Walinagari KAN
BAMUSBPRN Ninik Mamak
KaumKampung
Bundo Kanduang Ulama
PEMUDA BUPATI
OTORITAS TRADISIONAL
KERANGKAN PEMIKIRAN
Interaksi SKPD-DPRD
Renja DPRD Interaksi
SKPD-DPRD KUA-PPAS
Interaksi SKPD-DPRD -BUPATI
RKA SKPD APBD
DPRD
NAGARI
RAPBD
Kontestasi Area penyusunan pembahasan
program RAPBD
BIROKRASI PEMERINTAHAN
Aliran alokasi anggaran APBD pada Kampung anggota DPRD
Kontestasi MUSRENBANG
Nagari Kecamatan
Kab.
Proses melalui PEMILU
Proses melalui PEMILU
POKOK-POKOK PIKIRAN DPRD Menyebabkan perubahan APBD
RKPD Kontestasi
Proses Pemilu Legislatif
Kepala Daerah
1 2
3
Gambar 3.1. Kerangka Pemikiran 3.2. Hipotesis
Pada tahapan pengambilan, interpretasi dan analisis data penelitian ini dibimbing oleh hipotesis sebagai berikut :
Jika Birokrasi Pemerintahan pola Weberian diterapkan dalam konteks otoritas tradisional yang masih kuat, maka akan terjadi kontestasi antara
elite yang menyebabkan Birokrasi Pemerintahan pola Weberian tidak berfungsi sebagaimana mestinya.
3.3. State of The Art: Evolusi Birokrasi Pemerintahan di Indonesia
Studi Birokrasi telah dibangun dan dikembangkan oleh Max Weber 1978. Menurut Weber, birokrasi modern legal-rasional yang berkembang di
Barat, terkendala tumbuh kembang di Asia karena kultural adat tradisi, agama dan pemikiran tidak dapat menjadi media pendukung. Oleh karenanya, Weber
menyebut Birokrasi di Asia masih pekat dilingkupi oleh birokrasi patrimonial Turner 1984. Tesis Weber tersebut kemudian mendapat pembenaran dari hasil
studi Crouch 1985 yang berjudul “Economic Change, Social Structure and the
Political system in Southeast Asia, Philippine Development Compared with the Other ASEAN Countries
” yang menyimpulkan bahwa Negara Philippina dan
Negara di Asia Tenggara lainnya Indonesia, Singapore, Malaysia masih dikungkung oleh patrimonialisme. Namun, berbeda dengan Weber, Crouch
1985 melihat konsekuensi patrimonialisme dalam politik sebagai hal penting dalam pencapaian pembangunan ekonomi.
Di Indonesia, kajian otoritas tradisional dengan legal-rasional modern dalam birokrasi didominasi oleh pendekatan kultural, di samping beberapa
diantaranya struktural dan ketergantungan. Menurut urutan tahun, dapat diringkas sebagai berikut;
Studi Feith pada tahun 1962 melihat kontestasi sesama elite berkuasa governing elite dalam birokrasi pemerintahan yang menyebabkan kemunduran
demokrasi pemerintahan parlementer pada masa awal kemerdekaan. Kontestasi sesama elite berkuasa tersebut berpangkal pada dua gaya kepemimpinan yang
sangat berbeda, yang pertama disebut solidarity makers
1
dan kelompok elite yang kedua disebut administrator atau problem solver.
2
Kedua kelompok ini memiliki visi, gaya, kecakapan dan basis kepemimpinan yang berbeda di dalam usaha
membawa Indonesia merdeka sebagai sebuah Negara yang modern Modern State. Benda 1964 mengkritik tesis Feith, bahwa kegagalan demokrasi
parlementer memperluas analisis Feith berpangkal dari politik dan birokrasi patrimonial politik aliran yang bersumber dari suku, agama dan ideologi yang
dianut masing-masing kelompok elite penguasa. Terkait dengan diskursus Feith dan Benda, Castles dan Feith 1970
kemudian memetakan lima kelompok aliran yang kemudian akan mempengaruhi evolusi birokrasi Indonesia, yakni, Islam, Tradisional Jawa, Sosialis Demokratik,
Nasionalis Radikal dan Komunis. Dampaknya terhadap birokrasi pemerintahan adalah, pertama, munculnya konflik yang bersifat sentrifugal konflik meluas
melewati batas wilayah, sehingga sulit diatasi dan berakibat pada tidak stabilnya birokrasi pemerintahan politik. Kedua, koalisi antar partai politik yang ada
menjadi lemah.
1
Elite yang memiliki basis massa hingga akar rumput, yang menjadikan politik sebagai panglima. Pada perfektif politik aliran, kelompok elite ini berasal dari suku Jawa.
2
Elite yang tidak memiliki basis massa, namun merupakan kalangan terdidik tamatan perguruan tinggi yang lebih memprioritaskan permasalahan ketata negaraan dan pemecahaan masalah untuk
memajukan Indonesia. Pada perspektif politik aliran, umumnya kelompok elite ini berasal dari suku Minangkabau.
Studi lain mengenai birokrasi, dilakukan oleh Mortimer 1973, diberi judul “Indonesia: Growth or Development’ menyimpulkan bahwa praktek
modernisasi di Indonesia memunculkan kelompok birokrat kapitalisme sehingga nuansa birokrasi yang hadir pada saat 1970-an itu adalah birokrasi kapitalisme.
Birokrasi yang dimana para birokratnya memiliki kepentingan partikular, sehingga menjadi “junior partner” bagi modal asing ketika modernisasi
dilaksanakan di Indonesia. Kajian lain mengenai birokrasi patrimonial dimana unsur-unsur
tradisional menjadi kepentingan partikular birokratnya juga ditemukan pada kajian Jackson 1978 yang menyimpulkan bahwa susunan politik patrimonial
mempengaruhi wajah birokrasi di Indonesia. Wujud birokrasi Indoneisa adalah politik birokrasi bureaucratic Polity dimana keputusan politik yang diambil
tidak ada hubungan terlepas dari kekuatan sosial-politik dan hanya berlangsung dikalangan elite tertinggi di pemerintahan pusat lingkungan Istana Negara.
Tubuh politik berpijak pada azas kewenangan legal-rasional, yang didukung oleh Militer, elite birokrasi dan teknokrat. Kekuasaan Negara berada ditangan
sekelompok Militer yang menganut pendekatan Teknokratik, birokratik dalam pengambilan keputusan
Studi yang dilakukan King 1982 menyimpulkan bahwa, khususnya pada tahun 1980-an, Birokrasi Indonesia memilik karakteristik rejim birokrasi otoriter
bureaucratic-authoritarian regime, dimana kekuasaan berada dalam oligarkhi, sekumpulan orang, lembaga institusi Militer. Hal ini menyebabkan birokrasi
Weberian yang memiliki ciri legal-rasional dan impersonal tidak dapat berlangsung.
Studi yang dilakukan Castles 1983, memiliki kesimpulan yang sama penelitian terdahulu, namun dengan nuansa yang berbeda. Menurutnya, birokrasi
Indonesia bercirikan Patrimonial yang memiliki karakteristik hubungan keluarga dalam seluruh hierarki pemerintahan. Birokrasi seperti tersebut, telah berlangsung
dari masa kerajaan Mataram, Kolonial Belanda, Demokrasi Parlementer, Terpimpin dan Pancasila. Bahkan, menurutnya, pelaksanaan birokrasi
Pemerintahan Orde Baru kembali ke arah pra-kolonial yakni monarkhi Jawa.
Studi lain yang berkenaan dengan birokrasi patrimonial, juga dilakukan oleh Emmerson 1983 yang menyimpulkan bahwa Birokrasi Indonesia bersifat
Plural Bureacratic Pluralism. Perspektif ini menekankan bahwa politik di tingkat nasional lebih bersifat pluralistik. Ia berkesimpulan bahwa perdebatan serius
tentang isu kebijakan memang terjadi pada banyak kelompok yang plural dalam birokrasi. Kompetisi politik tidak hanya sekedar mengenai distribusi keuntungan
personal di antara kelompok-kelompok klien, tetapi juga dalam substansi kebijakan. Dalam konteks Orde Baru, birokrasi menjadi lemah karena didalamnya
banyak kelompok yang bersaing satu sama lain. Ia juga tidak melihat pada akhirnya pengaruh dalam pembuatan kebijakan tetap saja dimonopoli oleh negara.
Berbeda dengan Emmerson di atas, kajian Robinson 1986 dan Muhaimin 1990 yang menyimpulkan birokrasi pemerintahan yang bersifat
patrimonial melahirkan pengusaha-pengusaha kapitalis yang berselingkuh dengan birokrasi pemerintahan. Para pengusaha yang muncul bertali temali
dengan elite birokrasi, baik memiliki hubungan saudara, kolega, pertemanan atau hubungan simbiosis mutualisme dan transaksional. Kapitalis yang lahir kemudian
tergantung perkembangan usahanya dengan proyek-proyek pembangunan, serta kemudahan akibat kebijakan yang dihasilkan oleh Birokrasi Pemerintahan.
Semenjak dilaksanakannya otonomi daerah, kajian mengenai birokrasi pemerintahan diwarnai oleh birokrasi patrimonial yang dipengaruhi oleh partai-
partai dengan berbagai aliran. Studi Thoha 2004 menyimpulkan bahwa Birokrasi Pemerintahan Indonesia telah sejak lama “dibajak” oleh partai politik.
Pembajakan dilakukan dengan menguasai suara kemudian melakukan tekanan untuk dapat menduduki posisi atau jabatan strategis pada Birokrasi Pemerintahan
yang kemudian berakibat pada menyimpangnya fungsi-fungsi birokrasi Weberian. Studi ini kemudian dipertegas oleh Ambardi 2009 yang menyimpulkan bahwa
partai-partai membentuk
kartel, kemudian
mengeksploitasi birokrasi
pemerintahan untuk pemburuan rente anggaran Negara, untuk dialirkan pada diri, kelompok dan partai. Oleh karena itu, masih cukup relevan menyimpulkan bahwa
birokrasi pemerintahan Indonesia masih dipengaruhi nilai-nilai budaya patrimonial Webber, 2006. Untuk lebih jelasnya mengenai tinjauan sejarah
mengenai kajian Birokrasi Pemerintahan Indonesia, dapat dilihat pada matriks di bawah ini.
Secara keseluruhan, kajian yang lebih memusatkan bagaimana nilai-nilai budaya matrilileneal yang bukan bercirikan patrimonial Patrilineal dalam
birokrasi pemerintahan belum pernah dilakukan. Tabel 3.1. Matriks State of the Art Studi Birokrasi Patrimonial di Indonesia
Thn Peneliti
Judul Penelitian Pendekatan Penelitian
Mikro Makro
Struktural Kultural
Ketergantung an
1960 Herbert Feith
The Decline of Constitutional
Democracy In Indonesia
Kontestasi Sesama elite berkuasa, dengan latar
belakang budaya dan orientasi politik berebeda
menyebabkan demokrasi di Indonesia menurun.
Berpengaruh kepada birokrasi Pemerintah semasa awal
kemerdekaan
1970 Lance Castles
Herbert Feith
Indonesia Politikal Thingking 1945-1966
Terdapat pemilahan sosial, yang kemudian
mempengaruhi sistem kepartaian pada masa awal
kemerdekaan, yang dapat dikelompokkan menjadi lima
aliran, yakni, Islam. Tradisional Jawa, Sosialis
Demokratik, Nasional Radikal dan Komunis.
1971 Harsya
W.Bachtiar Bureaucracy and
Nation Formation in Indonesia
Negara menjadi Negara PNS
yang menyebabkan
birokrasi menjadi tambun
1973 Mortimer
Indonesia : Growth or Development
Tumbuhnya kelas
birokrasi capitalism
dengan ciri berperan
sebagai
“junior partner” bagi
modal asing 1978
Karl D.Jackson
Political Power and Communications in
Indonesia Susunan politik di Indonesia
adalah “bureaucratic Polity” dimana keputusan politik
yang diambil tidak ada hubungan terlepas dari
kekuatan sosial-Politik dan hanya berlangsung
dikalangan elite tertingi di pemerintahan pusat
lingkungan Istana Negara. Tubuh politik berpijak pada
azas kewenangan legal- rasional, yang didukung oleh
Militer, elite birokrasi dan teknokrat.
Masyarakat
1982 Dwight
Y.King Indonesia’s, New
Order as a Bureaucratic Polity, a
Neopatrimonial Regime or
Bureaucratic- Authoritarian Regime
Susunan Politik di Indonesia adalah bureaucratic-
authoritarian regime, dimana kekuasaan berada dalam
oligarkhi, sekumpulan orang, lembaga institusi Militer.
Kekuasaan Negara berada ditangan sekelompok Militer
yang menganut pendekatan Teknokratik, birokratik dalam
pengambilan keputusan
1983 Castle
Birokrasi, Kepemimpinan dan
Revolusi Sosial Birokrasi Indonesia
bercirikan Patrimonial yang memiliki karakteristik
hubungan keluarga dalamseluruh hierarki
pemerintahan. Birokrasi Indonesia memiliki
kontinuitas dari masa kerajaan Mataram, Kolonial
Belanda, Demokrasi Parlementer, Terpimpin dan
Pancasila. Birokrasi Orba kembali ke arah pra-kolonial,
monarkhi Jawa
1983 D.K.
Emmerson Understanding the
New Order: Bureaucratic Pluralism
in Indonesia Pluralisme Birokrasi;
Perspektif ini menekankan bahwa politik di tingkat
nasional lebih bersifat pluralistik. Ia berkesimpulan
bahwa perdebatan serius tentang isu kebijakan
memang terjadi pada banyak kelompok dalam birokrasi
dan juga negara memang bersifat plural dan kompetisi
politik tidak hanya sekedar sebagai distribusi keuntungan
personal di antara kelompok- kelompok klien, namun juga
dalam substansi kebijakan itu sendiri. Dalam konteks Orde
Baru, ia berpendapat birokrasi menjadi lemah dimana
didalamnya banyak kelompok yang bersaing satu sama lain.
Ia juga tidak melihat negara sebagai jawaban atas tekanan
atau permintaan masyarakat yang pada akhirnya pengaruh
dalam pembuatan kebijakan tetap saja hanya dimonopoli
oleh negara.
1983 Sutherland
Terbentuknya Elite Birokrasi Di Indonesia
Terbentuknya elite birokrasi
di Indonesia merupakan
kelanjutan dari Elite
Birokrasi Kolonial
Belanda
1985 Harold
Crouch Economic Change,
Social Structure and the Political system in
Southeast Asia Politik di
Negara- negara Asia
Tenggara syarat
dengan kepentingan
partikular Philipine:
Catolic; Indonesia :
Kerajaan Jawa;
Confusianim : Singapore
yang memiliki
konsekuensi politik yang
penting untuk
mencapai kesuksesan
pembanguna n ekonomi
1986 Richard
Robinsons Indonesia: The Rise of
Capital Birokrasi
Patrimonial Orba
melahirkan Birokrasi
berpolitik dan kapitalisme
kekeluargaan dimana
Militer, Tionghoa,
Pengusaha Pribumi dan
Birokrasi berselingkuh
1990 Muhaimin
Bisnis dan Politik : Kebijakan Ekonomi
Indonesia 1950-1980 Birokrasi
Patrimonial menghasilka
n pengusaha yang
tergantung dengan
Birokrasi Pemerintah
1992 Evers and
Scheil Kelompok-Kelompok
Strategis: Studi Perbandingan tentang
Negara, Birokrasi, dan Pembentukan Kelas di
Dunia Ketiga proses
birokrasi di Indonesia
berkembang model
birokrasi ala Parkinson
dan ala Orwel.
Birokrasi ala Parkinson
adalah pola dimana
terjadi proses pertumbuhan
jumlah personil dan
pemekaran struktural
dalam birokrasi
secara tidak terkendali.
Sedang birokrasi ala
Orwel adalah pola
birokratisasi sebagai
proses perluasan
kekuasaan Pemerintah
dengan maksud
mengontrol kegiatan
ekonomi, politik dan
sosial dengan peraturan,
regulasi dan bila perlu
melalui paksaan
1994 Kuntowijoyo
Demo krasi
dan Buda
ya Birok
rasi Budaya
Patrimonial dalam
birokrasi Pemerintaha
n Indonesia berakar pada
tradisi birokrasi
Kerajaan Jawa,
terutama kerajaan
Agraris.
1995 Manan
Birok rasi
dan Otorit
as Tradi
sional :
Nagar i dan
Desa di
Mina ngkab
au Otoritas
tradisional Minangkaba
u dan birokrasi
Modern dapat hidup
saling melengkapi,
bahwa, Nagari
merupaka satu wilayah
yang utuh dibanding
Desa
2004 Thoha
Birokrasi dan Politik Birokrasi
Pemerintah telah sejak
awal kemerdekaan
“dibajak” oleh Partai
Politik Sehingga
Birokrasi Weberian
tidak berfungsi
2006 Webber
A Cons
olidat ed
Patri monia
l Demo
cracy ?
Demo cratiz
ation in
Post- Suhar
to Indon
esia,” budaya
politik di
Indonesia lebih
mengarah pada
nilai- nilai
patrimonial dan,
karenanya, jenis sistem
politik
dan demokrasi
yang berkembang
adalah sistem
politik
dan demokrasi
patrimonial. Sistem
politik jenis ini
mengandaika n kondisi di
mana
para pemegang
kebijakan mengeksploit
asi posisi
mereka hanya untuk
tujuan-tujuan dan
kepentingan pribadi,
bukan kepentingan
universal.
2009 Ambardi
Mengungkap Politik Kartel
Birokrasi Pemerintah Era Reformasi telah dibajak oleh
Partai Politik. Partai-Partai membentuk kartel dan
kemudian saling bekerjasama melakukan perburuan rente di
Lembaga Legislatif DPRD dan Eksekutif melalui
jabatan-jabatan elite puncak pada birokrasi pemerintahan
Dalam konteks Mikro masyarakat Minangkabau, studi interaksi di antara Otoritas Tradisional Minangkabau dengan birokrasi pemerintahan, baik dengan
tema utama maupun sub tema penelitian, telah sering dilakukan. Studi Manan 1995 misalnya, menjelaskan secara historis interaksi keduanya sangat dinamis.
Studi yang bersifat Weberian tersebut, menyanggah pendapat Weber bahwa birokrasi legal rasional akan menggantikan posisi otoritas tradisional. Hal ini
terbukti, sejak masa kolonial Belanda hingga saat ini, otoritas tradisional yang terbungkus dalam kesatuan Nagari, masih kuat keberadaannya.
Dalam “hiruk pikuk” kajian mengenai masyarakat Minangkabau, interaksi antara otoritas tradisional dengan birokrasi modern mengerucut kepada dua
pendapat, yang pertama, otoritas tradisional meluruh digantikan oleh birokrasi modern. Pendapat kedua, otoritas tradisional mampu bertahan dan secara dinamis
mampu berinteraksi dengan birokrasi pemerintahan hingga kontemporer. Tesis pertama diwakili oleh Schrieke 1955, de Jong 1960, Gough 1961 Maretin
1963
3
dan Geertz 1967 yang menyebutkan kontak budaya masyarakat Nagari- Nagari otoritas tradisional Minangkabau dengan kolonial Belanda dan kapitalis
modern yang menyertainya berakibat pada perubahan pada masyarakat Minangkabau,
4
seperti, pengejar laba, revolusi agrarian, melemahnya ikatan kekerabatan luas, konflik di antara kaum muda dan tua, kewibawaan tradisional
melemah, standar sosial tradisional goyah, bahkan menurut Geertz, “inti kebudayaan” telah berubah. Pecahnya keluarga luas, melemahnya penghulu,
melemahnya berbagai adat perkawinan, semua berujung pada melemahnya Otoritas Tradisional Minangkabau.
Kelompok kedua, menyanggah kesimpulan kelompok pertama. Ketika
kolonial Belanda menjajah Minangkabau, mereka sengaja memelihara memperkuat otoritas tradisional berikut budaya Minangkabau dengan sistem
pemerintah indirect rule Kahn, 1976; von Benda-Beckman, 1979; Kato, 1984,
Manan, 1995; Biezeveld, 2002; Hadler, 2010. Kato 1984 misalnya, berpendapat bahwa perubahan telah terjadi di Minangkabau, namun, kerabat matrilineal
sebagai kelompok korporasi masih bertahan. Pola pewarisan kepada anak telah menggejala, namun warisan itu lebih diutamakan kepada anak perempuan dimana
pada generasi kedua kembali menjadi warisan kepada garis ibu pusaka tinggi. Von Benda Beckman 1979 juga menyimpulkan birokrasi modern seperti
ekonomi modern dapat mengganggu sistem matrilineal, oleh karenanya juga otoritas tradisional. Namun, hal ini belum terjadi. Biezeveld 2002
menambahkan, “daya rusak” dari pengaruh-pengaruh perubahan sosial terhadap Nagari-Nagari
di Minangkabau akibat “berjumpa” dengan kapitalisme birokrasi modern, perlu dipilah-pilah. Pengaruh-pengaruh itu berbeda-beda melihat usia
Nagari, basis ekonominya perdagangan atau pertanian, serta terletak dekat atau jauh dari Kota perkotaan-pedesaan. Untuk Nagari-Nagari Tua dan basisnya
3
Menurut von Benda-Beckman 19792000; 484, analisis Maretin 1961 dangkal dan tidak didukung fakta yang ade kuat, pendapatnya telah pula pernah dibahas oleh Joustra 1923 dan
Van Volenhoven 1909. Dalam bahasa von Benda- Beckman “para penulis yang muncul
kemudian meninjau perubahan dari garis ibu ke bapak tidak memperlihatkan analisis yang lengkap dari penulis itu, label yang mereka kenakan pada perubahan-perubahan yang terjadi di
Minangkabau sangatlah menyesatkan, dangkal dan tidak didukung data etnografis.
4
Konsep besarnya percakapan kedua kelompok ini adalah individualisasi. Otoritas tradisional itu disanggah oleh sistem masyarakat komunalisme. Lihat kajian kontempor mengenai dalam disertasi
Renske Biezeveld 2002
perdagangan justru otoritas tradisional mencakup kebudayaan Minangkabau masih bertahan, dan terus berkembang.
Hadler 2010, berdasarkan kajian terhadap sejarah keluarga, rumah dan perkawinan di Minangkabau
5
memproyeksikan bahwa adat Minangkabau ini akan masih terus bertahan, karena kecintaan dan kebanggaan masyarakatnya terhadap
budaya Minangkabau. Bahkan, Imam Bonjol di hari-hari akhir hayatnya merindukan alam dan adat Minangkabau. Dengan kenyataan tersebut, tidak
berlebihan jika Abdullah 2010 menyimpulkan bahwa perkiraan akademis Schrieke bahwa proses individualisasi orang Minangkabau akibat kemajuan
ekonomi, sosial dan sebagainya akhirnya akan melemahkan ikatan matrilineal, dan otoritas tradisional yang menyangganya, masih bisa dianggap ramalan
akademis saja. Satu-satunya kajian yang tema utamanya bersangkutan dengan interaksi
otoritas tradisional dan birokrasi modern, yang mendekati kajian ini, telah dilakukan oleh Manan 1995. Kajian yang bersifat Weberian ini, dilatar
belakangi implementasi UU No.51975 tentang Pemerintahan Desa di Sumatera Barat oleh pemerintah pusat birokrasi modern terhadap Nagari otoritas
tradisional yang ingin diseragamkan menjadi desa. Hanya karena alasan finansial mengharapkan bantuan Bangdes, Inpres, implementasi undang-undang ini,
kemudian memecah Nagari-Nagari menjadi desa. Nagari yang semula berjumlah 542 Nagari di seluruh Sumatera Barat, kemudian mekar menjadi 3.332 Desa.
Manan 1995 kemudian melakukan penelitian selama dua tahun, dengan pertanyaan penelitian yaitu 1 Pendekatan atau strategi apa yang dipakai oleh
Pemerintah Sumatera Barat dalam menerapkan peratuan baru itu? 2 Bagaimana reaksi elite tradisional dalam memelihara kebudayaan dan kepentingan lokal? 3
Apa dampak dari birokrasi modern terhadap otoritas tradisional? Beberapa jawaban dari penelitian tersebut adalah, pertama, ada beberapa strategi yang
dipakai untuk mengimplementasikan “si No.5”
6
tersebut, seperti melakukan pilot
5
Pertanyaan Hadler bermula dari fakta 33 pendiri Negara Indonesia adalah Orang Minangkabau.. Apa rahasia dibalik penyebabkan orang Minangkabau ini dapat menghasilkan
kualitas manusia “unggul”?
6
Gelar yang diberikan kolega, yang kemudian menjadi artikel di majalah Tempo, dengan judul Menggugat si Nomor 5. Tempo. No.36 Tahun XX, 3 November. Hal.24. Maksudnya, adalah UU
No.51979 tentang Pemerintahan Desa
project di beberapa tempat di Sumatera Barat selama 3 tahun, untuk melihat reaksi masyarakat Minangkabau. Kemudian memasyarakatkannya kepada
masyarakat, elite tradisional, Camat, Bupati, melahirkan banyak Perda untuk mendukung pemekaran wilayah tersebut. Selanjutnya memberlakukan Perda
No.131983 yang secara yuridis formal menjamin keutuhan teritorial Nagari dan mengukuhkan KAN Kerapatan Adat Nagari sebagai lembaga yang akan
memelihara adat Minangkabau. Terhadap jawaban pertanyaan kedua dan ketiga, Manan mengemukakan, bahwa meskipun secara teritorial Nagari dimekarkan,
namun otoritas tradisional seperti kepemimpinan yang dibangun dari bawah serta
memiliki legitimasi seperti tigo tungku sajarangan tetap berperan menjaga
kesatuan adat Minangkabau dalam kerangka Nagari otoritas tradisional. Di samping itu, kekenyalan otoritas tradisional ini juga disebabkan adat
yang selalu mampu beradaptasi dengan perubahan, hal yang menarik dari temuan ini adalah ternyata tidak seluruh desa mampu mandiri seperti desa-desa di Jawa.
Hal ini disebabkan karena keuangan desa yang terbatas, satuan wilayah yang tidak mendukung, jumlah penduduk yang kurang serta ketiadaan legitimasi dari
penduduk setempat yang biasa berfikir dalam kerangka Nagari. Desa kemudian tidak mampu membangun partisipasi masyarakatnya agar mampu menjadi desa
“self financing”. Sehingga, kepala desa tidak memiliki marwah, desa kemudian hanya berfungsi sebagai tempat mengurus Kartu Tanda Penduduk dan Pajak Bumi
Bangunan. Kepala desa dan perangkat desa, tidak mendapatkan gaji, akibatnya kemudian melakukan penyimpangan terhadap dana bangdes dan dana-dana yang
dikucurkan dari pemerintah pusat dan propinsi. Secara garis besar beberapa kajian baik yang dilakukan oleh ahli
antropologi, sosiologi, maupun administrasi negara tersebut merupakan “lumbung” hasil panen penelitian mengenai interaksi otoritas tradisional dengan
birokrasi modern. Ringkasan hasil-hasil kajian mengenai Minangkabau tersebut menyisakan satu ruang bagi penelitian sosiologi yakni suatu cluster kajian yang
berusaha mengungkap secara khusus tema peran interaksi otoritas tradisional di dalam birokrasi pemerintahan. Secara khusus interaksi antar peranan yang
berbentuk hubungan kontestasi bersaing, saling dukung, dan konflik antar pelbagai pihak baik dalam arena sistem tradisional maupun modern yang
menyangkut pengambilan keputusan di bidang keuangan publik. Dalam konteks tersebut penelitian ini menempatkan aspek-aspeki perencanaan dan penganggaran
APBD Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah sebagai celah masuk sekaligus kasus untuk menemukan bentuk-bentuk interaksi antar peranan yang
dimaksud.
BAB IV METODOLOGI PENELITIAN