Hasil tangkapan sampingan trawl demersal skala kecil

3. Karena ikan tersebut mengandung racun; 4. Karena mudah rusak sebelum mencapai dek kapal; 5. High grading; 6. Telah mencapai kuota; 7. Hasil tangkapan merupakan kategori hewan yang tidak boleh ditangkap, karena musim, daerah penangkapan ikan atau karena alat tangkap. Pengelolaan perikanan demersal trawl sangat diperlukan terutama untuk mengurangi hasil tangkapan sampingan bycatch baik untuk perikanan demersal trawl skala kecil maupun demersal trawl skala industri. Beberapa alternatif untuk mengurangi hasil tangkapan sampingan bycatch telah di implementasikan baik itu melalui input kontrol dan output kontrol Hall, 2002. Input kontrol dapat dilakukan dengan penutupan wilayah penangkapan atau penutupan musim penangkapan. Selain dengan menerapkan pengelolaan perikanan melalui input kontrol dan output kontrol cara lain yang dapat dijadikan solusi dalam mengurangi hasil tangkapan sampingan adalah melalui pemanfaatan bycatch dan perbaikan teknologi penangkapan ikan Matsuoka, 2008. Pelarangan pengoperasian trawl di wilayah perairan Indonesia dimulai sejak dikeluarkannya Keputusan Presiden Nomor 39 Tahun 1980 tentang Penghapusan Jaring Trawl. Penghapusan tersebut dilakukan secara bertahap dimana pada tahun 1982 melalui Instruksi Presiden no 11 tahun 1982, dinyatakan bahwa pada satu januari 1983 tidak boleh ada lagi kapal penangkap ikan yang menggunakan trawl di Indonesia. Pertimbangan dikeluarkannya instruksi Presiden tersebut dilakukan untuk melindungi sumberdaya perikanan, untuk mendukung pertambahan pendapatan nelayan tradisional dan mencegah ketegangan sosial. Namun demikian pada tahun 1982 telah dikeluarkan pengecualian terhadap penggunaan trawl. Penggunaan trawl dapat dilakukan dengan memasang satu alat pemisah ikan bycatch excluder device pada bagian kantong sehingga namanya menjadi pukat udang. Selain pemasangan bycatch excluder device juga adanya pembatasan lokasi pengoperasian pukat udang yang hanya diperbolehkan pada koordinat 130 BT ke Timur yaitu Kepulauan Kei, Tanimbar, Aru, Irian Jaya dan Laut Arafura dengan garis isobath 10 m. Pengoperasian pukat udang telah diatur melalui Keputusan Presiden no 85 tahun 1982 telah mengatur beberapa ketentuan diantaranya : 1. Izin penggunaan pukat udang diberikan bagi perusahaan perikanan yang telah memiliki izin untuk menangkap udang terutama di perairan seperti yang disebutkan diatas. 2. Jumlah kapal perikanan yang diberi izin menggunakan pukat udang disesuaikan dengan daya dukung dari sumberdaya udang setempat. 3. Perusahaan perikanan yang memperoleh izin untuk menggunakan pukat udang berkewajiban menyerahkan hasil tangkapan sampingannya kepada perusahaan perikanan nasional untuk dimanfaatkan bagi kepentingan masyarakat. 4. Untuk meningkatkan efisiensi penggunaan pukat udang, tersebut dilaksanakan penelitian bersama oleh Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Balai Penelitian Perikanan Laut dan Direktorat Jenderal Perikanan, Departemen Pertanian. 5. Di perairan di luar kawasan perairan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1, maka Keputusan Presiden No 39 Tahun 1980 dan Instruksi Presiden no 11 Tahun 1982 tetap berlaku dimana penggunaan pukat udang tidak diperbolehkan. 6. Perusahaan perikanan yang melanggar terhadap Keputusan Presiden ini akan dicabut ijinnya. 7. Menteri Pertanian akan mengatur lebih lanjut pelaksanaan dari Keputusan Presiden ini. 8. Keputusan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan yaitu 24 Desember 1982. Menindaklanjuti Keputusan Presiden ini maka telah ditetapkan Keputusan Menteri Pertanian no 930KpysUm121982 mengenai pelaksanaan dari Keputusan Presiden no 85 Tahun 1982 pada 27 Desember 1982 dan Direktorat Jenderal Perikanan telah diberikan mandat untuk menentukan ukuran mata jaring melalui Keputusan Direktorat Jenderal No IK010S3.807582 tentang Bentuk Jaring Pukat Udang 31 Desember 1982. Sedangkan peraturan-peraturan lain yang terkait dengan pengelolaan trawl di Indonesia adalah : 1. Keputusan Menteri Pertanian No 503KptsUm71980, merupakan langkah pertama dalam menerapkan pembatasan penggunaan jarring trawl. Keputusan ini sekaligus sebagai peraturan pelengkap dari Keputusan Presiden no 39 tahun 1980 dan memberikan definisi rinci tentang jaring trawl. Berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian, jaring trawl adalah sejenis jaring ikan yang berbentuk seperti kantong dan diseret dengan kapal dan dipasang papan “otter board” yang diseret dengan dua kapal. Keputusan ini sekaligus memberikan penjelasan mengenai macam-macam jarring trawl, seperti : pukat harimau, pukat tarik, tangkul tarik, jaring tarik, jarring trawl ikan, pukat Apollo dan pukat langgai. Adapula penjelasan yang menyatakan bahwa pukat udang juga memiliki bentuk yang sama dengan jaring trawl hanya saja pukat udang memiliki bentuk yang sama dengan jaring trawl hanya saja pukat udang dipasang alat pemisah ikan untuk mengeluarkan hasil tangkapan sampingan. 2. Keputusan Menteri Pertanian no 694KptsUm91980 tentang Pembatasan Wilayah Perikanan untuk Usaha Penangkapan Ikan dengan Trawl. Keputusan ini menetapkan batas wilayah perikanan Indonesia yang terlarang untuk penangkapan ikan yang menggunakan jaring trawl. 3. Keputusan Menteri Pertanian no 542KptsUm61981 tentang Penetapan Jumlah Kapal Trawl diluar Provinsi Jawa, Bali dan Sumatera. Keputusan ini menetapkan jumlah kapal trawl di luar Provinsi Jawa, Bali dan Sumatera dan pengoperasian kapal-kapal tersebut harus mengikuti arahan dan berkonsultasi dengan Direktorat Jendral Perikanan. 4. Keputusan Menteri Pertanian no 392 Tahun 1999 tentang wilayah Perikanan. Keputusan ini menentukan mengenai zona tertutup untuk penggunaan jarring trawl dan menyatkan bahwa jaring sejenis trawl juga tidak boleh digunakan. 5. Keputusan Menteri Pertanian no 770KptsIK.1201096 tentang Penggunaan Jaring Trawl Penangkap Ikan di Wilayah ZEEI Samudera Hindia, sebelah barat Sumatera dan sekitar D.I Aceh.