tataniaga merupakan biaya dari balas jasa-jasa yang dibutuhkan sebagai akibat permintaan dan penawaran dari jasa-
jasa tataniaga. Komponen marjin tataniaga terdiri dari: Rasio Keuntungan Biaya =
пi Ci
32
1 Biaya-biaya yang diperlukan lembaga-lembaga tataniaga untuk melakukan
fungsi-fungsi tataniaga, yang disebut sebagai biaya tataniaga atau biaya fungsional functional cost.
2 Keuntunganprofit lembaga tataniaga.
Harga yang dibayar konsumen akhir merupakan harga di tingkat pedagang pengecer. Bila digambarkan dalam suatu kurva, maka keseimbangan harga
ditingkat pengecer merupakan perpotongan antara kurva penawaran turunan derived supply curve, dengan kurva permintaan primer primary demand curve.
Sedangkan keseimbangan harga di tingkat petani berada di perpotongan antara kurva penawaran primer primary supply curve dengan kurva permintaan turunan
derived demand curve. Dengan demikian marjin tataniaga dapat disusun oleh kurva penawaran permintaan yang digambarkan pada Gambar 2.
Gambar 2. Konsep Marjin Tataniaga
Sumber : Sudiyono, 2002
Keterangan: Sd
= derived supply kurva penawaran turunan = penawaran produk di tingkat pedagang
Sp = primary supply kurva penawaran primer = penawaran produk ditingkat
petani Dd = derived demand kurva permintaan turunan = permintaan pedagang atau
pabrik Marjin Tataniaga
Pr – Pf
33
Dp = primary demand kurva permintaan primer = permintaan konsumen akhir Pr
= harga ditingkat pedagang pengecer Pf = harga ditingkat petani
MM = marketing margin marjin tataniaga = Pr – Pf
Q = kuantitas jumlah produk yang ditransaksikan, yaitu sama ditingkat petani dan ditingkat pengecer.
Gambar 2 menggambarkan kurva permintaan primer Dp yang berpotongan dengan kurva penawaran turunan Sd membentuk harga di tingkat
pedagang pengecer Pr. Sedangkan kurva permintaan turunan Dd berpotongan dengan kurva penawaran primer Sp membentuk harga di tingkat petani Pf.
Menurut pengertian statis, yaitu dari sudut pandang harga, perpotongan- perpotongan tersebut membentuk marjin tataniaga atau sama dengan selisih harga
di tingkat pedagang pengecer dengan harga di tingkat petani atau MT = Pr – Pf
dengan asumsi bahwa jumlah produk yang ditransaksikan di tingkat petani sama dengan jumlah produk yang ditransaksikan di tingkat pedagang pengecer, yaitu
sebesar Q Sudiyono 2002. Menurut pendekatan dinamis, yaitu dari sudut pandang biaya, marjin tataniaga merupakan harga dari kumpulan jasa-jasa
pemasaran sebagai akibat adanya aktivitas produktif atau konsep nilai tambah value added, maka marjin total atau MT = biaya-biaya tataniaga + keuntungan
lembaga- lembaga tataniaga MT = C + Π Tomek dan Robinson, dalam
Asmarantaka 2009. Besar kecilnya marjin tataniaga ditentukan oleh besar kecilnya jasa atau
pengeluaran yang diberikan ditambah dengan keuntungan yang diambil oleh setiap lembaga tataniaga yang terlibat. Semakin banyak lembaga tataniaga yang
terlibat maka akan semakin besar pula perbedaan harga di tingkat pengecer dengan harga di tingkat petani. Perbedaan nilai marjin tataniaga dapat terjadi
akibat adanya perbedaan fungsi yang dilakukan oleh masing-masing lembaga dan juga dapat terjadi akibat perbedaan tingkat efisiensi dalam pelaksanaan fungsi
yang sama Limbong dan Sitorus 1987.
34
3.1.7.3. Farmer’s Share