program, 82 kanagarian ± 3000 usulan program, dan 18 Kecamatan ± 1000 usulan program.
d Kesepakatan pada forum SKPD ini merupakan strategi birokrasi pemerintah untuk menghindarkan diri dari pelanggaran secara kolektif terhadap rangkaian
kesatuan dari UU No.252004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dan UU No.172003 tentang Keuangan Negara yang mengharuskan
ranah perencanaan dan penganggaran merupakan satu kesatuan. e Pada ranah penganggaran; terjadi hubungan transaksional di antara DPRD dan
SKPD Dinas dalam penyusunan Rencana Kerja Renja dan Rencana Kerja Anggaran RKA untuk membuat program kerja yang di alokasikan pada
kampung halaman dan konstituen anggota DPRD. Hal yang sama juga dilakukan oleh Kepala Daerah terpilih.
f Ragam kepentingan partikular tersebut, mengakibatkan penyusunan dan pembahasan APBD yang dimulai dari KUA-PPAS, RAPBD ditandai dengan
kontestasi sesama elite berkuasa, seperti SKPD, TAPD, DPRD dan Kepala Daerah. Kontestasi ini menyebabkan banyaknya usulan program yang keluar
dan masuk dalam RAPBD ketika di bahas dan ditetapkan. g Kontestasi di antara para elite tersebut, membuktikan adanya kepentingan-
kepentingan partikular birokrat sehingga birokrasi keluar dari fungsinya. Namun, kepentingan partikular yang menyebabkan terjadinya kontestasi
dalam ranah penganggaran, menyebabkan BP mengucurkan sebahagian besar program dan dana yang dikelolanya kepada masyarakat OTM. Hal ini sesuai
dengan salah satu fungsi BP melayani dan mensejahterakan OTM atau rakyatnya.
10.2. Kesimpulan Penelitian
Data penelitian ini mengungkap bahwa, pertama, Otoritas Tradisional Minangkabau masih berlangsung hingga kini di dalam Nagari-Nagari di
Minangkabau, Sumatera Barat. Kedua, Otoritas Tradisional Minangkabau tersebut, selama Otonomi Daerah, Desentralisasi Fiskal dan Pemilu langsung
berperan dalam pembentukan Birokrasi Pemerintahan. Hal ini terkait fakta bahwa pengurus partai, calon Legislatif dan Eksekutif merupakan unsur dari Otoritas
Tradisional Minangkabau yang kemudian dilegitimasi didukung dan dipilih oleh
Otoritas Tradisional Minangkabau yang terkandung dalam masing-masing Nagari untuk menjadi anggota DPRD dan Kepala Daerah. Legitimasi yang
diberikan untuk tujuan, di samping untuk kepentingan individu hingga paruik, kaum dan suku, juga pemberian peran kepada “sang terpilih” DPRD dan Kepala
Daerah sebagai pejuang anggaran. Anggota DPRD dan Kepala Daerah terpilih, diwajibkan memperjuangkan alokasi anggaran APBD untuk peningkatan,
rehabilitasi dan pembangunan prasarana infrastruktur Jorong dan Nagari. Di sisi lain, anggota DPRD dan Kepala Daerah sebagai elite akan memperjuangkan
alokasi anggaran bagi Jorong-Nagarinya karena, di samping peran yang telah diberikan, kewajiban adat serta ingin mempertahankan melanggengkan
legitimasi dari Otoritas Tradisional Minangkabau sehingga dapat terpilih kembali. Untuk upaya tersebut, anggota DPRD dan Kepala Daerah, yang menjadi motor
penggerak Birokrasi Pemerintahan dan Penganggaran APBD, menjaga legitimasi politiknya dengan memenuhi sebahagian besar aspirasi dan kebutuhan rakyatnya
konstituen. Aspirasi dan kebutuhan rakyat konstituen tersebut adalah hajat hidup rakyat, yakni sektor pertanian-pedesaan yang harus didukung oleh
perjuangan politik di Kabupaten.
Ketiga, peranan yang diberikan terkait dengan Pemilu langsung, baik
untuk kewajiban adat, maupun agar melanggengkan legitimasi sehingga dapat terpilih kembali, merupakan kepentingan-kepentingan partikular yang dibawa
birokrat dalam Birokrasi Pemerintahan. Keempat, untuk mencapai kepentingan khusus para elite birokrasi pemerintahan tersebut, bertali temali dengan SKPD
Satuan Kerja Perangkat Daerah sebagai kuasa penggunan anggaran KPA yang memiliki kepentingan tujuan untuk memaksimalkan anggaran yang akan
diperolehnya. Kelima, tali temali beragam kepentingan khusus para elite birokrat Pemerintahan, khususnya Kepala Daerah, SKPD dan DPRD mengakibatkan ranah
Perencanaan dan Penggaran untuk menghasilkan APBD menjadi ajang kontestasi elite, tidak berkesinambungan, terfragmentasi serta terdistribusi tidak merata.
Kelima temuan fakta penelitian ini membuktikan substansi dari Hipotesis bahwa, jika Birokrasi Pemerintahan pola Weberian diterapkan dalam konteks
otoritas tradisional yang masih kuat, maka akan terjadi kontestasi antara elite yang
menyebabkan Birokrasi Pemerintahan pola Weberian tidak berfungsi
sebagaimana mestinya. Agar Birokrasi Pemerintahan Weberian ini dapat berfungsi melayani
pemenuhan kebutuhan dan menyelesaikan masalah rakyat masyarakat pada tingkat Nagari, maka diperlukan bentuk-bentuk keterlibatan otoritas tradisional
Minangkabau dalam pelaksanaan pembangunan dalam hal ini, perencanaan dan pembangunan. Keterlibatan otoritas tradisional Minangkabau dalam perencanaan
dan penganggaran pembangunan, memerlukan reformasi lebih lanjut dari birokrasi dalam konsep Weberian ini.
10.3. Epilog