Daya saing pada tingkat makro daerah

48  Daya saing tempat lokalitas dan daerah merupakan kemampuan ekonomi dan masyarakat lokal setempat untuk memberikan peningkatan standar hidup bagi wargapenduduknya Malecki 1999.  Daya saing merupakan kemampuan menghasilkan produk barang dan jasa yang memenuhi pengujian internasional, dan dalam saat bersamaan juga dapat memelihara tingkat pendapatan yang tinggi dan berkelanjutan, atau kemampuan daerah menghasilkan tingkat pendapatan dan kesempatan kerja yang tinggi dengan tetap terbuka terhadap persaingan eksternal European Commission 1999.  Daya saing daerah dapat didefinisikan sebagai kemampuan para anggota konstituen dari suatu daerah untuk melakukan tindakan dalam memastikan bahwa bisnis yang berbasis di daerah tersebut menjual tingkat nilai tambah yang lebih tinggi dalam persaingan internasional, dapat dipertahankan oleh aset dan institusi di daerah tersebut, dan karenanya menyumbang pada peningkatan PDB dan distribusi kesejahteraan lebih luas dalam masyarakat, menghasilkan standar hidup yang tinggi, serta virtuous cycle dampak pembelajaran Charles dan Benneworth 2000.  Daya saing daerah berkaitan dengan kemampuan menarik investasi asing eksternal dan menentukan peran produktifnya . . . . Camagni 2002.  Daya saing perkotaan urban competitiveness merupakan kemampuan suatu daerah perkotaan untuk memproduksi dan memasarkan produk-produknya yang serupa dengan produk dari daerah-daerah perkotaan lainnya Webster dan Muller 2000.  Daya saing daerah adalah kemampuan perekonomian daerah dalam mencapai pertumbuhan tingkat kesejahteraan yang tinggi dan berkelanjutan dengan tetap terbuka pada persaingan domestik dan internasional Abdullah et al. 2002.  Penentu daya saing daerah adalah ekonomi makro kebijakan ekonomi pusat, kebijakan daerah, ekonomi meso kondisi sumber daya alam, infrastruktur teknis, infrastruktur ekonomi, infrastruktur sosial, kebijakan pemerintah daerah, ekonomi mikro terkait perusahaan: ukuran perusahaan, ruang lingkup aktivitas usaha, strategi yang diterapkan oleh perusahaan, situasi ekonomi perusahaan, implementasi inovasi; dan terkait masyarakat: mobilitas 49 pasar kerja, perpindahan penduduk, kualifikasi profesional dari masyarakat McFetridge 1995. Gardiner et al. 2004 membuat model piramida daya saing regional dengan mencari hubungan beberapa faktor utama yang dapat membangun daya saing regional, yaitu mencakup faktor-faktor input, output dan outcome. Konsep ini diaplikasikan PPSK Bank Indonesia-LP3E FE Unpad 2008 dalam pemetaan daya saing ekonomi daerah pada 434 kabupatenkota. Kemampuan daya saing kota yang dibentuk oleh faktor-faktor utama input dan kinerja perekonomian output. Faktor-faktor utama pembentuk daya saing terdiri dari lima indikator utama, yaitu 1 lingkungan usaha produktif, 2 perekonomian daerah, 3 ketenaga- kerjaan dan sumber daya manusia, 4 infrastruktur, sumber daya alam dan lingkungan, 5 perbankan dan lembaga keuangan. Kinerja perekonomian output mencakup produktivitas tenaga kerja, tingkat kesempatan kerja, dan PDRB per kapita. Target outcome dari daya saing daerah adalah pertumbuhan yang berkelanjutan. Selanjutnya, pengembangan semangat berkompetisi adalah hal yang tidak bisa dihindari dalam praktek pemerintahan modern. Prinsip-prinsip tentang pemerintahan reinventing government menurut Osborne dan Gaebler 1993 sarat dengan pesan agar pemerintah menciptakan suasana kompetitif, tidak saja di kalangan masyarakat, terlebih lagi harus diciptakan di kalangan para birokrat penyelenggara pemerintahan. Kompetisi, dengan demikian, tidak hanya terjadi antara pemerintah dengan organisasi non-pemerintah. Tak kalah pentingnya kompetisi juga harus diciptakan di antara aparat pemerintah sendiri untuk memaksimalkan tiga fungsi dasar pemerintahan, yakni: pelayanan, pengaturan, dan pemberdayaan secara cepat, tepat, dan dekat kepada masyarakat. Menurut Tjokrowinoto 1996 pelaksanaan program-program pembangunan sebagai salah satu aktivitas utama pemerintahan, bergeser dari menciptakan penguasaan dependency creating ke arah memberikan kuasa empowering Tabel 4. Perubahan itu, membuat posisi masyarakat berubah dari penonton menjadi pelaku pembangunan. 50 Tabel 4 Pilihan peran pemerintah dalam pengembangan daya saing Karakter Dependency Creating Empowering Prakarsa Pusat ibukota negara Lokal Desa, Kabupaten Titik awal Rencana formal Pemecahan masalah Desain program Statis, didominasi pakar Hasil diskusi kelompok masyarakat Teknologi Hasil pengenalan Asli setempat Sumber dana Dana dan teknisi pemerintah pusat Rakyat dan SDA lokal Kesalahan Diabaikan Diterima embraced Organisasi pendukung Dibina dari atas Dibina dari bawah Pertumbuhan Cepat, mekanistik Tahap demi tahap organik Pembinaan personil Prajabatan, pendidikan formal, didaktik Berkesinambungan, berdasarkan pengalaman lapangan, belajar dari kegiatan lapangan Diorganisir oleh Technical specialist Tim interdisipliner Kepemimpinan Terbatas, berubah-ubah posisional Individual, kuat, berkelanjutan Analisis Untuk membenarkan rencana dan memenuhi persyaratan evaluasi Untuk definisi masalah dan perbaikan program Fokus manajemen pemerintahan Selesainya proyek pada waktu yang telah ditentukan Kelangsungan berfungsinya sistem dan kelembagaan Evaluasi Eksternal, selang-seling, impact oriented Diri sendiri, berkesinambungan, process oriented Sumber: Tjokrowinoto 1996 Masyarakat sebagai pelaku tidak sekedar diharapkan mampu menciptakan aktivitas dan peluang yang diciptakannya sendiri, tetapi diharapkan pula tumbuh kebiasaan berkompetisi. Anggota masyarakat terbiasa untuk bersaing, sehingga memudahkan daerah atau negara bersaing dengan daerah atau negara lain. Dampak dari perubahan ini, terhadap demokratisasi penyelenggaraan pemerintahan. Secara empirik hampir mustahil menerapkan kompetisi bebas dalam masyarakat, apalagi dalam masyarakat yang sedang dalam masa transisi dari situasi otoritarian ke arah situasi demokratis. Elemen-elemen yang ada dalam masyarakat sesungguhnya tidak berada di titik yang sama, di garis start yang sama, saat transisi mulai bergulir. Perlindungan pemerintah pusat atau daerah dalam bentuk regulasi masih diperlukan dan dibenarkan, sejauh regulasi itu tidak mengurangi ruang bebas yang dibutuhkan masyarakat serta melindungi mereka dari praktek monopoli maupun oligopoli Steiner Steiner 1994. Berdasarkan paparan pendapat Osborne dan Gaebler, Moeljarto, Steiner dan Steiner dapat disimpulkan bahwa peningkatan daya saing satu daerah dimulai 51 dengan komitmen pemerintah pusat atau daerah untuk secara serius menciptakan iklim persaingan di antara warga negara maupun antar aparatur pemerintah. Pemerintah harus mengambil porsi sedikit mungkin dalam dinamika sosial, tetapi efektif melindungi kepentingan yang paling mendasar dari masyarakat luas Imawan 2002.

2.4.2 Daya saing pada tataran meso industri atau kelompok industri

Analisis daya saing pada tingkat industri bermula dari teori David Ricardo tentang keunggulan komparatif, Hecksher-Ohlin HO tentang teori perdagangan internasional international trade dan kajian sejumlah pakar maupun lembaga tentang daya saing industri OECD 1996. Hadi 2004, menurut teori David Riracdo cost comparative advantage atau labor efficiency didasarkan pada nilai tenaga kerja atau theory of labor value yang menyatakan bahwa nilai atau harga suatu produk ditentukan oleh jumlah waktu atau jam yang diperlukan untuk memproduksinya. Menurut teori HO, suatu daerah atau negara akan melakukan perdagangan dengan daerah atau negara lain disebabkan daerah atau negara tersebut memiliki keunggulan komparatif yaitu keunggulan dalam teknologi dan keunggulan faktor produksi Halwani 2005. Basis dari keunggulan komparatif yaitu faktor endowment kepemilikan faktor produksi di dalam suatu daerah atau negara, dan faktor intensity teknologi yang digunakan di dalam proses produksi, labor intensity atau capital intensity. Kajian daya saing pada tingkat industri, berkembang dalam dua perspektif arus utama. Pertama , yang memandang agregasi perusahaan dalam suatu “sektor” industri atau aktivitas ekonomi tertentu. Pandangan kedua, meletakkan industri dengan tekanan sebagai sehimpunan perusahaan dan organisasi dalam konteks rangkaian mata rantai nilai tambah. Perspektif pertama, daya saing industri merupakan daya saing rata-rata dari agregasi perusahaan dalam sektor industri tertentu. Sebagian besar ukuran daya saing pada tingkat perusahaan profitabilitas, biaya, produktivitas dapat dianalisis pada tingkat industri. Pandangan “sektoral” demikian juga merupakan pendekatan “klasik” yang umumnya dipahami dalam menelaah sektor-sektor ekonomi. Kedua, 52 daya saing lebih dilihat dalam konteks rantai nilai tambah yang umumnya terjadi “lintas sektor.” Tambunan 2002 menyatakan, bahwa faktor-faktor keunggulan kompetitif yang harus dimiliki oleh setiap industri untuk dapat bersaing di pasar dunia antara lain penguasaan teknologi dan peningkatan inovasi, kualitas serta mutu yang baik dari barang yang dihasilkan, memiliki jaringan bisnis di dalam dan terutama di luar negeri yang baik, dan tingkat kewirausahaan enterpreneurship yang tinggi.

2.4.3 Daya saing pada tataran mikro perusahaan-firm level

Daya saing pada tataran mikro yaitu dimana perusahaan akan membuat suatu dinding penghalang, agar pesaing tidak dapat meniru daya saing yang dimilikinya. Adanya daya saing tersebut, sehingga perusahaan mampu meraih keuntungan dan manfaat dari sumber daya yang dimiliki mereka Barney 1991 serta nilai yang lebih tinggi value daripada pesaingnya Makhija 2003. Perkembangan teori daya saing telah menyajikan dua mahzab besar yaitu market based view MBV dan resources based view RBV. Baik MBV maupun RBV, keduanya mengarah pada penciptaan keunggulan bersaing agar organisasi sukses menjadi value creation yang superior. Perspektif MBV yang didukung oleh Porter, daya saing dibangun atas dasar market attractiveness. Cara pandang kemampuan perusahaan dalam mengantisipasi pasar, merupakan hal yang esensial. Porter telah mengembangkan model lima kekuatan five forces model yang dapat digunakan sebagai pijakan didalam mengevaluasi dan merancang strategi bersaing. Ungkapan “think like your competitor’s decision makers” seakan menjadi tugas intelijen organisasi agar tidak ketinggalan berita atas apa yang telah dilakukan pesaing dan apa yang dituntut konsumen. Kompetisi dalam teori Porter ini bisa dievaluasi melalui lima kekuatan persyaratan bargaining antara lain potensi pendatang baru dan barang substitusi, potensi pemasok dan pembeli serta kompetisi yang timbul dalam struktur industri. Kompetensi bersaing bisnis dalam MBV, dibangun melalui cara pandang outside-in perspective . Dinamika eksternal menjadi pijakan dalam merancang strategi keunggulan bersaing. Model Porter didasarkan pada wawasan, bahwa