Nagari Birokrasi Patrimonial di Indonesia

berdasarkan status tradisional mereka. Otoritas tersebut berada dalam Nagari- Nagari, yang memiliki otonomi atau laksana negara-negara mini. Di dalam Nagari kepemimpinan terdesentralisasi pada “tigo sapilin” ninik-mamak, Alim Ulama dan Cendikia. Pemimpin dipilih secara demokratis, dapat dituahi dan dicilakoi, oleh karenanya, dapat pula diberhentikan dari kedudukannya.

2.4.1. Nagari

Nagari adalah suatu kawasan teritorial yang biasanyanya, minimal terdiri dari empat Suku. 5 Nagari merupakan masyarakat adat yang otonom, memiliki pemerintahan dan adat sendiri 6 yang mengatur tata kelakuan anggota masyarakatnya. Tumbuhnya sebuah Nagari adalah hasil dari proses, dari taratak menjadi Dusun, dari Dusun menjadi Koto, setelah Koto menjadi Nagari. Nagari, diperintah oleh Walinagari dan Kerapatan Adat Nagari KAN yang anggotanya terdiri dari Penghulu Suku dan Kepala Kaum Manan 1995. Ia merupakan sebuah kesatuan administratif yang mempunyai struktur politik distribusi kekuasaan dan sistem hukum serta peradilannya sendiri Kato 1989. Bentuk pemerintahan, struktur politik dan hukumnya sangat dipengaruhi dua kelarasan yang terdapat dalam adat Minangkabau tradisional. Kedua kelarasan tersebut adalah, kelarasan Koto-Piliang, yang menganut paham Dt.Katumanggungan dan laras Bodi-Caniago yang menganut paham Dt.Perpatih nan Sabatang. Kedua datuk mitologi tersebut dipercaya yang menyusun adat Minangkabau tradisional Syarifuddin 1984. Laras Koto-Piliang, yang menganut paham Dt.Katumanggungan, bersifat otokratis. Menurut laras ini, Nagari diperintah oleh seorang Penghulu yang bertindak sebagai penguasa tunggal dimana lazim disebut sebagai Penghulu Pucuk. Dalam menjalankan tertib administrasi pemerintahannya, Penghulu Pucuk dibantu oleh Penghulu Empat Suku. Kedudukan dan pangkat Penghulu tersebut tidak sama. 5 Menurut adat, persyaratan sebuah Nagari: Ada balai serta Mejid, mempunyai Suku dan teritorial yang jelas, ada korong dan Kampungnya, ada pula huma dan ladang, ada jalan utama jalan raya dan ada pula tepian mandi, ada sawah dan ladang, ada halaman dan lapangan, dan adapula tempat pemakaman. 6 pemerintahan dan adat dalam satu Nagari berbeda dengan Nagari yang lain, seperti adat menyebutkan Adat selingkar Nagari. Ketidaksamaan kedudukan dan pangkat Penghulu tersebut, terlihat pula pada posisi duduk Penghulu dalam balai adat rumah adat tempat rapatnya para Penghulu, dimana terlihat bertingkat pula. Dalam berkomunikasi dengan rakyatnya, Penghulu dan Penghulu yang Empat Suku, dibantu oleh pembantu yang disebut sebagai Andiko. Alur Komunikasi politik Laras Koto-Piliang ini, menganut prinsip berjenjang naik, bertangga turun bersifat hirarkis. Untuk memahami alur komunikasi ini, marilah kita contohkan dengan mengambil di klasifikasi dikemukakan oleh Kato 1982 bahwa Nagari, terdiri dari Paruik dipimpin oleh Tungganai, Payung dipimpin oleh Penghulu, Suku yang dipimpin oleh Penghulu Suku dan Nagari dipimpin oleh Penghulu Pucuk. Jika pertikaian apapun bentuknya dalam masyarakat Nagari, maka lapis pertama yang menyelesaikan adalah Tungganai mamak rumah. Jika Tungganai, oleh karena satu dan lain hal, tidak mampu menyelesaikan konflik tersebut. Maka, pertikaian tersebut akan diselesaikan pada level Penghulu payung. Jika Penghulu sebagai pemimpin payung tidak mampu menyelesaikan, maka akan diambil alih oleh Penghulu Suku. Ketidak mampuan para Penghulu Suku meyelesaikan pertikaian akan membawa serta Penghulu Pucuk. Kata putus penyelesaian pertikaian akhir ada ditangan Penghulu Pucuk ini, dan rakyat seluruh Nagari harus mematuhi dan menuruti apapun yang diputuskan olehnya. Laras Bodi-Caniago, yang menganut adat Dt. Perpatih Nan Sabatang, lebih bersifat demokratis. Menurut laras ini, sebuah Nagari dipimpin oleh seorang Penghulu bersama dalam satu permusyawaratan, yang terdiri dari Penghulu- Penghulu Suku. Pangkat dan posisi duduk dalam balai ruangan adat para Penghulu relatif sejajar. Ini pula alasan utama, mengapa laras ini menganut azas duduk sama rendah, tegak sama tinggi. Dalam berkomunikasi dengan rakyatnya, dilakukan secara langsung tanpa perantara, tidak ada posisi andiko disini. Dalam menyelesaikan munculnya sebuah permasalahan pun, diselesaikan melalui kerapatan seluruh Penghulu Suku, yang bertindak sebagai mahkamah tertinggi, dimana putusan yang dihasilkan tidak mungkin dibanding lagi. Implikasi dari perbedaan laras tersebut bukan saja pada perbedaan terhadap komunikasi politik atau arus pengambilan kata putus, namun juga akan berdampak berbedanya penggantian posisi Penghulu dalam sebuah Kampung, payung maupun Kaum. Dari gambaran ringkas tentang Nagari ini, hal yang perlu dicatat adalah bahwa semua tanah yang menjadi bagian dari wilayah Nagari adalah milik Nagari, Suku, Kaum yang menjadi warga dalam Nagari, musyawarah dan mufakat merupakan prosedur pengambilan keputusan yang paling utama.

2.4.2. Struktur Sosial Masyarakat Nagari