Epilog RANGKUMAN, KESIMPULAN DAN EPILOG

menyebabkan Birokrasi Pemerintahan pola Weberian tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Agar Birokrasi Pemerintahan Weberian ini dapat berfungsi melayani pemenuhan kebutuhan dan menyelesaikan masalah rakyat masyarakat pada tingkat Nagari, maka diperlukan bentuk-bentuk keterlibatan otoritas tradisional Minangkabau dalam pelaksanaan pembangunan dalam hal ini, perencanaan dan pembangunan. Keterlibatan otoritas tradisional Minangkabau dalam perencanaan dan penganggaran pembangunan, memerlukan reformasi lebih lanjut dari birokrasi dalam konsep Weberian ini.

10.3. Epilog

Tertib sosial pada etnis Minangkabau, tampaknya masih mendapatkan legitimasinya dari Otoritas Tradisional Minangkabau baca: OTM. Di dalam OTM tersebut, tidak ada kekuasaan terpusat dan universal, serta hidup dan berlaku selingkar Nagari. Nagari-nagari laksana negara-negara mini yang di antara satu dengan lainnya bersifat otonom. Di dalam Nagari, tatanan masyarakat dan sistem politik bersifat heterarki, di mana kekuasaan didasarkan pada pluralisme dan diversitas yang dimiliki kelompok-kelompok kekerabatan yang beragam. Pluralisme dan diversitas kekuasaan, dalam berbagai bentuk kepemimpinan itu, terdistribusi secara horizontal dalam kelompok kekerabatan genealogis. Bagi etnis Minangkabau, apa yang berlaku dan terjadi pada pemerintah pusat, belum tentu terjadi di tingkat lokal. Bukti-bukti sejarah telah memperlihatkan bahwa upaya-upaya melegislasi, mengatur, mensubordinasi, menguasai dan bahkan ingin menggantikan OTM, selalu gagal. Sebagi contoh, dalam studi ini, proyek birokratisasi pemerintahan yang dilakukan sejak masa pemerintahan Kolonial Hindia Belanda, Orde Lama hingga Orde Baru, tidak sepenuhnya berhasil menggantikan OTM. Salah satu episode sejarah lokal Minangkabau, memperlihatkan sebuah peristiwa sejarah dimana agama Islam melalui gerakan Padri neo-Wahabi, berupaya untuk menganti adat Minangkabau dan merombak sepenuhnya OTM di Darek Luhak nan Tigo. Upaya ini mengakibatkan perang saudara berkepanjangan yang terjadi dalam Nagari-Nagari di Minangkabau. Penyelesaian konflik vertikal dan horizontal ini, bukanlah diselesaikan dengan intervensi militer Belanda, namun, berakhir dengan dialog yang berujung pada kompromi dengan formula “adat bersendi syarak, syarak bersendi adat”, sehingga kekhasan OTM masih mampu bertahan. Sesungguhnya, Otoritas Tradisonal yang terkandung dalam adat Minangkabau, bukanlah anti perubahan. Bagi etnis Minangkabau perubahan dan kebertahanan adalah ibarat dua sisi pada koin mata uang yang sama. Seperti tersimpul dalam pepatah mereka : “sekali banjir datang, sekali itu pula tepian pemandian berubah”, artinya saat terjadi perubahan sekalipun, selalu diupayakan untuk mempertahankan, memperbaharui dan memajukan adat Minangkabau, sehingga tidak tertinggal oleh roda perubahan zaman. Perubahan, bagi orang Minangkabau, bukan untuk menggantikan sama sekali adat dan OTM dengan sesuatu yang baru. Mengadopsi hal-hal baru, mendialogkannya, mensinkronkan dalam rangka untuk mempertahankan adat sehingga tidak tertinggal oleh perputaran mesin sejarah, telah menemukan bentuk naluriahnya di Minangkabau. Demikian halnya dalam Birokrasi Pemerintahan di Minangkabau, evolusi birokrasi selalu mengalami dialog terus-menerus sepanjang sejarahnya dengan Otoritas Tradsional Minangkabau. Birokrasi Weberian tampaknya belum mampu menggantikan OTM. Agama Islam yang mencoba mengajarkan hak-hak yang azasi pun mengalami proses dialogis di dalam perkembangannya. Seperti ditunjukkan oleh sejumlah file sejarah lokal di Minangkabau bahwa “upaya-upaya untuk mengodifikasi adat Minangkabau, merangkum seluruh nagari ternyata berbuah kegagalan”. Sejarah membuktikan, upaya-upaya dengan tujuan menerapkan birokrasi legal-rasional ala Weberian, belum berfungsi sebagaimana mestinya. Begitupun birokrasi patrimonial dan neo-patrimonial yang menjadi ciri birokrasi pemerintahan pusat, tidak juga sepenuhnya berlaku di Minangkabau. Bentuk birokrasi yang muncul dan berjalan, menurut hasil studi ini, menghasilkan birokrasi pemerintahan dialogis dan kompromis antara OTM dengan birokrasi Weberian, yakni “Birokrasi Patrimonial Heterarki”. Birokrasi yang memiliki ciri patriarkhi, namun tidak hierarkis dan non-impersonal, dengan ditopang oleh prilaku birokrat yang syarat dengan kepentingan partikular dan kontestasi. Otonomi Daerah Sebagai Berkah Bagi Etnis Minangkabau Pelaksanaan otonomi daerah, desentralisasi kekuasaan dan keuangan daerah menyebabkan masyarakat adat Minangkabau mengalami dinamika politik kewilayahan terkait gerakan kembali ke Nagari, serta reinterpretasi identitas Minangkabau. Dalam politik kewilayahan, seluruh permasalahan pemerintahan Nagari dibahas ulang, mulai dari bentuk Nagari, hak-hak Nagari, peran kaum adat serta sumber dan pengelolaan Keuangan Nagari. Dalam reinterpretasi identitas Minangkabau, terjadi diskursus pada ranah publik mempertanyakan kembali identitas Minangkabau setelah “terpuruk” dalam zaman Orde Baru. 1 Dinamika politik batas-batas dan reinterpretasi identitas Minangkabau secara lugas mampu dimotori oleh unsur OTM yakni ninik-mamak, alim ulama cerdik-pandai serta bundo kandung, baik yang berdomisili di dalam Nagari- Nagari, maupun di rantau. Meskipun pada akhirnya, pemerintahan Nagari yang terbentuk menjadi “kaki tangan” pemerintah daerah, bukan dikembalikan pada kaum adat, namun, konsekuensi dari dinamika politik yang telah berlangsung tersebut, menyebabkan peran OTM di dalam nagari-nagari semakin menguat. Penguatan peran OTM menemukan bentuknya, pada era Otonomi Daerah, ketika dilangsungkannya Pemilu Legislatif dan Kepala Daerah langsung. Dimana unsur OTM, umumnya, menjadi pengurus partai dan calon legislatif. Unsur OTM yang terdiri atas “urang nan ampek jinih” yakni Ninik-mamak, Ulama, Cendikia dan Bundo Kanduang tersebut, kemudian didukung dan dipilih menjadi anggota DPRD oleh paruik, kaum dan suku di mana mereka berasal. Dengan harapan, ketika unsur OTM yang didukung terpilih, akan dapat memperjuangkan alokasi anggaran APBD untuk membangun Kampung dan Nagari mereka. Didalam mencapai tujuan tersebut, setiap unsur OTM yang telah menjadi anggota DPRD akan terlibat secara aktif dalam proses kontestasi saling dukung dan bekerjasama, bersaing dan berkonflik dengan eksekutif yakni SKPD, TAPD dan Bupati yang bertindak sebagai penanggung jawab dan kuasa pengguna anggaran. Kepentingan DPRD kemudian bersinergi dengan kepentingan SKPD tertentu karena berharap mendapat maksimasi alokasi anggaran terutama yang 1 A.A.Navis menyebutkan, orang Minangkabau setelah menjadi bagian dari pendiri bangsa Indonesia, namun mengalamai “bencana intelektual” di masa Orde Baru, pasca Pemberontakan PRRI. Lihat von Benda-Beckman, 2007. memiliki program peningkatan, rehabilitasi dan pembangunan. Berbagai kepentingan yang bertautan dalam proses penganggaran tersebut, pada gilirannya akan mengakibatkan birokrasi Pemerintahan pola Weberian tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Meskipun demikian pada sisi lainnya birokrasi pemerintahan menjadi lebih “efisien”, karena mengusung pembangunan yang dibutuhkan masyarakat lokal, terutama infrastruktur Nagari seperti irigasi, jalan, jalan usaha tani. Dengan demikian, bagi etnis Minangkabau, otonomi daerah menjadi berkah ketimbang bencana. Birokrasi Lokal, RUU Desa dan Anggaran Infrastruktur Pertanian Nagari Birokrasi pemerintahan patrimonial heterarki yang terbentuk di Minangkabau, seperti ditunjukkan dalam studi ini, meski mampu mengusung kebutuhan pembagunan infrastruktur Nagari dan pertanian, namun juga memiliki kelemahan. Kelemahannya adalah, alokasi anggaran dalam bentuk kebutuhan rehabilitasi, peningkatan dan pembangunan infrastruktur Nagari tersebut menjadi relatif terkonsentrasi pada kampung atau Nagari yang menempatkan anggotanya dalam Legislatif. Dimana setiap anggota legislatif berusaha melakukan kompromi dan negosiasi guna mendapatkan alokasi anggaran yang dibutuhkan pemilihnya. Padahal, seperti diketahui, tidak seluruh Nagari menempatkan anggotanya dalam jajaran anggota DPRD. Akibatnya, bisa diduga jika distribusi alokasi APBD untuk peningkatan, rehabilitasi dan pembangunan infrastruktur pertanian dan Nagari akan terdistribusi secara tidak merata dan cenderung terpolarisasi. Disinilah birokrasi Weberian seharusnya mendapatkan tempat untuk berevolusi, berdialog dan bersinergi dalam mengurangi bias atas beroperasinya fenomena kontestasi penganggaran pada birokrasi pemerintahan lokal, sehingga menjadi lebih efisien. Selain melakukan perubahan dalam sistem perekrutan legislatif yang lebih bertumpu pada “koalisi kewilayahan” yang lebih luas dengan membuat “kalkulasi politik” secara rasional-partisipatif untuk memberikan kesempatan, sekaligus pemerataan pada kampung atau Nagari yang tidak terwakili. Pada gilirannya, diharapkan akan terjadi pemerataan dalam alokasi anggaran untuk rehabilitasi dan pembangunan infrastruktur di setiap kampung atau Nagari. Tentu, sebagai sebuah temuan mikro, hasil dari penelitian ini masih harus diuji kebertahanannya, namun sebagai sebuah tawaran alternatif tampaknya gagasan dari penelitian ini layak untuk didiskusikan dalam memperkaya perumusan Rancangan Undang-Undang Desa. Setidaknya terdapat dua masukan yang dapat ambil dari studi ini, pertama, pengalokasikan langsung anggaran peningkatan, rehabilitasi dan pembangunan infrastruktur pertanian dan Kampung atau Nagari perlu mendapatkan tempat dan skala prioritas tertentu, diluar mainstream penganggaran yang selama ini berlangsung. Tentunya dengan mempertimbangkan kekhasan dan kontekstualitas dari setiap Jorong atau Nagari, sehingga pilihannya tidak melakukan generalisasi besaran anggaran. Kedua, menyimak hasil studi ini bagi masyarakat Minangkabau, sebaiknya alokasi anggaran langsung diberikan pada pemerintahan Kampung atau Nagari, dengan tetap mempertimbangkan “kemandirian lokal” khususnya dalam sektor pertanian yang selama ini mampu bertahan tanpa dukungan anggaran yang memadai dari pemerintah. Dengan pengalokasian langsung anggaran pada tingkat Kampung atau Nagari, setidaknya akan diperoleh beberapa manfaat. Pertama, tekanan intensitas kontestasi dalam Birokrasi Pemerintahan lokal akan berkurang, sehingga mengel iminir terjadinya “degradasi” Birokrasi Pemerintahan ala Weberian. Kedua, kontestasi akan bergeser pada tingkat Kampung atau Nagari yang secara historis kinerjanya terbukti lebih efisien. Dengan kepastian jumlah anggaran yang transparan, serta stakeholders yang jelas diharapkan akan berlangsung mekanisme kontrol yang sehat dalam “ruang publik” yang terbangun. Ketiga, dengan mekanisme pengalokasian anggaran yang akuntabel dan transparan, masyarakat Kampung atau Nagari dapat diharapkan “belajar secara partisipatif” dalam mengembangkan perangkat skala prioritas atas setiap rencana pembangunan pertanian dan permasalahan yang dihadapi Kampung atau Nagarinya. Tentu saja, berbagai manfaat yang tersedia tidak akan mampu diwujudkan tanpa adanya polical will dari pemerintah dalam ikut mendukung kemandirian birokrasi lokal. DAFTAR PUSTAKA Abdullah, Taufik, 1966. Adat And Islam: An Examination Of Conflict In Minangkabau, Indonesia 2 Oktober 1966. Abdullah, Taufik, 1967. Minangkabau 1900-1927: Preliminary Studies In Social Development. M.A. Thesis, Cornell University Abdullah, Syukri dan Jhon Andra Asmara, 2006. Perilaku Oportunistik Legislatif Dalam Penganggaran Daerah, Bukti Empiris atas Aplikasi Agency Theory di Sektor Publik, Makalah Simposium Akutansi Nasional, di Padang, 23- 26 Agustus, 2006. Abidin, Idris Zainal Dan Amiruddin Syam, 2005. Dinamika Perberasan Di Sulawesi Tenggara. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian. Dinas Pertanian Sultra. Adibowo, Soeryo, Melanie A.Sunito dan Lala M. Kolopaking ed, 2007, Ranah Kajian Sosiologi Pedesaan SMP Tjondronegoro, Dalam Rangka Memperingati 80 Tahun, Dept.KPM. IPB, Bogor. Afrizal, 1996. A Study Of Matrilineal Kin Relations In Contemporary Minangkabau Society Of West Sumatra, Submitted In Fulfillment Of The Requirement For The Degree Of Master Of Arts In The Departement Of Sociology Faculty Of Humanities And Social Science, University Of Tasmania. Unpublish. Agus, Hamdi, 1977. Suatu Tinjauan Sejarah Tentang Perkembangan Lembaga Administrasi Pemerintahan Belanda di Sumatera Barat. Tidak dipublikasikan. Fak.Sastra. Univ.Andalas. Padang. Albrow, A Martin ,1989. Birokrasi., Tiara Wacana. Jokjakarta Al Rafni dan Budi Winarno, 2001. Pergeseran Kekuasaan Dan Kepemimpinan Lokal Pasca UU No.51979 Di Desa-Desa, Sumatera Barat. Sosiohumanika, 141 Januari 2001. Ambardi, Kuskridho, 2009. Mengungkap Politik Kartel, Studi Tentang Sistem Kepartaian Di Indonesia Era Reformasi, Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta. Ambler, John S., 1988. Historical Perfectives On Sawah Cultivation And The Political And Economic Context For Irigation In West Sumatra. Indonesia 46 Oktober 1988, Cornell, Ithaca, New York. Amir, M.S., 2001. Adat Minangkabau, Pola Dan Tujuan Hidup Orang Minang. Penerbit, Mutiara Sumber Widya, Jakarta. Amran, Roesli, 1981. Sumatera Barat Hingga Plekat Panjang, Penerbit Sinar Harapan, Jakarta Anderson, Bennedict, 2001. Imagined Communities, Komunitas-Komunitas Terbayang. Penerbit Insist dan Pustaka Pelajar, Jokjakarta. Anderson, Bennedict And Audrey Kahin, eds 1982. Interpreting Indonesian Politics : Thirteen Contributions To The Debate. Cornell Modern Indonesia Projects. Cornell, Ithaca, New York. Arifin, Bustanul dan Didik J.Rachbini, 2005. Pembangunan Pertanian: Paradigma Kebijakan dan Strategi Revitalisasi. Grasindo, Jakarta. Asnan, Gusti, 2007. Memikir Ulang Regionalisme Sumatera Barat, Tahun 1950an. diterbitkan oleh kerjasama KITLV-Jakarta, NIOD dan Yayasan Obor Indonesia. Aspinall, Edward and Greag Feadly, 2010. Soeharto’s New Order and It’s Legacy, Essay in Honour of Harold Crouch. ANU Press, Canberra, Australia. Bachtiar, Harsya W., 1964. Nagari Taram: Masyarakat Desa Minangkabau, di dalam Koenjaraningrat, editor, 1964. Masyarakat Desa di Indonesia Masa Ini. Jajasan Badan Penerbit FE UI, Jakarta. Basri Durin, Hasan, 1997. Catatan Seorang Pamong, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. Beetham, David, 1996. Bureaucracy, Concept In The Social Science. Open University Press, UK. Belammy, Richard, 1987. Modern Italian Social Theory, From Pareto To The Present, Polity Press Associated With Basil Blackwell, Ltd, UK. Benda Beckman, Franz von, 2000. Properti dan Kesinambungan Sosial: Kesinambungan dan Perubahan Dalam Pemeliharaan Hubungan- Hubungan Properti Sepanjang Masa di Minangkabau. Penerbit Grasindo Bekerjasama Dengan KITLV- Jakarta. Benda-Beckman, Fanz von, Keebet von Benda-Beckman, Juliette Koning, ed 2001. Sumberdaya Alam dan Jaminan Sosial. Penerbit Pustaka Pelajar, Jokjakarta. Benda-Beckman, Franz von, dan Keebet von Benda-Beckman, 2007. Identitas- Identitas Ambivalen: Desentralisasi dan Komunitas-Komunitas Politik Minangkabau, dalam Henks S.Nordholt dan Gerry van Klinken ed, 2007. Politik Lokal di Indonesia, KITLV-Jakarta dan YOI, Jakarta. Benda Beckman, Keebet von, 1984. Goyahnya Tangga Menuju Mufakat: Peradilan Nagari Dan Pengadilan Negeri Di Minangkabau. Penerbit Grasindo Bekerjasama Dengan KITLV, Jakarta. Benda, Harry J., 1962. The Structure of Southeast Asian History. Some Preliminary Observation. The Journal Of Southeast Asian History 3 1: 1006-138. Benda, Harry J., 1964. Democracy in Indonesia, dalam Benedict Anderson and Audrey Kahin eds, 1982. Interpreting Indonesian politics: thirteen contributions to the debate. Cornell Modern Indonesia Projects. Cornell, Ithaca, New York. Bendix, Reinhard, 1972. Bureaucracy, dalam International Encyclopedia of The Social Science, David L.Sills ed The Macmillan Company The Free Press, New York. Berger, Peter L, dan Thomas Luckmann, 1992. Konstruksi Atas Kenyataan Sosial: Risalah Tentang Sosiologi Pengetahuan, LP3ES, Jakarta. Biezeveld, Renske Laura, 2002. Between Individualism and Mutual Help, Social Security and Natural Resouces in Minangkabau Village, Ph.D Dissertation, Eburon, Deft. Roterdam. Biezeveld, Renske Laura, 2010. Ragam Peran Adat di Sumatera Barat, dalam Adat Dalam Politik Indonesia, Jamie S.Davidson, David Henley dan Sandra Moniaga ed, Penerbit Yayasan Obor Indonesia dan KITLV- Jakarta. Blackwood, Evelyn, 2000. Webs of Power: Women, Kin and Community in A Sumatran Village. Rowman and Litlefield Publisher, Inc. NY. Blau, Peter M, dan Marshall W.Meyer, 1987. Birokrasi Dalam Masyarakat Modern, Penerbit UI Pers, Depok. Booth, A., 2002. The Changing Role Of Non-Farm Activities In Agricultural Households In Indonesia: Some Insight From The Agricultural Cencuses. Bulletin Of Indonesian Economic Studies 382: 179-200 Boudreau, Vincent, 2009. Election, Repression and Authoritarian survival in post- transition Indonesia and Phillippines, The Pacific Review 22 2, 233-253 Bourchier, David, 2010. Kisah Adat Dalam Imajinasi Politik Indonesia dan Kebangkitan Masa Kini, dalam Adat Dalam Politik Indonesia, Jamie, S.D, David Henley dan Sandra Moniaga eds. Penerbit KITLV-Jakarta dan Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. Braun dan L. Greenwood. 2007. Pemerintahan Di Asia Makin Menjauhi Petani: Pemberantasan Kemiskinan Makin Sulit. Kompas. 10 Agustus 2007:9, Jakarta. Brouwer, M.A.W., 1983. Indonesia Negara Pegawai, Gramedia, Jakarta. Brown, David, 1994. The State and Ethnic Politics in Southeast Asia. Routledge, London. Budiman, Arief Dan Ph.Quarles Van Ufford ed, 1988. Krisis Tersembunyi Dalam Pembangunan: Birokrasi-Birokrasi Dalam Pembangunan, Gramedia. Jakarta. Budiman, Arief, 2002. Teori Negara: Negara, Kekuasaan dan Ideologi, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Burn, Peter, 2010. Adat Yang Mendahului Semua Hukum, dalam Adat Dalam Politik Indonesia, Jamie, S.D, David Henley dan Sandra Moniaga eds. Penerbit KITLV-Jakarta dan Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. Carr, Jered B., Ralph Brower, 2000. Principled Opportunism: Evidence From The Organizational Middle. Public Administration Quarterly Spring: 109-138. Castle, Lance and Herbert Feith, eds 1970. Indonesian Political Thingking 1945- 1966. Cornell University Press, Ithaca, New York. Castle, Lances, Suyatno dan Nurhadiantomo,1983. Birokrasi, Kepemimpinan dan Revolusi Sosial di Indonesia, Hapsaka. Surakarta. Crouch, Harold, 1980. The New Order: The Prospect for Political Stability, dalam Indonesia, The Making Of Nation. J.A.C.Makie eds Research School of Pacific Studies, Australian National University, Canberra. Crouch, Harold, 1985. Economic Change, Social Structure and the Political System In Southeast Asia: Philippine Development Compared with the Other ASEAN Countries. SASP-ISEAS. Singapore. Crouch, Harold, 2010. Political Reform in Indonesia After Soeharto, Institute of Southeast Asian Studies, ISEAS, Singapore. Darsono, et.al., 2008. Analisis Keefektifan Kebijakan Fiskal Terhadap Kinerja Sektor Pertanian Dengan Penekanan Agroindustri di Indonesia, dalam Forum Pascasarjana Vol.31 No.3 Juli 2008: 2001-214. Denas Seymond, 2007. Kajian Perencanaan dan Penganggaran Dinas Kesehatan Kota Padang. Jurnal Kesehatan Masyarakat, Sept.2007, II,1. Fakultas Kesehatan Masyarakat, FK.UNAND. Padang. Denzin Norman, K., and Yvonna S.Lincoln, 1997. Handbook of Qualitative Research, Sage Publications, Ltd. California. USA Direktorat Pangan dan Pertanian, 2009. Kajian Model Pertumbuhan Sektor Pertanian Untuk Penyusunan Strategi Pembangunan Pertanian Sumary Bappenas. Drakard, Jane, 1999. A Kingdom of Word: Language and Power in Sumatera. Selangor Dahrul Ehsan, Oxford University Press. Druska V. and W.C. Horrace, 2004. Generalized Moment Estimation For Spatial Panel Data: Indonesian Rice Farming: American Journal Of Agricultural Economic 86 1: 185-198 Dt. Rajo Panghulu, R.M, 1971. Minangkabau; Sedjarah Ringkas dan Adatnya, Padang : Sri Dharma. Dt. Batoeah Sango, 1966. Tambo Alam Minangkabau: Jaitu Asal Usul Minangkabau Segala Peraturan Adat dan Undang-Undang Hukum di Segal Negeri Jang Masuk Daerah Minangkabau, Edisi Ke-5. Limbago, Pajakumbuh. Durin, Hasan Basri, 1997. Catatan Seorang Pamong, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. Duverger, Maurice, 1982. Sosiologi Politik, Rajawali Press, Jakarta Dobell, Peter and Martin Ulrich, 2002. Parliament and Financial Accountability, CISPAA Vol.1-2. http:www.cbc.canewsbackgroundgroupaction v2fullreportCISPAA_Vol1_2.pdf Dobbin, Christine, 2008. Gejolak Ekonomi, Kebangkitan Islam, dan Gerakan Padri: Minangkabau 1784 – 1847. Penerbit Komunitas Bambu, Depok. Edi, Iron Maria, 2001. Transformasi Politik Tradisional Minangkabau; Studi Kasus Kanagarian Selaras Air, Kec.Palembayan, Kab.Agam,. Skripsi S1 pada Jurusan Ilmu-Ilmu Sosial dan Ekonomi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Tidak di publikasikan. Edy Marbyanto, 2008. Refleksi singkat untuk kasus perencanaan dan penganggaran di Kalimantan Timur; dalam Syukry Abdullah, 2008. Peta Permasalahan Dalam Proses Perencanaan dan Penganggaran di Daerah. http:syukriy.wordpress.com . Emmerson, Donald.K. 1983 Understanding The New Order: Bureaucratic Pluralism in Indonesia, Asian Survey, Vol.XXIII, November 1983. University of California, Berkeley. Institute of International Studies. Berkeley. Erwin, 2001. Dinamika Pengorganisasian Jaminan Sosial Dalam Keluarga Pada Masyarakat Petani di Pedesaan Minangkabau, Studi Kasus Masyarakat Sungai Tanang, Kab.Agam. dalam Sumberdaya Alam dan Jaminan Sosial Franz von Benda-Beckman, Keebet von Benda-Beckman dan Juliette Koning, ed, Pustaka Pelajar, Jokjakarta. Etzioni, Amitai, 1985. Organisasi-Organisasi Modern, Penerbit UI-Press, Jakarta Faulina, Laila, 2010. Penetapan Prioritas Prioritas Dalam Pengalokasi Dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah APBD: Studi Kasus Upaya Penurunan AKI dan AKB di Dinas Kesehatan NTB. Working Paper KMPK Univ.Gadjah Mada, tanpa tahun dan seri. Diunduh pada bulan Maret 2011 Feith, Herbert, 1962. The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia, Cornell University Press. Ithaca, New York. Feith, Herbert, 1965. “History, Theory and Indonesia Politics: A Reply to Harry J.Benda, Journal of Asian Studies, 24,2 February, 1965 Fortuna Anwar, Dewi, 1984. “Ka’bah dan Garuda: Dilema Islam di Indonesia”, Prisma No.4 April 1985 Fred W, Riggs, ed, 1996. Administrasi Pembangunan: Sistem Administrasi dan Birokrasi. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Fuglie, K.O., 2004. Productivity Growth in Indonesia Agriculture 1961-2000. Bulletin Of Indonesian Economics Studies 402, 209-245 Granovetter, Mark, 2005. The Impact of Social Structure on Economic Outcome. Journal of Economic Perpectives. vol.19. No.1. Graves, Elizabeth, 19812007, Asal-Usul Elite Minangkabau Modern, Respons Terhadap Kolonial Belanda Abad XIXXX, Penerbit Yayasan Obor, Jakarta. Graves, Elizabeth, 1971. The Ever Victorian Bufallo: How the Minangkabau of Indonesia Solved Their Colonial Question. Ph.D dissertation at Winconsin University Groehendijk, Nico, 1997. A Principal-Agent Model of Corruption. dalam Crime, Law and Social Change, vol. 27, Number 2-4, 207-229. Hadiz, Vedi R., 2005. Dinamika Kekuasaan Ekonomi Politik Indonesia Pasca Soeharto, LP3ES, Jakarta. Hadler, Jeffrey, 2010. Sengketa Tiada Putus, Matriakhat, Reformis Islam dan Kolonialisme di Minangkabau. Freedom Institute, Jakarta. Halim, Abdul dan Syukry Abdullah, 2011. Hubungan dan Masalah Keagenan Di Pemerintah Daerah sebuah Peluang Penelitian Anggaran, Jurnal Akuntansi, BPPK, Dep.Keu. Jakarta. Halim, Abdul, 2002. Analisis Varian Pendapatan Asli Daerah Dalam Laporan Perhitungan Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah KabupatenKota Di Indonesia. Universitas Gadjah Mada. Disertasi. Hamdi, Agus, 1977. Suatu Tinjauan Sejarah Tentang Perkembangan Lembaga Administrasi Pemerintahan Belanda di Sumatera Barat, Hasil penelitian Pada Fak.Sejarah IKIP Padang, tidak dipublikasikan. Hardjowardojo, R.P. 1966. Adityawarman, Bhratara, Djakarta. Haris, Sjamsuddin, 2006. Membangun Format Baru Otonomi Daerah. Penerbit Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. Haris, Syamsuddin, 2005 ed Desentralisasi dan Otonomi Daerah; Desentralisasi, Demokratisasi dan Akuntabilitas Pemerintahan Daerah, LIPI Press, Jakarta. Haris, Syamsuddin, ed 2005. Pemilu Langsung di Tengah Oligarki Partai: Proses Nominasi dan Seleksi Calon Legislatif Pemilu 2004. Penerbit Gramedia, Jakarta. Hart, Kevin and Geoffrey Hartman, ed 2004. The Power Of Contestation: A Perspectives on Maurice Blanchot, The Johns Hopkins University Press, Baltimore, Maryland. Hartmann, Michael, 2007. The Sociology of Elites, Routledge, Madison Ave, New York Hasbi, Moh., Mochtar Naim dan Damciwar, 1990. Nagari, Desa dan Pembangunan di Sumatera Barat, Yayasan Genta Budaya, Padang. prosiding seminar Hasbi, Mohammad, 1971. Perkembangan Lembaga Kerapatan Adat di Nagari- Nagari Minangkabau,. Skripsi Institut Pemerintahan Malang. Tidak dipublikasikan Hasbi, Mohammad, 1980. Talikerabat Pada Kekerabatan Orang Minangkabau, Kertas Kerja No.29. pada International Seminar on Minangakabau Literature, Society and Culture, Bukittinggi. Kerjasama Unand, INS- Kayu Tanam dan Pemda Sumatera Barat. Hummel, Ralp P., 1982. The Bureaucratic Experience, St.Martin Press, New York Huntington, Samuel P., 1996. The Class of Civilizations, Remaking of World Order, Simon Schuster, New York. Husein, Ahmad, ed 1991. Sejarah Perjuangan Kemerdekaan RI di Minangkabau dan Riau, 1945-1950. Badan Pemurnian Sejarah Indonesia Minangkabau BPSIM, Jakarta Indrayana, Denny. 2008. Negeri Para Mafioso, Hukum di Sarang Koruptor, Penerbit buku Kompas, Jakarta. Jackson, Karl D. and Lucian W.Pye, 1978. Political Power and Communication in Indonesia, Univesity of California, Berkeley. Jarry, David and Jullia Jarry, 1991. Collins Dictionary of Sociology, Harpers Collins Publisher. Johani, Rianingsih dan Wahono Ilustrator, 2008. Panduan Penyelenggaran Musyawarah Perencanaan Pembangunan Desa, Kecamatan,, Kabupaten dan SKPD 4 jilid. Studio Driya Media Bandung, bekerjasama dengan Percik Salatiga, P3ML Sumedang, KPPA Kota Palu, didukung oleh Canadian International Development Agency CIDA dan The Asia Foundation. Josselin De Jong, P.E.De, 1960. Minangkabau and Negri Sembilan, Socio- Political Structure in Indonesia, Bhratara, Djakarta. Kahin, Audrey, 1989. Perjuangan Kemerdekaan, Sumatera Barat Dalam Revolusi Nasional Indonesia, 1945-1950, Grafiti Pers, Jakarta. Kahin, Audrey, tanpa tahun Perjuangan Kemerdekaan, Sumatera Barat Dalam Revolusi Nasional Indonesia 1945-1950, Disertasi Ph.D. Cornell Univesity. Ditermahkan oleh Masyarakat Sejarah Indonesia MSI cab. Summatera Barat, oleh Mestika Zed ed. Percetakan Angsana Mamanda, Padang. Kahin, Audrey, 2005. Dari Pemberontakan Ke Integrasi, Politik Indonesia 1926- 1998. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. Kahn, Joel S, 1976. Tradition Matriliny And Change Among The Minangkabau Of Indonesia. Bijdragen tot Taal-, Land- en Vokenkunde, No.132 1976,No.1. Leiden, 64-95. Kahn, Joel S, 1993. Constituting The Minangkabau, Peasant, Culture and Modernity in Colonial Indonesia. Berg Publisher, Oxford. UK. Kartodirdjo, Sartono, 1983. Elite Dalam Perspektif Sejarah, Penerbit LP3ES, Jakarta. Kasryno. F., P.Simatupang, E. Pasandaran dan S. Adiningsih, 2001. Reformulasi Kebijaksanaan Perberasan Nasional. Forum Penelitian Agro Ekonomi, 19 2: 1-23. Kato, Tsayushi, 1989. Nasab Ibu dan Merantau, Tradisi Minangkabau yang Berterusan di Indonesia, Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Malaysia. Katz, Richard and Peter Mair, 1994. How Parties Organize: Change and Adaptation in Party Organization in Western Democracies. Sage. London. Keefer, Philip and Stuti Khemani, 2003. The Political Economy Of Public Expenditures. Background Paper For WDR 2004: Making Service Work for Poor People. The World Bank. Keller, Suzanne, 1984. Penguasa dan Kelompok Elit. Peranan Elit Penentu Dalam Masyarakat Modern, Rajawali Pers, Jakarta King, Dwight Y, 1982. Indonesia’s, New Order as a Bureaucratic Politic, a Neopatrimonial Regime or Bureaucratic-Authoritarian Regime: What Difference Does it Make? dalam Interpreting Indonesian Politics: Thirteen Contribution To The Debate, B.O.G.Anderson dan Audrey Kahin eds. Cornell Southeast Asia Publication. Ithaca, New York. Kleden, Ignas, 2004. Masyarakat dan Negara Sebuah Persoalan. Penerbit, Yayasan INDONESIATERA. Magelang. Kuntowijoyo, 1994. Demokrasi dan Budaya Birokrasi, Penerbit Bentang, Jokjakarta. Liddle, W.R., 1992. Pemilu-Pemilu Orde Baru: Pasang Surut Kekuasaan Politik Penerbit LP3ES, Jakarta. Lindayanti, 1988. Birokrasi Dalam Sistem laras di Minangkabau pada tahun 1823-1914. Pusat Penelitian Universitas Andalas, Padang. tidak dipublikasikan Litbang Kompas, 2002. Indonesia Dalam Krisis: 1997-2002, Penerbit Buku Kompas, Jakarta. Litbang Kompas, 2004. Partai-Partai Politik Indonesia: Ideologi dan Program 2004-2009. Penerbit Buku Kompas, Jakarta.. Lupia, Arthur and Mathew McCubbins, 2000. Representation or Abdication? How Citizens Use Institution Help Delegation Succed. dalam European Journal of Political Research 37:291-307 Luwihono, Slamet ed. 2010. Perencanaan dan Penganggaran Partisipatif Untuk Good Governance. Penerbit, FPPM dan Ford Foundation Mackie, Jamie, 2010. Patrimonialism: The New Order and Beyond, dalam Soeharto’s New Order and It’s Legacy, Essay in Honour of Harold Crouch. eds. Edward Aspinall and Greag Feadly, ANU Press, Canberra, Australia. Manan, Imran, 1984. A Traditional Elite in Continuity and Change: The Chiefs of the Matrilineal Lineages of the Minangkabau of West Sumatra. Dissertation Ph.D University of Illinois, Urbana Champaign. tidak dipublikasikan Manan, Imran, 1995. Birokrasi Modern dan Otoritas Tradisional di Minangkabau Nagari dan Desa di Minangkabau, Yayasan Pengkajian Kebudayaan Minangkabau, Padang. Martin, W. and Warr, P.G., 1993. Explaining The Relatives Decline Of Agriculture: A Supply-Side Analysis For Indonesia. The World Bank Economic Review 7 3: 381-401. Marvasti, Amir B, 2004. Qualitative Research in Sociology, an Introduction. Sage Publication, London. Mauro, Paolo, 1998. Corruption: Causes, Consequences, And Agenda For Further Research. Finance Development March: 11-14. Mehden, Fred.R.Von Der, 1987. Elit Politik di Negara-Negara Berkembang dalam Fred R.Von der Mehden, 1987. Politik Negara-Negara Berkembang, Penerbit, Bina Aksara, Jakarta Miko, Alfan. et.al., 2005. Kembali Ke Nagari: Pengumpulan Data Dasar Tentang Perubahan Dalam Pemerintahan Lokal di Minangkabau. Halle: Max Planck Institute for Social Anthropology dan SCDev. Project Group Legal Pluralism. Tidak dipublikasikan. Mills, C.Right, 1957. The power Elite, Oxford University Press, New York. Morisson, Ken, 1995. Marx, Durkheim, Weber: Formation of Modern Social Thought, Sage Publicatin, London. Mortimer, Rex, 1973. Indonesia: Growth Or Development? Dalam Showcase State: The Illusion Of Indonesia’s Accelerated Mordernisation, Angus and Robertson. Mosca, Gaetano, 1939. The Rulling Class, McGraw-Hill, New York. Muhaimin, Yahya, 1990. Bisnis dan Politik, Kebijaksanaan Ekonomi Indonesia 1950-1980, Penerbit LP3ES, Jakarta. Muslim, A., 2002. Structural Adjustment In Agriculture In Asia And The Pacific: Indonesia. Asian Productivity Organization. Tokyo Naim, Mochtar, ed 1968. Menggali Hukum Tanah dan Hukum Waris Minangkabau, Centre for Minangkabau Studi, Padang. Naim, Mochtar, 1984. Merantau Pola Migrasi Suku Minangkabau, Gadjah Mada University Press. Nasroen, M., 1957. Dasar Falsafah Adat Minangkabau, Bulan Bintang, Djakarta. Navis, Ali Akbar, 1995. Intelektual Minangkabau Mandek, dalam Jurnal Kebudayaan Genta Budaya. No.1. Tahun 1995. Navis, Ali Akbar, 1984. Alam Terkembang Jadi Guru: Adat Dan Kebudyaan Minangkabau, Grafiti Pers, Jakarta. Niel, Robert van, 2009. Munculnya Elite Modern di Indonesia, Pustaka Jaya, Jakarta. Nitisastro, Widjojo, 2010. Pengalaman Pembangunan Indonesia, Kumpulan Tulisan dan Uraian . Penerbit Buku Kompas, Jakarta. Nurhasim, Moch., 2005. Konflik Antar Elit Politik Lokal Dalam Pemilihan Kepala Daerah, P3CFPS LIPI dan Pustaka Pelajar, Jokjakarta. ODonnell, Guillermo A., 1973. Modernization And Bureaucratic- Authoritarianism: Studies In South American Politics. Institute Of International Studies, University Of California. Calf. Oki, Akira, 1977. Social Change in the West Sumatera Village, 1908-1945. Dissertation Ph.D, Australian University. Unpublish Osborne, David dan Ted Gaebler, 1999. Mewirausahakan Birokrasi, Mentransformasi, Semangat Wirausaha ke dalam Sektor Publik, PPM,Jakarta. Pareto, Vilfredo, 1935. The Mind And Society, A Treatise On General Sociology, Dover, New York. Pasaribu, Sahat, 2007. Analisis Kebijakan Pembiayaan Sektor Pertanian, Seminar Hasil Penelitian, Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Deptan RI. Pelly, Usman, 1994. Urbanisasi dan Adaptasi, Peranan Misi Budaya Minangkabau dan Mandailing, Ph.D dissertation, Penerbit LP3ES, Jakarta.. Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto, 1992. Sejarah Nasional Indonesia VI: Zaman Jepang dan Zaman Republik Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta Pradipto, Y. Dedi, 2007. Belajar Sejati VS Kurikulum Nasional: Kontestasi Kekuasaan Dalam Pendidikan Dasar, Penerbit Kanisius, Jokjakarta. Przeworski, Adam and Jose Maria Maravall, eds 2003. Democracy and the Rule of Law, Cambridge University Press, Cambridge. UK Rajo Panghulu, R.M. Dt., 1971. Minangkabau; Sejarah Ringkas dan Adatnya, Sri Dharma, Padang, Reid, Anthony, 1979. The Blood Of The People. Revolution And The End Of Traditional Rule In Modern Sumatera, Oxford university Press, Kuala Lumpur Ricklefs, M.C., 2008. Sejarah Indonesia Modern, 1200-2008, Penerbit Serambi, Jakarta Ritzer, George dan Doglas J.Goodman, 2005. Teori Sosiologi Modern, Penerbit Prenada Media, Jakarta. Robinson, Richard, 1986. Indonesia The Rise Of Capital, Allen Unwin Pty Ltd, Australia. Rubin, Irene S., 1993. The Politic of Public Budgeting: Getting and Spending, Borrowing and Balancing, 2th Edition. Chatam House Publisher, Inc. New York. Ruswana, Engkus, 2007. Tinjauan Regulasi, Sistem, Mekanisme, Proses Peren- canaan dan Penganggaran Tahunan Daerah, dalam Buku Panduan Pelatihan Fasilitator Forum SKPD dan Musrenbang RKPD, LGSP- USAID. Said, Edward W., 1984. Orientalisme, Penerbit Mizan, Bandung. Said, M.Ma’ud, 2007. Birokrasi di Negara Birokratis. Malang: UPT Penerbitan Universitas Muhammadyah Malang. Sanderson, Stephen K., 2000. Sosiologi Makro, Sebuah Pendekatan Terhadap Realitas Sosial. Rajawali Press, Jakarta. Sango, Datuk Batuah, 1950. Tambo Alam Minangkabau, Limbago. Payakumbuh. Sastrosoenarto, H, 2006. Industrialisasi Serta Pembangunan Sektor Pertanian dan Jasa Menuju Indonesia 2030. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Satari, G., 2002. Perkembangan Ilmu Pengetahuan Dan Teknologi Di Sektor Pertanian, Departemen Pertanian, Jakarta Sawit, M.Husen and Erna Maria Lokollo, 2007. Rice Import Surge in Indonesia, Report Prepared for the Actionaid International Collaboration with ICASEPS, Bogor. Schrieke, B.J.O, terj. 1973. Pergolakan Agama Di Sumatera Barat, Sebuah Sumbangan Bibliografi. Bhratara, Jakarta. Seymond, Denas, 2007. Kajian Perencanaan dan Penganggaran Dinas Kesehatan Kota Padang. Jurnal Kesehatan Masyarakat, Sept.2007, II,1. Fakultas Kesehatan Masyarakat, FK.UNAND. Padang. Sidi Bandaro, D.Th. Dt, 1965. Seluk Beluk adat Minangkabau, Jakarta: N.V.Nusantara Boekittinggi, Sihombing, Herman, 1980. Tiga Tungku Sajarangan dan Tigo Tali Sapilin, Hukum Adat Minangkabau Dewasa ini dan Kemudian Hari, Seminar Internasional Mengenai Kesusasteraan, Kemasyarakatan dan Kebudayaan Minangkabau. Kerjasama Universitas Andalas Padang, Dengan IKIP Padang, INS Kayu Tanam, dan PEMDA Sumbar. Sihombing, Herman dan Syamsul Bahri, 1975. Peraturan Perundangan Tentang Pemerintahan NagariDesa di Sumatera Barat, Fakultas Hukum Univ.Andalas, Padang. Tidak dipublikasikan Simatupang, P.I.W. Rusastra and Maulana, 2004. How to Solve Supply Bottleneck in Agricultural Sector. Paper Presented at the Thematic Workshop on Agriculture ‘Agriculture Policy for the Future’. UNDP- UNSFIR. 12-13 February, 2004. Jakarta. Simanjuntak, Marsilam, 1994. Pandangan Negara Integralistik: Sumber, Unsur dan Riwayatnya. Penerbit: Pustaka Utama Grafiti, Jakarta. Sinaga, Usman, Bonar M. dan Hermanto Siregar, 2007. Analisis Kemiskinan Sebelum dan Sesudah Desentralisasi Fiskal. Fakultas Ekonomi Manajemen, IPB, Bogor Sjahmunir A.M., 2006. Pemerintahan Nagari dan Tanah Ulayat. Andalas University Press, Padang. Soebhan, Syafuan Rozi, 2000. Model Reformasi Birokrasi Indonesia. Litbang LIPI, Widyaset, vol.1.2000. Soemardjan, Selo, 1989. Pemerintahan Desa. Laporan Penelitian, Badan Penelitian dan Pengembangan Depdagri, kerjasama dengan JIIS, Jakarta. Tidak dipublikasikan Soetarto, Endriatmo, 2006. Elite Versus Rakyat, Dialog Kritis Dalam Politik Desa. Lapera Pustaka Utama, Jokjakarta. Soetarto, Endriatmo, 2010. Reforma Agraria: Jalan Perubahan Menuju Indonesia Sejahtera, Adil dan Demokratis. Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap Pada Fakultas Ekologi Manusia. Institut Pertanian Bogor. Sopanah, 2011. Studi Fenomenologis Menguak Partisipasi Masyarakat Dalam Proses Penyusunan APBD, dalam Jurnal Auditing dan Akuntansi Indonesia. Spradley, James P., 1997.The Etnographic Interview, terjemahan Misbah Zulfa: Metode Etnografi, PT Tiara Kencana Yogya. Jokjakarta. Sudaryanto T. dan A. Agustina, 2003. Peningkatan Daya Saing usahatani Padi: Aspek Kelembagaan. Analisis Kebijakan Pertanian Vol 1 No. 3. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial ekonomi Pertanian. Bogor Sudjito, Arie, 2008. Menelusuri Belantara Perencanaan dan Penganggaran, dalam Menabur Benih di Lahan Tandus; Pelajaran Berharga dari Advokasi Perencanaan dan Penganggaran di Bantul dan Kebumen, Zamroni et.al ed. IRE. Jokjakarta Schwarz, Adam, 2004. A Nation in Waiting. Boulder, CO: Westview Press. Sitorus, E.B., 2007. Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Desa. Direktorat Pemerintahan Desa Dan Kelurahan, Direktorat Jenderal Pemberdayaan Masyarakat Dan Desa, Departemen Dalam Negeri, Jakarta.2007 Syarifuddin, Amir, 1984. Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam Dalam Lingkungan Adat Minangkabau, Disertasi IAIN Syarif Hidayatullah, Penerbit Gunung Agung, Jakarta. Tanner, Nancy, 1971. Minangkabau Disputes, Tesis Ph.D University of Califor- nia, Berkeley. unpublish Tanner, Nancy, 1982. The Nuclear Family In Minangkabau Matriliny: The Mirror Of Disputes In: Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 138 1982, no: 1, Leiden, 129-151. Teghtsoonian, Katherine and Pamela Moss, 2008. Contesting Illness: Processes And Practices, University of Toronto Press, Canada. Tjondronegoro, Sediono M.P., 2008. Metodologi Penelitian Sosial, dalam Ranah Kajian Sosiologi Pedesaan, FEM.IPB, Bogor. Turner, Jonathan H., ed 2002. Handbook Sociological Theory, Kluwer Academic, Plenum Publisher, New York Thoha, Miftah, 2004. Birokrasi dan Politik di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta. Turner, Bryan.S., 1984. Sosiologi Islam: Suatu Telaah Analitis Atas Tesa Sosiologi Weber, Rajawali Pers, Jakarta. Van Klinken, Gerry and Joshua Barker, 2010. State Of Authority: The State In Society In Indonesia Cornell University. Southeast Asia Program. Van Niel, Robert, 1984. Munculnya Elite Modern di Indonesia, Pustaka Jaya, Jakarta. Van Reenen, Yoke, 1996. Central Pillars of the House, Sisters, Wives and Mothers in A Rural Community In Minangkabau, West Sumatera. Research School CNWS, Leiden. The Netherland. Varma, S.P., 1987. Teori Politik Modern, Rajawali Press, Jakarta Watson ,Goodwin, 1945. Bureaucracy as Citizen, Journal of Social Issues. 1:4-13 Webber, Douglas. 2006. “A Consolidated Patrimonial Democracy? Democratization in Post- Suharto Indonesia,” Democratization, Vol. 13, No. 3 June 2006, 397. Weber, Max, 1946. H.H.Gerth and C.W.Mills, eds From Max Weber; Essay in Sociology, Oxford University Press. Weber, Max, 1978. Economy And Society, An Outline Of Interpretive Sociology. ed. by Guenter Roth and Claus Wittich. University of California Press. Bekeley. Weber, M., 1958. The Three Types Of Legitimate Rule. Berkeley Publications In Society And Institutions, 4 1: 1-11. Translated By Hans Gerth. Wertheim, W.F., 2009. Elite Vs Massa, Penerbit: Lingkar Belajar Agraria bekerjasama dengan Resist Book, Jokjakarta. Widowati, Dyah, 2007. Kajian Partisipasi Dalam Perencanaan dan Penganggaran Pembangunan Daerah di Kab.Pati. Tugas Akhir pada Jurs.Perencanaan Wilayah dan Kota, Univ.Dipenogoro, Semarang. Unpublish Zainal Abidin, Idris dan Amiruddin, 2005. Dinamika Perberasan di Sulawesi Tenggara, Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, Dinas Pertanian Sultra. Zed, Mestika, Edy Utama Dan Hasril Chaniago, 1998. Sumatera Barat Di Panggung Sejarah, 1945-1995. Sinar Harapan, Jakarta. Zulqayyim, 2002. Kerapatan Adat Nagari dan Pembangunan, Studi Kasus KAN Limbukan-Air Kuning, Payakumbuh, 1983-2000. Project Report. Lembaga Penelitian Universitas Andalas Padang Unpublished Sumber Jurnal Ilmiah Abegaz, Berhanu, 2011. Political Parties in Business. The College of William and Mary College of William and Mary, Department of Economics. Working Paper Number 113, April 2011 Blunt, Peter, Mark Turner, And Henrik Lindroth, 2012. Patronage’s Progress In Post-Soeharto Indonesia. Public Administration And Development, Public Admin. Dev. 32, 64 –81 2012, Published Online In Wiley Online Library, Wileyonlinelibrary.Com Doi: 10.1002Pad.617. Dahlström, Carl, Victor Lapuente and Jan Teorell 2010. Dimensions of Bureaucracy A Cross-National Dataset on the Structure and Behavior of Public Administration. Qog Working Paper Series 2010:1. The Quality Of Government Institute Department Of Political Science, University Of Gothenburg Erdmann, Gero And Ulf Engel, 2006. Neopatrimonialism Revisited – Beyond A Catch-All Concept. GIGA German Institute Of Global And Area Studies Neuer Jungfernstieg 21. D-20354 Hamburg. Germany Kalberg, Stephen, 2008. Macro Compar isons In Max Weber’s Sociology: Precautions, Possibilities, Achievements, And Limitations. Eurostudia Transatlantic Journal For European Studies Vol. 4; N°2 Dec. 2008 Karadag, Roy. 2010. The Breakdown Of Oligarchy, The Neopatrimonial Interlude, And The Restoration Of Oligarchy In The Philippines, 1965- 1986. Paper To Be Presented At The Workshop “Neopatrimonialism In Various World Regions ” 23 August 2010, GIGA German Institute Of Global And Area Studies, Hamburg Korte, Nina, 2011. Its Not Only Rents: Explaining The Persistence And Change Of Neopatrimonialism In Indonesia. GIGA working papers, No. 167. GIGA Research Programme: Legitimacy and Efficiency of Political Systems. Leibniz ‐Institut für Globale und Regionale Studien. Hamburg. Matter, Scott, 2011. Clashing Claims: Neopatrimonial Governance, Land Tenure Transformation, and Violence at Enoosupukia, Kenya. PoLAR: Political and Legal Anthropology Review, Vol. 33, Number 1, pps. 67 –88 van Klinken, Gerry. 2009. Patronage democracy in provincial Indonesia. www.kitlv.nl . Van Klinken, Gerry, 2009. Patronage Democracy In Provincial Indonesia. In Rethinking Popular Representation Governance, Security And Development, Olle Törnquist, Kristian Stokke, Neil Webster, Eds., Pp. 141-59, Basingstoke: Palgrave Macmillan, 2009 Van Klinken, Gerry, 2009. Decolonization And The Making Of Middle Indonesia. Royal Netherlands Institute Of Southeast Asian And Caribbean Studies Kitlv Leiden, The Netherlands. Von Soest, Christian. 2010. Persistence And Change Ofneopatrimonialism In Africa, Latin America, Southeast Asia. Paper To Be Presented At The Workshop “Neopatrimonialism In Various World Regions” 23 August 2010, GIGA German Institute Of Global And Area Studies, Hamburg Sumber Lainnya Agam Dalam Angka 2007 Agam Dalam Angka 2010 Buku Panduan Pelatihan Fasilitator Forum SKPD dan Musrenbang RKPD, LGSP- USAID Dinas Pertanian UPTD Kec.Baso 2009 Direktorat Pangan dan Pertanian, 2009. Kajian Model Pertumbuhan Sektor Pertanian untuk penyusunan Strategi pembangunan Pertanian, SUMARY BAPPENAS, Jakarta. DATA PILEG KPUD Kab. AGAM, 2004 dan 2009 DATA PILKADA KPUD Kab.Agam, 2005, 2010 Dokumen Musrenbang Sei Cubadak, 2007, 2008, 2009 Dokumen Musrenbang Sungai Janiah,2007,2008, 2009 Dokumen Musrenbang Tabek Panjang, 2007, 2008, 2009 Dokumen Musrenbang Baso, 2007, 2008, 2009 Dokumen Musrenbang Nagari Tabek Panjang, 2007, 2008, 2009 Dokumen Musrenbang Kecamatan 2007, 2008, 2009 Dokumen Musrenbang Kecamatan Seluruh Kecamatan Kab.Agam,2007, 2009 Kecamatan Baso Dalam Angka 2008 Profil Nagari Tabek Panjang Dalam Angka 2007-2008 Penjabaran APBD Kab.Agam Tahun 2004 Penjabaran APBD Kab.Agam Tahun 2005 Penjabaran APBD Kab.Agam Tahun 2006 Penjabaran APBD Kab.Agam Tahun 2007 Penjabaran APBD Kab.Agam Tahun 2008 Penjabaran APBD Kab.Agam Tahun 2009 Penjabaran APBD Kab.Agam Tahun 2010 MAKUDA http:www.bppk.depkeu.go.id http:www.pu.go.idsatminkalindex.asp?Site_id=0400 diunduh Maret 2011 http:www.agamkab.go.id?agam=beritase=detilid=836 diakses hari Jum’at, 4 September 2010. http:www.lowongancpns.org201108total-gaji-pns-menghabiskan-uang-rp- 2157-triliun-di-tahun-2012 http:www.bkn.go.id http:www.bppk.depkeu.go.id http:www.anggaran.depkeu.go.idweb-content-list.asp?ContentId=856 diakses, 7 september 2011 LAMPIRAN v ABSTRACT BOB ALFIANDI. Minangkabau Traditional Authority and Government Bureaucracy: Elite Contestation in Budgeting Planning and Budgeting APBD In Rural Agriculture Sector, District Agam, West Sumatera. Under Direction of ENDRIATMO SOETARTO, NURMALA K.PANDJAITAN, HELMI and SEDIONO M.P. TJONDRONEGORO. Tendency of low agricultural budgeting occurs also in Agam regency, where the people are mostly peasants and still live under the legitimacy of Minangkabau Traditional Authority. This is quite odd since in this era of regional autonomy where the regional heads and DPRD who have the rule to plan the budget is elected by the people who are actually peasants. At the same time, the System Planning and National Development under the regulation No.252004 as well as under the State Finance Law No.172003 require public participation in budget planning and budgeting. The research question is how the role of Minangkabau Traditional Authority and contestation with local governances bureaucracy in the process of budget planning and budgeting in Kab.Agam This study is based on a constructivist research paradigm with a qualitative approach. The method used is the historical sociology and semiotics, hermeneutics. The data were collected through a literature study, participant observation and in-depth interviews. The results of this research indicate that planning and setting of regional revenue and expenditure budgets APBD is an arena for contestation between Minangkabau Traditional Authority and Local Government Bureaucracy. This happened since Minangkabau Traditional Authority has chosen its elements to be the members of parliament who then assigned the role to fight for budget allocations for Jorong and Nagari where they come from and were elected. This phenomenon could also lead bureaucrats to have a particular concern that emerged from the functions of government bureaucracy.This study concluded, on one hand, Minangkabau Traditional Authority still has an ultimate power in the regency that might cause Local Government Bureaucracy getting “out of function ” due to the benefit of the bureaucrats especially DPRD in planning APBD. However, on the other hand, Local Governances Bureaucracy carries out the functions of the budget-disbursed agriculture and rural to its people. Keywords: Minangkabau Traditional Authority, Government Bureaucracy, Contestation, Budget Planning and Budgeting APBD

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Penelitian

Pasca swasembada beras, masalah utama Indonesia yang belum dapat terpecahkan hingga kini adalah meningkatnya kerawanan pasokan beras. Bahkan, swasembada beras yang pernah dicapai, ternyata hanya dapat dipertahankan hingga tahun 1990 Kasryno et.al. 2001. Selanjutnya, Indonesia menjadi salah satu negara pengimpor beras terbesar di dunia. Tahun 1996 jumlah impor beras mencapai 1,5 juta ton, pada tahun 1999 impor beras mencapai puncak tertinggi dengan total impor 4,7 juta ton kemudian terus menurun hingga tahun 2005 mencapai 0,2 juta ton Sawit dan Lokollo 2007. Beras yang berasal dari tanaman padi, sebagaimana diketahui, merupakan komoditas strategis yang memiliki pengaruh politik, ekonomi dan sosial yang tinggi. Dalam perekonomian, usaha tani padi menyediakan kesempatan kerja dan sumber pendapatan bagi sekitar 25 juta rumah tangga petani BPS 2004. Padi adalah bahan pokok bagi 95 persen penduduk Indonesia, dengan pangsa konsumsi energi dan protein yang berasal dari beras diatas 55 persen; dan sekitar 30 persen dari total pengeluaran rumah tangga miskin dialokasikan untuk beras Sudaryanto dan Adang 2003. Pengalaman tahun 1966 dan 1998, memperlihatkan bahwa salah satu penyebab terjadinya goncangan politik adalah karena harga beras yang melonjak tinggi dalam waktu yang singkat Zainal Abidin dan Syam 2005. Sesungguhnya, Indonesia memiliki potensi untuk terus bertahan dalam swasembada beras sehingga terhindar dari kerawanan pasokan beras. Mengapa, karena secara faktual masih ada kesenjangan produktivitas padi sebesar 25 dari potensi yang dapat dikelola World Bank 2009. Apalagi, penguatan teknologi bangsa ini relatif memadai untuk meningkatkan kapasitas aktual tersebut, hanya saja, terkendala oleh rendahnya anggaran yang tersedia, termasuk tidak memadainya anggaran infrastruktur pertanian di pedesaan pada umumnya Darsono 2008. Namun lebih dari hal itu, patut dipertanyakan kemauan politik pemerintah untuk menjalankan agenda swasembada beras tersebut, atau isu terkini dikenal dengan nama „Ketahanan Pangan’, atau yang lebih fundamental lagi disebut „Kedaulatan Pangan’. Pembangunan sektor pertanian dan pedesaan di Indonesia, pernah mencoba mengaplikasikan beragam model-model adaptasi pembangunan pertanian padi. Satari 2002 mencatat, setidaknya sejak 19631964, pemerintah mulai mencoba menerapkan model bimbingan masyarakat Bimas, dengan penekanan pada peningkatan produksi beras. Hasilnya, produksi beras dapat ditingkatkan lebih dari 10 pertahun. Kuncinya, sekali lagi menurut Satari, terletak pada bantuan dan sokongan dari semua instansi, termasuk adanya tekad dari pimpinan nasional, diantaranya, untuk mewujudkan jumlah alokasi anggaran pertanian yang memadai. Tekad pimpinan nasional itu, pernah diwujudkan pada tahun 1981-1982, dengan alokasi anggaran Pertanian menduduki rangking tertinggi dalam APBN, yakni 17 dari total APBN Nitisastro 2009. Kondisi keuangan negara juga sangat memungkin pada masa itu karena “oil boom”, sehingga dapat memberikan pendanaan yang memadai untuk berbagai program pendukung, seperti mensuk seskan “revolusi hijau”, pemberian kredit, program subsidi pupuk, dan pembangunan jaringan pengairan secara intensif. Rangkaian kebijakan tersebut berhasil menjadikan bangsa Indonesia mencapai swasembada beras pada tahun 1984 Bappenas 2009. Sejak pertengahan periode 1990-an sektor pertanian tidak lagi mampu menjadi pendukung tumbuh-kembangnya perekonomian Indonesia hingga pasca krisis moneter 1997 Martin and Warr 1993; Booth 2002; Muslim 2002; Fuglie 2004; Druska and Horrace 2004; Sastrosoenarto 2006. Menurut Darsono 2008, kondisi ini tidak dapat dipisahkan dari gejala rendahnya anggaran pertanian, termasuk prasarananya. Selain itu, terjadi perubahan kebijakan pemerintah yang cenderung “terlalu cepat berpaling” pada program agroindustri – industrialisasi yang padat modal. Penurunan anggaran pembangunan di sektor pertanian, ternyata tidak hanya terjadi di Indonesia, namun juga terjadi di beberapa negara Asia Tenggara lain seperti Malaysia dan Thailand. Selama periode 1980-2005, alokasi belanja pemerintah pusat untuk sektor pertanian mengalami penurunan konsisten di tiga negara tersebut. Indonesia dari 16,04 menurun menjadi 2,96, Malaysia juga turun dari 7,09 menjadi 2,88. Thailand turun dari 10,24 menjadi 5,65 Darsono 2008. Berdasarkan fakta tersebut, Braun dan Greenwood 2007 mensinyalir pemerintah di Asia Tenggara yang sebagian besar penduduknya bekerja di sektor pertanian, semakin menjauhi petaninya. Dalam kajian agraria, hal ini dikenal sebagai de-agrarianisasi Soetarto 2010. Gejala rendahnya anggaran sektor pertanian di Indonesia ini justru terjadi ketika jumlah populasi rumah tangga petani RTP meningkat tajam selama tiga periode sensus pertanian yakni dari 15.174.098 jiwa pada 1983, meningkat menjadi 19.713.744 jiwa pada 1993 dan kembali meningkat pada 2003 menjadi 24.868.675 jiwa Sensus Pertanian 1983; 1993; 2003. Peningkatan RTP ternyata juga ditandai oleh peningkatan lahan pertanian sawah yang pada masa Orde Lama, yakni tahun 1961, luasannya baru mencapai 6,867 juta Ha, selanjutnya bertambah menjadi 8,135 juta Ha pada masa awal Orde Baru, yakni pada tahun 1970, dan kembali meningkat menjadi 9,764 juta Ha beberapa saat setelah swasembada, tahun 1984. Hingga pada masa akhir kejatuhan Orde Baru, luas sawah meningkat hingga mencapai 11,141 juta Ha. Gejala ini terus berlanjut hingga tahun 2007 dengan luasannya mencapai 12,166 juta Ha FAOstat 2011. Anggaran pembangunan pertanian yang menurun di Indonesia, terlihat pada data time series APBN. Pada tahun 198182, anggaran pembangunan sektor pertanian mencapai 17 dari APBN Nitisastro 2010, namun, dibandingkan dengan APBN 2011, Pemerintah hanya mengucurkan anggaran pertanian sejumlah 1,3 dari APBN Dep.Keu 2011. Meskipun jika dilihat dari tahun 1996-2011, anggaran terus meningkat, seperti pada tahun 1996 adalah Rp. 1,192 triliyun, kemudian meningkat pada tahun 2000 menjadi Rp. 2,044 triliyun rupiah dan pada tahun 2004 telah mencapai Rp. 2,990 triliyun namun, jumlah tersebut tidak lebih dari sekitar 2 dari APBN Deptan 2004. Rendahnya anggaran pertanian, juga disebabkan alokasi anggaran terfragmentasi pada beragam instansi Kementerian dan Lembaga. Menurut Dep.Keu 2007, sejak tahun 2002 Alokasi Anggaran Pertanian tersebar di 21 instansi Kementerian dan Lembaga, yang dikelompokkan menjadi 12 instansi, diantaranya seperti Depdagri, Deptan, BPPT, LIPI, Depag, Deperindag, Kementerian Koperasi dan UKM, Depnakertrans, KLH dan Dephut, Dep.PU, BPN, Depkes, dan Kementrian Daerah Tertinggal. Rata-rata nilai anggaran pertanian selama periode 2002-2007 di berbagai instansi ini adalah 13,77 dari APBN. Di tingkat pemerintah daerah, gejala rendahnya anggaran pertanian nasional tersebut, terjadi juga di Kabupaten Agam, yang merupakan salah satu “luhak nan tigo” dimana masyarakat Minangkabau berasal. Hal ini terlihat dari alokasi anggaran sektor Pertanian dan Kehutanan serta sektor Sumberdaya Air dan Irigasi Kab.Agam antara tahun 1994-2010, 1 yang menunjukkan hasil berfluaksi. Pada tahun 1994, alokasi anggaran sektor Pertanian berjumlah Rp. 55 juta. Alokasi anggaran ini jauh lebih rendah dibandingkan dengan sektor-sektor lain pada tahun yang sama, seperti sektor Perdagangan yang mendapat alokasi anggaran Rp. 108 juta, sektor transportasi mendapat alokasi dana Rp. 4,5 milyar, sektor aparatur pemerintah dan pengawasan yang mendapat alokasi Rp. 1.7 milyar. Anggaran pertanian meningkat lima tahun kemudian, yakni tahun 1999, dengan alokasi anggaran mencapai Rp. 9 milyar, kemudian menurun kembali pada tahun 2002 dengan alokasi belanja Rp. 1 milyar kemudian kembali meningkat pada tahun 2008 dengan alokasi anggaran Rp. 8 milyar. Pada tahun 2010, alokasi sektor Pertanian tersebut mencapai Rp. 6,5 milyar saja. Hal yang sama juga terjadi dengan alokasi dana infrastruktur pertanian, seperti pengairan. Prasarana pengairan yang termasuk dalam sektor sumberdaya air dan irigasi ini, pada tahun 1994 dan tahun 1995 tidak mendapat alokasi anggaran. Pada tahun 1999, sektor ini mendapat alokasi anggaran sebesar Rp. 9 milyar. Sedangkan Alokasi anggaran terbesar diperoleh pada tahun 2000 yakni sebesar Rp. 10 milyar, selebihnya, anggaran sektor ini berada di bawah angka tertinggi tersebut. Rendahnya anggaran pembangunan sektor pertanian di Kab.Agam sangat ironi, mengingat Produk Domestik Regional Bruto PDRB sektor pertanian Kab. Agam mencapai 43,5 persen pada tahun 2010. Angka ini menunjukkan bahwa mata pencaharian utama masyarakat Minangkabau di Kab.Agam berada dari 1 Data MAKUDA yang diperoleh dari Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan. Melalui situs http:www.djpk.depkeu.go.iddatadjpk47 Dengan judul sub-link APBD Historis. Data yang ada hanya dari tahun 1994 hingga 2002. Tahun selanjutnya, 2003 hingga 2009 diolah dari penjabaran APBD Kab.Agam dan data 2010 kembali di olah dari data Makuda. sektor pertanian. 2 Sesuai dengan hasil PDRB, data angkatan kerja menunjukkan dari 208.577 jiwa yang telah bekerja, 133.121 jiwa diantaranya adalah mereka yang bekerja sebagai petani Agam Dalam Angka 2010. Data Luas lahan pertanian pangannya pun mendukung pendapat bahwa sebahagian besar masyarakat Kab.Agam bekerja sebagai petani, dimana luas keseluruhan pertanian pangannya mencapai 68.014 Ha dari ± 81.500 Ha dari lahan yang dapat ditanami Agam Dalam Angka 2010. Lebih penting lagi, bagi Masyarakat Agam, serta Minangkabau pada umumnya, pertanian sawah bukan hanya sekedar masalah nafkah, tetapi juga berhubungan dengan kebudayaan dan keteraturan sosial. Beras yang dihasilkan oleh sawah tersebut umumnya masih merupakan salah satu unsur utama dari harta yang dimiliki secara komunal, dengan penguasaan “ganggam ba untuak” 3 Syarifuddin 1984. 4 Ekonomi sawah bersifat subsistensi itu telah memelihara kelestarian sistem Matrilineal Minangkabau Kahn 1979, termasuk sistem otoritas tradisional Manan 1995. Ketika terjadi pemberontakan pajak dan komunis di Minangkabau pada tahun 1908 dan 1926-1927 terhadap kolonial Belanda, salah satu penyebabnya adalah kebijakan Belanda yang “memaksa” petani Minangkabau merubah lahan sawah untuk menjadi lahan pertanian ekspor Schrieke 1955. Pada tataran politis, gejala rendahnya anggaran sektor pertanian ini juga cukup ganjil mengingat tiga hal, pertama, pada era otonomi daerah Kepala Daerah dan DPRD yang merupakan aktor-aktor penganggaran keuangan daerah APBD dipilih secara langsung oleh rakyat dalam jabatannya. Kedua, rakyat yang memilih anggota DPRD beserta Kepala Daerah tersebut, justru sebahagian besar adalah para petani. Petani subsistensi Dobbins 2008 yang sebahagian besar masih mengolah lahan milik komunal, dimana lahan komunal tersebut menjadi penyangga sistem Matrilineal Kahn 1979, berikut otoritas tradisional Minangkabau yang menyertainya Manan 1995. Dengan kondisi kuatnya otoritas 2 Hasil wawancara bersama Bupati dan juga dijabarkan dalam situs resmi pemerintah Kab.Agam beritukut http:www.agamkab.go.id?agam=beritase=detilid=836 diakses hari Jum’at, 4 September 2010. 3 hal kelola, bukan hak milik 4 Hak kelola. Pepatah menyebutkan, “airnya boleh di minum, buahnya boleh dimakan, batangnya tetap tinggal diperuntukkan untuk generasi selanjutnya. tradisional Minangkabau tersebut bagaimana Kepala Daerah dan anggota DPRD mendapat legitimasi ketika anggaran pertanian yang merupakan kebutuhan bersama mereka di alokasikan dengan tidak memadai. Ketiga, di era otonomi daerah ini pula terdapat UU No.252004 tentang Sistem Perencanaan dan Pembangunan Nasional SPPN, UU No.322004 tentang Pemerintahan Daerah dan PP No.402006 tentang Tata Cara Penyusunan Pembangunan Nasional, yang mengharuskan partisipasi masyarakat dalam perencanaan dan penganggaran APBD dan APBN. Oleh karenanya, menarik untuk dikaji dan diangkat menjadi pertanyaan konseptual bagaimana APBD sektor pertanian-pedesaan ini direncanakan dan dianggarkan oleh Birokrasi Pemerintahan ketika tatanan keteraturan sosial dari kehidupan para petani masih kuat dilegitimasi oleh sistem Otoritas Tradisional Minangkabau. Studi yang telah mengungkap terjadinya penurunan proporsi anggaran pertanian di Indonesia telah banyak dilakukan. Seperti disarikan temuan Darsono 2008, Pasaribu 2007, Arifin dan Rachbini 2005, Kasryno, Pasandaran dan Adiningsih 2001, Simatupang, Rusastra dan Maulana 2000 di atas. Namun, tidak banyak studi yang mencoba menelusuri bagaimana anggaran pembangunan pertanian yang rendah itu direncanakan dan dianggarkan pada era pemerintah daerah KabKotaProv. yang memiliki otonomi luas untuk merencanakan, merumuskan, dan melaksanakan kebijakan serta program pembangunan yang bisa disesuaikan dengan kebutuhan setempat Usman dan Hermanto 2007. Studi mengenai anggaran pembangunan pertanian, sebagaimana yang dimaksud, pada umumnya menjadi bagian agregat studi mengenai pengelolaan keuangan daerah. Studi pengelolaan keuangan daerah tersebut, telah banyak pula dilakukan seperti dilakukan oleh Sudjito 2008, Abdullah dan Asmara 2006, Halim dan Syukry 2011, namun kajian tersebut tertuju pada ranah penganggaran saja. Pada hal, pengelolaan keuangan daerah, khususnya penganggaran APBD, terdiri dari dua ranah yakni perencanaan dan penganggaran. Studi yang telah dilakukan ini, mengkaji bagaimana kontestasi elite yang merupakan unsur otoritas tradisional Minangkabau dengan Birokrasi Pemerintahan ketika proses Perencanaan dan Penganggaran APBD dilakukan. Studi ini menemukan bahwa, pertama, usulan yang merupakan kebutuhan petani tersisih dalam proses Musrenbang berjenjang. Pada forum SKPD, Pemerintah Daerah selanjutnya hanya menjatah satu usulan program untuk masing-masing hasil Musrenbang Kecamatan. Hal ini sengaja dilakukan agar SKPD dan Pemerintahan Daerah tidak melanggar Undang-Undang No.252004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional SPPN. Kedua, baik pada ranah perencanaan ketika proses Musrenbang dilangsungkan, maupun dalam ranah penganggaran ketika membahas KUA-PPAS dan RAPBD, suasana kedua ranah tersebut ditandai dengan kontestasi antar sesama elite Birokrasi Pemerintahan. Kontestasi terjadi di antara SKPD, TAPD DPRD, maupun di antara DPRD. Ketiga, prasarana infrastruktur seperti jalan Nagari dan Jorong, pengairan irigasi, pendidikan, serta sarana ibadah menjadi prioritas, karena dapat dinikmati secara merata oleh seluruh penduduk Nagari. Program pembangunan pertanian yang menuntut pengorbanan harta pusaka, serta hanya dapat dinikmati sekelompok orang dalam Nagari, sangat dihindari dan mendapat hambatan, karena mengandung sengketa yang akan berdampak buruk pada hubungan antar kaum, dan suku. Studi ini juga menemukan bahwa keteraturan sosial masyarakat di dalam Nagari-Nagari, masih pekat dilegitimasi oleh Otoritas Tradisional Minangkabau OTM. Pekatnya pengaruh OTM, kemudian menjadi ”modal” bagi unsur-unsur OTM yang memiliki kedudukan tokoh adat, tokoh agama, kaum cendikia dan bundo kandung menjadi pengurus partai politik, calon Legislatif Caleg dan calon Kepala Daerah. Unsur OTM yang menjadi Caleg dan Calon Kepala Daerah ini kemudian didukung dan dipilih oleh orang Kampung dan Nagarinya agar dapat duduk menjadi anggota DPRD yang kemudian diberi peran sebagai ”pejuang anggaran”, atau memperjuangkan Jorong dan Nagari yang diwakilinya agar mendapat alokasi anggaran APBD. Temuan ini penting, mengingat perencanaan pembangunan partisipatif atau bottom up planning sebagaimana yang telah lama dicita-citakan, baik oleh negara maupun rakyat, selalu gagal karena lemahnya posisi tawar rakyat, dan ketidak pedulian elite. Di Kab.Agam, pada kajian ini, rakyat memiliki kisah sukses itu. Sehingga, pada daerah-daerah di mana otoritas tradisionalnya masih pekat, kisah sukses ini dapat di replikasi. Hanya saja, akibat euforia unsur-unsur OTM menjadi Caleg, suara rakyat Nagari kemudian terpilah-