Pelaporan hasil tangkapan kapal ikan

hasil tangkapan yang dibolehkan JTB pada waktu tertentu. Akan tetapi dalam pelaksanaan nya jumlah tangkapan yang dibolehkan merupakan total tangkapan yang didaratkan. Sehingga untuk mengurangi hasil tangkapan sampingan maka perlu juga dibuat aturan mengenai jumlah ikan hasil tangkapan sampingan yang didaratkan. Sedangkan untuk demersal trawl skala kecil dengan penutupan wilayah penangkapan dan musim penangkapan akan berdampak bagi kehidupan ekonomi nelayan yang menggantungkan hidupnya pada satu alat tangkap. Sehingga untuk perikanan demersal trawl skala kecil perlu adanya pengaturan daerah penangkapan yang membagi daerah penangkapan berdasarkan suatu alat tangkap. Seperti pengaturan area penangkapan dengan melakukan zonasi pengoperasian alat tangkap, untuk wilayah seperti di laut utara jawa maka pengaturan meliputi zona I 0-3mil hanya diperuntukkan bagi alat tangkap skala kecil yang beroperasi secara pasif. Sementara untuk zona II 3-6mil bagi kapal-kapal yang beroperasi secara aktif seperti jaring arad.

8.3.2 Pemanfaatan hasil tangkapan sampingan bycatch

Pada umumnya nelayan di beberapa Negara Asia tidak menghadapi masalah dengan hasil tangkapan sampingan karena ikan-ikan kecil yang didaratkan dikategorikan sebagai “trash fish” atau ikan rucah. Beberapa manfaat dari pengelolaan hasil tangkapan sampingan dinyatakan oleh Hall 1996 sebagai berikut : 1. Menghindari kepunahan dari suatu spesies dengan memperhatikan keberlanjutan dari suatu spesies dengan membuat skala prioritas; 2. Menjaga struktur dasar dan fungsi dari ekosistem dengan melakukan monitoring dampak perubahan dalam kelimpahan dan distribusi dari suatu spesies; 3. Mengurangi sampah dalam perikanan; 4. Mengurangi interaksi antar perikanan dimana dalam beberapa kasus hasil tangkap sampingan untuk suatu perikanan menjadi tangkapan utama untuk perikanan yang lainnya; 5. Menjaga supaya perikanan tetap terbuka; 6. Mengurangi tujuan pemasaran; 7. Membangun populasi yang sudah menurun; 8. Mengontrol peningkatan populasi. Food and Agriculture Organization pada tahun 1982 telah mencanangkan untuk memanfaatkan ikan-ikan hasil tangkapan sampingan ini yang diolah menjadi berbagai produk Allsopp, 1982. Demikian juga dengan perikanan demersal trawl skala kecil di Indonesia ikan-ikan yang tergolong trash fish rucah ini dimanfaatkan oleh nelayan. Biasanya ikan-ikan tersebut di sortir menjadi ikan yang dapat dikonsumsi dan ikan yang bukan untuk di konsumsi tergantung dari spesies, ukuran dan kualitasnya. Namun demikian ini adalah satu masalah penting dimana ikan-ikan yang digolongkan trash fish masuk dalam kategori juvenile ikan ekonomis penting. Beberapa jenis ikan yang banyak tertangkap di perairan utara jawa terutama didominasi oleh ikan demersal seperti dari famili Leiognathidae, Sciaenidae dan Mullidae dimana spesies tersebut dikategorikan termasuk yang komersial. Berdasarkan kondisi tersebut maka pemanfaatan ikan-ikan yang masih tergolong dibawah ukuran tingkat kematangan gonadnya akan berdampak terhadap keberlanjutan sumberdaya ikan demersal. Dalam Perikanan dermesal trawl skala industri khususnya pukat udang di perairan Arafura pemanfaatan hasil tangkapan sampingan dapat dilakukan dengan pemanfaatan langsung di kapal yang diolah dalam bentuk bahan baku untuk olahan seperti surimi Djazuli, 2009. Namun demikian dalam memanfaatkan hasil tangkapan sampingan untuk perikanan pukat udang masih mengalami beberapa kendala seperti keterbatasan volume palka yang khusus hanya untuk menampung udang, selain itu operasi penangkapan pukat udang umumnya tersebar di seluruh wilayah perairan bagian timur. Salah satu upaya yang telah dilakukan dengan menerapkan mesin pembuat surimi untuk memanfaatkan ikan- ikan hasil tangkapan sampingan seperti gulamah, kurisi dan biji nangka Purbayanto et al. 2009. Djazuli 2009 menyebutkan bahwa dalam upaya memanfaatkan ikan hasil tangkap sampingan skala industri perlu dilakukan pendekatan dengan cara : 1 strategi dan teknik preparasi dalam pengumpulan