Kontestasi OTM dan BP dalam penganggaran APBD

UU No.172004 tentang Keuangan Negara dan PP No.16 Tahun 2010 tentang Pedoman Penyusunan Peraturan DPRD tentang Tata Tertib DPRD yang memberikan peran dan kekuasaan bagi DPRD untuk dapat merubah jumlah APBD dengan memberikan pokok-pokok fikiran DPRD. Kekuasaan normatif ini, pada tingkat lapangan, memilki kekuatan nyata dibanding Pemda yang hanya berpegang pada juknis dan juklak di dalam Permendagri No.13 tahun 2006 dan Permendagri No.59 tahun 2007 yang kedudukannya lebih rendah secara normatif dibanding Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah. g Kekuatan DPRD yang ditopang oleh aturan normatif tersebut, pada ranah penganggaran, menyebabkan Undang-Undang No.17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan UU No.25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional sukar tercapai.

10.1.3. Kontestasi OTM dan BP dalam penganggaran APBD

Mengenai kontestasi Ototritas Tradisional Minangkabau dan Birokrasi Pemerintahan, dapat pula dirangkum sebagai berikut; a Institusionalisasi sistem UU No.25 tahun 2004, Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, telah berlangsung melalui Musrenbang berjenjang, dari Jorong hingga Kabupaten. Namun, Musrenbang ditandai dengan kontestasi para elite OTM yang berlandaskan falsafah alam dengan tujuan menempatkan usulan program Jorong di mana mereka berasal. b Keberadaan kontestasi antar elite OTM dan BP tersebut berakibat terpinggirkannya usulan hasil Musrenbang Jorong. Hasil Musrenbang Jorong ini berisikan kebutuhan dan permasalahan petani dan rakyat bawah yang sulit dipenuhi secara swadaya. c Pada ranah perencanaan, melalui musrenbang berjenjang, terdapat kesepakatan dikalangan elite BP dalam forum SKPD, yang hanya mengadopsi satu program usulan pembangunan prasarana infrastruktur yang menduduki prioritas pertama pada setiap hasil Musrenbang Kecamatan untuk dibiayai oleh APBD. Penjatahan satu usulan dari hasil Musrenbang Kecamatan tersebut bersumber dari Musrenbang 332 jorong hasilnya ± 5000 usulan program, 82 kanagarian ± 3000 usulan program, dan 18 Kecamatan ± 1000 usulan program. d Kesepakatan pada forum SKPD ini merupakan strategi birokrasi pemerintah untuk menghindarkan diri dari pelanggaran secara kolektif terhadap rangkaian kesatuan dari UU No.252004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dan UU No.172003 tentang Keuangan Negara yang mengharuskan ranah perencanaan dan penganggaran merupakan satu kesatuan. e Pada ranah penganggaran; terjadi hubungan transaksional di antara DPRD dan SKPD Dinas dalam penyusunan Rencana Kerja Renja dan Rencana Kerja Anggaran RKA untuk membuat program kerja yang di alokasikan pada kampung halaman dan konstituen anggota DPRD. Hal yang sama juga dilakukan oleh Kepala Daerah terpilih. f Ragam kepentingan partikular tersebut, mengakibatkan penyusunan dan pembahasan APBD yang dimulai dari KUA-PPAS, RAPBD ditandai dengan kontestasi sesama elite berkuasa, seperti SKPD, TAPD, DPRD dan Kepala Daerah. Kontestasi ini menyebabkan banyaknya usulan program yang keluar dan masuk dalam RAPBD ketika di bahas dan ditetapkan. g Kontestasi di antara para elite tersebut, membuktikan adanya kepentingan- kepentingan partikular birokrat sehingga birokrasi keluar dari fungsinya. Namun, kepentingan partikular yang menyebabkan terjadinya kontestasi dalam ranah penganggaran, menyebabkan BP mengucurkan sebahagian besar program dan dana yang dikelolanya kepada masyarakat OTM. Hal ini sesuai dengan salah satu fungsi BP melayani dan mensejahterakan OTM atau rakyatnya.

10.2. Kesimpulan Penelitian