Kepekatan OTM di Agam

Sumber : Penjabaran APBD Kab.Agam 2007-2011 diolah. Gambar 9.2. Digram Perbandingan Belanja APBD Kab.Agam 2007-2011 Fakta-fakta di atas menunjukkan bahwa Kab.Agam bukan merupakan daerah surplus dengan berkelimpahan sumberdaya alam dan memiliki PAD yang besar. Sehingga, terkait gejala kartelisasi kepartaian dan patrimonial pusat, tidak menjadikan Kab.Agam sebagai lahan potensial pemburu rente partai kartel dengan karakteristik patrimonial.

9.2.3. Kepekatan OTM di Agam

Otoritas tradisional Minangkabau masih menunjukkan kepekatannya dalam Nagari-Nagari di Agam hingga otonomi daerah dilaksanakan. 13 Pada masa otonomi daerah, kepekatan OTM cenderung menguat melalui penyandangnya seperti Ninik-Mamak, Cadiak Pandai, Ulama dan Bundo Kanduang Haris 2005; Sjahmunir 2006; Biezeveld 20082009. Penguatan peran tokoh adat ini elite strategis 14 di dalam Nagari-Nagari merupakan konsekuensi dari politik perubahan batas-batas dan mendefenisi ulang identitas Minangkabau Benda-Beckman 2007. 13 Lihat Bab VI dalam tulisan ini 14 konsep elite strategis yang dikenakan pada tokoh adat dalam tulisan ini, seperti Ninik-Mamak, Ulama, Cendikia dan Bundo Kanduang, berasal dari Haris 2005. Namun, pada tahun 1992, penulis pernah terlibat penelitian bersama Hans Dieters Evers mengenai ekspansi pasar tenaga Sumatera Barat. Pada satu kesempatan diskusi, beliau menjelaskan pengertian konsep elite strategis dalam teori yang dibangunnya dan mengkategorikan tokoh adat Minangkabau sebagai elite strategis karena fungsinya sebagai pemecah masalah. - 100 200 300 400 500 600 700 800 B il li o n s 2007 2008 2009 2010 2011 Diagram Perbandingan Belanja APBD Kab.Agam 2007-2011 Politik perubahan batas-batas merupakan konsekuensi dari gerakan politik kembali ke pemerintahan Nagari, dari sebelumnya pemerintahan Desa. Kembali kepada pemerintahan Nagari ini merupakan salah satu produk era reformasi dan Otonomi Daerah di Sumatera Barat. Politik ini ditandai ketika kembali ke pemeirntahan Nagari, muncul gerakan tokoh-tokoh adat yang kemudian mempertanyakan serta memperjuangkan batas-batas wilayah, kewenangan Nagari mereka. Bertindak sebagai aktor politik perubahan batas-batas ini adala, pertama, sesama tokoh adat pada tingkat paruik, kaum dan suku di dalam Nagari. Kedua, antar sesama tokoh adat Nagari-Nagari pada tingkat supra Nagari. Ketiga, antara tokoh-tokoh adat Nagari-Nagari dengan Pemerintah Daerah Provinsi dan Kab.Kota. Isu-isu utama yang menjadi topik dialog adalah kembali kepada pemerintahan Nagari yang mana? Apakah jumlahnya harus sesuai dengan jumlah Nagari ketika masa sebelum menjadi pemerintahan Desa, yakni 543 Nagari? Apakah dimungkinkan untuk membentuk Nagari baru? Di samping politik perubahan batas-batas, sumber Nagari-Nagari juga menjadi gugatan. Setelah kembali menjadi pemerintahan Nagari, bagaimana hak- hak Ulayat Nagari yang lama? 15 Bagaimana sumber dan pengelolaan keuangan Nagari, 16 apakah merujuk pada aturan sebelumnya? Siapa yang bertanggung jawab atas pengelolaan sumber-sumber Nagari, WaliNagari yang mewakili pemerintahan Nagari dan Pemerintah Daerah, atau KAN Kerapatan Adat Nagari yang mewakili masyarakat adat. Dalam melaksanakan kompromi-kompromi dan perundingan yang menghasilkan kerjasama produktif, sehubungan politik batas-batas tersebut di atas, peran unsur-unsur OTM seperti tokoh adat kembali menguat dalam Nagari. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari ragam peran yang mereka lakukan dalam memperjuangkan penyatuan kembali Nagari, berikut hak-hak Nagari. Mereka bertindak sebagai tokoh sentral, wakil dan penggugat Nagari terhadap sumber-sumber Nagari. 15 Tema dialog di antara Tokoh Adat dan Pemerintah adalah, pengeloalaan Hutan, karena menurut Adat Hutan adalah Milik Nagari. Tanah-tanah ulayat yang sebahagian telah dikuasai BUMN maupun kelompok usaha. 16 Tema dialog utama adalah apakah pasar, balai kembali pengelolaannya kepada Nagari, sehingga menjadi salah satu sumber pendapatan Nagari. Politik batas-batas berkenaan dengan permasalahan sosial, administratif, geografis serta penggugatan sumber-sumber Nagari. Namun, seiring bergulirnya politik batas-batas, identitas Minangkabau juga dirundingkan kembali. Mendefinisikan Minangkabau telah lama menjadi masalah, bukan hanya bagi pejabat pemerintah kolonial Belanda tetapi juga bagi orang Indonesia yang bukan etnis Minangkabau Kahn 1993. Meskipun telah banyak upaya penulis Minangkabau secara aktif menjabarkan pandangan adat Minangkabau ketika berjumpa dengan kebudayaan lain, namun jawabannya selalu menimbulkan silang sengketa. Pada umunya, terdapat relasi atau interaksi tiga konsepsi utama yang sering mengakibatkan ditafsirkannya kembali identitas Minangkabau. Ketiga konsepsi yang saling berinteraksi dinamis tersebut adalah Adat Minangkabau, Islam dan Negara 17 Abdullah 1966. Perjumpaan Adat Minangkabau OTM dengan Islam, melalui perang Paderi yang kemudian mengundang pemerintahan kolonial Belanda, telah mengakibatkan redefenisi identitas Minangkabau. dialektika keduanya Islam dan Adat kemudian menghasilakan sistesis baru yakni identitas baru Minangkabau yakni bahwa adat Minangkabau bersendikan sara’, sara’ bersendikan adat. 18 Pada era lain, perjumpaan Otoritas Tradisional Minangkabau dengan pembangunan dan modernitas yang dibawa pemerintah kolonial Belanda serta Negara Kesatuan Republik Indonesia, telah memperkenalkan pandangan dunia sosial dan politik baru ke dalam Nagari-Nagari. Pada era perjumpaan OTM dengan pemerintah kolonial Belanda berujung pada fenomena Orang Minangkabau kemudian tampil menjadi salah satu etnis pendiri Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan memiliki lanskap terkemuka dalam perpolitikan di awal berdirinya Negara Indonesia. Peran ini kemudian mengalami pengerdilan pasca PRRI serta selama pemerintahan Orde Baru. Navis 1995 menamakan fenomena 17 Birokrasi Pemerintahan 18 Menurut Benda-Backman 2007 dan Hadler 2010 identitas Minangkabau yang digambarkan dalam pepatah Adat Bersendi Sara’, Sara’ bersendi Kitabullah ABS-SBK merupakan pepatah yang muncul kemudian. Pepatah asli yang merupakan kompromi Kaum Adat dan Paderi adalah “adat bersendi sara’, sara’ bersendi adat”. Penulis, samapai sejauh ini, bersepakat dengan penulis di atas , karena ketika Pemda Prov.Sumbar hendak membangun tugu peringatan “sumpa Sati Marapalam” yang melahirkan ikrar Adat Bersendi Sara’-Sara’ Bersendi Kitabullah. Tim peneliti Unand diminta untuk meneliti kapan, di mana, siapa saja yang terlibat, bagaimana terjadinya sumpah antara kaum adat dan Paderi tersebut ternyata menghasilkan kesimpulan bahwa tidak terdapat bukti otentik bahwa sumpah itu pernah dilangsungkan. ini sebagai “musibah intelektual” bagi orang Minangkabau, karena orang Minangkabau kehilangan perannya dalam panggung politik Nasional, dan hanya puas dengan peran sebagai client pemerintahan Orde Baru. Pada masa Otonomi Daerah, setelah kejatuhan Orde Baru, menyusutnya tekanan politik dan ideologis dari pemerintah Pusat telah mengakibatkan euforia “Keminangkabauan”. penyandang OTM dalam Nagari-Nagari, para perantau, birokrat pemerintahan, cendikia Minangkabau yang berada di Nagari, KabKota, Provinsi hingga Nasional, Politisi, Perantau secara massif terlihat dalam diskursus mendefenisi ulang identitas Minangkabau Benda-Beckman 2007; Biezeveld 2009; Hadler 2010. Musyawarah dalam rangka mendefenisikan kembali identitas Minangkabau, meski mendapat hasil yang beragam, namun pada tingkat Nagari cenderung identitas merujuk kembali kepada karakteristik Otoritas Tradisional Minangkabau Tradisional yakni, pertama, Nagari-Nagari mirip negara-negara mini yang satu sama lainnya otonom. Rakyat Nagari tidak dilihat sebagai saudara, tetapi sebagai warga. Dipimpin oleh pejabat resmi yakni Walinagari. Terdapat para spesialis, seperti kaum adat, kaum cendikia, kaum agama ulama, Bundo Kanduang dan Pemuda. Terdapat pula dewan-dewan, yakni Kerapatan Adat Nagari KAN, atau Badan Permusyawaratan Rakyat Nagari BPRN. Pada pemimpin dan dewan tersebut dipilih dan memiliki jabatan dengan jangka waktu terbatas dan memilki deskripsi tugas yang telah ditentukan secara jelas. Pemimpin, selain memiliki kekuasaan yang terbatas, juga jika dianggap gagal dalam melaksanakan tugasnya, dapat digantikan. Karateristik kedua, sistem Otoritas Tradisional Minangkabau ini adalah seluruh pengambilan keputusan, baik dalam masalah sengketa, maupun diluar sengketa. 19 Karakteristik ketiga, otoritas di dalam Nagari terpilah-pilah dalam beragam kepemimpinan bersifat heterarki seperti Mamak Kaum, Mamak Rumah, Wali Nagari, Datuk Suku, Urang nan ampek jinih. Karakteristik OTM tersebut, jika dibandingkan dengan proposisi Weber mengenai bagaimana sebuah organisasi mendapat legitimasi, maka posisinya berada di antara kontinum Legal-rasional dan tradisional. Seperti terlihat dalam matriks berkut ini; 19 Seperti menentukan jodoh, hari dan tempat pernikahan. Tabel 9.3. Matriks Proposisi Otoritas Tradisional-Legal Rasional Weber dan OTM Proposisi Sistem Otoritas Legal Rasional Dan Tradisional Weber 20 Legal Rasional Weber OTM Tradisional Weber L egitimasi Tugas-tugas pejabat berdasarkan aturan yang berkesinambungan Bersumber dari peraturan tradisional namun dapat berubah, seperti dari hubungan adat, agama dan Negara Bersumber dari peraturan yang sangat tua dan suci Rekrutmen Pejabat dipilih berdasarkan penguasaan teknis dan bersifat legal-rasional Pemimpin dipilih, dibesarkan, berdasarkan kaitan paruik-kaum dan suku namun memiliki kemampuan teknis Pemimpin dipilih berdasarkan peraturan tradisional Wewenang Tugas-tugas dibagi atas bidang-bidang berdasarkan fungsi dilengkapi otoritas dan sanksi-sanksi Diberikan melalui jabatan atas dasar pemilihan dan dibesarkan bukan ditunjuk Diwariskan melalui keturunan Susunan Jabatan Hierarkis, hak kontrol dan komplain terperinci Heterarki, terstruktur Tidak terstruktur secara hirarkis Hubungan Jabatan dengan Pejabatnya Pemegang jabatan tidak sama atau lekat pada jabatannya. Jabatan hanya sementara Melekat dalam jabatan, namun dapat dipilih dan diberhentikan Penggunaan otoritas dilekatkan pada pemimpin secara individual. Perubahan Organisasi Berubah sesuai dengan kebutuhan seiring dengan rasionalisasi dan pembagian kerja Selain Sistem Matrilineal, dapat berubah. Perubahan diadaptasi untuk mempertahankan adat Tidak memfasilitasi perubahan sosial, cenderung tidak rasional dan tidak konsisten, dan melanggengkan status quo. Hukum Aturan-aturan diarahkan pada pada jabatan, baik secara teknis maupun legal, sehingga profesionalitas dibutuhkan Hukum tertinggi adalah kesepakatan. Oleh karenanya dapat berubah Penciptaan hukum baru yang berlawanan dengan norma-norma tradisional dianggap tidak mungkin Administrasi Berdasarkan dokumen tertulis, memiliki kantor sebagai pusat administrasi Ada kantor WaliNagari danWalijorong, mengunakan dokumen tertulis namun bersifat longgar. Tidak tertulis dan tidak memiliki kantor sebagai pusat administrasi Sumber: Weber 1978 dan data Empiris 2010 diolah.

9.2.4. OTM, Kepolitikan Patrimonial Nasional dan Politik Lokal