9.3. Pengelolaan Pembangunan Masyarakat Melalui Birokrasi Lokal
Birokrasi lokal muncul dalam rangka mendukung pembangunan masyarakat lokal. Bukti-bukti empiris telah dijelaskan pada bab-bab sebelumnya
bab VII dan VIII. Kepentingan diusungnya pembangunan masyarakat lokal dalam Birokrasi lokal tersebut dapat dimengerti lebih baik dengan memperhatikan
proses kemunculan serta jalannya birokrasi dalam ranah penganggaran APBD. Proses kemunculan birokrasi lokal, telah pula dijelaskan di atas, di mana
keterkaitan dengan pengusungan pembangunan masyararakat lokal telah tertanam secara kultural pada calon legislatif dan calon Kepala Daerah yang kemudian
diikat dalam perjanjian informal dengan masyararakat Nagari konstituen melalui Pemelihan Umum Lansung. Pelaksanaan Pemilu ditandai oleh satu ciri khas
bahwa masyarakat Nagari atau Jorong hanya mau memilih calon yang berasal dari Nagari mereka dan memiliki hubungan kekerabatan. Peran utama yang diberikan
adalah agar dapat memperjuangkan alokasi belanja anggaran fisik infrastruktur Pertanian, Nagari dan Jorong pada Nagari.
Terpilihnya Caleg menjadi anggota DPRD memiliki ragam makna. Ragam makna tersebut dapat dipahami lebih baik dengan membedakan dari sudut
pandang invidu, maupun dari sudut pandang kelompok kekerabatan. Dari sudut pandang individu, menjadi anggota DPRD sebagai salah satu mobilitas sosial
vertikal. Mendapat kedudukan terpandang, pendapatan yang meningkat serta mendapat perlakuan yang berbeda dalam Nagari, baik dalam dunia sehari-hari
maupun acara-acara adat. Nilai-nilai kemajuan, terus meningkat merupakan nilai- nilai yang telah terkandung dalam pemikiran orang Minangkabau Graves 1981.
Di samping itu, sebagai individu pula, menjadi anggota DPRD sebagai sebuah kesempatan untuk menjalankan nilai-nilai kultural. Menurut Kato 1982, Naim
1984, Pelly 1984 dan Hadler 2010 orang Minangkabau sangat mencintai adat dan kampung halamannya, bukan hannya mobilitas merantau sirkulasi yang cukup
tinggi dilakukan orang Minangkabau dapat menjadi bukti, tetapi melihat jumlah kualitas dan kuantitas hasil yang didapat dari rantau kemudian mengalir ke
kampung juga cukup berarti. Di samping itu, salah bukti nyata lainnya adalah masih bertahan dan masih berlangsungnya sistem matrilineal di Sumatera Barat
hingga kini Hadler 2010; Abdullah 2010.
Dari sisi pandangan matrial, salah satu pendukung kecintaan orang Minangkabau terhadap Nagarinya karena Nagari dan Jorong tersebut adalah
kumpulan harta pusaka, yang dimiliki secara bersama.
22
Sehingga, menjadi wajar jika terdapat kewajiban para anggotanya untuk tetap menjagamelindungi
Nagarinya Navis 1984, kalau tidak mampu menambah, paling tidak menjaga jangan sampai menurun jumlah kunatitas dan fungsinya Amir 2001.
Dari sudut pandang kelompok kekerabatan, orang Minangkabau sangat sadar bahwa mereka merupakan bagian dari kelompok kekerabatan, disamping
memiliki hak-hak, juga memiliki tanggung jawab terhadap kelompok kekerabatannya Benda-Beckman 1984. Tanggung jawab utama terhadap
kelompok kekerabatan adalah melindungi, membangun seluruh isi Nagari secara berjenjang dari mulai paruik, hingga suku dan Nagari Navis 1984. Oleh karena
itu, selain makna menjadi anggota DPRD dari sudut pandang kekerabatan adalah menjadi kebanggaan kelompok kekerabatan mulai dari tingkat terendah paruik
keluarga, hingga Kaum dan Suku, juga mendapat kesempatan melaksanakan peran kultural melindungi dan membangun paruik, kaum, kampuang dan Nagari.
Keterlekatan nilai-nilai kultural Granovetter 1985 yang berasal dari otoritas tradisional Weber 1978 kemudian menjadi kepentingan partikular anggota
DPRD ketika membahas RAPBD. Dalam ranah pembahasan APBD, akibat kepentingan partikular tersebut,
prosesnya menjadi dinamis. Untuk dapat menitipkan usulan pembangunan yang berasal dari OTM, anggota DPRD melakukan hubungan transaksional dengan
SKPD Dinas atau Badan. Pada pihak DPRD, mereka dapat menitipkan program pembangunan prasarana Nagari asalnya. Di pihak SKPD,
23
selain jumlah alokasi anggaran bertambah, program kerja yang lain juga akan diperjuangkan DPRD
untuk disetujui bersama TAPD. Akibat hubungan transaksional ini, bukan saja birokrat menjadi tidak impersonal, namun otoritas hierarkis jabatan yang melekat
di dalam jabatan tersebut menjadi memudar. TAPD sebagai posisi yang
22
Sampai saat penelitian dilakukan, pemilikan harta pribadi dalam bentuk tanah masih belum signifikan di Baso dan Nagari-Nagari di Agam
23
Sebagaimana telah dijelaskan pada bab terdahulu, inisiatif program dapat datang dari angora DPRD, namun dapat pula berasal dari inisiatif SKPD.
berwenang menentukan alokasi anggaran SKPD menjadi lemah perannya, karena keputusan yang dihasilkannya dapat dirubah oleh DPRD.
Manuver lain, bagaimana pembangunan masyarakat lokal diusung oleh anggota DPRD, adalah dengan tindakan kolektif anggota DPRD yang bersepakat
meminta secara terang-terangan bagian alokasi anggaran yang akan dialokasikan pada Nagarinya.
24
Untuklebih jelas, bagaimana birokrasi lokal mengusung pembangunan masyarakat lokal dapat lihat pada gambar berikut ini;
PROSES PEMBANGUNAN MASYARAKAT LOKAL DIUSUNG DALAM BIROKRASI PEMERINTAHAN APBD
KUA-PPAS APBD
RANPERDA
DPRD
TAPD
Ninik Mamak KaumKampung
Walinagari KAN
BAMUSBPRN Ulama
PEMUDA
Bundo Kanduang
Nagari X
Nagari Y
Nagari Z BUPATI
SEKDA
BAPPEDA SKPD
DINAS-DINAS BADAN
Hasil dialog berupa program yang akan menjadi Rencana Kerja Anggaran SKPD
Hasil dialog berupa program pembangunan kebutuhan masyararat yang akan
dilaksakan di Nagari-Nagari
Sumber : Data Empiris, 2010
AREA BIROKRASI PEMERINTAHAN
Hubungan Transaksional DPRD-SKPD
Hubungan Transaksional DPRD-BUPATI
Sumber Kepentingan Partikular
DPRD Kaitan=unsur OTM
Gambar 9.4. Bagan Alir Proses Pembangunan Masyarakat Lokal Diusung Dalam Birokrasi Pemerintahan Lokal
Dari gambar di atas terlihat bahwa kepentingan partikular DPRD berawal dari konstituen NagariJorong di mana mereka berasal. Untuk mencapai
kepentingan tersebut, DPRD memiliki hubungan transaksional dengan Bupati dan SKPD, hubungan ini dapat mengalahkan hubungan hierarkis dalam pemerintahan
daerah Bupati, BAPPEDA, TAPD, Sekda, Dinas-Dinas sebagaimana yang diatur
24
Lihat Bab VII
dalam peraturan perundang-undangan. Hubungan transaksional tersebut merubah dinamika birokrasi pemerintahaan, khususnya dalam perencanaan dan
pengangaran APBD. Perubahan pada BP tersebut, seperti yang tergambar pada penjelasan bentuk dan karakteristik birokrasi lokal pada awal bab ini.
Hanya saja dengan perspektif birokrasi berfungsi untuk melayani dan mensejahterakan rakyat, birokrasi lokal sebagaimana telah dijelaskan di atas
memiliki kelemahan-kelemahan, seperti, pertama, tidak seluruh Nagari terwakili suara dan kepentingannya di DPRD karena persaingan dalam Pemilu Legislatif.
Sehingga, alokasi anggaran yang hanya mengikuti keberadaan konstituen anggota DPRD, menjadi tidak merata terdistribusi pada seluruh Nagari. Kedua, ketika
jumlah alokasi anggaran terbatas, kontestasi anggaran menjadi mengekskalasi sehingga berujung pada jumlah SILPA Sisa Lebih Perhitungan Anggaran yang
meningkat.
25
25
Lihat jumlah silpa Agam pada sub bab sumberdaya agam terbatas di atas. Silpa meningkat karena tidak dapat disepakatinya di daerahNagariJorong mana alokasi program akan di
tempatkan. Sehingga, Bupati dan SKPD memutuskan tidak merealisasikan program yang telah dianggarkan. Sehingga dana tidak terserap kemudian menjadi SILPA
BAB X RANGKUMAN, KESIMPULAN DAN EPILOG
10.1. Rangkuman Hasil Penelitian 10.1.1. Interaksi OTM dan BP Dari Masa Ke Masa
Menurut tinjauan interaksi OTM dan BP dari masa pemerintahan kolonial Belanda hingga masa otonomi daerah dapat di rangkum sebagai berikut;
a Keberadaan Nagari hingga era Otonomi Daerah saat ini, mencerminkan
keberlanjutan otoritas tradisional dalam masyarakat Minangkabau di Sumatera Barat. Intervensi BP yang telah dimulai dari pemerintahan
kolonial Belanda sampai Otonomi Daerah belum mampu sepenuhnya menggantikan secara menyeluruh OTM.
b Interaksi OTM dan BP berawal ketika berkuasanya pemerintah kolonial
Belanda di Minangkabau. Intervensi yang dilakukan terhadap OTM adalah menata menyatukan hubungan supra-nagari yang semula Nagari laksana
Negara-negara mini, menjadi bagian dari Regent dan Keresidenan dengan nagari sebagai unit administrasi pemerintah terendah. Pada internal nagari,
BP juga melakukan perubahan dengan menetapkan adanya penghulu kepala yang jumlahnya dibatasi dan harus memiliki lisensi basurek dari
pemerintah kolonial serta menciptakan kedudukan baru seperti angku lareh. Namun, BP menjalankan sistem pemerintahan indirect rule dengan tujuan
memanfaatkan OTM seefektif mungkin untuk mempertahankan kedudukan hegemoninya. Untuk tujuan tersebut, keberadaan OTM dipertahankan BP.
c Pada masa awal kemerdekaan dan Orde Lama, BP melanjutkan kebijakan
kolonial Belanda, dengan tetap mempertahankan OTM menjadi wilayah pemerintahan terendah.
d Intervensi yang cukup mendalam BP terhadap OTM terjadi pada masa Orde
Baru, ketika diberlakukannya UU No.51979 tentang Pemerintahan Desa. Nagari sebagai basis utama OTM dipilah-pilah menjadi Desa-Desa baru.
Namun, pada tahun 1983, eksistensi OTM dalam kesatuan masyarakat hukum Adat, direvitalisasi dengan diberlakukannya Perda No.131983.
Pelaksanaan pemerintahan Desa, berdasarkan UU. No.51979, ternyata tidak