Nagari Menjadi Desa Otoritas Tradisional Minangkabau Dalam Orde Baru

Pada tahun 1974, terjadi kembali perubahan OTM, di mana dengan diterbitkannya UU No.5 Tahun 1974 tentang pokok-pokok pemerintahan daerah. Sebagai tindak lanjutnya, Gubernur Sumatera Barat menerbitkan SK Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sumatera Barat No.155GSB1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Nagari Dalam Propinsi Daerah Tingkat I Sumatera Barat. Tujuan utama dari peraturan ini adalah untuk melakukan penyempurnaan SK Gubernur Kepala Daerah Provinsi Sumatera Barat No.015GSB1968 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Nagari dalam Propinsi Sumatera Barat. Perubahan utama terletak pada dihilangkannya DPRN sebagai bagian dari perangkat Nagari. Kerapatan Nagari selanjutnya mengambil tugas DPRN, dan Wali Nagari langsung menjadi Ketua Kerapatan Nagari. Perbedaan lain adalah, naiknya kualifikasi persyaratan pendidikan sebagai syarat menjadi Wali Nagari, dari SD menjadi SMP. Sejak 1974 hingga 1979 tidak terdapat intervensi yang dilakukan BP sehingga OTM mengalami perubahan yang berarti. Berdasarkan uraian di atas dapat dirangkum bahwa hingga diterbitkannya UU No.5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, kemudian ditindaklanjuti oleh SK Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sumatera Barat No.155GSB1974, pemerintah masa Orde Baru masih menjaga dan mengakui OTM sebagai satu kesatuan masyarakat adat yang otonom.

6.3.1. Nagari Menjadi Desa

Intervensi BP yang sangat berpengaruh terhadap sendi-sendi keutuhan OTM adalah ketika dilaksanakannya UU No.5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Undang-undang ini merupakan cerminan dari UU No.5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah di mana salah satu konsiderannya menyebutkan bahwa “sesuai dengan sifat-sifat NKRI maka kedudukan Pemerintahan Daerah sejauh mungkin diseragamkan”. Meskipun undang-undang No.5 Tahun 1979 merupakan kebijaksanaan pemerintahan Republik Indonesia yang bertujuan menyeragamkan pemerintahan terendah desa di seluruh Indonesia, namun tidak mengabaikan adanya keragaman wilayah Desa berikut adat istiadat yang berlaku. Hal ini terlihat dari konsideran yang tertulis sebagai berikut; “Bahwa sesuai dengan sifat Negara Kesatuan Republik Indonesia maka kedudukan Pemerintaha desa sejauh mungkin diseragamkan dengan mengindahkan keberagaman keadaan Desa dan ketentuan adar-isitiadat yang masih berlaku memperkuat pemerintahan Desa agar makin mampu menggerakkan masyarakat dalam partispasinya dalam pembangunan dan menyelenggarakan administrasi Desa yang makin meluas dan efektif. ” Adapun tujuan ideal dan normatif Undang-undang tersebut menurut konsideran terkutip sebagai berikut: 1 menyeragamkan pemerintahan desa tanpa harus mengabaikan keberagaman Desa dan Adat yang berlaku; 2 adanya pemerintahan yang kuat sehingga mampu menggerakkan partisipasi masyarakatnya dalam membangun serta meningkatkan kemampuan dalam menyelenggarakan administrasi desa yang semakin meluas dan efektif. Sementara itu, wilayah desa yang beragam dengan adatnya yang dimaksud dalam konsideran tersebut, dijelaskan pula pada pasal 18, yakni; desa di Jawa dan Bali, Nagari di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang dan sebagainya. Daerah-daerah ini mempunyai susunan asli dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah istimewa. Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dan segala peraturan negara yang mengenai daerah-daerah itu akan mengingati hak-hak asal- usul daerah tersebut. Namun, Undang-undang No.51979 memiliki perbedaan makna yang cukup menyolok dengan peraturan terdahulu, seperti SK Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sumatera Barat No. 015GSB1968 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Nagari dan SK Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sumatera Barat No.155GSB1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Nagari Dalam Propinsi Sumatera Barat. 17 Menurut kedua peraturan daerah tersebut, pemerintahan terendah di Sumatera Barat adalah Pemerintahan Nagari. Sedangkan pengertian Nagari adalah sebagai berikut: 17 Perbedaan di antara kedua SK.Gubernur tersebut hanya terletak pada Alat Perlengkapan Nagari, jika menurut SK.Gubernur Kepala Daerah Tk.I Sumatera Barat No. 015GSB1968, adalah Wali Nagari, Dewan Perwakilan Rakyat Nagari DPRN dan Kerapatan Nagari KN, sedangkan pda SK. Gubernur Kepala Daerah Tk.I Sumatera Barat No.155GSB1974, Alat Perlengkapan Nagari adalah Wali Nagari dan Kerapatan Nagari saja, tidak ada Dewan Perwakilan Rakyat Nagari DPRN Nagari adalah kesatuan masyarakat hukum di Prop.Sumatera Barat yang menjadi dasar dari Negara Republik Indonesia, yang jelas batas-batas daerahnya, mempunyai harta benda sendiri, berhak mengatur rumah tangganya dan memilih penguasanya Sementara itu, pemerintahan desa yang dimaksud dalam UU No.51979 dipimpin oleh seorang Kepala Desa yang kekuasaannya berada langsung di bawah Camat sehingga bertanggung jawab kepada Camat. Pengertian Desa seperti yang tertulis dalam Pasal 1, adalah; Desa adalah satu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat , termasuk di dalamnya kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan langsung di bawah Camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia Pada perbandingan kutipan ayat tersebut terlihat perbedaan antara keduanya, terutama, pada kekuasaan pemimpin. Jika Nagari berhak mengatur rumah tangganya sendiri dan memilih penguasanya sendiri, maka pemerintahan Desa merupakan organisasi langsung di bawah Camat dan Kepala Desa bertanggung jawab “ke atas” pada Camat. Perbedaan lainnya terletak pada luas wilayah di antara Nagari dan Desa yang diajukan Pemerintah Daerah. Menurut para sarjana, di antaranya Naim 1985, Manan 1995 dan Benda-Beckman 2007, motif penyeragaman tersebut adalah agar memudahkan masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembangunan, memudahkan pendistribusian bantuan, serta mempermudah pengukuran program pembangunan yang telah dilaksanakan. Pemerintah Daerah di Sumatera Barat, menjadikan pelaksanaan UU No.51979 ini sebagai kesempatan untuk mendapatkan curahan dana Pembangunan yang lebih besar dari Pemerintah Pusat. Hal ini ditempuh dengan cara mengajukan Jorong atau Korong yang merupakan wilayah pemerintahan di bawah Pemerintahan Nagari, untuk dijadikan pemerintahan Desa. Dasar Pertimbangan lebih menekankan pada keuntungan finansial dibandingkan pertimbangan aspek sosial dan budaya. Jika Nagari yang dijadikan Desa, maka jumlahya hanya mencapai 543 Desa. Namun, apabila jorong yang dijadikan Desa, maka jumlahnya akan mencapai 3123 Desa sesuai dengan jumlah jorongkampung yang ada pada saat di Sumatera Barat. Sebagai contoh, jika satu desa mendapatkan dana bantuan Satu Juta Rupiah pertahun, maka jumlah yang akan diterima jauh lebih besar pada Jorong sebagai Desa. Padahal, dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri No.4 Tahun 1981 dan Peratura Daerah No.7 Tahun 1981 tentang Pembentukan, Pemecahan, Penyatuan dan Penghapusan Desa, 18 telah ditetapkan petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis pembentukan Desa yaitu: 1 Jumlah penduduk sedikitnya 2500 jiwa atau 500 KK; 2 Luas wilayah yang efisien bagi pembinaan dan pelayanan pemerintahan; 3 Letak wilayah dalam kaitan luas wilayah pelayanan dan pembinaan; 4 Prasarana dan sarana perhubungan, produksi dan pemasaran, serta pemerintahan; 5 Sosial budaya yang berhubungan dengan adat; dan 6 Tersedianya tempat untuk mendapatkan mata pencaharian. Dilihat dari syarat tersebut di atas, menurut Sjahmunir 1984, Naim, et.al. 1984, dan Benda-Beckman 2007, dari 3.123 desa yang telah terbentuk dan disahkan oleh Pemerintah Daerah Sumatera Barat pada tahun 1984, hanya 94 Desa yang memenuhi syarat sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan tersebut di atas. Jika tolok ukurnya adalah jumlah penduduk harus mencapai ≥ 2. 000 Jiwa, maka hanya 223 Desa yang memiliki penduduk ≥ 2.000 Jiwa, sedangkan desa yang memiliki penduduk lebih dari 1.000 jiwa namun kurang dari 2.000 jiwa hanya sekitar 981 Desa. Artinya, dari 3.123 desa yang telah dibentuk Pemerintah Daerah Sumatera Barat pada tahun 1984, lebih dari separuhnya belum memenuhi syarat sebagaimana yang diatur dalam UU, Intruksi Mendagri, Permendagri dan SK Gubernur tentang Pemerintahan Desa. 18 Pemerintah Pusat dan Pemda Sumbar, dalam upaya mengimplementasi UU No.51979 ini, telah menebitkan satu Intrsruksi Mendagri, satu Kepmendagri, lima Perda dan satu SK.Gubernur, yakni, pertama, Instruksi Menteri Dalam Negri No. 9 tahun 1980 tentang Pelaksanaan UU no.51979 tentang Pemerintahan Desa tertanggal 6 Februari 1980. Kedua, Permendagri No.4 Tahun 1981 tentang Pembentukan, Pemecahan, Penyatuan dan Penghapusan Desa. Ketiga, Perda No.7 Tahun 1981 tentang Pembentukan, pemecahan, penyatuan dan penghapusan Desa tertanggal 27 Juni 1981. Keempat, Perda No.8 tahun 1981 tentang Pembentukan, Pemecahan, penyatuan dan penghapusan Kelurahan dalam Propinsi Daerah Tk.I Sumatera Barat tertanggal 27 Juni 1981. Kelima, Perda No.9 Tahun 1981 tentang Pembentukan Lembaga Musyawarah Desa dalam Propinsi Daerah Tk.I Sumatera Barat, tertanggal 27 Juni 1981. Keenam, Perda No.10 Tahun 1981 tentang tata cara pemilihan, pengesahan, pengangkatan, pemberhentian sementara dan Pemberhentian Kepala Desa, tertanggal 27 Juni 1981. Ketujuh, Perda No.11 Tahun 1981 Tentang Keputusan Desa tertanggal 27 Juni 1981. Kedelapan, SK.Gubernur Kepala Daerah TK.1 Sumatera Barat No.287GSB1981 Tentang Penunjukkan Desa Pilot Proyek Dalam Propinsi Daerah Tk.I Sumatera Barat, tertanggal 26 Juni 1981. Perbedaan lain di antara pemerintahan Nagari dan Desa adalah terletak pada alat perlengkapan pemerintahan. Pada Nagari, pemerintahan terdiri atas: 1 Wali Nagari, 2 DPRN, 3 Kerapatan Nagari, maka pemerintahan Desa terdiri hanya dari 1 Kepala Desa dan 2 Lembaga Musyawarah Desa LMD dengan dibantu lembaga non struktural Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa LKMD. Di samping itu, Wali Nagari dipilih oleh rakyat, namun calon-calon Wali Nagari diseleksi dan ditetapkan oleh DPRN. Anggota DPRN pun merupakan utusan golongan yang dipilih secara langsung oleh rakyat. Kedua lembaga ini, Wali Nagari dan DPRN, bertugas sebagai ekskutif dan legislatif yang memiliki tugas terpisah secara jelas. Wali Nagari, bertanggung jawab terhadap DPRN dan juga kepada Bupati. Berbeda dengan Nagari, pada pemerintahan Desa, Kepala Desa dipilih dan diangkat oleh Camat, serta bertanggung jawab terhadap Camat. Kepala Desa juga merangkap jabatan sebagai ketua LMD dan LKMD yang memperlihatkan Kepala Desa sebagai penguasa tunggal di Desa. Perbedaan lain yang cukup menyolok adalah pada sumber keuangan. Pada pemerintahan Nagari semenjak pemerintahan kolonial Belanda telah mandiri dalam sumber keuangann seperti dari 1 Pajak Nagari, 2 Retribusi Nagari, 3 Pajak Negara yang diserahkan pada Nagari, 4 Subsidi, 5 Bagian tertentu dari pajak-pajak dan pungutan dari pemerintah Kabupaten, 6 Hasil-hasil perusahan Nagari, 7 Pinjaman, dan 8 Usaha Nagari lainnya. Sedangkan pada pemerintahan Desa, keuangan hanya terdiri atas dua sumber, pertama Pendapatan Pendapatan Asli Desa, yang kedua, pendapatan asli dari Pemerintah. Adapun sumber pendapatan asli Desa berasal dari : 1 Hasil tanah Kas Desa, 2 Hasil swadaya dan partisipasi Masyarakat Desa, 3 Hasil dari gotong royong Masyarakat Desa, 4 Usaha Desa lainnya yang sah. Sedangkan Pendapatan dari Pemerintah berasal dari: 1 Sumbangan dan Bantuang Pemerintah, 2 Sumbangan dan bantuan Pemda, 3 Sebagian pajak dan retribusi yang diberikan pada Desa, serta pendapat lainnya yang sah. Untuk melihat perbedaan di antara pemerintahan Nagari dan Desa, dapat dilihat pada Tabel 6.5. Kebijakan penyeragaman pemerintahan Desa, dengan menetapkan wilayah Jorong Korong, Kampuang menjadi pemerintahan Desa, disatu sisi menguntungkan, namun disisi yang lain menjadi masalah sosial politik dan sosial budaya. Beberapa permasalahan tersebut, pertama, dengan pelembagaan UU No.51979 tidak saja perubahan nama Nagari menjadi Desa, akan tetapi telah pula merubah sistem dan struktur sosial, politik dan budaya tradisionalnya, termasuk orientasi dan filosofi Nagari tersebut. Nagari tidak hanya teritorial sederhana, tetapi didasarkan pada banyak aspek, seperti kelompok garis keturunan yang memilki fungsi-fungsi yang luas. Menurut adat, sebuah hunian dapat disebut Nagari apabila memiliki persyaratan seperti mesjid, balai pasar, jalan, tempat pemandian Naim 1990. Menurut Abdullah 1966 mesjid adalah tempat menjalankan kewajiban agama dan balai adalah tempat membicarakan banyak hal yang bersifat sekuler serta urusan pemerintahan. Hanya karena adanya dua lembaga ini, suatu hunian dapat disebut suatu masyarakat, di mana tanggung jawab kepada masyarakat dan kepada Tuhan dapat diintegrasikan. Ambler 1988 19 melihat akibat dilembagakannya UU No.51979 ini berakibat pada menurunnya lembaga sosial pengelola air tradisional Tuo Banda di Minangkabau. Rafni dan Winarno 2001 juga menemukan perubahan mendasar pada pelembagaan pemerintah Nagari menjadi Desa, di antaranya adanya perubahan Kerapatan Nagari menjadi Lembaga Musyawarah Desa LMD bukanlah sekedar perubahan nama, akan tetapi di antara keduanya terdapat perbedaan karakter dan semangat yang menyertainya, mencakup keanggotaan dan kedudukan dalam pemerintahan. Keanggotaan Kerapatan Nagari diwakili oleh hampir seluruh perwakilan yang ada di dalam Nagari. Sedangkan LMD, menurut Permendagri No.21981 dibatasi sebanyak 15 orang. Dengan demikian jumlah keanggotaan Kerapatan Nagari jauh lebih besar, dibandingkan dengan LMD. Sehingga, banyak yang suara yang tidak terwakili. Hal tersebut merupakan suatu yang sangat dihindari dalam tradisi Minangkabau von Benda-Beckaman, 1984. Dalam cakupan perubahan peran, pada masa pemerintahan Nagari, Kerapatan Nagari selain berperan sebagai lembaga musyawarah juga melaksanakan peradilan adat, peradilan agama serta memberi nasihat kepada Wali Nagari, apabila di minta. Di samping itu, Kerapatan Nagari juga mempunyai 19 Untuk pembahasan yang jelas mengenai dampak UU no.51979 ini terhadap sistem pengairan tradisional di Sumatera Barat, Lihat John S. Ambler 1988 Historical Perfectives on Sawah Cultivation and the Political and Economic Context for Irigation in West Sumatra, Indonesia 46Oktober 1988 hal. 69-77. pengaruh dan peranan yang menentukan dalam proses pencalonan dan pemilihan Wali Nagari. Artinya, peran Kerapatan Nagari ini memilki peran ganda, 1 sebagai Dewan Legislatif; 2 Sebagai Dewan Yudikatif mengadili perkara adat dan agama; 3 berperan sebagai Dewan Konsultatif, yaitu memberikan nasihat kepada Wali Nagari jika diminta; 4 Dewan pengontrol segala kebijaksanaan wali Nagari dan berhak meminta pertanggung jawaban Wali Nagari, 5 Peran sebagai Dewan yang menyeleksi calon Wali Nagari. Sementara itu, LMD tidak memiliki peran sejauh peran Nagari serta tidak pula memiliki peran vital dalam pengambilan kebijakan di Desa. Sehingga, kehadiran LMD hanya sebagai lembaga musyawarah yang mengusulkan dan membahas pelaksanaan keputusan desa dan hanya bertindak sebagai lembaga yang melegitimasi keputusan desa. Begitu pula peran Wali Nagari, yang dipilih oleh rakyat dan memiliki legitimasi yang sangat kuat karena mendapatkan dukungan sepenuhnya dari rakyat Nagari, sehingga: 1 Wali Nagari memiliki status kepemimpinan formal sekaligus kepemimpinan informal, 2 Kekuasaan Wali Nagari ditunjukkan untuk kepentingan anak negeri, 3 Murni dipilih oleh rakyat tanpa campur tangan pemerintah atasan, 4 Wali Nagari juga dipilih melalui prosedur formal. Hal ini berbeda dengan Kep ala Desa, yang cenderung mengharap restu dari “atas” dan tidak mengakar kuat ke bawah. Beberapa rangkuman tersebut, mewakili banyak kesimpulan yang memperlihatkan bagaimana Nagari menjadi korban dan mengalami transformasi dengan dilembagakannya UU No.51979 tentang Pemerintahan Desa. Namun, penelitian tentang bagaimana UU No.51979 diimplementasikan sangat langka. Salah satu hasil kajian komprehensif tentang hal tersebut adalah apa yang di lakukan oleh Manan 1995, penelitian yang dilakukan selama 1987 hingga 1989 di enam Nagari menyimpulkan beberapa hal. Pertama, banyak dari jorong korong dan kampuang yang dirubah menjadi Desa namun tidak memenuhi syarat jumlah penduduk sebagaimana yang ditetapkan petunjuk pelaksana dan petunjuk teknis yang terkandung dalam Instruksi Mendagri, Permendagri dan Perda sebagaimana telah disebutkan sebelumnya. Kedua, dengan bertambahnya jumlah Desa, walaupun tidak memenuhi syarat kependudukan, menyebabkan penambahan jumlah aparat yang harus dibiayai. Untuk lebih jelas mengenai perbandingan Pemerintahan Desa dan Nagari, lihat tabel berikut; Tabel 6.5 Perbandingan Pemerintahan Desa Berdasarkan UU No.51979 Tentang Pemeritahan Desa dan Nagari SK Gubernur Kepala Daerah Propinsi Sumatera Barat No.015GSB1968 Tentang Pemerintahan Nagari Pemerintahan Nagari 20 Pemeritahan Desa Nagari adalah kesatuan masyarakat hukum di Propinsi Sumatera Barat yang menjadi dasar dari Negara Republik Indonesia, yang jelas batas- batas daerahnya, mempunyai harta benda sendiri, berhak mengatur rumah tangganya dan memilih penguasanya Desa adalah satu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat , termasuk di dalamnya kesatuan masyarakat hukun yang mempunyai organisasi pemerintahan langsung di bawah Camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Alat Perlengkapan Pemerintahan Nagari: 1 Wali Nagari, 2 DPRN, 3 Kerapatan Adat Nagari. Wali Nagari dipilih oleh rakyat berdasarkan beberapa calon seleksi dari DPRN. Wali Nagari bertanggung jawab terhadap DPRN dan Bupati Alat Perlengkapan Desa adalah, 1 Kepala DesaLurah, 2 Lembaga Musyawarah Desa LMD, 3 Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa LKMD Terdapat Pemisahan Ekskutif Wali Nagari dan Legislatif Dewan Perwakilan Rakyat NagariDPRN. Terdapat Unsur lain, selain Wali Nagari dan DPRN, yakni Kerapatan Nagari merupakan badan permusyawaratan tokoh-tokoh Nagari Ninik-Mamak, Alim Ulama dan Cerdik Pandai. Tugas pokok, 1 sebagai lembaga Peradilan Agama dan Adat, 2 Badan Pertimbangan Pemerintah Nagari Kepala Desa bertanggung jawab “keatas” kepada Camat. Kepala Desa merangkap Ketua LMD dan LKMD LMD merupakan Lembaga Permusyawatan yang terdiri dari unsur Kepala Dusun, Pimpinan Lembaga Kemasyarakatan dan Pemuka-pemuka masyarakat Desa. Kedudukan LMD sebagai permusyawaratan pemuka masyarakat yang menyalurkan pendapat masyarakat LMD dipilih oleh Kepala Desa, berjumlah 9-15 Sumber Keuangan Nagari; 1 Pajak Nagari, 2 Retribusi Nagari, 3 Pajak Negara yang diserahkan pada Nagari, 4 Subsidi, 5 Bagian tertentu dari pajak-pajak dan pungutan dari pemerintah Kabupaten, 6 Hasil-hasil perusahan Nagari, 7 Pinjaman , 8 Usaha Nagari lainnya Pendapat Asli Desa: 1 Hasil tanah Kas Desa, 2 Hasil swadaya dan partisipasi Masyarakat Desa, 3 Hasil dari gotong royong Masyarakat Desa, 4 Usaha Desa lainnya yang sah Pendapatan dari Pemerintah: 1 Sumbangan dan Bantuang Pemerintah, 2 Sumbangan dan bantuan Pemda, 3 Sebagian pajak dan retribusi yang diberikan pada Desa, dan 4 pendapat lainnya yang sah. Sumber: UU No.51979 Tentang Pemeritahan Desa dan Nagari SK Gubernur Kepala Daerah Propinsi Sumatera Barat No.015GSB1968 Tentang Pemerintahan Nagari diolah 20 SK. Gubernur terakhir tentang pemerintahan Nagari sesungguhnya SK.Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sumatera Barat No.0155GSB1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Nagari di Sumatera Barat. Perubahan utama terletak pada Alat Perlengkapan Nagari, di mana menurut SK.Gubernur Kepala Daerah Propinsi Sumatera Barat No.015GSB1968 Ttg Pemerintahan Nagari, adalah Wali Nagari, DPRN dan Kerapatan Nagari, maka menurut SK.Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sumatera Barat No.0155GSB1974 Alat Perlengkapan Nagari hanya Wali Nagari dan Kerapatan Nagari. Dengan demikian, dengan menjadikan jorong sebagai unit administrasi yang paling rendah telah menimbulkan in-efisiensi dalam pemerintahan Desa. Manan 1995 mencoba membuktikan in-efisiensi tersebut dengan mengkalkulasikan besaran gaji dan honor dengan mengambil contoh pada pegawai 6 enam Nagari pada pra kemerdekaan, pra UU No.51979 dan pasca UU No.51979. Pada masa pra kemerdekaan, jumlah pegawai yang harus digaji secara teratur adalah enam kali tiga orang 18 orang. Pada masa pra UU No.51979 jumlah pegawai yang harus digaji dan diberikan honor adalah enam kali enam orang 36 orang. Sedangkan pada masa pemerintahan Desa, 6 enam Nagari tersebut berkembang menjadi 57 Desa dengan rata-rata per Desa memiliki 8 orang pegawai 1 Kades, 1 Sekdes, 3 Kaur dan rata-rata 3 Kadus maka jumlah pegawai yang harus digaji adalah 57 kali 8 orang 456 orang. Jika dibandingkan dengan gaji yang harus dibayarkan ketika masih menjadi Nagari, dengan setelah 6 Nagari menjadi 57 Desa, maka terdapat peningkatan pengeluaran untuk gaji sebanyak 12 kali lipat. Darimana dana sekian banyak harus dicarikan sumbernya? Ketiga, temuan penelitian lapangan menunjukkan bahwa persepsi masyarakat terhadap Kepala Desa sangat rendah, begitupun gaji dan tunjangan yang didapatkan oleh Kepala Desa dan perangkat Desa juga rendah di samping sering terjadinya keterlambatan. Hal tersebut menimbulkan anggapan bahwa menjadi aparat Desa merupakan pekerjaan yang kurang menarik bahkan merupakan pekerjaan sambilan. Akibatnya, dibanyak desa, aparat memiliki pendidikan dan kedudukan sosial yang rendah di masyarakat. Keempat, aparat desa dianjurkan untuk memiliki seragam guna meningkatkan wibawa. Namun, karena ketidaktersediaan dana baik dari kas desa maupun dari pemerintah, maka Kepala Desa berupaya sendiri dengan menggunakan dana Bantuan Desa, akibatnya mendapat kritik dari rakyatnya, sehingga pengadaan pakaian tersebut malah menurunkan wibawa aparat Desa. Oleh karena itu, penghasilan yang kecil dari aparat desa, keterbatasan potensi desa untuk berpenghasilan sendiri untuk membiayai aparatnya, serta masyarakat Minangkabau yang kritis, menyebabkan rawannya kedudukan kepala Desa beserta aparatnya. Kelima, Kepala Desa kurang berfungsi sebagai penyalur aspirasi, karena lebih berorientasi “ke atas” daripada kepada rakyat. Kepala Desa diharuskan menyukseskan program pemerintah, baik Pemerintah Daerah maupun Pemerintah Pusat. Kepala Desa hanya bertanggung jawab kepada Camat, sementara kepada LMD hanya sebatas memberikan keterangan, bukan pertanggung jawaban. Rakyat melihat Kepala Desa hanya sebagai alat pemerintah, bukan sebagai pimpinan mereka. Dalam posisi seperti tersebut, sebagai konsekuensinya masyarakat akan sukar diharapkan untuk berpartisipasi terhadap program pembangunan baik yang digagas oleh pemerintah daerah maupun pemerintah pusat yang diintrodusir oleh Kepala Desa. Soemardjan 1989 dalam penelitiannya di 10 propinsi di luar Jawa juga menemukan permasalahan terhadap implementasi UU No.51979, yaitu 1 Tidak memiliki landasan yang kuat untuk memecah desa tradisional menjadi desa baru, 2 Desa baru yang terlalu kecil, tidak memenuhi syarat yang harus mendapat perhatian, 3 Minimnya sumber penghasilan desa, 4 Rendahnya penghasilan aparat desa, 5 tidak tertibnya administrasi desa, 6 Belum tersedianya sarana perkantoran desa, 7 Rendahnya minat orang menjadi aparat Desa, 8 Terbatasnya kekuasaan pemerintahan desa, 9 Kaburnya pemahaman mengenai lembaga yang melekat pada pemerintahan desa baru Kepala Desa, LMD dan LKMD, 10 Kurang pekanya aparat terhadap masalah yang muncul akibat penerapan sistem pemerintahan baru, karena aparat lebih berorientasi “ke atas”. Permasalahan lain terhadap pelembagaan UU No.51979 tentang pemerintahan Desa adalah sumber-sumber ekonomi Nagari. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, bahwa sebuah Nagari terdiri dari hutan tinggi dan hutan rendah. Hutan tinggi adalah cadangan tanah Nagari dalam bentuk hutan, rawa serta tanah yang belum terpakai yang biasanya terletak di pinggiran Nagari. Ia merupakan milik penghulu suku atau Nagari yang dicadangkan buat perkembangan alamiah anak Nagari. Sementara itu, hutan rendah merupakan tanah sawah, ladang, perkarangan dan tanah perumahan yang telah terpakai. Pelembagaan UU No.51979 ini menjadi permasalahan pada jorong yang berada dipinggiran Nagari dan menguntungkan jorong koto yang berada di tengah menjadi pusat Nagari. Hal ini disebabkan, tanah-tanah yang berada pada jorong- jorong yang berada pada pinggiran Nagari dimiliki oleh penghulu suku, atau Nagari. Sehingga, pada jorong yang berada pada pinggiran Nagari, ketika berubah menjadi Desa mengalamai keterbatasan sumberdaya tanah. Bahkan, keterbatasan sumberdaya manusia juga. Dari pembahasan di atas, dapat dirangkum bahwa pelembagaan UU No.51979 pada satu sisi memiliki dampak terhadap Nagari yang semula laksana negara-negara mini kemudian menjadi “negara-negara mini yang terpilah-pilah”. Namun, pada sisi yang lain, tidak pula pelembagaan UU No.51979 berjalan sukses secara keseluruhan, Desa ibarat “hidup segan mati tak mau” sehingga “bayang-bayang” pemerintahan Nagari atau OTM tetap berkelanjutan. Sebagai tambahan, OTM dimungkinkan berlanjut karena desakan kaum “tigo tungku sajarangan” atau “tigo tali sapilin” yang terdiri dari ninik-mamak, cendikia, alim ulama termasuk Bundo Kandung, yang melakukan kritik terus menerus terhadap pelembagaan UU No.51979 Kahin, 2005; Benda-Beckman, 2007. Sehingga, pada tahun 1983 diterbitkanlah Perda No.131983 tentang Nagari sebagai wilayah hukum adat. Dalam Perda ini, pemerintah memberi ruang pada OTM dengan menetapkan Kerapatan Adat Nagari KAN sebagai kesatuan masyarakat hukum adat. Tujuan dari diterbitkannya Perda ini adalah untuk mengantisipasi agar peran Nagari tetap terjaga dan utuh Zulqaiyyim, 2002. Keputusan-keputusan KAN menjadi pedoman bagi Kepala Desa dalam menjalankan roda Pemerintahan Desa dan wajib ditaati oleh seluruh masyarakat Nagari. Aparat pemerintahan berkewajiban membantu menegakkan OTM sesuai dengan Perda tersebut, sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan dan perundangan yang berlaku Perda Sumatera Barat, No.131983, Bab IV, pasal 7, sub 2. Implementasi Perda No.131983 tersebut menunjukkan bahwa, pertama, KAN kemudian memiliki sumber keuangan sendiri yang berasal dari wewenangnya dalam menyelesaikan perkara dan tanah adat, serta hasil dari pasar- pasar Nagari yang merupakan milik masyarakat adat. Kedua, wewenang KAN, sepanjang menyangkut adat masih cukup kuat, karena masih berlakunya hukum adat sepanjang menyangkut Sako dan Pusako. Ketiga, bagi mereka yang mencoba melangkahi otoritas KAN, dalam permasalahan adat tersebut, maka Kepala Desa, Camat atau Pengadilan Negri, akan mengembalikan permasalahan pada KAN, untuk terlebih dahulu diselesaikan secara adat. Di samping itu, ketika mereka yang bersengketa tidak puas dengan penyelesaian KAN, dan melanjutkannya pada Pengadilan Negeri, maka biasanya Pengadilan akan memutuskan berdasarkan hukum adat dan saksi-saksi dari KAN akan dimintai sebagai pokok pertimbangan. Jika dirangkumkan, pelembagaan UU No.51979 sebagai bentuk modernisasi administrasi pemerintahan terendah pada wilayah masyarakat adat Minangkabau telah berlangsung. Reaksi OTM, yang diwakili oleh elite tradisional, tokoh intelektual, agama dan perantau, terhadap pelembagaan UU No.51979 ini bersifat negatif, karena kekhawatiran hilangnya identitas Minangkabau. Untuk menghindari hilangnya identitas Minangkabau otoritas tradisional, Pemda kemudian menerbit Perda No.131983 tentang Nagari sebagai Kesatuan Masyarakat Hukum Adat. Fungsi dari Perda ini, bagi pemerintah daerah adalah agar Nagari otoritas tradisional dapat, pertama, membantu pelaksanaan pembangunan di segala bidang. Kedua, tetap dapat mengurus hukum adat dan istiadat serta memberikan kedudukan hukum adat terhadap perihal yang bersangkutan dengan suku-sako Nagari. Ketiga, melakukan pembinaan dan pengembangan adat Minangkabau. Keempat, bertugas memelihara dan memanfaatkan kekayaan Nagari untuk kesejahteraan Nagari. Oleh karena itu, secara teoritis pelembagaan UU No.51979 telah berlangsung di Sumatera Barat, namun sistem otortitas tradisional masih tetap terpelihara.

6.4. Nagari Pada Masa Otonomi Daerah