Melalui argumentasi ini, Wertheim menyimpulkan bahwa elite sengaja tidak mau tahu rakyatnya. Sebaliknya, jika pun mengetahuimemhami rakyatnya, hal
tersebut dilakukan sepanjang menguntungkan kalangan mereka. Menurut Wertheim, sebagaian besar realitas relasi elit dan rakyat adalah kombinasi dari
kedua hal tersebut. Hanya saja, hal pertama lebih dominan, yakni ketidaktahuan sebagai hal yang tidak disengaja. Sehingga, represi elite terhadap rakyat pun tidak
disengaja pula.
2.6. Perencanaan dan Penganggaran APBD
Menurut Luwihono 2010, implementasi proses waktu bulan-demi bulan serta Lembaga Pemerintah yang terlibat dalam siklus tahunan APBD yang
mencakup proses perencanaan dan penganggaran di daerah menurut UU.No.172003 tentang Keuangan Negara, UU No.252004 tentang SPPN dan
UU No.322004 tentang Pemerintahan Daerah adalah sebagaimana terlihat dalam bagan selanjutnya di bawah.
Menurut bagan alir di bawah, RKPD Rencana Kerja Pemerintah Daerah yang disinkronkan dengan Rencana Kerja Renja SKPD Satuan Kerja
Pemerintah Daerah melalui forum asistensi antara SKPD dengan Bappeda yang kemudian menghasilkan Rancangan RKPD yang selanjutnya dibahas dan
disinkronkan dalam proses Musrenbang yang dilaksanakan secara berjenjang, yakni dari Desa, Kecamatan, Forum-SKPDMusrenbang Kabupaten. Rancangan
RKPD yang telah mengalami ubah-sesuai dalam proses Musrenbang selanjutnya dibahas bersama DPRD untuk disyahkan menjadi Perda Peraturan Daerah
tentang RKPD. Namun, sebelum di syahkan, dalam pembahasan DPRD dapat memberi Pokir Pokok-Pokok Fikiran yang menyebabkan penyesuaian dalam
RKPD. Setelah RKPD di sepakati, maka selanjutnya DPRD bersama TAPD membahas KUA-PPAS mengacu pada RKPD yang telah disepakati. Dari KUA-
PPAS ini kemudian menjadi pedoman SKPD menyusun RKA Rencana Kerja Anggaran yang dibahas bersama DPRD. Hasilnya kemudian adalah kompilasi
RKA-SKPD yang telah dibahas dan menjadi Raperda APBD. Ranperda ini kemudian di bahas hingga menjadi Perda APBD. lihat gambar berikut.
Sumber: Luwihono 2010.
Gambar 2.2. Alur Proses Perencanaan dan Penganggaran APBD
Metode di atas, harus diterima secara hati-hati, mengingat ranah perencanaan dan penganggaran, merupakan medan syarat nilai dan kepentingan.
Widowati 2007 dan Sopanah 2011, menyimpulkan dari hasil penelitiannya bahwa partisipasi yang telah diterapkan dalam ranah perencaaan seperti
Musrenbang dengan berbagai jenjang, bersifat semu dan manipulatif. Peserta walaupun terlihat namun dianggap tidak ada. Pelaksanaan musrenbang hanya
memenuhi persyaratan administratif. Di samping itu, ranah perencanaan syarat dengan kepentingan politis yang terlihat dari mulai tingkat desa hingga Kab.Kota.
Hasil kajian Sudjito 2008 menyimpulkan bahwa partisipasi dalam perencanaan belum berkorelasi positif dengan derajat perubahan kebijakan secara
nyata. Bahkan partisipasi rakyat yang diharuskan secara normatif melalui UU No.252004 tentang SPPN dan UU No.342004 tentang Pemerintahan Daerah
terjebak dalam formalisasi yang justru dimentahkan oleh UU No.172003 tentang Keuangan Negara, dan UU No.332004 tentang Perimbangan Dana Pemerintah
Pusat dan Daerah. Keempat Undang-Undang tersebut, terutama UU No.25 tahun 2004 dan UU No.172003 yang berusaha mensinkronkan ranah perencanaan dan
pengangaran lihat bagan sosialisasi Bappenas di atas, namun praktiknya dibanyak daerah sering tidak “menyambung” disconnection antara hasil
musrenbang Kabupaten dengan posting alokasi belanja anggaran. Artinya, hasil musrenbang tersebut tidak dijadikan referensi atau diabaikan oleh eksekutif dan
legislatif ketika membahas RAPBD. Oleh karenanya, anggaran daerah cenderung disusun secara oligarkis oleh eksekutif dan legislatif sehingga tidak bisa disentuh
untouchable oleh partisipasi masyarakat. Perilaku oligarkis eksekutif dan legislatif
ini, dimungkinkan
karena, keempat
Undang-Undang yang
mengsinkronkan ranah perencanaan dan penganggaran, seperti tersebut di atas, tidak dilanjuti dengan payung hukum yang diterbitkan oleh daerah kemauan
politik Pemda dan DPRD dalam bentuk Perda atau Perbup, sehingga rambu- rambu dan juknis perencanaan dan penganggaran sering berlandaskan
Permendagri, SEB Mendagri Bappenas, pada substansi nomenklatur di dalamnya bobot partisipasi sipil diabaikan. Di samping itu, berkaitan dengan temuan
Widowati di atas, Sudjito 2008 juga menemukan fakta bahwa praktik Musrenbang cenderung didominasi elite dan monopoli birokrasi sehingga rakyat
atau masyarakat yang hadir dalam musrenbang hanya aksesoris. Di samping pengabaian hasil dokumen Musrenbang oleh TAPD dan Panggar, pada proses
penyusunan RKA-SKPD yang kemudian dikompilasi menjadi Ranperda APBD, para kepala SKPD dinas-dinas dalam kerangka perencanaan teknokratis
berupaya untuk mendapatkan anggaran yang maksimal. Bahkan, rancangan rencana kerja anggaran RKA-SKPD terkadang ke luar dari rambu-rambu
RPJMD, Renstra maupun Renja SKPD. Di sisi lain, Faulina et.al 2010 menemukan fakta dalam penelitiannya
mengenai anggaran Dinas Kesehatan Prov.NTB. Pada ranah penganggaran telah menjadi ladang politik transaksional, dimana Eksekutif dan Legislatif
“berkoordinasi” menitipkan program pada Dinas Kesehatan untuk kepentingan keduanya. Postin
g anggaran titipan tersebut bukan saja mengurangi “jatah” alokasi anggaran Dinkes, tetapi juga program “titipan” tersebut tidak berpedoman
pada Renstra Rencana Strategis Dinkes itu sendiri. Fakta lain, ditemukan Denas 2007 dalam penelitiannya, menyebutkan salah satu penyebab tidak sesuainya
antara petunjuk teknis pelaksana dan praktik penganggaran APBD disebabkan terbatasnya jumlah sumberdaya manusia yang terlatih dalam menyusun,
memfasilitasi perencanaan dan penganggaran pada dinas-dinas, khususnya Dinkes Kota Padang Denas, 2007.
Temuan-temuan di atas, pada akhirnya sesuai dengan pendapat Marbyanto dalam Syukry, 2008 bahwa terdapat 13 fakta empirik dalam perencanaan dan
penganggaran APBD, sehingga petunjuk teknis pelaksana perencanaan dan penganggaran normatif berbeda dengan fakta. Tiga belas fakta empirik tersebut,
pertama, intervensi hak Budgeting DPRD sangat kuat sehingga mampu mengusulkan program-program baru diman ; a usulan program-program
berbeda dengan hasil musrenbang, b banyak usulan program justru merubah hasil musrenbang, c usulan program memiliki motif merawat dukungan
konstituen, d motif memburu rente dengan mengusulkan proyek serta ikut ambil bagian dalam pengadaan barang, e salah satu strategi eksekutif untuk
“menjinakkan” kuatnya intervensi hak budgeting DPRD ini, adalah dengan alokasi anggaran tertentu kepada DPRD, seperti penyaluran dana Bansos, atau
memberi dana aspirasi kepada anggota DPRD.
Kedua, musrenbang masih menjadi retorika. Ranah perencanaan didominasi oleh Kebijakan Kepala Daerah, SKPD dan DPRD. Ketiga, proses
perencanaan terpisah dengan proses penganggaran, atau menyimpang dari bagan alir UU No.2520004 tentang SPPN dan UU No.172003 tentang Keuangan
Negara. Akibatnya, di antara proses perencanaan dan penganggaran tidak menyambung. Keempat, ketersediaan dana yang tidak tepat waktu. Kelima, break
down RPJP kepada RPJM kepada RKPD tidak berkesinambungan. Keenam, kualitas RPJP, RPJM dan Renstra yang tidak terukur. Ketujuh,
terlalu banyak order dari pemerintah Provinsi dan Pusat dalam proses perencanaan. Kedelapan, Koordinasi antar SKPD dalam ranah perencanaan masih
lemah. Misalnya, Dinas Kehutan membuat program reboisasi hutan. Dinas Pertambangan, pada hutan yang sama membuka hutan untuk lahan penambangan
batu bara. Kesembilan, SKPD yang memiliki dana besar sering tidak memiliki tenaga perencanaan yang handal, pun Bappeda tidak mampu memberi asistensi
kepada SKPD tersebut. Kesepuluh, APBD KabKota perlu untuk dievaluasi oleh Provinsi. Kesebelas, Kualitas Musrenbang Desa dan Kecamatan rendah, karena
tidak difasilitasi oleh fasilitator yang handal. Menurut PP No.722005, Pemkab dapat melalui Pemerintah kecamatan mendapat amanah untuk memfaslitasi
musrenbang Desa dan Kecamatan. Namun, tidak berjalan. Keduabelas, manual panduan Musrenbang, seperti Permendagri 66 Tahun 2007 misalnya, terlalu rumit
untuk dipahami masyarakat desa yang berada di pelosok-pelosok. Ketigabelas, Penerapan P3MD Perencanaan Pembangunan Partisipatif Masyarakat Desa
sering menimbulkan bias dan oversimplikasi. Dari temuan fakta-fakta empiris di
atas, dapat disimpulkan bahwa terdapat kesenjangan di antara petunjuk teknis pelaksana dan fakta mengenai perencanaan dan penganggaran APBD. Jika
kebutuhan petani berawal dan terlihat dari musrenbang berjenjang, maka ketika hasilnya diabaikan, maka kebutuhan mereka juga tidak dapat dijawab oleh
anggaran. Di samping itu, fakta-fakta temuan lapangan tersebut, mengindikasikan untuk berhati-hati mengikuti alur petunjuk teknis pelaksana perencanaan dan
penganggaran normatif sebagaimana pisau analisis dalam kajian empiris.
2.7. Hubungan Birokrasi Pemerintahan dan Otoritas Tradisional