Kerangka Pemikiran KERANGKA PERMIKIRAN DAN KEBARUAN

BAB III KERANGKA PERMIKIRAN DAN KEBARUAN

Tema yang hendak dijelaskan disini adalah kerangka pemikiran yang menjadi penuntun studi, serta yang menjadi kebaruan dari penelitian ini. Kerangka pemikiran, dibangun dari tinjauan pustaka yang telah dijelaskan dalam bab sebelumnya, yang juga menjadi dasar formulasi hipotesis penelitian. Sedangkan kebaruan penelitian ini dilakukan dengan meninjau rentang penelitian yang telah dilakukan State of the Art terkait birokrasi pemerintahan di Indonesia, serta membandingkannya dengan hasil studi ini.

3.1. Kerangka Pemikiran

Berdasarkan tinjauan pustaka pada bab terdahulu, dapat dirangkum bahwa birokrasi pemerintahan masih pekat dipengaruhi unsur budaya yang bersumber dari otoritas tradisional. Masuknya pengaruh otoritas tradisional tersebut menyebabkan birokrasi pemerintahan bercirikan birokrasi patrimonial yang awalnya berpusat pada struktur keluarga, khususnya pada otoritas ayah dalam keluarga, dengan demikian bersifat patriarki Weber, 1978. Sistem relasi kekuasaan, di dalam birokrasi, berdasarkan pola relasi patron-client, di mana seorang pemimpin diperlakukan sebagai patron, pelindung atau penjamin kenyamanan hidup bagi bawahan dan anggota masyarakat yang dipimpinnya. Birokrat bawahan serta anggota masyarakat menempati peran sebagai client, di mana kesejahteraan di tangan sang pemimpin atau patron. Birokrasi pemerintahan Indonesia memiliki birokrasi patrimonial Crouch 1985. Birokrasi ini masih kuat mengakar hingga era pemerintahan otonomi daerah yang kemudian menyebar ke pemerintahan daeah Webber 2006; van Klinken 2009. Namun, pada pemerintahan daerah di Kab.Agam, berlaku hal berbeda. Dalam Nagai-Nagari di Minangkabau, Otoritas Tradisional Minangkabau OTM, masih berlangsung hingga kini Hadler 2010; Manan 1995; Kato, 1982 dan von Benda Beckman 19792000. Nagari-Nagari yang ekonominya berbasiskan pertanian sub-sistensi Dobbins, 2008, memiliki aktivitas ekonomi utama usahatani padi sawah Kahn, 1979. Birokrasi mendapat pengaruh dari OTM melalui unsur-unsurnya yang menjadi birokrat DPRD birokrasi pemerintahan BP. Seperti diketahui, Otonomi daerah memberi kesempatan mobilitas sosial bagi OTM dan unsurnya Benda-Beckman 2007. Mamak, kemanakan, anak, bundo kandung serta ulama dan cendikia, mendapat kesempatan untuk diusung dan dipilih secara kolektif menjadi anggota DPRD. Selanjutnya, mereka yang dipilih secara bersama, memperjuangkan alokasi dana APBD untuk kampungNagari. Unsur-Unsur OTM yang diusung dan dipilih secara bersama untuk menjadi anggota DPRD, mencerminkan awal dari masuknya kepentingan partikular dalam Birokrasi Pemerintahan BP. Selama Otonomi Daerah dan Desentralisasi Fiskal, Birokrasi Pemerintahan terdistorsi out of function Weber dalam Beetham, 1996 oleh beragam kepentingan birokrat. Utamanya terlihat pada ranah perencanaan dan penganggaran Luhiwono 2010 yang ditandai dengan sarat akan kepentingan, oligarkis, dan inefisiensi anggaran Faulina, 2010; Sudjito, 2008; Marbyanto, 2008. Ranah penganggaran khususnya ditandai dengan beragam kepentingan inter dan antar elit Eksekutif dan Legislatif Syukry dan Halim, 2006. Akibatnya, perencanaan dan penganggaran menjadi arena persaingan yang menimbulkan relasi-relasi transaksional. Realitas Birokrasi Terdistorsi ini, menyebabkan Otoritas Tradisional dapat menikmati “kue” APBD. Kerangka konseptual ini dapat dilihat pada Gambar 3.1 berikut. Walinagari KAN BAMUSBPRN Ninik Mamak KaumKampung Bundo Kanduang Ulama PEMUDA BUPATI OTORITAS TRADISIONAL KERANGKAN PEMIKIRAN Interaksi SKPD-DPRD Renja DPRD Interaksi SKPD-DPRD KUA-PPAS Interaksi SKPD-DPRD -BUPATI RKA SKPD APBD DPRD NAGARI RAPBD Kontestasi Area penyusunan pembahasan program RAPBD BIROKRASI PEMERINTAHAN Aliran alokasi anggaran APBD pada Kampung anggota DPRD Kontestasi MUSRENBANG Nagari Kecamatan Kab. Proses melalui PEMILU Proses melalui PEMILU POKOK-POKOK PIKIRAN DPRD Menyebabkan perubahan APBD RKPD Kontestasi Proses Pemilu Legislatif Kepala Daerah 1 2 3 Gambar 3.1. Kerangka Pemikiran 3.2. Hipotesis Pada tahapan pengambilan, interpretasi dan analisis data penelitian ini dibimbing oleh hipotesis sebagai berikut : Jika Birokrasi Pemerintahan pola Weberian diterapkan dalam konteks otoritas tradisional yang masih kuat, maka akan terjadi kontestasi antara elite yang menyebabkan Birokrasi Pemerintahan pola Weberian tidak berfungsi sebagaimana mestinya.

3.3. State of The Art: Evolusi Birokrasi Pemerintahan di Indonesia