Politik Kepartaian Nasional, Dari Patrimonial Menjadi Kartel

9.2. Terbentuknya Birokrasi Pemerintahan Lokal

Terbentuknya birokrasi pemerintahan lokal, seperti yang terlihat pada proses perencanaan dan penganggaran dalam bab terdahulu, merupakan hasil sintesis tiga gejala, yakni perpolitikan Nasional yang bersifat patrimonial serta perubahan Rezim Orde Baru yang mengikutinya, OTM yang masih kuat dianut rakyat di Nagari-Nagari, serta Minimnya kandungan sumberdaya alam yang dimiliki Kab.Agam. Ketiga kondisi struktural dan kultural ini menjadi prasyarat terbentuknya ruang dialog di antara ketiganya, sehingga membentuk karakteristik kepolitikan lokal yang kemudian mempengaruhi proses Pemilihan Umum. Pada akhirnya, kepentingan-kepentingan partikular yang diusung oleh anggota Legislatif dan Kepala Daerah terpilih mewarnai Birokrasi Pemerintahan Lokal. Untuk menjelaskan kaitan di antara kondisi struktural dan kultural tersebut, akan dijelaskan lebih lanjut mengenai Kepolitikan Patrimonial Nasional, Sumberdaya alam Agam yang terbatas dimiliki Agam serta Kepekatan OTM di Agam, Hasil dialogis OTM dan Kepolitikan Patrimonial Pusat, serta Sistem Kepolitikan Lokal dan Kepentingan Partikular.

9.2.1. Politik Kepartaian Nasional, Dari Patrimonial Menjadi Kartel

Seperti telah dijelaskan di atas,menurut Weber 1978, birokrasi modern yang bercirikan legal-rasional seperti yang berkembang di Barat, terkendala tumbuh kembang di Asia. Hal ini disebabkan adanya hambatan kultural adat tradisi, agama dan pemikiran sehingga tidak dapat menjadi lahan tumbuh yang subur bagi birokrasi legal-rasional. Weber menyebut Birokrasi di Asia masih pekat dilingkupi oleh birokrasi patrimonial Turner, 1984. Hasil kajian Crouch 1985 di Asia Tenggara, mendukung serta memperkuat pendapat Weber tersebut, yang menyimpulkan Negara Philipina dan Negara di Asia Tenggara lainnya seperti, Indonesia, Singapore, Malaysia, masih dikungkung oleh birokrasi patrimonial. Hanya saja, berbeda dengan Weber, Crouch justru melihat sistem patrimonial tersebut menjadi salah satu unsur pendukung pembangunan ekonomi di Negara-Negara di Asia Tenggara tersebut. Birokrasi patrimonialisme ini kemudian juga memunculkan politik kepartaian new-patrimonial Webber, 2006 yang oligarkhis Haris, 2005. Menurut Weber 1978:1006-1069, patriamonialisme sebagai sebuah sistem birokrasi pemerintahan, yang bertanggung jawab hanya pada penguasa. Unsur-unsur pentingnya, kekuasaan dalam birokrasi pemerintahan bersifat sewenang-wenang, serta berada di bawah kontrol langsung dari sang penguasa yang dicirikan oleh struktur hubungan kekuasaan atas-bawah patron-client atau bapakisme, di mana penguasa sebagai patron pengayom, penjamin kesejahteraan, keamanan dan kenyamanan dan rakyat sebagai obyek yang diayomi dan dijamin kenyamanan, keamanan dan kesejahteraannya. Lebih lanjut menurut Weber, patrimonialisme merupakan bentuk dominasi otoritas tradisional di mana : obyek ketaatan terhadap otoritas pribadi yang dia nikmati berpijak pada status tradisional. Kelompok organisasi yang menjalankan otoritas, dalam kasus yang paling sederhana, terutama berdasar pada hubungan loyalitas individu, yang dikembangbiakkan melalui proses pendidikan. Individu yang menjalankan otoritas bukanlah orang yang ‘hebat’, tetapi seorang ‘pemimpin’. Staf administratifnya tidak terdiri dari para pegawai, tetapi pelatih pribadi. Apa yang menentukan hubungan staf administratif dengan pemimpin bukanlah kewajiban kantor yang bersifat impersonal, tetapi loyalitas individu kepada sang pemimpin. Weber, 1978. Ada banyak contoh birokrasi pemerintahan patrimonial. Di Indonesia, di bawah pemerintahan Suharto, sering dikutip sebagai birokrasi pemerintahan patrimonial dalam politik-ekonominya Schwarz, 2004. Castles 1983 jauh hari telah menyimpulkan pada hasil kajiannya bahwa birokrasi pemerintahan Indonesia bercirikan patrimonial yang bertali temali dengan rangkaian kontinuitas sejarah dari masa kerajaan Mataram, Kolonial Belanda, Demokrasi Parlementer, Terpimpin dan Pancasila. Bahkan, birokrasi Orba kembali ke arah pra-kolonial, monarkhi Jawa. Sistem pemerintahan patrimonial tersebut mempengaruhi sistem kepartaian di Indonesia yang juga bercirikan patrimonial Fortuna Anwar, 1985 di mana pada satu sisi, di dalam birokrasi pemerintahan orde baru jumlah partai politik dibatasi, diayomi serta dinafkahi oleh sang penguasa dengan relasi kekuasaan patron-client. Di sisi lain, internal partai politik, otoritas yang dibangun pada susunan hierarkis organisasi partai juga pekat dengan karakteristik patrimonial. Studi yang telah dilakukan Robinson 1986 dan Muhaimin 1990 menyimpulkan, dari pelaksanaan birokrasi pemerintahan patrimonial tersebut telah menjadi kekuatan sosial dan kultural lahirnya pengusaha-pengusaha yang memiliki kaitan erat dengan birokrasi pemerintahan, baik hanya relasi bisnis, maupun menjadi bagian dari dari birokrasi pemerintahan menjadi anggota DPR dan MPR. Para pengusaha yang muncul bertali temali dengan elite birokrasi, baik memiliki hubungan saudara, kolega, pertemanan atau hubungan simbiosis mutualisme dan transaksional. Gejala ini kemudian melahirkan pengusaha- pengusaha yang usahanya tergantung dengan proyek-proyek pembangunan, Pemerintah serta kemudahan akibat kebijakan yang dihasilkan oleh Birokrasi Pemerintahan yang kemudian menyalurkan sebahagian keuntungannya pada partai penguasa. Organisasi kepartaian yang bersifat patrimonial tersebut mengalami perubahan penting ketika reformasi terjadi yang ditandai dengan jatuhnya pemerintahan Orde Baru. Pada kepartaian Nasional, jatuhnya Orde Baru sama dengan jatuhnya patron “sang bapak” yakni pemimpin Orde Baru yang telah lama bertindak sebagai pengawas, pengayom, pelindung, pemberi nafkah partai- partai. Jatuhnya birokrasi pemerintahan patrimonial Orde Baru menyebabkan sumber “kehidupan” partai-partai terganggu, kalaupun tidak hilang sama sekali. Pada sisi lain, kontrol terhadap jumlah partai dengan basis aliran juga menurun, sehingga menyebabkan munculnya partai-partai baru dengan berbagai aliran Litbang Kompas 2002 ; 2004. 9 Untuk menghadapi krisis keuangan, serta dapat bertahan dan menafkahi organisasinya, partai-partai kemudian membentuk kartel Cartel Party. Tujuan pembentukan kartel ini, agar dapat memiliki akses langsung kepada sumber- sumber keuangan Negara, melalui perburuan rente terhadap jabatan Birokrasi Pemerintahan serta Program Kerja APBN Ambardi 2009. Sumber-sumber keuangan partai yang dimaksud bukanlah anggaran Negara yang telah 9 Pada tahun 2004, jumlah partai peserta Pemilu 24 Partai Bappenas, 2004, kemudian meningkat menjadi 34 partai ditambah 6 partai lokal Aceh, Litbang Kompas, 2009. dialokasipada untuk partai-partai politik, melainkan uang yang diperoleh melalui perburuan rente rent seeking dari jabatan-jabatan Negara eksekutif seperti program-program pembangunan dan sumber keuangan Negara lainnya, maupun dengan jabatan Legislatif melalui kebijakan legislasi, budgeting dan pengawasan yang dilakukan. Terbentuknya politik kartel kartelisasi oleh partai-partai disebabkan semua partai memiliki kepentingan yang sama, yakni untuk memelihara kelangsungan kolektif mereka Katz and Mair, 1994;55. Katz dan Mair merinci karakteristik partai kartel yang paling penting adalah terlihat pada perubahan karakter kompetisi atau kooperasi antar partai. Jika semula partai-partai saling berkompetisi amat keras dengan tujuan untuk melakukan reformasi sosial seperti melakukan pemberdayaan politik dan ekonomi bagi kaum buruh, miskin dan petani, namun kini kompetisi antar partai hanya berkaitan dengan isu teknis, yakni isu-isu manajemen pemerintahan yang jauh dari ideologi kerakyatan. Kartelisasi partai, dalam rangka perburuan rente untuk memelihara kelangsungan kolektif partai juga dilakukan pada daerah- daerah “surplus” yang memiliki sumberdaya alam dan pendapatan asli daerahnya yang tinggi. Daerah- daerah ini menjadi ajang perebutan partai untuk menempatkan kadernya, baik sebagai Kepala Daerah Gubernur, Bupati dan Walikota, Anggota DPRD, bahkan kepala Dinas yang memiliki anggaran maksimal. 10 Pada daerah-daerah dengan anggaran dan pendapatan asli daerah minimal, partai-partai lebih membutuhkan pengumpulan jumlah suara, penempatan anggota Legislatif yang maksimal, dengan anggaran partai yang minimal Haris 2005. Partai hanya memberikan prinsip-prinsip dan kebijakan bersama partai common flatform, partai di daerah diberi otonomi seluas-luasnya menjalan programnya. 11 Di Kab.Agam, hal kedua yang berlangsung, di mana partai Nasional hanya membutuhkan pengumpulan suara baik untuk calon Kepala Daerah yang diusungnya, penempatan anggota DPR, DPRD I dan DPRD II yang maksimal. 10 Hasil wawancaran dengan litbang partai P, G dan D di Jakarta. Menurut hasil wawancara, persaingan dalam menempatkan kadernya untuk duduk dalam jabatan kepala Dinas, baik Provinsi maupun KabKota, terjadi dalam dua mekanisme. Mekanisme pertama, PNS yang secara implisit merupakan anggota partai, yang kemudian diangkat menjadi Kepala Dinas. Mekanisme kedua, beberapa PNS menghampiri Partai minta Jabatan Kepala Dinas dengan imbalan yang disesuaikan dengan perjanjian dan kepentingan. 11 Hasil wawancara dengan Ketua Partai PKS, PBB, Demokrat, Golkar dan PAN di Kab.Agam. Hal ini disebabkan Kab.Agam adalah masuk dalam kategori daerah minus, memiliki sumberdaya alam terbatas serta Pendapatan Asli Daerahnya juga rendah. Untuk itu, partai memberi kebebasan pada masyarakat Lokal untuk menjalankan partai sesuai dengan konteks sosial, sesuai dengan prinsip-prinsip dan kebijakan partai Nasional. 12 9.2.2. Sumberdaya Kab.Agam Terbatas Seperti dijelaskan pada Bab V, Kab.Agam merupakan daerah agraris. Luas daerah Kabupaten Agam mencapai 2.232,30 Km2, yang terdiri dari Danau seluas 9.500 Ha, 21 DAS Daerah Aliran Sungai yang luasnya mencapai 217.212 Ha. Dua gunung serta 15 bukit yang ketinggiannya antara 1.200 hingga 3000 m dpl, serta Hutan serta Kepulauan. Dari 80.100 Ha lahan yang dapat ditanami, 54.250 Ha telah ditanami padi sawah. Sedangkan mengenai penduduk dan angkatan kerja, hasil Susenas 2007 menunjukkan persentase penduduk Kab.Agam yang termasuk angkatan kerja sebesar 70,55, yang telah bekerja sebesar 65,41, sedangkan 5,14 di antaranya tidak bekerja atau sedang mencari pekerjaan. Dari jumlah persentase angkatan kerja yang terlah bekerja tersebut, 48,07 bekerja sebagai petani. Sisanya, yakni sebesar 28,48 bekerja di sektor perdagangan, perternakan, Nelayan, Pegawai Negri Sipil, industri kecil dan transportasi. Kab.Agam tidak memiliki sumberdaya alam yang besar, untuk dapat diandalkan dalam peningkatan pendapatan asli daerah serta menampung angkatan kerja di luar sektor pertanian. Menurut data APBD 2000 hingga 2011, pendapatan asli daerah PAD Kab.Agam hanya mencapai 2 Milyar rupiah pada tahun 2000, kemudian meningkat menjadi 11 Milyar rupiah pada tahun 2005 dan kembali meningkat mencapai 36 Milyar rupiah pada tahun 2011. Namun, angka tersebut berkisar 2 hingga 5 dari jumlah keseluruhan APBD. Ini menunjukkan, sebahagian besar sumber pendanaan APBD berasal dari pemerintah Pusat. Untuk melihat perbandingan PAD dan Jumlah APBD Kab. Agam dari 2000 hingga 2011, dapat dilihat dalam grafik berikut ini, 12 dari hasil wawancara bersama informan Partai PKS, PAN, G dan PBB Sumber: APBD Kab.Agam, 2000-2011 diolah Gambar 9.1. Grafik Perbandingan APBD dan PAD Kab.Agam 2000-2011 Di samping sumberdaya alam dan pendapatan asli daerah yang rendah, APBD Kab.Agam juga dapat dikatakan cukup rendah untuk belanja langsung. Penggunaan belanja anggaran terbesar, rata-rata hampir mencapai 70 APBD, dipergunakan untuk membayar gaji pegawai dan belanja rutin operasional kantor Dinas dan Badan SKPD. Rata-rata belanja langsung dalam bentuk program, dari tahun 2007-2011, berkisar di antara Rp.100 Milyar hingga hingga Rp.150 Milyar rupiah. Bandingkan dengan kebutuhan, terutama pembangunan prasarana jalan, jembatan dan irigasi yang mencakup 332 Jorong, 82 KaNagarian, 16 Kecamatan. Untuk lebih jelasnya, diagram perbandingan belanja pegawai, belanja langsung, SILPA dan Jumlah APBD dari tahun 2007-2011, adalah sebagai berikut; 100 200 300 400 500 600 700 800 900 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 APBD PAD GRAFIK PERBANDINGAN APBD DAN PAD KAB.AGAM 2000-2011 Sumber : Penjabaran APBD Kab.Agam 2007-2011 diolah. Gambar 9.2. Digram Perbandingan Belanja APBD Kab.Agam 2007-2011 Fakta-fakta di atas menunjukkan bahwa Kab.Agam bukan merupakan daerah surplus dengan berkelimpahan sumberdaya alam dan memiliki PAD yang besar. Sehingga, terkait gejala kartelisasi kepartaian dan patrimonial pusat, tidak menjadikan Kab.Agam sebagai lahan potensial pemburu rente partai kartel dengan karakteristik patrimonial.

9.2.3. Kepekatan OTM di Agam