Iktisar proses Perencanaan Tersingkirnya Kebutuhan Petani Pada Musrenbang Berjenjang

Kesepakatan hanya mengambil satu usulan program dari hasil Musrenbang Kecamatan disebabkan keterbatasan anggaran. 44 Anggaran yang telah dialokasikan pada program SKPD, baik berupa program lanjutan maupun program baru berasal dari usulan elite politik.

8.1.5. Iktisar proses Perencanaan

Sub-bab di atas membahas ranah perencanaan di Kabupaten Agam yang terbagi dalam empat sub-bab, yaitu Musrenbang Jorong, Musrenbang Nagari, Musrenbang Kecamatan dan Forum SKPD-Musrenbang Kabupaten. Pada Musrenbang Jorong, musyawarah berjalan secara demokratis didominasi oleh OTM. Usulan program hasil Musrenbang Jorong, terutama adalah pembangunan, rehabilitasi dan peningkatan prasarana jalan, jembatan, pengairan, sekolah dan sarana ibadah. Pada Musrenbang Nagari, usulan program hasil Musrenbang Jorong terpinggirkan oleh kepentingan perangkat OTM seperti Wali Nagari, Bamus Nagari, dan KAN yang lebih mengutamakan kepentingan kampung halamannya. Usulan program yang dihasilkan dalam Musrenbang Nagari, menurut Dokumen hasil Musrenbang Nagari, sebagian besar bukan merupakan hasil Musrenbang Jorong maupun Nagari . Usulan yang “naik di jalan” ini merupakan akomodasi dari kepentingan perangkat OTM untuk kepentingan Nagari, kampung halaman dan konstituen. Pada Musrenbang Kecamatan, usulan program hasil Musrenbang Nagari kembali terpinggirkan oleh berbagai kepentingan birokrat pada tingkat Kecamatan dan elite politik. Hanya sebagian kecil usulan program hasil Musrenbang Nagari yang diakomodir dalam dokumen hasil Musrenbang Kecamatan. Dalam Musrenbang Kecamatan, teridentifikasi bahwa elite politik dan birokrat dapat merubah hasil prioritasisasi Musrenbang Kecamatan demi kepentingan kampung halaman elite politik dan birokrat. Pada Forum SKPD yang bertujuan menghasilkan rancangan RKPD, yang kemudian akan menjadi bahan pembahasan Musrenbang Kabupaten. Dalam 44 Jika seluruh prioritas 1 sd 3 hasil Musrenbang Kecamatan, maka dari 16 Kecamatan yang ada di Kabupaten Agam, jumlahnya mencakup 48 usulan. Jika masing-masingnya bernilai 500 juta, maka untuk pembangunan dan rehabilitasi infrastruktur, seperti jalan, jembatan, pengairan, dibutuhkan 24 Milyar. proses pelaksanaan forum SKPD ini, hasil Musrenbang Kecamatan pun terpinggirkan oleh kepentingan birokrat eksekutif, hanya satu usulan program hasil Musrenbang dari Kecamatan yang dapat diakomodir dalam rancangan draft Rencana Kerja Pemerintah Daerah RKPD yang kemudian dibahas di Musrenbang Kabupaten. Hal-hal yang dibahas dalam Musrenbang Kabupaten dan menjadi bagian RKPD, pada akhirnya adalah bukan merupakan kebutuhan masyarakat petani pada tingkat Jorong. Karena kebutuhan yang dijabarkan dalam hasil Musrenbang Jorong telah hilang dan tersingkir dalam proses Musrenbang Nagari, Kecamatan dan Kabupaten. Pendekatan partispatif, pada akhirnya, mesti mendapatkan kritik karena telah dikalahkan oleh pendekatan teknokratis top-down dari SKPD dalam ranah perencanaan. Untuk itu, kajian ini menganggap relevan -namun dengan beberapa catatan- hasil kajian Widowati 2007 Sudjito 2008 dan Marbyanto 2008 dan Sopanah 2011 yang menyimpulkan dalam penelitian mereka bahwa partisipasi yang telah diterapkan dalam ranah perencanaan seperti Musrenbang dengan berbagai jenjang bersifat semu dan manipulatif. Peserta walaupun terlihat, namun dianggap tidak ada. Pelaksanaan Musrenbang hanya memenuhi persyaratan administratif. Selain itu, ranah perencanaan syarat dengan kepentingan politis yang terlihat dari mulai tingkat desa hingga KabupatenKota. Kasus di Kabupaten Agam menunjukkan bahwa partisipan Musrenbang tidaklah semu dan manipulatif. Peserta yang terdiri dari unsur OTM dengan motif “harok ka dapek ” hadir secara sukarela dalam Musrenbang. Namun, hasil Musrenbang, Nagari, Kecamatan serta Forum SKPD-Musrenbang Kabupaten menunjukkan adanya muatan politis, sehingga hasilnya pun manipulatif. Muatan politis telah terlihat mulai dari Musrenbang tingkat Nagari, yang ditandai dengan dominannya kepentingan elite Nagari dalam dokumen Musrenbang. Puncak dari muatan politis tersebut terlihat pada forum SKPD yang bersepakat hanya mengadopsi satu usulan di antara prioritas pertama sampai prioritas ketiga yang terdapat pada dokumen hasil Musrenbang Kecamatan setiap kecamatan . Keputusan ini, merupakan “basa-basi” politik tim Perencanaan Daerah untuk menghindar dari pelanggaran terhadap UU No.252004 tentang SPPN dan UU No.172003 tentang Keuangan Negara yang mengharuskan ada keterkaitan di antara ranah perencaan dan penganggaran. Agar terkait kedua ranah tersebut, maka politisnya adalah mengambil hanya satu usulan untuk setiap hasil Musrenbang Kecamatan. Jika tidak ada satupun yang diadopsi hasil dari proses Musrenbang, maka praktis tidak ada kaitan di antara kedua ranah, dan Pemda secara sah dan sengaja melanggar kedua Undang-undang tersebut. Praktik inilah ya ng disebut “Basa-basi politik”. Proses marjinalisasi usulan program yang merupakan kebutuhan masyarakat petani, yang tercermin dalam hasil Musrenbang Jorong, dari Musrenbang Nagari hingga hasil RKPD, dapat dilihat pada Gambar 8.3 di bawah ini. MUSRENBANG JORONG JUMLAH USULAN ± 100 DITERJEMAHKAN DARI RPJMD hanya mengakomodir 5 usulan jorong utk infrastruktur Jorong 95 usulan baru berasal dari Walinagari, KAN, Bamus PROSES MARGINALISASI USULAN PROGRAM DALAM MUSRENBANG RKPD Demokratis, setiap peserta berbicara mewakili kelomok matrilnealnya MUSRENBANG NAGARI MUSRENBANG KECAMATAN FORUM SKPD MUSRENBANG KABUPATEN RKPD Peserta : utusan Paruilk Kaum, Suku Urang nan ampek Jinih JUMLAH USULAN ± 30 INFRASTRUKTUR JORONG Peserta : utusan Jorong, Urang nan ampek Jinih Walinagari, KAN, Bamus Tidak Demokratis, Usulan di dominasi oleh usulan Nagari, Bamus dan KAN dalam Biliak Ketek utk kepentingan konstituen dan jorongnya Peserta : utusan Kab, Nagari, Walinagari, UPTD Dinas, Kecamatan dan DPRD JUMLAH USULAN ± 100 DITERJEMAHKAN DARI RPJMD dan ± 500 usulan Musrenbang Nagari. Hanya mengakomodir 10 usulan Nagari, 90 usulan berasal dari proses Musrenbang dan Kepentingan Kecamatan Analisa Praktik Perencanaan RKPD JUMLAH USULAN ± 5000 Dari Musrenbang Kecamatan. Namun, hanya mengakomodir 1 usulan setiap Kecamatan. Tidak Demokratis, Usulan di dominasi oleh Tim Perumus, yg terdiri dari DPRD, Panitan Kecamatan, dalam Biliak Ketek utk kepentingan konstituen dan jorongnya Tidak Demokratis, Usulan di dominasi oleh BAPPEDA-SKPD. Alasan Keterbatasan Dana Peserta : utusan Kecamatan, Nagari, Walinagari, SKPD, DPRD dan Muspida Plus usul usul usul usul MARGINALISASI USULAN PROGRAM Sumber : Data Empiris 2010 Gambar 8.3 Proses Marginalisasi Usulan Program dalam Musrenbang RKPD Hilangnya usulan program yang merupakan kebutuhan petani pada tingkat Jorong dan Nagari, akibat kepentingan politis birokrat dalam ranah perencanaan menunjukkan birokrasi didominasi oleh kepentingan-kepantingan partikular para pelakunya sehingga birokrasi ke luar dari fungsinya Weber, dalam Beetham, 1979. Namun, ke luarnya birokrasi dari fungsinya dalam ranah perencanaan tersebut bukan semata akibat kepentingan partikular birokrat. Otoritas Tradisonal Minangkabau turut memiliki saham dalam “carut marut” ranah perencanaan tersebut. 8.2. Ranah Persaingan Elite Dalam Penganggaran APBD 8.2.1. Persaingan Aktor Pada Pembahasan KUA-PPAS KUA-PPAS bagi eksekutif dan legislatif memiliki makna lebih dari sekadar aturan normatif. Bagi SKPD, penyusunan KUA-PPAS ini merupakan satu tahap sebelum pembahasan APBD yang mengkhawatirkan, karena dalam penyusunan dan pembahasan KUA-PP AS terdapat proses “penjatahan” Plafon anggaran belanja berdasarkan pagu indikatif. Meskipun plafon tersebut bersifat sementara, namun yang dikhawatirkan para elite birokrasi bahwa anggaran dapat “terkunci” di sini. 45 Dalam rangka menghindari terkuncinya anggaran pada alokasi anggaran yang minimal, penyusunan rancangan KUA-PPAS ini menjadi ajang pertarungan SKPD yang bertujuan hendak memaksimal utilitas yang diperolehnya. Oleh karena itu, masa penyusunan dan pembahasan KUA-PPAS ini menjadi masa menjalin hubungan “asmara” di antara SKPD dengan DPRD. Hubungan “asmara” ini berwujud hubungan transaksional. Hal ini menunjukkan cukup relevannya pendapat Johnson 1994 bahwa eksekutif ingin memaksimalkan anggaran, sedangkan bagi legislatif dalam proses penganggaran berharap dapat terpilih kembali, begitu pula pemilih ingin mendapatkan sebesar- besarnya manfaat anggaran. Ketiga kepentingan diri sendiri tersebut bertemu dalam satu ruang, yaitu ruang kompromi atau konsensus di antara legislator dan eksekutif. Ruang kompromi yang melahirkan hubungan transaksional, terlaksana dalam tiga pola . Pola pertama, anggota DPRD menitipkan programnya pada SKPD yang kemudian dimasukkan ke dalam Renja-SKPD. Pola Kedua, anggota DPRD menitipkan programnya dalam RKA-SKPD. Pola ketiga, terutama SKPD yang mendapatkan alokasi belanja anggaran minimal, strateginya adalah membuat program-program kerja yang dilaksanakan pada Dapil anggota DPRD, tujuannya agar diperjuangkan oleh anggota DPRD bersangkutan. Seperti ungkapan berikut; 45 Wawancara dengan tim TAPD