berjalan sebagaimana mestinya. Hal ini disebabkan, banyak wilayah jorong kampung yang tidak memenuhi syarat untuk menjadi pemerintahan Desa.
Disamping itu, budaya masyarakat Minangkabau yang terbiasa dengan pemerintahan Nagari. Sehingga yang terjadi, banyak wilayah Desa yang
tidak berfungsi optimal. e
Dalam era Otonomi Daerah, berawal dari Peraturan Daerah Propinsi Sumatera Barat No.92000 tentang Ketentuan Pokok Pemerintahan Nagari
dan Perda ditindaklanjuti di Kab.Agam dengan Perda No.312001 tentang Pemerintah Nagari, kemudian di perbaharui kembali melalui Perda
Kab.Agam No.12 Tahun 2007 Tentang Pemerintahan Nagari, kembali mengakui dan merevitalisasi Nagari dan lembaga-lembaga OTM pada
tingkat nagari. f
Dalam era Otonomi Daerah, unsur-unsur OTM Ninik-Mamak, Kemanakan, Pemuda, Bundo Kanduang menjadi pengurus partai, menjadi Calon
Legislatif dan Calon Kepala Daerah. OTM kemudian mendukung dan melegitimasi unsurnya tersebut, melalui Pemilu, untuk terpilih menjadi
anggota DPRD dan Kepala Daerah. Tujuan legitimasi ini, agar mereka memperjuangkan alokasi anggaran APBD untuk rehabilitasi, peningkatan
dan pembangunan sara dan prasana Jorong dan Nagari. g
Tinjauan dari masa ke masa mengenai interaksi OTM dan BP memperlihatkan bahwa, jika pada masa Kolonial Belanda hingga
pemerintahan Orde Baru, kedudukan OTM di intervensi dan diatur oleh BP, maka, pada era Otonomi Daerah, OTM relatif bebas dari intervensi,
memiliki posisi tawar dengan BP. Terutama, ketika menyusun, membahas perencanaan dan penganggaran pembangunan Daerah yang tertuang dalam
APBD.
10.1.2. Peranan OTM dan BP Dalam Penganggaran
Peranan Otoritas Tradisional Minangkabau dan Birokrasi Pemerintah Dalam Penganggaran dapat di rangkum sebagai berikut;
a OTM memanfaatkan kesempatan Pemilu Kepala Daerah dan Pemilu
Legislatif langsung pada era Otonomi Daerah dengan mengusung dan memilih unsur-unsurnya ninik-mamak, kemanakan, pemuda dan bundo
kanduang agar terpilih menjadi anggota DPRD yang bertujuan diberi peran memperjuangkan alokasi anggaran untuk OTM Nagari. Untuk itu
terdapat perjanjian politik di antara keduannya. b
Perjanjian politik di antara bakal calon DPRD dan Kepala Daerah dengan OTM yang berdasarkan perjanjian oral, memiliki dua pola. Pertama,
perjanjian politik yang dibuat di antara penyandang OTM dengan unsur OTM sendiri seperti anak, kemanakan, mamak, yang merupakan penduduk
asli kampung dan Nagari. Pola kedua, perjanjian tersebut dibuat di antara penyandang OTM dengan calon DPRD dan Kepala Daerah yang berasal
dari luar nagari. Pola pertama, dilakukan dengan dua cara, yakni penyandang OTM mencari dan memilih anggota kaumnya untuk didukung
menjadi anggota DPRD dan Kepala Daerah atau salah satu unsur OTM yang mencalonkan diri kemudian meminta dukungan suara kepada
penduduk kampung dan Nagari. Pola kedua, calon legislatif yang bukan merupakan penduduk kampung atau Nagari yang sama, datang pada OTM
untuk meminta dukungan suara. Pola ini, jarang dilakukan. c
Adapun isi perjanjian, pada kedua pola, adalah mengenai kesanggupan caleg untuk dapat memperjuangkan alokasi anggaran APBD. Program-
program yang menjadi primadona adalah pembangunan, peningkatan atau rehabilitasi sarana dan prasarana kampung dan Nagari, seperti jalan,
jembatan, pengairan, sarana pendidikan, ibadah. d
Proses Pemilihan Umum, berikut perjanjian politik yang mengikutinya, menjadi ajang pemberian peran baru bagi anggota DPRD, disamping peran
kultural yang terkandung dalam falsafah alam. e
Birokrat BP Dinas, Badan memanfaatkan kepentingan Anggota DPRD agar dapat menjadi bagian dari program kerja mereka, sehingga mendapat
anggaran maksimal. Akibatnyam, ranah penganggaran menjadi ajang kontestasi para elite, yang bertujuan mendapatkan alokasi APBD sebesar-
besarnya. f
Dalam pengelolaan keuangan daerah kontestasi di antara sesama BP, terutama antara Eksekutif TAPD dan Legislatif anggota DPRD yang
merupakan unsur OTM, menjadi mungkin serta bersifat dinamis karena
UU No.172004 tentang Keuangan Negara dan PP No.16 Tahun 2010 tentang Pedoman Penyusunan Peraturan DPRD tentang Tata Tertib DPRD
yang memberikan peran dan kekuasaan bagi DPRD untuk dapat merubah jumlah APBD dengan memberikan pokok-pokok fikiran DPRD. Kekuasaan
normatif ini, pada tingkat lapangan, memilki kekuatan nyata dibanding Pemda yang hanya berpegang pada juknis dan juklak di dalam Permendagri
No.13 tahun 2006 dan Permendagri No.59 tahun 2007 yang kedudukannya lebih rendah secara normatif dibanding Undang-Undang dan Peraturan
Pemerintah. g
Kekuatan DPRD yang ditopang oleh aturan normatif tersebut, pada ranah penganggaran, menyebabkan Undang-Undang No.17 Tahun 2003 tentang
Keuangan Negara dan UU No.25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional sukar tercapai.
10.1.3. Kontestasi OTM dan BP dalam penganggaran APBD