Hubungan Birokrasi Pemerintahan dan Otoritas Tradisional

2.7. Hubungan Birokrasi Pemerintahan dan Otoritas Tradisional

Hubungan Birokrasi Pemerintahan dengan otoritas tradisional, dapat dilihat dari perkembangan birokrasi itu sendiri. Menurut Weber 1978 birokrasi pemerintahan bersifat evolutif mengikuti proses perkembangan rasionalisasi 13 dan tipe sistem otoritas Ritzer dan Goodman 2003 dari otoritas tradisional menuju otoritas legal rasional. Pada awal perkembangannya, birokrasi memiliki otoritas tradisional, namun, seiring munculnya kerajaan, negara, dan pembagian kerja yang semakin kompleks, peranan otoritas tradisional dalam birokrasi digantikan oleh birokrasi modern. Jika dianggap Birokrasi Pemerintahan adalah Negara, maka hubungan masyarakat yang menganut otoritas tradisional dengan Birokrasi Pemerintahan legal-rasional dapat diawali dengan asal usul kemunculan Negara yang merupakan hasil proses sejarah yang teratur, terjadi berulang, oleh karenanya bukan peristiwa unik Caneiro 1970. Secara umum terdapat dua kelompok teori yang menjelaskan kemunculan Negara Manan 1995, yakni teori sukarela voluntaristic dan teori pemaksaan coercive. Menurut teori sukarela ini, Negara muncul dari sekelompok masyarakat yang secara spontan, sukarela melepaskan kedaulatannya kemudian bersatu dengan komunitas lain untuk membentuk Negara dengan tujuan agar dapat melindungi, menjamin kelangsungan hidup bersama. Pendukung teori ini di antaranya Thomas Hobbes 1588-1679, J.J. Roseau 1712- 1778. Teori sukarela terbaru dikemukakan oleh Wittfogel 1957 dengan “hipotesa Hydraulic”, yang berpendapat Negara muncul akibat kesadaran Kaum petani yang harus berjuang untuk menopang kehidupan mereka dari pertanian irigasi. Muncul kesadaran di antara mereka, akan menguntungkan jika mereka bergabung menjadi unit politik yang lebih besar agar mampu mengelola irigasi yang lebih besar. Administrasi berikut tenaga pelaksananya, yang mereka tunjuk untuk mengelola irigasi besar tersebut mendorong munculnya organisasi Negara. Dari pendekatan kelompok teori sukarela ini, Negara merupakan kelanjutan dari 13 Berkaitan dengan tipe ideal tindakan sosial. Terdapat empat bentuk tipe ideal tindakan sosial. Pertama, tindakan rasional, yaitu tindakan dimana alat dan tujuan dipilih dan dipertimbangkan. Kedua, tindakan berorientasi nilai, dimana tindakan tujuan telah ditentukan, sedangkan alat pencapaian tujuan dapat dipertimbangkan oleh karenanya dipilih. Ketiga, Tindakan afektif, yakni tindakan yang ditentukan oleh kondisi emosi seperti, cinta, marah. Keempat, tindakan tradisional yakni tindakan yang telah lazim tradisi dilakukan. masyarakat yang masih menganut otoritas tradisional. Pandangan ini mirip dengan pendapat Weber di atas, bahwa masyarakat tradisional secara sukarela kemudian membentuk Birokrasi Pemerintahanan Negara. Kelompok teori kedua, yang menjelaskan asal-usul kemunculan Negara adalah teori pemaksaan coercive. Menurut teori ini, bukan kepentingan individu dengan maksud baik agar dapat bertahan hidup merupakan cikal bakal terbentuknya negara, tetapi adalah paksaan, kekerasan dalam bentuk perang, dan revolusi. Beberapa penganutnya adalah Ibnu Khaldun 1967, Carneiro 1970. Hal ini terlihat dari muncul kerajaan dan Negara dalam sejarah Erofa, Asia dan Nusantara. Menurut pendekatan ini, Birokrasi Pemerintahan awalnya terbentuk dengan memerangi kelompok masyarakat otoritas tradisional. Teoritisi lain yang dapat dikategorikan penganut teori pemaksanaan adalah Moore 1966. Menurutnya terdapat tiga rute Dunia Modern birokrasi modern terbentuk, pertama, rute demokrasi yang berlangsung melalui revolusi Kaum borjuasi seperti yang terjadi pada Negara Inggris, Unites Stated of America dan Francis. Kedua, rute pemerintah fasis yang otoriter, seperti yang berlangsung di Negara Jerman, Jepang dan Itali. rute ini berlangsung melalui revolusi yang terjadi pada masyarakat akar rumput. Ketiga, rute Komunis seperti yang terjadi di Negara China, Russia, melalui revolusi komunis. Pada sisi yang lain, hubungan Birokrasi Pemerintahan dengan Otoritas Tradisional, jika direduksi menjadi hubungan Negara dengan etnis yang terkandung di dalamnya, maka telah lama menjadi pokok kajian yang menarik dan penting, baik dari sudut pandang akademis maupun sudut pandang politis. Secara akademis kedudukan Negara yang demikian sentral harus diberi pembenaran, karena sebelum Negara telah berlangsung kehidupan bersama lainnya yang disebut kelompok etnis seperti Suku, masyarakat adat, sistem kekerabatan, dimana keteraturan sosial yang menyangganya dilegitimasi oleh otoritas tradisional. Dalam pandangan ini, Negara dibangun oleh satu atau lebih etnis atau Suku bangsa yang kemudian berbuah nasionalisme. Berdirinya suatu Negara bangsa nation-state tidak terlepas dari berbagai perjanjian atau kesepakatan di antara kelompok-kelompok sub-Nation pactum unionis untuk hidup bersama dan menyerahkan kedaulatan hidup orang-perorangan pactum subjectionis untuk diatur oleh Negara dengan aturan yang dikehendaki bersama. Menurut Smith 1995, nasionalisme yang membentuk 135 Negara di Dunia, berasal dari kelompok-kelompok etnis ethnies, seperti kelompok kekerabatan, kelompok agama dan sistem kepercayaan., yang kemudian menjalin rasa identitas bersama. Munculnya Nasionalisme tidak harus terdiri dari ethnies 14 yang memiliki jumlah populasi yang sama antar satu dengan yang lainnya, namun, disebabkan terbentuknya ikatan kelompok atau solidaritas sebagai satu kesatuan bangsa serta merasa berbeda dengan bangsa lain. Suatu bangsa merupakan penamaan dari suatu populasi yang memiliki dan berbagi sejarah, mitos, kenangan, budaya, ekonomi, hak-hak hukum dan tugas-tugas bersama, walaupun itu terjadi hanya antara elit mereka. Menurut Anderson 2001 nasionalisme sebagai bentukan dari komunikasi antar personal. Dari komunikasi antar personal ini kemudian terbentuk komunitas etnis yang mempunyai pandangan sama, sedarah dan senasib, dari satu garis keturunan. Selanjutnya, komunitas etnis inilah kemudian membentuk nasionalisme dalam cakupan etnis yang lebih luas bernama nasionalisme. Rasa etnosentrisme yang menjadi cikal bakal nasionalisme itu akan terbentuk jika komunikasi antar etnis mencukupi, selain, harus timbul perasaan satu nasib. Menurut ulasan sejarah, hubungan antara etnis ethnies maupun antar etnis dengan Negara Birokrasi Pemerintahan di dalam Negara yang terbentuk melalui etnonasional tersebut, ditandai dengan hubungan dinamis. Terdapat hubungan dimana suatu masa mereka saling berhadap-hadapan diametral antar satu dengan yang lainnya, namun terdapat pula hubungan yang saling dukung dan saling bekerjasama sehingga keteraturan sosial sebuah Negara menjadi mungkin. Pada hubungan diametral, terdapat medan laga daerah dan sifat politik, kekerasanperang yang berbeda, seperti yang terjadi di Bosnia-Herzegovina pada tahun 1999, Afganistan, Irlandia Utara, Pakistan, Filipina, Rwanda, Afrika Selatan, Tibet, Cina, dan Rusia. Brown, 1994. Indonesia juga merupakan Negara etnonasionalisme, yang dibentuk oleh beragam etnis melalui kesepakatan para elite seperti terlihat dalam peristiwa 14 Smith menggambarkan kelompok etnis yang membentuk latar belakang negara-negara modern sebagai ethnies . Sumpah Pemuda. Di Indonesia, masyarakat adat telah terlebih dahulu ada jauh sebelum Birokrasi Pemerintahan Negara di proklamirkan Burn 2010. Negara merupakan imajinasi sekelompok elite Anderson 2001. Bersamaan gejalanya yang terjadi pada masyarakat Global di atas, di Indonesia hubungan di antara Birokrasi Pemerintahan negara dan Otoritas Tradisional masyarakat etnis juga bersifat dinamis. Terdapat masa-masa, dimana hubungan keduanya ditandai dengan hubungan yang diametral, bertentangan atau konflik. Terdapat pula masa-masa dimana hubungan keduanya saling dukung, bekerjasama, meski terkadang bersifat simbiosis mutualisme. Hanya saja, menurut Kleden 2004 secara umum hubungan keduanya bermasalah. Hubungan yang bermasalah tersebut bukan saja bersumber dari warisan pemerintah kolonial Belanda dengan politik memecah belah, tetapi juga ketika negara di konstruksi, para elite lalai mempertimbangkan masyarakat etnis yang justru menjadi dasar bangunan negara Simandjuntak, 1994. Pemikiran para pendiri Negara Republik ini lebih ditujukan pada permasalahan kebangsaan, bukan permasalahan Negara, serta hubungannya dengan masyarat etnis yang telah lebih dahulu ada. Soekarno lebih mendalami pemikiran Ernest Renan, Otto Bauer, Karl Kautsky. Begitupun Hatta 1953,1954, sebahagian besar tulisannya membahas Nasionalisme, perjuangan kemerdekaan, arti bangsa dan ekonomi Islam. Pembahasan mengenai hubungan individu, masyarakat dengan Negara, dikaji dari hasil kajian dengan subjek bangsa lain. Menurut Kleden 2004, secara tidak sadar, bentuk negara kolonial, baik Belanda maupun Jepang, yang menindas kehidupan rakyat di daerah jajahannya telah menjadi model bagi bapak bangsa. Ini, merupakan kecenderungan banyak Negara bekas jajahan. Norma-norma yang menjadi pegangan untuk membentuk Negara modern modern state baru mulai muncul dan dibicarakan ketika masa menjelang kemerdekaan Simanjuntak, 1994. Di antara “bapak bangsa” tersebut, karya R.Soepomo yang mendominasi. Dengan menolak Liberalisme dan Marxisme, Soepomo mengusulkan menyatukan atau mengintegrasikan kepentingan individu, kepentingan kelompok dalam kepentingan Negara, yang kemudian di kenal dengan sebutan paham Negara integralistik. Hanya saja, Paham Negara Integralistik ini tidak menguraikan mekanisme dan prosedur yang memungkinkan terintegrasinya kepentingan individu, kepentingan masyarakat kelas sosial, etnis dan sejenisnya dengan kepentingan Negara. Akibat politisnya, dalam UUD’45 mekanisme dan prosedur tersebut juga lalai diatur. Sehingga, menurut Kleden 2004, Hak-hak azazi manusia HAM yang menjadi atribut penting dari martabat manusia diatur dalam UUD’45. Kemudian, hak-hak individu dan kelompok masyarakat etnis, adat terhadap sumberdaya alam dibatasi, Akibatnya, Negara kemudian menjadi alat yang dipakai sesuka hati untuk kepentingan penguasa. Paham Negara integralistik inilah yang kemudian menjadi bagian serta menjadi tradisi Birokrasi Pemerintahan, yang lalai atau mendominasi dan melakukan hegemoni terhadap rakyatnya. Dasar pemikiran inilah yang menyimpulkan bahwa hubungan Negara dengan rakyat etnis, masyarakat adat bermasalah. 2.8. Falsafah Alam dan Budaya Merantau Minangkabau: Landasan Kultural Kontestas Otoritas Tradisional Minangkabau dengan Birokrasi Pemerintahan Sebagaimana telah dijelaskan di atas, hingga saat ini, OTM masih pekat dan terus berlangsung hingga saat ini. Pemerintahan Nagari juga telah kembali di berlakukan semenjak tahun 2000 15 dimana sebelumnya terbagi dalam pemerintahan Desa-Desa 16 . Pekatnya OTM yang masih berlaku di Nagari-Nagari di Minangkabau, dicirikan dengan masih berlakunya falsafah alam sebagai acuan normatif peran dan pengambilan peran role taking. Peran menggambarkan interaksi sosial yang dilakukan oleh aktor-aktor sesungguhnya sesuai dengan apa yang telah ditetapkan oleh budaya. Harapan-harapan peran yang telah disiapkan oleh budaya tersebut, dipahami bersama dan kemudian menjadi penuntun berperilaku dalam kehidupan sehari-hari. Pada masyarakat Minangkabau, salah satu norma adat budaya yang menjadi acuan bertindak adalah falsafah Alam. Menurut Navis 1984 alam 15 ditetapkan melalui Peraturan Daerah Perda Provinsi Sumbar Nomor 9 Tahun 2000 tentang Ketentuan Pokok Pemerintahan Nagari. Berdasarkan UU 221999 tentang Pemerintahan Daerah. terutama sub. Menimbang yang menyebutkan UU No.51979 tidak sesuai dengan jiwa UU’45. serta pasal 4. 16 UU No.579 tentang Pemerintahan Desa bermakna tidak bertara bagi mereka yakni bukan saja tempat lahir, hidup, berkembang dan mati, namun lebih dari itu Alam itu adalah Guru mereka alam takambang jadi guru. Filsafat ini dapat dilihat relevansi pada ajaran adatnya yang ternukil dalam pepatah-petitih, petuah adat yang seluruhnya bernuansa alam. Dalam falsafah alam ini, meletakkan posisi manusia sama dengan menjadi bagian komplementer dari unsur lainnya seperti tanah, rumah, Suku, Nagari. Manusia Minangkabau itu harus jelas tanahnya, rumah, Suku dan Nagarinya. Kalau tidak jelas atau tidak punya 17 maka tidak dianggap orang Minangkabau atau posisinya rendah orang kurang. Lebih lanjut menurut falsafah alam ini, setiap individu adalah milik masyarakatnya, dan setiap masyarakat adalah milik individu yang menjadi anggotanya, keduanya saling memiliki dan tidak dapat dipertentangkan. Masyarakat, dengan berbagai tingkatan tersebut, merupakan kelompok yang sehina-semalu yang harus dijaga dan di pertahankan seperti ajaran adatnya mengharuskan individu Minangkabau harus: adat bersaudara, saudara pertahankandipagar; adat berKampung, Kampung dipertahankandipagar; adat berSuku pagar Sukupertahankan Suku; adat berNagari, pagar NagariNagari dipertahankan. Lihat skema berikut ini; KEWAJIBAN INDIVIDU DALAM NAGARI Individu Paruik Suku Kaum Nagari Sumber: Sjafrudin, 1984;Navis, 1984; 1987; Nasroen, 1957; Adaik Badunsanak, paga Dunsanak Adaik Bakampuang, paga Kampuang Adaik Basuku, paga Suku Adaik Banagari, paga Nagari Manusia Ideal Menurut Adat Minangkabau KEWAJIBAN INDIVIDU DALAM NAGARI Sumber: Sjafrudin, 1984;Navis, 1984; 1987; Nasroen, 1957; Gambar 2.3. Kewajiban Individu Dalam Nagari 17 Suatu yang kejadiannya langka, kecuali budak dari luar Minangkabau. Prakti knya kemudian adalah, setiap individu mempunyai “kewajiban” 18 untuk membela, mempertahankan, menjaga, membesarkan berbagai level kelompok sosial sesuai dengan “babilik ketek-babilik gadang”. Jika posisinya berada di Kaum, maka pertahankan Paruik dimata Kaum. Jika posisinya di Nagari, jaga nama Paruik, Kaum dan Suku. Begitupun jika posisinya di supra- Nagari, seperti rantau atau pada kabupaten, maka pertahankan Nagari. Hal ini tergambar dalam fenomena merantau orang Minangkabau Pelly,1984 bahwa mereka merantau dalam rangka mengemban misi budaya bagi Nagari dan Kampungnya, dengan beragam motif seperti mendewasakan diri, ekonomi, sosial, politik Naim, 1982 Keberhasilan di rantau kemudian dikirimkan pada Kampung halamannya, terutama ketika kembali pulang Naim 1984; Kato 1984; Pelly 1984. Misi budaya dalam merantau, yang kemudian digambarkan oleh Pelly 1984 sebagai siklus Migrasi Minangkabau, merupakan bagian dari bukti filsafat alam di atas, dalam rangka memagar, melindungi, membangun Kampung dan Nagari. Konsep falsafah alam dan merantau di atas, dapat diadaptasi untuk melihat, terutama proses pemilihan Legislatif dan Kepala Daerah, selanjutnya penganggaran APBD di Kabupaten Agam. Anggota DPR dan Kepala Daerah yang dilegitimasi oleh OTM, kemudian dengan Falsafah Alam memperjuangkan dan “mengirim pulang” alokasi dana APBD pada Kampung halamannya.Hal ini dimungkin dengan kondisi BP mengenai perencanaan dan penganggran yang telah pula ke luar dari fungsinya, seperti telah dijelaskan di atas. Hal ini menyebabkan peran DPRD UU No.322004 pasal 42 tugas dan wewenang DPRD adalah legislasi, anggaran dan pengawasan menjadi penggerak dari kepentingan OTM. 18 Kata kewajiban disini maksudnya suatu yang dianggap wajar, individu tidak merasa terpaksa melakukannya, kewajiban yang telah terinternalisasi sedemikian rupa, sehingga menjadi prilaku rutin. 2.9.Kontestasi Otoritas Tradisional Minangkabau dan Birokrasi Pemerintahan Dalam Penganggaran APBD Dari penjelasan di atas, beberapa hal dapat disimpulkan bahwa, BP, terutama dalam perencanaan dan penganggaran telah ke luar dari fungsinya.. OTM masih pekat dan mempengaruhi proses pemilihan legislatif dan kepala derah dengan dasar filsafat alam yang berlaku di dalam Nagari-Nagari. Pekatnya filsafat Alam akan mempengaruhi persaingan dalam Pemilu Legislatif dan Eksekutif, pada akhirnya akan mempengaruhi terjadinya persaingan kontestasi dalam perencanaan dan penganggaran APBD. Terjadinya persaingan tersebut dapat dijelaskan oleh dua variabel lainnya. Pertama, filsafat alam tersebut berlaku dalam Nagari menjadi bagian unsur adat Nagari, dan adat Nagari keberlakuannya hanya di dalam Nagari saja atau lazim disebut Adat Selingkar Nagari Manan 1995; Durin 1994; Dt.Rajo Panghulu 1971. Setiap Nagari memiliki adat istiadat yang berbeda antara satu sama lainnya. Di samping itu, norma adat hanya mengikat warga dalam satu Nagari.Tidak ada norma adat yang lebih tinggi kedudukannya di atas Nagari. Pada sisi lain, kedua norma adat ini, Falsafah Alam dan Adat Salingka Nagariini dapat menjadi potensi konflik antara sesama Nagari cukup tinggi. Perbedaan adat dan kewajiban budaya yang memberi peranan kepada orang Minangkabau untuk mempertahankan kedudukan tingkat paling tinggiberada di tingkatNagari. Tidak terdapat sumber norma adat yang menjadi sumber peran, sehingga dapat menjadi acuan bertindak, untuk mempertahankan tingkat supra Nagari kumpulan beberapa Nagari atau setting Kabupaten dengan ajaran norma Adat Selingkar Kabupaten. Ketiadaan aturan norma adat yang mengatur tingkat di luar Nagari, menyebabkan sulitnya membangun kerjasama antar Nagari, atau merencanakan dan menganggarkan APBD dalam lingkup Kabupaten. Kedua, potensi persaingan dalam perencanaan dan penganggaran APBD menjadi mungkin ketika ketersediaan sumberdaya yang terbatas diperebutkan oleh beberapa pihak berkepentingan. Key 1940 telah mengingatkan, bahwa permasalahan paling mendasar dalam penganggaran adalah keterbatasan sumberdaya, sedangkan kebutuhan selalu melebihinya. Ketika banyak pihak, dengan beragam kepentingan, terlibat, maka penganggaran menjadi dinamsi. Kondisi ini menjadi prasyarat lahirnya ajang perebutan, sengketa, kompromi dan transaksional kontestasi yang berpangkal pada kepentingan partikular legislatif, eksekutif yang terlibat dan bertanggung jawab langsung dengan penyusunan, pembahasan dan pengesahan APBD. Berdasarkan penjelasan di atas, potensi persaingan terlihat pada hubungan di antara sesama anggota lembaga legislatif. Setiap anggota legislatif merupakan agen yang diusung oleh basis OTM di Nagari-Nagari tertentu.Ketersediaan sumberdaya kultural cultural stock di Minangkabau memadai bagi munculnya kontestasi, yaknifalsafah alam dan adat salingka Nagari.Kesempatan selalu tersedia di dalam sistem sosial, yakni pada saat sumberdaya anggaran terbatas, agen OTM membawa kepentingan Nagari yang “diwakilinya”, maka persaingan di antara sesama anggota Legislatif tidak terhindarkan. Persaingan ditandai dengan perebutan alokasi anggaran untuk konstituen, yakni masyarakat Jorong dan Nagari dengan basis legitimasi OTM. Apabila ditelaah hubungan transaksional antara lembaga legislatif dan eksekutif, terdapat potensi kerjasama yang dapat diwujudkan dalam tindakan kompromi serta tawar menawar dalam rangka penyusunan anggaran daerah. Proses kompromi serta tawar menawar di antara ke dua lembaga tersebut mendapatkan basis legitimasi secara legal karena di dalam proses penganggaran APBD, relasi di antara eksekutif dengan legislatif telah diatur dalampasal 20A UUD 1945 dan UU No.32 Tahun 2004. Menurut ketentuan dalam konstitusi dan peraturan perundang-undangan tersebut, pihak eksekutif kepala daerah dapat diusulkan untuk dimakzulkan oleh legislatif, eksekutif harus mempertanggungjawabkan penggunaan dana yang telah dipergunakannya setiap tahun anggaran, serta pada masa berakhirnya masa pemerintahannya 5 tahun. Di samping itu, UU No.17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan Tatib DPRDPRD mengindikasikan bahwa intervensi hak budgeting-nya legislatif menjadi kuat. Hal ini sesuai dengan kajian Dobell dan Ulrich 2002 yang menyatakan bahwa peran penting legislatif adalah mewakili kepentingan rakyat, pemberdayaan pemerintah dan mengawasi kinerja pemerintah. Dengan peran tersebut, birokrasi merespon semua tekanan yang diberikan oleh legislatif dalam proses penganggaran, legislasi serta membuat kebijakan publik. Menurut Samuels dalam Abdullah 2006, legislatif dapat melakukan perubahan terhadap usulan anggaran yang diajukan pemerintah, terutama dalam dua hal 19 , pertama, merubah jumlah anggaran. Kedua, merubah distribusi belanja atau pengeluaran dalam rancangan anggaran tersebut. 19 Mengikuti kekuasaan legislatif yang umum, terdapat empat kemungkinan perubahan yang dilakukan legialatif terhadap rencana rancangan anggaran, pertama, mengurangi atau menaikkan pendapatan. Kedua, meminta pengesahan eksekutif sebelum keputusan akhir untk menaikkan pengeluaran. Ketiga, dapat menaikkan pengeluaran, jika pendapatan nya juga naik. Keempat, legislatif dapat menaikkan, menurunkan pengeluaran atau pendapatan tanpa ada pembatasan .

BAB III KERANGKA PERMIKIRAN DAN KEBARUAN

Tema yang hendak dijelaskan disini adalah kerangka pemikiran yang menjadi penuntun studi, serta yang menjadi kebaruan dari penelitian ini. Kerangka pemikiran, dibangun dari tinjauan pustaka yang telah dijelaskan dalam bab sebelumnya, yang juga menjadi dasar formulasi hipotesis penelitian. Sedangkan kebaruan penelitian ini dilakukan dengan meninjau rentang penelitian yang telah dilakukan State of the Art terkait birokrasi pemerintahan di Indonesia, serta membandingkannya dengan hasil studi ini.

3.1. Kerangka Pemikiran

Berdasarkan tinjauan pustaka pada bab terdahulu, dapat dirangkum bahwa birokrasi pemerintahan masih pekat dipengaruhi unsur budaya yang bersumber dari otoritas tradisional. Masuknya pengaruh otoritas tradisional tersebut menyebabkan birokrasi pemerintahan bercirikan birokrasi patrimonial yang awalnya berpusat pada struktur keluarga, khususnya pada otoritas ayah dalam keluarga, dengan demikian bersifat patriarki Weber, 1978. Sistem relasi kekuasaan, di dalam birokrasi, berdasarkan pola relasi patron-client, di mana seorang pemimpin diperlakukan sebagai patron, pelindung atau penjamin kenyamanan hidup bagi bawahan dan anggota masyarakat yang dipimpinnya. Birokrat bawahan serta anggota masyarakat menempati peran sebagai client, di mana kesejahteraan di tangan sang pemimpin atau patron. Birokrasi pemerintahan Indonesia memiliki birokrasi patrimonial Crouch 1985. Birokrasi ini masih kuat mengakar hingga era pemerintahan otonomi daerah yang kemudian menyebar ke pemerintahan daeah Webber 2006; van Klinken 2009. Namun, pada pemerintahan daerah di Kab.Agam, berlaku hal berbeda. Dalam Nagai-Nagari di Minangkabau, Otoritas Tradisional Minangkabau OTM, masih berlangsung hingga kini Hadler 2010; Manan 1995; Kato, 1982 dan von Benda Beckman 19792000. Nagari-Nagari yang ekonominya berbasiskan pertanian sub-sistensi Dobbins, 2008, memiliki aktivitas ekonomi utama usahatani padi sawah Kahn, 1979. Birokrasi mendapat