patrimonial tradisional birokrasi pemerintahan akhirnya akan berubah menuju rasionalisme birokrasi kapitalis modern sebagai prinsip utama Birokrasi
Pemerintahan.
2.3. Birokrasi Patrimonial di Indonesia
Indonesia, sebagai negara berkembang, memiliki akar sejarah patrimonialisme yang cukup kuat, yang oleh David Brown disebut seba
gai “neo- patrimonialisme Brown 1994. Kekuasaan neo-patimonialisme memiliki
karakteristik bahwa ikatan personal antara pimpinan dan bawahan atau lembaga yang dipimpin, bukanlah merupakan ikatan struktural-organisasional, tetapi lebih
pada bekerja atas dasar kesetiaan personal para anggota organisasi. Akibatnya, kinerja seorang pegawai di sebuah lembaga sangat ditentukan oleh figur-figur
pimpinannya, bukan atas dasar kewajiban dan tanggung jawabnya sebagai staf. Sistem relasi kekuasaan memiliki pola relasi patron-client, di mana
seorang pemimpin diperlakukan sebagai patron, pelindung atau penjamin kenyamanan hidup bagi anggota masyarakat yang dipimpinnya. Sementara itu,
masyarakat menempati peran sebagai client, di mana kesejahteraan dan kemalangan berada di tangan sang pemimpin atau patron. Pola relasi semacam ini
pada umumnya berkembang subur di sejumlah negara yang memiliki sejarah kerajaan yang kuat, seperti Indonesia. Di zaman kerajaan, seorang raja
diperlakukan sebagai pihak yang dilayani oleh rakyatnya. Raja juga menjadi pusat dari seluruh rangkaian kekuasaan yang berhak menikmati kesejahteraan akibat
dari kekuasaan yang digenggamnya itu. Perbedaan patrimonialisme dengan neo-patrimonialisme adalah jika
patrimonialisme dicirikan oleh keterpisahan antara raja pemimpin dari masyarakatnya dalam hal menikmati kesejahteraan dan keamanan sosial, maka
dalam masyarakat neo-patrimonialisme seorang pemimpin dan yang dipimpin bersama-sama menikmati kesejahteraan dalam sebuah kekuasaan. Hal ini terjadi
karena mobilisasi masyarakat menentukan pola relasi di antara keduanya, di mana dalam masyarakat neo-patrimonial terdapat motif simbiosis mutualisma antara
pemimpin dan rakyat yang dipimpin. Seorang pemimpin menyediakan kesejahteraan, sementara rakyat yang dipimpin menyediakan loyalitas kepada
pemimpinnya. Begitu seorang pemimpin tidak mampu lagi menjamin
kesejahteraan kepada rakyatnya, maka yang pihak kedua rakyat memutus loyalitas politiknya kepada sang pemimpin. Sebaliknya, begitu rakyatnya tidak
lagi memberikan loyalitas kepada pemimpinnya, maka sang pemimpin memutus mata rantai kesejahteraan kepada mereka yang tidak loyal.
Menurut Webber 2006, budaya politik di Indonesia lebih mengarah pada nilai-nilai patrimonial. Oleh karenanya, jenis sistem politik dan demokrasi yang
berkembang adalah sistem politik dan demokrasi patrimonial. Sistem politik jenis ini mengandaikan kondisi di mana para pemegang kebijakan mengeksploitasi
posisi mereka hanya untuk tujuan-tujuan dan kepentingan pribadi, bukan kepentingan universal. Terdapat beberapa pendekatan teoritis berbeda yang bisa
digunakan untuk menganalisa bagaimana politik dan birokrasi patrimonial berjalan, pertama, pendekatan State Qua State Anderson, 1983 . Pendekatan ini
lebih menekankan pada pihak negara, dimana kebijakan yang dihasilkan merupakan represenntasi kepentingan negara daripada untuk kepentingan rakyat.
Pada masa pemerintahan Orde Baru, kepentingan rezim ini digambarkan terpisah dari kepentingan rakyat dan tidak juga bertanggungjawab kepada rakyat.
Umumnya kebijakan yang diambil merupakan refleksi dari kepentingan negara. Pendekatan lain adalah pendekatan negara birokratik dan patrimonial.
Negara birokratik dipahami sebagai negara dimana para elite birokrat dalam menentukan kebijakan tidak dibatasi oleh kepentingan rakyatnya. Karakteristik
utama dari Negara birokratik adalah patrimonial, dimana penguasa bergantung pada kelompok elit untuk mempertahankan posisinya. Jackson 1978 adalah
analis pertama yang mengintepretasikan politik Orde Baru dari perspektif ini. Ia menggambarkan politik Indonesia, ketika membuat kebijakan, secara eksklusif
hanya dimiliki oleh birokrasi dan militer. Rakyat hanya berpartisipasi pada penerapan kebijakan dalam level yang rendah. Menurut Jackson, rezim Soeharto
telah berhasil mengembangkan birokrasi pemerintahan patrimonialisme seperti pada masyarakat Jawa kuno.
Birokrasi-Otoritarianisme, dapat diangkat menjadi salah satu pendekatan dalam memahami birokrasi pemerintahan di Indonesia. Perspektif teoritis ini
dibangun berdasarkan argumen King 1982 yang memahami politik Indonesia sebagai rezim birokrasi-otoritarianisme. Konsep tersebut dipegaruhi oleh studi