2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Perikanan yang Berkelanjutan sustainable fisheries
Sumberdaya ikan bersifat dapat pulihdiperbaharui renewable resources, dimana sumberdaya tersebut memiliki kemampuan regenerasi secara biologis,
akan tetapi apabila tidak dikelola secara hati-hati dan menyeluruh akan mengarah kepada eksploitasi
yang tidak terkontrol dan mengancam keberlanjutan sumberdaya. Perhatian pembangunan perikanan yang berkelanjutan dimulai pada
awal tahun 1990-an yang merupakan proses dari terjadinya beberapa perubahan yang menyangkut Fauzi dan Anna, 2002 :
1. Meningkatnya perhatian terhadap lingkungan dari para stakeholders sebagai akibat Rio summit yang menyerukan diperlukannya perbaikan secara global
terhadap pengelolaan sumberdaya perikanan dan kelautan; 2. Terjadinya collapse dari beberapa perikanan dunia seperti anchovy, tuna dan
salmon yang menyadarkan orang tentang konsekuensi sosial dan ekonomi; 3. Pemberdayaan para stakeholders yang menuntut diperlukan pandangan yang
lebih luas holistik mengenai pengelolaan perikanan. The World Commission on Environment and Development
WCED, 1987 mendefinisikan pembangunan perikanan yang berkelanjutan sustainable
development adalah pembangunan untuk memenuhi kebutuhan umat manusia
saat ini, tanpa menurunkan atau menghancurkan kemampuan generasi mendatang dalam memenuhi kebutuhan.
Berbagai permasalahan sumberdaya maupun lingkngan yang sedang dihadapi pada saat ini telah menjadi dasar dan alasan penting bahwa
pengembangan teknologi ikan dimasa mendatang lebih dititik beratkan pada kepentingan konservasi sumberdaya ikan dari ancaman kepunahan. Seperti telah
dilakukan di industri penangkapan ikan di laut utara tela melakukan berbagai usaha untuk mengurangi buangan hasil tangkapan sampingan lebih dari 100 tahun
yang lalu Purbayanto dan Baskoro, 1999.
Operasi penangkapan ikan dapat berjalan dengan baik apabila suatu usaha perikanan memiliki beberapa kriteria. Menurut Monintja 2001 membagi kriteria
ramah lingkungan dan berkelanjutan suatu teknologi penangkapan ikan berdasarkan : 1 selektifitas yang tinggi; 2 tidak membahayakan nelayan; 3 tidak
destruktif terhadap nelayan; 4 produknya berkualitas; 5 produknya tidak membahayakan konsumen; 6 bycatch dan discard minimum; 7 tidak menangkap
spesies yang dilindungi atau terancam punah; 8 dampak minimum terhadap keanekaragman hayati; 9 dapat diterima secara sosial.
Kriteria kegiatan penangkapan ikan yang berkelanjutan terdiri dari 1 menerapkan teknologi penangkapan yang ramah lingkungan; 2 jumlah hasil
tangkapan tidak melebihi junlah hasil tangkapan yang diperbolehkan TAC; 3 menguntungkan; 4 investasi rendah; 5 penggunaan bahan bakar minyak kecil; 6
memenuhi ketentuan hukum dan perundangan yang berlaku
2.2 Pengelolaan Hasil Tangkapan Sampingan bycatch management
Kepedulian secara global untuk mengurangi hasil tangkapan sampingan dalam dunia perikanan telah menjadi hal penting dalam pengelolaan perikanan.
Menurut Hall 1996 menyatakan pengelolaan hasil tangkapan sampingan adalah: 1. Menghindari kepunahan dari suatu spesies;
2. Menjaga struktur dasar dan fungsi dari suatau ekosistem; 3. Mengurangi pembuangan dalam perikanan
4. Mengurangi interaksi antar perikanan 5. Menjaga supaya perikanan tetap terbuka
6. Menjaga tujuan pemasaran 7. Membangun kembali populasi yang menurun
8. Mengawasi peningkatan populasi Permasalahan mengenai dampak terhadap lingkungan dengan menangkap
hasil tangkapan sampingan dapat menimbulkan pengaruh yang merusak ekosistem laut dan dapat merusak perikanan sendiri. Permasalahan terhadap lingkungan ini
terutama akibat pembuangan dari ikan-ikan hasil tangkapan sampingan yang berukuran kecil dari tangkapan sampingan trawl udang Andrew dan Pepperell,
1992; Alverson et al. 1994. Selain
kedua hal
tersebut diatas
untuk menjaga
keberlanjutan sustainability dari suatu stok dapat dilakukan dengan menerapkan peraturan
ukuran ikan terkecil yang dapat didaratkan minimum landing size. Implementasi dari output control ini dapat dilakukan dengan mengatur selektivitas alat tangkap.
Pengaturan selektivitas alat tangkap trawl dapat dilakukan dengan cara : 1 modifikasi dari bentuk mata jaring mesh shape dari bentuk diamond menjadi
square mesh ; 2 memperbesar ukuran mata jaring; 3 memanfaatkan tingkah laku
ikan untuk meloloskan non-target spesies dengan memasang BED, BRD dan square mesh panel Broadhurst, 2000.
2.3 Perikanan Tangkap Skala Kecil
Perikanan tangkap nasional sampai saat ini masih didominasi oleh perikanan tangkap skala kecil. Hal ini dapat dilihat dari komposisi armada
perikanan tangkap di Indonesia yang sampai tahun 2009 didominasi oleh usaha perikanan tangkap skala kecil sebesar 97,11 dan hanya sekitar 2,89 dilakukan
oleh usaha perikanan skala besar DJPT, 2010. Menurut Smith 1983 terdapat berbagai cara untuk membedakan sksla perikanan tangkap. Pada dasarnya
perbedaan tersebut mencakup perikanan skala kecil atau skala besar, perikanan pantai atau lepas pantai, artisanal atau komersial. Selain itu pengelompokan juga
dapat dilakukan berdasarkan pada ukuran kapal atau besarnya tenaga, tipe alat tangkap dan jarak daerah penangkapn dari pantai. Sementara itu Charles 2001
mengatkan bahwa membagi skala usaha perikanan dilihat dari berbagai aspek diantaranya berdasarkan ukuran kapal yang dioperasikan, berdasarkan daerah
penangkapan yaitu jarak dari pantai ke lokasi penangkapan dan berdasarkan tujuan produksinya. Pengelompokan tersebut dilakukan melalaui perbandingan
perikanan skala kecil small scale fisheries dengan perikanan skala besar large scale fisheries
, walaupun diakuinya belum begitu jelas sehingga masih perlu dilihat dari berbagai aspek yang lebih spesifik.
Menurut Smith 1983 mengenukakan bahwa perikanan tradisional memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
1. Kegiatan dilakukan dengan unit penangkapan skala kecil, kadang-kadang menggunakan perahu bermesin atau tidak sama sekali;
2. Aktifitas penangkapan merupakan paruh waktu, dan pendapatan keluarga adakalanya ditambah dari pendapatan lain dari kegiatan diluar penangkapan;
3. Kapal dan alat tangkap biasanya dioperasikan sendiri; 4. Alat tangkap dibuat sendiri dan dioperasikan tanpa bantuan mesin;
5. Investasi rendah dengan modal pinjaman dari penampung hasil tangkapan; 6. Hasil tangkapan per unit usaha dan produktivitas pada level sedang sampai
sangat rendah; 7. Hasil tangkapan tidak dijual kepada pasar besar yang terorganisir dengan baik
tapi diedarkan di tempat pendaratan atau dijual di laut; 8. Sebagian atau keseluruhan hasil tangkapan dikonsumsi sendiri bersama
keluarganya; 9. Komunitas nelayan tradisional sering kali terisolasi baik secara geografis
maupun sosial dengan standar hidup keluargha nelayan yang rendah sampai batas maksimal.
2.4 Deskripsi Alat Tangkap Jaring Arad
Jaring arad merupakan salah satu alat penangkap ikan dari jenis pukat hela yang banyak digunakan oleh para nelayan skala kecil, di daerah perairan pantai
utara jawa, dalam operasi penangkapan ikan demersal dan udang atau dapat pula didefinisikan sebagai alat penangkap ikan berbentuk kantong yang terbuat dari
dua bagian sayap pukat, bagian square dan bagian badan serta bagian kantong pukat Standar Nasional Indonesia, 2004. Sedangkan menurut Manadiyanto, et
al. 2000, jaring arad adalah alat penangkap yang dioperasikan secara aktif
dengan cara ditarik oleh perahu.
Menurut Subani dan Barus 1989, jaring arad diklasifikasikan ke dalam pukat udang. Jaring arad banyak dikenal dengan nama cungking trawl atau mini
otter trawl . Alat tangkap ini dikelompokkan ke dalam jenis otter trawl yaitu trawl
yang dilengkapi alat pembuka mulut jaring otter board. Alat tangkap jaring arad terdiri dari sayap wing, badan jaring body,
kantong jaring cod end, papan rentang otter board, tali ris atas head rope, tali ris bawah ground rope, tali selambar warp, pelampung float, dan pemberat
sinker yang dapat dapat dideskripsikan sebagai berikut Standar Nasional Indonesia, 2004:
1. Sayap wing Bagian jaring yang terletak di ujung depan dari bagian jaring arad. Sayap
pukat terdiri dari sayap atas upper wing dan sayap bawah lower wing. 2. Badan jaring body
Bagian jaring yang terletak antara sayap dan kantong jaring. 3. Kantong jaring cod end
Bagian jaring yang terpendek dan terletak di ujung belakang dari jaring arad. 4. Papan rentang otter board
Kelengkapan jaring arad yang terbuat dari papan kayu berbentuk empat persegi panjang, yang dipergunakan sebagai alat pembuka mulut jaring.
5. Tali ris atas head rope Tali yang dipergunakan untuk menggantungkan dan menghubungkan kedua
sayap jaring bagian atas melalui mulut bagian atas. 6. Tali ris bawah ground rope
Tali yang dipergunakan untuk menggantungkan dan menghubungkan kedua sayap jaring bagian bawah melalui mulut bagian bawah.
7. Tali selambar warp rope Tali yang berfungsi sebagai penghela jaring arad di belakang kapal yang
sedang berjalan dan penarik jaring arad ke atas geladak kapal.