Nagari Pada Masa Otonomi Daerah

untuk terlebih dahulu diselesaikan secara adat. Di samping itu, ketika mereka yang bersengketa tidak puas dengan penyelesaian KAN, dan melanjutkannya pada Pengadilan Negeri, maka biasanya Pengadilan akan memutuskan berdasarkan hukum adat dan saksi-saksi dari KAN akan dimintai sebagai pokok pertimbangan. Jika dirangkumkan, pelembagaan UU No.51979 sebagai bentuk modernisasi administrasi pemerintahan terendah pada wilayah masyarakat adat Minangkabau telah berlangsung. Reaksi OTM, yang diwakili oleh elite tradisional, tokoh intelektual, agama dan perantau, terhadap pelembagaan UU No.51979 ini bersifat negatif, karena kekhawatiran hilangnya identitas Minangkabau. Untuk menghindari hilangnya identitas Minangkabau otoritas tradisional, Pemda kemudian menerbit Perda No.131983 tentang Nagari sebagai Kesatuan Masyarakat Hukum Adat. Fungsi dari Perda ini, bagi pemerintah daerah adalah agar Nagari otoritas tradisional dapat, pertama, membantu pelaksanaan pembangunan di segala bidang. Kedua, tetap dapat mengurus hukum adat dan istiadat serta memberikan kedudukan hukum adat terhadap perihal yang bersangkutan dengan suku-sako Nagari. Ketiga, melakukan pembinaan dan pengembangan adat Minangkabau. Keempat, bertugas memelihara dan memanfaatkan kekayaan Nagari untuk kesejahteraan Nagari. Oleh karena itu, secara teoritis pelembagaan UU No.51979 telah berlangsung di Sumatera Barat, namun sistem otortitas tradisional masih tetap terpelihara.

6.4. Nagari Pada Masa Otonomi Daerah

Pada tahun 1990-an, banyak kritik-kritik negatif secara terbuka telah dilontarkan dalam wacana publik, baik oleh intelektual perkotaan, maupun kaum adat dan agama di Sumatera Barat terhadap pelaksanaan Pemerintahan Desa F dan K.von Benda-Beckman 2007. Pada sebuah seminar yang mengambil topik Nagari, Desa dan Pembangunan di Sumatera Barat, menyimpulkan beberapa hal penting. Pertama, bahwa keputusan melembagakan UU No.51979 dengan memecah Nagari-Nagari menjadi desa-desa memiliki efek sosial, ekomis dan kultural yang merugikan. Kedua, pemerintah desa tidak mampu mengerahkan penduduk kampung untuk berpartisipasi dalam pekerjaan-pekerjaan dan kepentingan-kepentingan bersama pembangunan. Ketiga, Negara tidak mampu memberikan konpensasi finansial yang cukup terhadap Kepala Desa dan aparatnya. Keempat, di berbagai tempat KAN menjadi institusi yang tidak efisien karena tidak memiliki otoritas yang nyata Hasbi et.al 1990. Menurut Naim 1990 Nagari dan Desa bukan saja berbeda dalam luasan wilayah dan struktur adminstratif saja, namun lebih dari itu, perbedaan di antara keduanya terletak pada representasi pandangan-pandangan dunia serta falsafah-falsafah yang berlainan. Nagari merupakan mikrokosmos politis tata pemerintahan Minangkabau yang lebih luas, selaras dengan dasar-dasar adat matrilineal. Oleh karena itu, yang dibutuhkan oleh Sumatera Barat adalah pemerintahan desa yang akarnya terletak di bumi, dan kepala berada di udara layaknya manusia, bukan seperti pemerintahan desa sebagaimana termaktub dalam UU No.51979, layaknya kepala terbenam di bumi, dengan akar mengawang-awang di udara. Kritik lain juga diajukan Damciwar 1990:75 bahwa kesalahan pelembagaan UU No.51979 bukanlah terletak pada peraturan undang-undang tersebut, bukan pula pada pemerintahan pusat, namun terletak pada “kita” pemerintah Daerah Sumatera Barat yang lebih mementingkan pertimbangan-pertimbangan finasial. Setelah mendapat kritik dan desakan kalangan intelektual, kalangan adat dan Ulama, dan telah pula pemerintahan Desa berlangsung selama 16 tahun, terhitung sejak 1983, maka dasar perubahan dapat dilakukan dengan telah diterbitkannya UU No.22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, di mana pada Bab XI pasal 93 ayat 1 dan 2 disebutkan sebagai berikut; 1 Desa dapat dibentuk, dihapus, danatau digabung dengan memperhatikan asal-usul atas prakarsa masyarakat dengan persetujuan Pemerintah Kabupaten dan DPRD; 2 Pembentukan, penghapusan, danatau penggabungan Desa, sebagai yang dimaksud pada ayat 1 ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Maka, dengan dasar undang-undang No.22 tahun 1999, pada tahun 2000 Pemerintah provinsi menerbitkan Peraturan Daerah Propinsi Sumatera Barat No.92000 tentang Ketentuan Pokok Pemerintahan Nagari. Konsideran Peraturan Daerah Propinsi Sumatera Barat No.92000 menyebutkan bahwa: 1. “perubahan paradigma pemerintahan sebagaimana yang dimaksud Undang-undang No.22 tahun 1999 tentang pemerintahan Daerah, yang memberi peluang kepada daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri termasuk menyesuaikan bentuk dan Susunan Pemerintahan Desa berdasarkan asal-usul dan kondisi sosial budaya masyarakat setempat harus dimanfaatkan sebagaimana mestinya untuk menata kembali Pemerintahan Nagari demi kemajuan masyarakat Sumatera Barat berdasarkan adat Basandi syara’, Syara’ basandi Kitabullah, Syara’ mangato adat mamakai, alam takambang jadi guru” 2. “Sistem Pemerintahan Nagari dipandang efektif guna menciptakan ketahanan Agama dan Budaya berdasarkan tradisi dan sosial budaya masyarakat Sumatera Barat, yang demokratis dan aspiratif serta dalam rangka tercapainya kemandirian, peran serta dan ktreatifitas masyarakat, yang selama ini dipinggirkan dan diabaikan ”. Di dalam Perda Propinsi ini, ternyata alat perlengkapan Nagari berbeda dengan alat perlengkapan Nagari pra UU No.51979, sebagai yang disebutkan dalam pasal 4, “untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat di Nagari, dibentuk Pemerintahan Nagari, Badan Perwakilan Anak Nagari dan Badan Musyawarah Adat dan Syarak Nagari .” Pemerintahan Nagari dipimpin oleh Wali Nagari, yang dalam pelaksanaan fungsi pemerintahannya dibantu oleh sekretaris Nagari dan Perangkat Nagari. Keberadaan Wali Nagari dipilih langsung oleh masyarakat Nagari, termasuk oleh para perantau yang sedang berada dalam Nagari. Badan Perwakilan Anak Nagari, terdiri dari anggota-anggota yang dipilih oleh warga masyarakat Nagari . Sedangkan Badan Musyawarah Adat dan Syara’ Nagari terdiri dari utusan Ninik-mamak, alim Ulama, Cerdik Pandai, Bundo Kanduang dan Komponen Masyarakat lainnya. Adapun harta kekayaan Nagari mencakup, a Pasar Nagari, b Tanah Lapang atau tempat rekreasi Nagari, c Balai, Mesjid dan Surau Nagari, d Tanah, Hutan, Batang air, Tebat, Danau atau Laut yang menjadi ulayat Nagari, e bangunan yang dibuat oleh penduduk perantau untuk kepentingan umum,. Yang menarik dalam Perda ini juga diatur, tanah, hutan, sungai, danau dan laut walau diakui milik Nagari, namun pedoman pengelolaan dan pemanfaatannya diatur tersendiri dengan Peraturan Daerah Propinsi Pasal 10. Di samping Harta Kekayaan Nagari yang dikelola Pemerintah, Pemerintah Propinsi dan Pemerintah Kabupaten, diatur kembali pemanfaatannya dengan memperhatikan kepentingan Nagari pasal 10, Harta kekayaan yang pengelolaannya oleh pihak lain, setelah masa pengelolaannya berakhir dikembalikan pada Nagari pasal 11. Menurut Perda ini, juga Nagari memiliki sumber pendapatannya sendiri dan harus dikelola dalam APPKN Anggaran Penerimaan dan Pengeluaran Keuangan Nagari. 21 Adapun yang menjadi Pendapatan dam Penerimaan Nagari Meliputi 1 PAN Pendapatan Asli Nagari, 2 Penerimaan bantuan dari Pemerintah Kabupaten, Propinsi serta Pemerintah Pusat, dan 3 Penerimaan lainnya seperti Sumbangan pihak ketiga, pinjaman Nagari, hasil kerjasama dengan pihak lain dan pendapatan lain yang sah. Dengan demikian Nagari yang dibentuk ini memiliki sumber keuangannya sendiri self financing. Terdapat lembaga lain diluar dari alat perlengkapan Nagari, yakni LAN Lembaga Adat Nagari yang berfungsi menyelesaikan permasalahan Suku-Sako yang ada dalam Nagari pasal 19. Namun, Perda No.92000 ketika diterjemahkan pada Perda KabupatenKota di Sumatera Barat memiliki variasi yang berbeda di antara satu KabupatenKota dengan yang KabupatenKota yang lain Miko et.al, 2005. Seperti Perda Kabupaten Agam No.312001 tentang Pemerintah Nagari misalnya, memiliki variasi yang berbeda dengan Perda Propinsi No.92000 di atas. Beberapa perbedaan, di antaranya, pada Perda Kabupaten Agam, terdapat 14 empat belas syarat sebuah wilayah layak disebut Nagari yaitu ; 1 Jumlah penduduk sekurangnya 1500 jiwa atau 300 KK, 2 memiliki nama, luas dan batas wilayah Nagari yang jelas, 3 Babalai Bamusajik, 4 Balabuah Batapian, 5 Basawah Baladang, 6 Babanda Buatan, 7 Batanam nan Bapucuak, 8 mamaliharo nan banyao, 9 Basuku Basako, 10 Niniak Mamak nan ampek Suku, 11 baadat balimbago 12 bapandam bakuburan, 13 bapamedanan, 14 Kantua Nagari. Perbedaan lainnya terletak pada Alat Pemerintahan Nagari yang terdiri dari, 1 wali Nagari, 2 Sekretaris Nagari, 3 Kaur.Pemberdayaan dan Pemerintahan, 4 Kaur. Ketenteraman dan Ketertiban, 5 Kaur. Kesejahteraan Rakyat, 6 Kaur. Administrasi Keuangan dan Asset Nagari, 7 Kepala Jorong. Dalam pelaksanaan tugasnya, Wali Nagari bertanggung jawab kepada rakyat melalui BPRN Badan Permusyawaratan Rakyat Nagari. Wali Nagari ini dipilih oleh masyarakat Nagari di mana sebelumnya dicalonkan, baik oleh BPRN maupun masyarakat. Calon wali Nagari ditetapkan oleh BPRN, minimal 21 Pasal 13 berjumlah dua orang. BPRN kemudian membentuk panitia pemilihan Wali Nagari yang terdiri dari unsur BPRN, KAN, Majlis Ulama Nagari, Majlis Musyawarah Adat dan Syarak Nagari, Bundo Kanduang dan masyarakat lainnya yang berjumlah 7 tujuh orang dan kepala jorong sebagai anggota. Setelah terpilih, Wali Nagari bersama BPRN menyusun, membahas dan menetapkan APBN Anggaran Pendapatan dan Belanja Nagari, yang di dalamnya termasuk penghasilan tetap Wali Nagari, Perangkat Nagari serta BPRN. BPRN merupakan lembaga legislatif Nagari, yang kedudukannya sejajar dan menjadi mitra dari pemerintahan Nagari. Keanggotaan BPRN berasal dari unsur Ninik-Mamak, Cadiak Pandai, Bundo Kanduang, Generasi Muda di mana jumlahnya minimal 7 tujuh orang. Tata cara pemilihan BPRN diserahkan mekanismenya kepada masing-masing Nagari. Adapun tugas utama BPRN adalah, 1 Bersama Pemerintah Nagari, merumuskan dan menetapkan Peraturan Nagari, 2 Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan Peraturan Nagari, Anggaran Pendapatan dan Belanja Nagari dan keputusan Wali Nagari, 3 Menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat Nagari, baik yang berada di Nagari maupun di perantauan. Di samping kedua lembaga tersebut, terdapat lembaga lain yang disebut sebagai Majlis Musyawarah Adat dan Syara’ Nagari. Tugas utama dari majlis ini adalah memberikan pertimbangan kepada pemerintah Nagari agar tetap menjaga Adat bersendi syara’, syara’ bersendi Kitabullah di Nagari. Jumlah anggota majlis ini sebanyaknya 17 orang, yang terdiri dari unsur Ninik-mamak, Alim Ulama, Cadiak Pandai, Bundo Kanduang dan komponen masyarakat yang dipilih oleh Wali Nagari dan BPRN. Selain MMASN Majlis Musyawarah Adat dan Syara’ Nagari, terdapat dua lembaga lain yaitu Kerapatan Adat Nagari KAN dan Majlis Ulama Nagari MUN. KAN merupakan tempat berhimpunnya Ninik-Mamak dan Pemangku Adat Nagari. Tugas utama KAN ini, menyelesaikan sengketa Sako dan Pusako menurut Adat Salingka Nagari, serta menjaga dan mengembangkan nilai-nilai adat pada umumnya. Adapun Majlis Ulama Nagari MUN merupakan lembaga tempat berhimpunnya para ulama Nagari yang memiliki tugas menanamkan aqidah Islam ditengah-tengah kehidupan masyarakat Nagari dan menjaga serta mengembangkan ajaran Agama Islam. Perda Kabupaten Agam No.312001 tentang Pemerintah Nagari ini telah dirubah melalui Perda Kabupaten Agam No.12 Tahun 2007 Tentang Pemerintahan Nagari. Beberapa perbedaannya dengan Perda sebelumnya; 1 memiliki jumlah penduduk 2000 jiwa atau 400 KK, dengan wilayah 600 Ha serta memiliki kemampuan keuangan daerah yang memadai. 2 Terdapat perubahan nama BPRN menjadi BAMUS NAGARI Badan Musyawarah Nagari yang berkedudukan sebagai unsur penyelenggara Pemerintah Nagari. Penentuan Jumlah Anggota BAMUS NAGARI mengikuti jumlah Penduduk Nagari, sekurang — kurangnya 5 orang, sebanyak-banyaknya 11 orang dengan jumlah penduduk 7000 jiwa keatas 3 MMASN dan MUN tidak menjadi bagian dari Perda yang baru. Dari penjelasan di atas, dapat rangkum bahwa OTM mencakup sistem suku, sistem matrilineal, sistem penguasaan tanah dan kesatuan masyarakat hukum adat Nagari, masih berlanjut di Minangkabau Sumatera Barat hingga kini. Dari sisi faktor-faktor eksternal supra-Nagari, keberlanjutan OTM disebabkan, 1 sampai sejauh ini, belum terdapat satu sistem pun yang mampu mengganti secara menyeluruh OTM tersebut. 2 interaksi dari masa ke masa OTM dengan BP menunjukkan elastisitas OTM. 3 Elastisitas OTM memiliki sejarah prosesual yang panjang dari mula terbentuknya Nagari sebagai cangkang OTM. Secara politis, OTM memiliki akar yang kuat dalam masyarakat Nagari, didukung oleh anak Nagari, secara ekonomis pun memiliki kemampuan membiayai dirinya sendiri self financing. 4 Sistem kepemimpinan yang demokratis, Kandungan Adat yang terbuka dan menerima hal-hal baru untuk perubahan agar sesuai dengan perkembangan zaman, menyebabkan OTM bertahan dari tekanan dan intervensi BP. 5 Kepemimpinan OTM yang belandaskan “tiga tungku sajarangan” Ninik-mamak, Alim Ulama dan cendikia sehingga tidak otoriter, mampu menjawab kepemimpinan yang sesuai dengan perkembangan zaman 6 Dinamika dialektika inheren, Islam, adat dan Ilmu pengetahuan justru menguatkan otoritas tradisional. 7 Kepemimpinan OTM tigo tungku sajarangan memilki basis hingga masyarakat tingkat akar rumput, dan berbeda dengan BP yang lebih mengh adap “ke atas”. OTM lebih mendapatkan tempat bagi rakyat Nagari sehingga dipertahankan. Masih kuatnya OTM ini selanjutnya akan menjadi modal utama bagaimana menfaatkan kesempatan di era Ototnomi Daerah, untuk melegitimasi unsur OTM untuk terpilih menjadi anggota DPRD, sehin gga masuk dalam “jantung” BP sehingga dapat mensiasati alokasi APBD bagi Nagari mereka.

BAB VII PERANAN

OTM DAN BP DALAM PENGANGGARAN SEKTOR PERTANIAN PEDESAAN Dalam Bab ini, masalah yang hendak dijelaskan adalah bagaimana peran dari OTM dan BP dalam perencanaan dan pengangggaran APBD. Menurut Crouch 1985, Webber 2006 BP Indonesia memiliki karakterisitik patrimonial. Ketika patron kehilangan kekuasaannya, pada era reformasi, unsur-unsur BP yang menjadi client seperti partai-partai politik membentuk kartel dalam rangka mempertahankan dan merebut kekuasaan Ambardi, 2009. Bandul kekuasaan kemudian bergerak dari sistem presidensial ke parlementer Thoha, 2004. Sehingga, jabatan-jabatan puncak BP seperti Presiden, Menteri, Gubernur, BupatiWalikota, bahkan kini jabatan Kepala Dinas di pengaruhi ditentukan oleh Partai Politik. Pada tataran praksis, berjalannya mesin Birokrasi Pemerintahan, yang digerakkan oleh eksekutif, harus menyesuaikan diri dengan peranan dan kepentingan partai-partai politik yang berada di lembaga Legislatif DPR dan DPRD. Di antara penyesuaian yang harus dilakukan oleh Eksekutif terhadap kepentingan Legislatif adalah dalam praktik perencanaan dan penganggaran APBN, pada BP Pusat, serta APBD pada BP daerah. APBN dan APBD memiliki arti penting dan sangat strategis bagi Legislatif, karena merupakan sumber kehidupan, kebertahanan serta menjadi alat pencapaian kekuasaan partai politik dan anggota Legislatif. Sekali lagi menurut Ambardi 2009, pembentukan kartel oleh partai-partai politik, pasca Pemilu berlangsung, bertujuan untuk mencari sumber-sumber keuangan partai yang berasal dari sumberdaya Negara. Salah satu sumber keuangan tersebut adalah APBN dan APBD. Di samping dapat menjadi sumber keuangan, APBN dan APBD juga bertali temali dengan konstituen partai politik dan anggota Legislatif. Pengalokasian belanja langsung APBN-APBD akan mempengaruhi jumlah perolehan jumlah kursi di DPR dan DPRD. Terkait dengan perolehan suara partai politik dan Legislatif, di Kab.Agam Minangkabau semenjak era reformasi, peran adat Minangkabau unsur OTM menguat. Sebagaimana telah dijelaskan pada bab terdahulu, penguatan peran OTM ini berhubungan dengan politik batas-batas dan reinterpretasi identitas