Daya saing pada tataran mikro perusahaan-firm level

53 strategi perusahaan harus memenuhi peluang dan ancaman konteks lingkungan eksternal organisasi. Strategi bersaing harus berdasar pada struktur industri dan cara mereka mengelola perubahan. Porter telah mengidentifikasi lima kekuatan kompetitif yang membentuk setiap industri dan setiap pasar. Kekuatan ini menentukan intensitas persaingan, profitabilitas dan daya tarik suatu industri. Tujuan strategi perusahaan diarahkan untuk memodifikasi kekuatan- kekuatan kompetitif dengan cara dan teknik tertentu yang bisa meningkatkan posisi organisasi. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari analisis atas lima kekuatan tersebut manajemen dapat memutuskan bagaimana mempengaruhi atau mengeksploitasi karakteristik tertentu dari industri mereka untuk dipertemukan dengan peluang dan tantangan potensial. Selajutnya, bargaining power yang bisa dilakukan perusahaan akan sangat menentukan posisi kompetitif perusahaan. Porter dalam perspektif ini, mengusulkan tiga pilihan strategi generik low cost, differensiasi dan fokus sebagai pijakan keunggulan bersaingnya. Alasan strategi low cost adalah adanya pemikiran bahwa konsumen selalu mengharapkan benefit yang lebih besar dibandingkan dengan pengorbanan atau biaya yang telah dikeluarkan. Alasan strategi diferensiasi adalah konsumen suka terhadap produk yang unik dengan feature yang mampu memenuhi kebutuhannya, sedangkan fokus ditujukan agar perusahaan mampu membangun core produk menyesuaikan dengan dua pilihan strategi sebelumnya fokus pada low cost atau fokus pada diferensiasi . Penerapan kedua pilihan strategi utama low cost dan diferensiasi memang sangat sulit diterapkan secara bersamaan, umumnya kedua jenis strategi tersebut akan bersifat mutually exclusive. Pilihan untuk diferensiasi terkait dengan inovasi, sedangkan inovasi membutuhkan investasi baru yang berujung pengerahan modal yang lebih besar yang bisa bertentangan dengan tujuan low cost. Sebenarnya tidak akan masalah jika produk perusahaan adalah lebih mahal dibandingkan dengan apa yang pesaing tawarkan. Asalkan perusahaan sudah membangun loyalitas, kepercayaan dan persepsi kualitas dalam diri pelanggan. Implikasi dari model seperti yang digambarkan diatas, akan menjadi perubahan dalam kompetisi yang tidak didasarkan pada harga tetapi pada value creation kepada pelanggan. Munculnya interdependensi antar kelima faktor 54 kekuatan kompetisi tersebut, membantu perusahaan dalam memahami struktur industri dan sekaligus mengarahkan potensi persaingan menuju kompetisi secara sehat. Implikasi model terhadap masa depan kompetisi perusahaan seperti yang digambarkan di atas, juga akan mendorong perusahaan secara bertahap selalu mencari mitra yang lebih menguntungkan. Peluang outsourcing, merger, franchise dan bentuk kerja sama lain telah menjadi resources baru bagi perusahaan untuk memperkuat market positition agar perusahaan tetap going concern. Selanjutnya, dalam konteks inilah kemampuan perusahaan dalam menggunakan potensi bargaining akan memperkuat kemampuan bersaingnya. Pemikiran Porter ini memang sangat powerfull digunakan sebagai pijakan mendesain strategi kompetitif suatu perusahaan, meskipun dalam teori ini masih sangat minim disinggung tentang pentingnya kapabilitas organisasi. Karya Porter dalam buku Competitive Advantage tersebut, fokus bahasan hanya diarahkan pada analisa industri dan kompetitor beserta beragam teknik menyikapi tantangan yang ada pada masing masing kuadran life cycle perusahaan. Porter masih belum menyinggung kapabilitas resources yang saat ini dipikirkan banyak organisasi untuk dikembangkan secara berkelanjutan sebagai keunggulan bersaingnya. Sumber daya atau resources organisasi sebagai komponen daya saing yang tidak banyak disinggung dalam teori Porter ini, telah membuka peluang bagi pemerhati masalah strategi bisnis untuk mengembangkan cara pandang RBV dalam mendesain strategi bersaing. MBV yang didukung oleh Porter berpijak pada market attractiveness memang masih menyisakan kelemahan, ketika perusahaan hanya diorientasikan pada outside-in perspective. Artinya, kompetitor juga bisa melakukan hal yang sama karena obyeknya relatif sama. Beranjak dari celah tersebut, telah menggugah para pemikir strategi bisnis untuk melakukan penguatan melalui inside-out perspective. Kompetensi khusus seperti apa yang dimiliki organisasi menjadi dasar utama menciptakan keunggulan bersaing. Cara pandang RBV seakan melengkapi cara pandang MBV yang menekankan pentingnya kapabilitas internal dalam menciptakan distinctive competencies, sebagai amunisi utama melakukan kompetisi di arena persaingan pasar yang sangat attractive tersebut. 55 Perspektif RBV yang didukung oleh Barney dan Prahalad, keunggulan bersaing dibangun melalui kompetensi khusus distinctive competencies yang terbentuk melalui kapabilitas organisasi. Kapabilitas organisasi terbentuk dari sumber daya yang dimiliki oleh organisasi baik tangible maupun intangible dan juga sumber daya manusia. Perspektif RBV ini, strategi perusahaan adalah mencetak pasar sebagai pelopor produk. Keunggulan atau kekuatan perusahaan, sebagai penopong utama keunggulan bersaing melalui firm spesific factor yang tidak bisa dimiliki oleh kompetior kepada pengguna. Inilah bentuk value creation, yang pada akhirnya bisa menjadi andalan perusahaan memenangkan persaingan. 1 Pandangan berbasis pasar market based view Teori Porter tentang daya saing nasional berangkat dari keyakinannya bahwa teori ekonomi klasik yang menjelaskan tentang keunggulan komparatif tidak mencukupi, atau bahkan tidak tepat. Menurut Porter, suatu negara memperoleh keunggulan daya saingcompetitive advantage CA jika perusahaan yang ada di negara tersebut kompetitif. Daya saing suatu negara ditentukan oleh kemampuan industri melakukan inovasi dan meningkatkan kemampuannya. Perusahaan memperoleh CA karena tekanan dan tantangan. Perusahaan menerima manfaat dari adanya persaingan di pasar domestik, supplier domestik yang agresif, serta pasar lokal yang memiliki permintaan tinggi. Perbedaaan dalam nilai-nilai nasional, budaya, struktur ekonomi, institusi, dan sejarah semuanya memberi kontribusi pada keberhasilan dalam persaingan. Perusahaan menjadi kompetitif melalui inovasi yang dapat meliputi peningkatan teknis proses produksi atau kualitas produk. Selanjutnya Porter mengajukan diamond model DM yang terdiri dari empat determinan faktor-faktor yang menentukan national competitive advantage NCA. Empat atribut ini adalah factor conditions, demand conditions, related and supporting industries, dan firm strategy, structure, and rivalry . Factor conditions mengacu pada input yang digunakan sebagai faktor produksi, seperti tenaga kerja, sumber daya alam, modal dan infrastruktur. Argumen Poter, kunci utama faktor produksi adalah “diciptakan” bukan diperoleh dari warisan. Lebih jauh, kelangkaan sumber daya factor disadvantage 56 seringkali membantu negara menjadi kompetitif. Terlalu banyak sumber daya memiliki kemungkinan disia-siakan, ketika langka dapat mendorong inovasi. Demand conditions , mengacu pada tersedianya pasar domestik yang siap berperan menjadi elemen penting dalam menghasilkan daya saing. Pasar seperti ini ditandai dengan kemampuan untuk menjual produk-produk superior, hal ini didorong oeh adanya permintaan barang dan jasa berkualitas serta adanya kedekatana hubungan antara perusahan dan pelanggan. Related and supporting industries, mengacu pada tersedianya serangkaian dan adanya keterkaitan kuat antara industri pendukung dan perusahaan, hubungan dan dukungan ini bersifat positif yang berujung pada peningkatan daya saing perusahaan. Porter mengembangkan model dari faktor kondisi semacam ini dengan industrial clusters atau agglomeration, yang memberi manfaat adanya potential technology knowledge spillover, kedekatan dengan dengan konsumer sehingga semakin meningkatkan market power. Firm strategy, structure and rivalry, mengacu pada strategi dan struktur yang ada pada sebagian besar perusahaan dan intensitas persaingan pada industri tertentu. Faktor Strategi dapat terdiri dari setidaknya dua aspek: pasar modal dan pilihan karir individu. Pasar modal domestik mempengaruhi strategi perusahaan, sementara individu seringkali membuat keputusan karir berdasarkan peluang dan prestise . Suatu negara akan memiliki daya saing pada suatu industri di mana personel kuncinya dianggap prestisious. Struktur mengikuti strategi, struktur dibangun guna menjalankan strategi. Intensitas persaingan rivalry yang tinggi mendorong inovasi. Porter juga menambahkan faktor lain: peran pemerintah dan chance, yang dikatakan memiliki peran penting dalam menciptakan NCA. Peran dimaksud, bukan sebagai pemain di industri, namun melalui kewenangan yang dimiliki memberikan fasilitasi, katalis, dan tantanan bagi industri. Pemerintah menganjurkan dan mendorong industri agar mencapai level daya saing tertentu. Hal-hal tersebut dapat dilakukan pemerintah melalui kebijakan insentif berupa subsidi, perpajakan, pendidikan, fokus pada penciptaan dan penguatan factor conditions , serta menegakkan standar industri. 57 Poin utama dari DM, Porter mengemukakan model pencitaan daya saing yang self-reinforcing, di mana persaingan domestik menstimulasi tumbuhnya industri dan secara bersamaan membentuk konsumer yang maju sophisticated yang selalu menghendaki peningkatan dan inovasi. Lebih jauh DM juga mempromosikan industrial cluster. Kontribusi Porter menjelaskan hubungan antara firm-industry-country, serta bagaimana hubungan ini dapat mendukung negara dan sebaliknya. Menurut Porter jika perusahaan ingin meningkatkan usahanya dalam persaingan yang ketat perusahaan harus memiliki prinsip bisnis, harga yang tinggi, produk dengan biaya yang rendah, dan bukan kedua-duanya. Berdasarkan prinsip tersebut, maka Porter menyatakan ada tiga strategi generik yaitu differentiation, overall cost leadership dan focus. Menurut Porter strategi perusahaan untuk bersaing dalam suatu industri dapat berbeda-beda dan dalam berbagai dimensi, Porter mengemukakan tiga belas dimensi yang biasanya digunakan oleh perusahaan dalam bersaing, yaitu: spesialisasi, identifikasi merk, dorongan versus tarikan, seleksi saluran, mutu produk, kepeloporan teknologis, integrasi vertikal, posisi biaya, layanan, kebijakan harga, leverage, hubungan dengan perusahaan induk, dan hubungan dengan pemerintah. 2 Pandangan berbasis sumber daya resource based view Dalam perspektif pandangan berbasis sumber daya resource based view - RBV , Wernerfelt 1984 mengembangkan teori keunggulan kompetitif theory of competitive advantage berdasarkan sumber daya yang diperluas atau diperoleh untuk mengimplementasikan strategi pemasaran produk. Teori dari Wernerfelt tersebut merupakan pelengkap atau pengganda dual dari teori Porter 1980 mengenai keunggulan bersaing berdasarkan posisi pemasaran produk perusahaan. Martyn dan Ken 1999 menjelaskan bahwa kemampuan perusahaan merupakan penggunaan sumber daya yang memiliki nilai nyata tangible dan tidak nyata intangible. Intangible asset terdiri dari pengetahuan personal dari individu dan pengetahuan kolektif pada struktur perusahaan, baik secara internal maupun eksternal. Pengetahuan yang dimaksud secara nyata tangible berada pada dinamika perusahaan, seperti rutinitas inovatif dan hasil, termasuk reputasinya. 58 Setelah perusahaan memiliki distinctive capabilities, maka perusahaan akan mencapai kompetensi inti core competence. Kompetensi inti adalah pengetahuan kolektif perusahaan tentang cara mengkoordinasikan beragam keterampilan dan teknologi produksi yang dimiliki perusahaan Prahalad Hamel 1990. Selanjutnya, menurut Barney dan Clark 2007, perusahaan yang memiliki pandangan berbasis RBV harus memiliki sumber keunggulan kompetitif untuk mencapai produk inti core product. Sumber keunggulan kompetitif tersebut meliputi 1 budaya culture, 2 kepercayaan trust, 3 sumber daya manusia human resources, dan 4 teknologi informasi information technology. Berbeda dengan pendapat Barney, Martin et al. 1983, diacu dalam Fitriati 2012 berpendapat tidak semua organisasi yang telah memiliki budaya dengan ketiga atribut karakteristik di atas memiliki keunggulan bersaing yang berkelanjutan. Budaya organisasi dengan tiga karakteristik di atas mungkin dapat diterapkan secara efisien terhadap pegawai, pelanggan, dan pemasoknya dan mungkin juga dapat gagal diterapkan Deal Kennedy 1982, diacu dalam Fitriati 2012. Selanjutnya, Graig dan Grant 1993 mendefinisikan sebuah kemampuan daya saing atau kompetensi merupakan sumber daya yang berasal dari sumber daya nyata tangible dan tidak nyata intangible, termasuk finansial, fisik, manusia, teknologi, reputasi, dan hubungan yang dimiliki oleh perusahaan. Melengkapi pernyataan Graig dan Grant, Aaker 1989 mengungkapkan bahwa adanya aset dan keterampilan dari sebuah perusahaan merupakan inti dari manajemen stratejik. Hal tersebut perlu dikelola dan dikembangkan, sehingga dapat menjadi keunggulan bersaing yang berkelanjutan. Martyn dan Ken 1999 menyatakan, bahwa daya saing dapat digambarkan dengan adanya sesuatu yang berbeda, spesifik, dan aset yang susah dicontoh dalam sebuah perusahaan, sehingga dapat menghasilkan keunggulan bersaing dalam sebuah perusahaan. Tambunan 2009 menyatakan daya saing sebuah perusahaan tercerminkan dari daya saing produk yang dihasilkan oleh perusahaan tersebut. Faktor-faktor penentu daya saing perusahaanUKM adalah keahlian atau tingkat pendidikan pekerja, keahlian pengusaha, ketersediaan modal, sistem organisasi dan manajemen yang baik sesuai kebutuhan bisnis, ketersediaan teknologi, 59 ketersediaan informasi, dan ketersediaan input-input lainnya seperti energi, bahan baku, dan lain-lain. Menurut Tambunan 2008b, UMKM yang berdaya saing tinggi dicirikan oleh 1 kecenderungan yang meningkat dari laju pertumbuhan volume produksi, 2 pangsa pasar domestik dan atau pasar ekspor yang selalu meningkat, 3 untuk pasar domestik, tidak hanya melayani pasar lokal saja tetapi juga nasional, dan 4 untuk pasar ekspor, tidak hanya melayani di satu negara tetapi juga banyak negara. Dalam mengukur daya saing UMKM harus dibedakan antara daya saing dan daya saing perusahaan. Daya saing produk terkait erat dengan daya saing perusahaan yang menghasilkan produk tersebut. Beberapa indikator yang digunakan untuk mengukur daya saing sebuah produk diantaranya 1 pangsa ekspor per tahun dari jumlah ekspor, 2 pangsa pasar luar negeri per tahun , 3 laju pertumbuhan ekspor per tahun , 4 pangsa pasar dalam negeri per tahun , 5 laju pertumbuhan produksi per tahun , 6 nilai atau harga produk, 7 diversifikasi pasar domestik, 8 diversifikasi pasar ekspor, dan 9 kepuasan konsumen.

2.5 Soft System Methodology SSM

Soft systems methodology SSM diperkenalkan oleh Peter Checkland di Universitas Lancaster, Inggris pada tahun 1981. SSM dikembangkan untuk menangani masalah-masalah manajemen yang muncul dari sistem aktivitas manusia, misalnya konflik Martin et al. 2008. SSM merupakan kerangka kerja frame work pemecahan masalah yang dirancang secara khusus untuk situasi dimana hakikat masalah sulit untuk didefinisikan Martin et al. 2008. Esensinya adalah membangun model sistem melalui pemahaman dan pemaknaan secara mendalam situasi masalah sesuai fenomena yang dihadapi Williams 2005. SSM merupakan sistem pembelajaran yang tidak pernah berhenti siklik, yang menggunakan model sistem aktivitas manusia. Model ini, dengan melibatkan secara aktif aktor-aktor yang berkepentingan dalam situasi masalah melalui persepsi mereka dan kesiapan mereka dalam memutuskan tindakan yang terarah dengan mengakomodasi persepsi, penilaian, dan nilai-nilai aktor yang berbeda. 60 SSM menyediakan pendekatan yang koheren terhadap pemikiran kelompok dan individual mengenai konteks, kompleksitas dan ambiguitas kebijakan Chapman 2004. SSM berparadigma interpretative Mingers 2000; Jackson 2001; Luckett et al. 2001, sehingga teknik penerapannya di lapangan sangat tergantung dengan konteks penelitian, situasi permasalahan, perilaku aktor-aktor, dan kemampuan pengguna. SSM telah digunakan di banyak bidang dan konteks termasuk di dalamnya manajemen perubahan, perencanaan sistem kesehatan dan medis, perencanaan sistem informasi, manajemen sumber daya manusia, analisis sistem logistik, dan pengembangan sistem pakar Maqsood et al. 2001. Beragamnya bidang pemanfaatan SSM menunjukkan handalnya pendekatan ini dalam membantu pemecahan masalah yang berkaitan dengan kompleksitas interaksi manusia. Holwell 2000 mencatat 250 referensi seperti makalah jurnal, makalah seminar, dan buku teks yang menggunakan pemikiran SSM dalam bidang manajemen. SSM juga telah diaplikasikan dalam bidang manajemen sumber daya alam dan lingkungan. Dalam bidang ini Nidumolu et al. 2006 berhasil memanfaatkan pendekatan SSM untuk menyusun program perencanaan tata guna lahan di India. Bunch 2003 menyatakan, mampu membuat rekomendasi pengelolaan lingkungan bantaran sungai di India. Haklay 1999, menganalisis dampak lingkungan pembangunan perumahan di Israel. Meskipun demikian menurut Eriyatno 2003, Eriyatno dan Sofyar 2007, SSM masih jarang digunakan oleh peneliti dan praktisi di Indonesia. Pada awalnya pendekatan SSM ini terlihat sebagai alat pemodelan biasa, tetapi setelah adanya pengembangan, pendekatan itu telah meningkat sebagai alat pembelajaran dan alat pengembangan sebagai pembantu dalam mengartikan masalah. SSM adalah sebuah metodologi untuk menganalisis dan pemodelan sistem yang mengintegrasikan teknologi hard sistem dan human soft sistem. SSM adalah pendekatan untuk pemodelan proses di dalam organisasi dan lingkungannya dan sering digunakan untuk pemodelan manajemen perubahan, dimana organisasi pembelajaran itu sendiri merupakan manajemen perubahan. SSM adalah proses penelitian sistemik yang menggunakan model-model sistem.