sebab belum dapat dikatakan dewasa seorang laki-laki selagi belum merantau. Pesan lainnya juga, menolong pusaka, dengan memperkaya jumlahnya, baik
kualitas maupun kuantitas yang dapat dilakukan dari surplus hasil rantau. Dalam bidang ekonomi, falsafah adat Minangkabau mengatur bahwa tidak
ada kepemilikan individual, semuanya dimilik bersama komunal, seperti tertuang dalam falsafah susunan masyarakatnya. Seluruh Harta adalah merupakan
pusaka, dimana berfungsi sebagai sumber dana, baik dana Kaum maupun dana bersama. Ia merupakan jaminan sosial social security. Namun, fakta empiris saat
ini telah mulai memperlihatkan kepemilikan pribadi di dalam Nagari. Meskipun kepemilikan itu, pada akkhirnya ketika diwariskan akan menjadi milik keluarga.
2.5. Kontestasi Elite
Konsep kontestasi telah menjadi jargon dalam wacana para ahli ilmu sosial dan humaniora jauh sebelum abad pertengahan. Namun sejak abad ke 16
kontestasi kemudian menandakan adanya pertikaian contention, pertentangan conflict dan kontroversi controversy Hart Hartman 2004. Menurut
Pradipto 2007, kontestasi berlangsung dalam konstelasi kekuasaan ketika ada kekuatan yang bekerja seperti saling dukung, berjuang, bersaing dan
menghancurkan. Oleh karenanya, konsep kontestasi kekuasaan dimaksud dalam penelitian ini adalah bagaimana perdebatan dan perselisihan kekuasaan bekerja
dalam proses menyusun anggaran, bahwa didalamnya terjadi persaingan, saling dukung, konflik dan bahkan saling menghancurkan kekuatan. Anggaran di susun
dengan jalan perjuangan yang tanpa henti mengubah dan memutar balikkan kekuasaan.
9
Sedangkan konsepsi elite, pada kata kedua dalam sub-judul di atas, bermakna sekelompok orang pengambil keputusan, memiliki pengaruh serta
berkuasa, yang menentukan arah dari gerak perubahan sosial Keller 1984; Kartodirjo 1983. Elite adalah kelompok orang yang menguasai jaringan-jaringan
kekuasaan, baik mereka berada dalam lingkaran kekuasaan pendukung maupun sang penguasa puncak Varma 1987; Duverger 1987.
9
Tak jarang pemutar balikkan kekuasaan ini terlihat si pemegang kuasa kemudian berakhir menjadi pesakitan atau tersangka tindak pidana.
Konsep elite selalu di padu-padankan dengan kata politik, yakni elite politik. Mengingat hakikat dari prilaku elite tersebut adalah kontestasi untuk
menduduki strata yang berkuasa. Pareto dan Mosca membagi masyarakat stratifikasi sosial kedalam dua lapisan. Lapisan elite dan lapisan non elite.
Lapisan elite sendiri, terbagi dua kelompok, kelompok elite yang memerintah oleh karenanya berkuasa governing elite dan kelompok elite yang tidak pemerintah
non-governing elite. Relasi sosial di antara kedua elite yang berkuasa dengan tidak berkuasa adalah konflik.
10
Pareto mengibaratkan relasi kedua elite tersebut sebagai Singa elite yang memerintah dan Srigala elite yang mengincar
kekuasaan. Oleh karenanya, terdapat kontestasi kekuasaan yang abadi terjadi di antara kedua golongan elit politik ini Duverger 1982; Varma 1987; Bellamy
1987; Hartman 2007. Dengan pengertian dan karakteristik tersebut di atas, elite yang dimaksud
pada studi ini adalah sekelompok orang yang berperan dan berkuasa terhadap ranah perencanaan dan penganggaran APBD, yang merupakan unsur dari
Birokrasi Pemerintahan dan Otoritas Tradisional Minangkabau. Sekelompok orang tersebut yang merupakan unsur Otoritas Tradisional Minangkabau seperti,
urang nan ampek jinih Ninik-mamak, alim ulama, cendikia, Pemuda, WaliNagari, Walijorong, BPRN, KAN. Sedang elite dari unsur Birokrasi
Pemerintahan seperti Bappeda, TAPD, SKPD, Bupati dan DPRD. 2.5.1. Persaingan Elit Politik dan Sirkulasi Elit Politik
Menurut Pareto dan Mosca dalam Varma 1987, konflik mendapat bentuk empiris ketika kontestasi para elit terjadi dan membuahkan sirkulasi elit. Hal ini
disebabkan elit politik, yang yang berkuasa maupun yang ingin merebut kekuasaan, memiliki dorongan kemanusiaan yang tak dapat di hindarkan untuk
meraih kekuasaan. Sedang keberadaan kekuasaan terbatas. Sehingga dinamika perebutan serta perjuangan meraih kekuasaan melahirkan sirkulasi elit politik.
10
Pareto dan Mosca “menohok” Tesis Marx, bahwa sejarah manusia adalah sejarah perjuangan kelas. Terdapat dua kelas, yakni Pemilik Modal Bourjuis dan buruh Proletar. Hubungan
keduanya adalah konflik kepentingan dimana kepentingan tujuan utama buruh adalah bagaimana mendapat upah setinggi-tinggi. Kepentingan tujuan utama pemilik modal adalah
bagaimana mendapat keuntungan sebesar-sebesarnya. Jika kepentingan buruh tercapai, maka salah satu komponen yang menurun adalah keuntungan pemilik modal. Jika kepentingan pemilik
modaltercapai, maka salah satu komponen yang harus di tekan adalah upah buruh.
Hal ini sejalan dengan kajian Hadiz 2005 di Indonesia, bahwa dalam kontestasi merebut kekuasaan, pelaku bukanlah para aktor bebas.
11
Namun, para aktor adalah representasi dari berbagai lapisan sosial, seperti kelas sosial dan elit,
yang memiliki proyek kepentingan materialnya sendiri. Ini artinya, tindakan aktor elite disediakan dan sekaligus di batasi oleh konteks struktur sosial tertentu.
Oleh karenanya, relasi antar berbagai kekuatan politik berada dalam poros ketegangan kontradiksi yang bersifat dialektis. Poros kontradiksi tersebut, di
antaranya tercermin dalam kontestasi. Menurut Nurhasim 2005, Konflik elit politik merujuk pada hubungan
antar kekuatan politik kelompok atau individu yang memiliki, atau merasa memiliki, sasaran yang tidak sejalan. Sasaran yang tidak sejalan menunjukkan
terdapat perbedaan kepentingan, oleh karenanya, kepentingan dapat pula dipergunakan untuk melihat motif di antara elit politik yang saling berkonflik.
Beberapa motif tersebut, selain dia ingin berkuasa, mereka juga menginginkan uang, jaringan dan investasi strategis.
12
Untuk motif uang, terdapat bukti empiris adanya misalokasi dalam anggaran karena elit politik memiliki kepentingan pribadi dalam penganggaran
Keefer Khemani 2003; Mauro 1998. Alokasi sumberdaya dalam anggaran mengalami distorsi ketika politisi berperilaku korup. Perilaku korup ini terkait
dengan peluang untuk mendapatkan keuntungan pribadi pada proyek-proyek yang akan dibiayai dengan anggaran, yakni pengalokasian akan lebih banyak untuk
proyek-proyek yang mudah dikorupsi dan memberikan keuntungan politis bagi politisi. Artinya, korupsi dan aktivitas perburuan rente di pemerintahan
berpengaruh terhadap jumlah dan komposisi pengeluaran pemerintah. Motif lain, seperti bentuk-bentuk investasi strategis dapat mengambil bentuk
beragam. Baik dari segi cultural, ekonomi, politik, jaringan kekuasaan dan sebagainya. Karena kekuasaan sifatnya terbatas, maka kontestasi elit tidak akan
terhindarkan. Nuansa-nuansa kontestasi dalam sirkulasi elit, setidaknya menunjukkan tingkat perbedaan kepentingan di antara kelompok-kelompok yang
berbeda.
11
kritik terhadap pendekatan Behavioralisme, bahwa Individu adalah bebas, memiliki kemauan bebas free will.
12
http:www2.tltc.ttu.eduScheneiderdev_sem5325_1b_conflict.htm .
Menurut Pareto 1935, sirkulasi elit dapat terjadi dalam beragam bentuk, yakni; pertama, pergantian di antara elit yang memerintah governing elite.
Kedua, pergantian dengan elit yang tidak memerintah. Untuk yang kedua, dapat terjadi dengan cara, pertama, pembauran atau koalisi antara kalangan elit yang
memerintah dengan yang tidak memerintah membentuk kelompok elit baru, kemudian berkuasa. Kedua, elit yang tidak memerintah menggantikan elit yang
memerintah. Ketiga, pembauran antar elit tidak memerintah dengan lapisan masyarakat mayoritas. Keempat, individu-individu dari kalangan bawah
masyarakat mayoritas yang membentuk elit baru dan masuk ke dalam kancah perebutan kekuasaan dengan elit yang sudah ada.
Berlainan dengan Pareto, menurut Mosca 1939 sirkulasi elit terjadi apabila elit yang memerintah kehilangan kemampuan, pada saat yang sama, kelas
lain justru menunjukan kemampuan yang lebih baik. Dengan demikian, terbuka kemungkinan elit yang berkuasa dijatuhkan, atau terjatuh dan digantikan oleh elit
politik baru. Berdasarkan dua model sirkulasi elit politik ini, kontestasi atau konflik dapat terjadi di antara elit politik yang berkuasa kontestasi sesama elit
berkuasa atau antara elit politik yang berkuasa dengan elit yang ingin berkuasa. 2.5.2. Kontestasi Elit politik Kontinuitas Sejarah
Seperti telah dijelaskan terdahulu, menurut Pareto dan Moscha, relasi sosial di antara kedua elit yang berkuasa dengan tidak berkuasa adalah konflik,
hal ini berlaku pula antara elit yang berkuasa dengan elit yang mengincar kekuasaan. Konflik berlangsung secara terus menerus, relasi kedua kelompok elit
dalam poros ketegangan dialektis. Sehubungan dengan hal tersebut, analisis kontestasi dan sirkulasi elit
politik di Indonesia, hendaknya, didasarkan cara pandang yang mengakui kesejarahan antara masa lalu, masa kini dan masa datang. Sirkulasi berbagai
bentuk rezim elite politik pada suatu momen tertentu, tidak dipahami sebagai penggalan waktu yang terpisah dari masa sebelumnya. Meskipun, boleh jadi,
sirkulasi elit politik tampak seperti sebuah diskontinuitas sejarah, namun dia tidak dapat dilepaskan dari gerak kontinuitas sejarah secara keseluruhan. Oleh
karenanya, perubahan berbagai rezim elite politik di negeri ini perlu dipahami secara historis.
Dari mulai bangun dan jatuhnya kerajaan di Nusantara, perjuangan para Pahlawan melawan pemerintahan kolonial, serta bangun dan jatuhnya Rezim Orde
Lama ROL dan Rezim Orde Baru ROB, sampai orde reformasi ini sesungguhnya tidak lepas dari kontestasi elit politik. Sehingga konotasi sejarah
dimaknai dengan kontestasi para elite politik dan juga merupakan “taman
perkuburan” para elite politik. Menurut Benda-Beckman 1979 kontestasi elite politik pada masa ROL
kelanjutan dari masa kolonial Belanda KB. dimana Salah satu upaya KB mengusai Nusantara dengan memberlakukan sistem pemerintahan tidak langsung
indirect rule, implementasinya adalah melumpuhkan, mengangkat dan menguasai elite politik tradisional lokal yang kemudian menjadi
“ujung tombak” KB dalam menguasai dan mendapatkan keuntungan dari rakyat nusantara.
Kelompok elit baru bentukan KB ini, kemudian berhadapan langsung dengan kelompok-kelompok elit tradisional yang tidak bersedia patuh dengan KB.
Kelompok elite baru ini kemudian mendapat kekuasaan untuk mengutip pajak, atau menjalankan kebijakan KB dimana menduduki posisi pekerjaan-pekerjaan
baru seperti pegawai administrasi, amtenar, tuanku demang Ricklefs 2008. Pada masa ROL, elite tradisional pada masa KB tersebut perannya
menurun atau tergerus oleh elit politik modern yang lahir akibat konsekuensi politk etis pemerintahan kolonial. elit politik modern ini ciri-cirinya: pejuang
nasional berusia muda, orang kota dan berkebudayaan barat berpendidikan modern, lebih berfaham duniawi hedonistik, dipengaruhi Marxisme, serta
tuntutan terhadap perubahan sosial dan ekonomi. Sikap elit baru mencari keterpaduan dalam keterpecahan, Falsafah politiknya Marxisme, Memiliki sikap
nasionalisme dan anti kolonialisme. Ingin mencapai pembangunan sosial dan ekonomi. inilah yang menjadi konsekuensi lahirnya 79 Negara-negara baru di
Asia pada dekade 1940-1950, termasuk Indonesia Mehden 1987 . Namun, Niel 2009 memiliki pendapat berbeda. Menurutnya, elit politik
di Indonesia modern memang lahir dari konsekuensi politik etis. Namun, yang diberi kesempatan pendidikan adalah keturunan dari kalangan elit politik
tradisional yang dibangun oleh KB. Tidak logis mengkontradiksikan antara anak, keponakan dengan para orang tua yang memiliki hubungan darah. Oleh
karenanya, yang terjadi adalah berkoalisi atau pembauran antara para elit tradisional dan modern yang kemudian membentuk kalangan elit politik yang
menjadi cikal bakal pemberontak dan bertujuan merebut kekuasaan KB. Penelitian Feith 1962 juga menemukan fakta empiris berbeda dari
penelitian von Mehden 1987 dan van Niel 2009, pada demokrasi parlementer masa ROL, terdapat kontestasi dua elit politik. Yang pertama apa yang disebut
Feith dengan solidarity makers dan yang kedua disebutnya golongan elite problem solver. Solidarity makers adalah kelompok elit tradisional yang memiliki basis
hingga ke akar rumput, dan problem solver adalah elite modern yang lahir dari pendidikan Belanda, namun tidak memiliki masa. Kontestasi kedua golongan elite
tersebut menyebabkan kegagalan demokrasi parlementer pada masa ROL. Menurunnya peran elite tradisional, sebagai mana yang di simpulkan oleh
Mehden 1987, tidak sepenuhnya benar. Justru, dalam kontestasi elit, kelompok elit politik tradisional ini mampu melumpuhkan elit politik modern.
Benda 1964 memperkuat dengan menambahkan variabel legitimasi kekuasaan yang terabaikan dalam temuan Feith tersebut, bahwa terdapat
kontestasi elite politik tradisional solidarity makers dan modern problem solvers dalam masa sistem demokrasi parlementer. Problem solver yang menjadi
dominan dalam politik yang berjalan, sebenarnya tidak lain dari pada sekelompok orang yang asing di negaranya, yang tidak memiliki basis legitimasi kekuasaan,
yang tentu saja ditentang oleh kalangan elit tradisional solidarity makers. Yang menarik dalam percakapan antara Feith 1962 dan Benda 1982 adalah kritik
utama Benda adalah bahwa kajian Feith a-historis. Mengutip Benda : “..I believe that it takes an unhistoriscal starting pointor, to put
more precisely, that it sees postwar Indonesia primarily as a continuation of the country’s most recent history, while a largely
ignores what has gone before . in point of fact, howefer, the modern colonial era including the Japanese occupation was a
brief interlude in Indonesian history, a deviationwe might almost say, from that history in that subjected the country to alien
dictation Benda, dalam Anderson and Kahin, 1982:16.
Jadi pertanyaan yang penting bukan mengapa demokrasi di Indonesia gagal? seperti yang dikemukakan dalam pertanyaan penelitian Feith, tapi yang lebih
penting adalah, mengapa ada demokrasi di Indonesia? Kritik Benda tersebut, kemudian mendapat tanggapan balik dari Feith
1965, menurutnya, kontinuitas sejarah yang menjadi variable utama Benda memiliki kelemahan yakni, pertama, mengabaikan proses modernisasi sosial dan
ekonomi yang telah berlangsung selama satu abad. Proses modernisasi itu mempengaruhi kehidupan sosial rakyat Indonesia dan arena itu juga
mempengaruhi cara rakyat memandang masyarakat politiknya, hak-hak dan kewajiban mereka di dalamnya. Kedua, dengan tesis Benda 1982 tersebut dapat
ditarik kesimpulan, siapapun yang memerintah dan berkuasa, akan berlaku otoriter. Dengan begitu, tertutup kemungkinan perubahan kearah sistem yang
lebih mendorong partisipasi dan keterbukaan. Ketiga, ia juga mengabaikan peranan otonom Negara sebagai agen perubahan. Keempat, ia juga mengabaikan
fakta sejarah bahwa sifat otoriterisme berbeda antar berbagai periode sejarah. Hadiz 2005 ikut dalam diskursus ini, hasil kajiannya menyimpulkan
bahwa terdapat kontinuitas sejarah kelompok penguasa dari satu rezim ke rezim yang lain. Menurutnya, proses reformasi, yang mendapat bentuk pada otonomi
daerah dan desentralisasi fiskal, ini membuktikan bahwa kelompok penguasa yang terdiri dari kapitalis predatoris, yang hidup dalam masa rezim Orde Baru, tidak
hilang begitu saja, namun bermetamorfosa ke dalam partai-partai politik dari pusat hingga ke daerah-daerah.
2.5.3. Elit Politik Tidak Perduli Rakyatnya Kajian lain yang menjelaskan hubungan elite dengan rakyat, dilakukan
oleh Wertheim 2009 menyimpulkan bahwa elite sesungguhnya tidak tahu massa atau rakyatnya. Menurut Wertheim, dari persfektif sosiologi pengetahuan, ketidak
tahuan tersebut berpangkal dari, pertama, streotipe-streotipe elite yang menganggap massa rakyat sebagai ancaman. Kedua, elite memang tidak
mengenal rakyatnya, karena kehidupan mereka saling terpisah, sehingga sedikit informasi yang tersedia bagi elite untuk mengenal rakyat.
Dengan streotipe tersebut, elite membangun citra-citra tentang rakyat. Citra yang dibangun tersebut, adalah citra yang memberi keuntungan pada elite.
Melalui argumentasi ini, Wertheim menyimpulkan bahwa elite sengaja tidak mau tahu rakyatnya. Sebaliknya, jika pun mengetahuimemhami rakyatnya, hal
tersebut dilakukan sepanjang menguntungkan kalangan mereka. Menurut Wertheim, sebagaian besar realitas relasi elit dan rakyat adalah kombinasi dari
kedua hal tersebut. Hanya saja, hal pertama lebih dominan, yakni ketidaktahuan sebagai hal yang tidak disengaja. Sehingga, represi elite terhadap rakyat pun tidak
disengaja pula.
2.6. Perencanaan dan Penganggaran APBD