Tinjauan Studi Terdahulu yang Relevan

83 Djamhari 2006 melakukan kajian tentang faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan sentra UKM menjadi klaster dinamis. Faktor-faktor yang secara tunggal atau berkombinasi, mempengaruhi daya hidup viability klaster UKM adalah jejaring kemitraan, inovasi teknologi, modal SDM dan kewirausahaan, infrastruktur fisik, keberadaan perusahaan besar, akses ke pembiayaan usaha, layanan jasa spesialis, akses terhadap pasar dan informasi pasar, akses terhadap layanan pendukung bisnis, persaingan, komunikasi, dan kepemimpinan. Intensitas dan spektrum kekuatan variabel ini beragam, dan hal ini dipengaruhi oleh kondisi internal dan eksternal klaster itu sendiri. Pada kondisi internal, faktor yang berpengaruh antara lain usia kematangan klaster, keragaman usaha homogeneity, tingkat resiko bisnis diantara UKM di dalamnya, dan probabilitas pelaku usaha dalam klaster akan tetap berafiliasi dengan klasternya. Faktor eksternal yang menonjol adalah faktor stabilitas ekonomi makro yang mempengaruhi iklim usaha, kelangsungan order, dan pelaku baru business new entrants yang memperburuk suasana persaingan pasar, dan last but not least, adalah regulasi pemerintah. Martin et al. 2008 melakukan kajian tentang penatakelolaan kawasan hutan rawan konflik melalui pendekatan metodologi sistem lunak. Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan pemahaman opini stakeholder yang berbeda terpencar terhadap perubahan yang diinginkan dan memungkinkan, dengan menggunakan metodologi sistem lunakSSM Soft System Methodology. Kesimpulan yang didapatkan, bahwa 1 prinsip-prinsip SSM yang dijalankan melalui strategi fasilitasi reflektif mampu mengubah suasana konflik yang disebabkan oleh perbedaan perspektif dan kepentingan menjadi media pembelajaran sosial saling memahami, sehingga menghasilkan langkah penatakelolaan bagi blok agroforestri hutan penelitian benakat yang semula “tidak terkelola”, dan 2 fase intervensi dalam tahapan SSM ini belum secara signifikan mengubah sikap para pihak terhadap preferensi tata guna lahan. Ini berarti potensi konflik dalam masa depan tetap ada, namun berpeluang untuk dikelola setelah terbukanya jalur komunikasi antarpihak melalui beragam aktivitas pengelolaan bersama. 84 Absah 2008 melakukan kajian tentang kompetensi perusahaan. Berdasarkan hasil kajian, bahwa perusahaan yang memiliki tim manajemen dengan keahlian optimal dan metode bersaing yang didasarkan pada kompetensi inti akan mampu mencapai kinerja yang lebih tinggi dibandingkan perusahaan lain yang tidak dapat melakukannya. Kompetensi superior akan memungkinkan perusahaan memperoleh informasi apa yang dibutuhkan dan diinginkan oleh pelanggannya, dengan demikian perusahaan yang memiliki karyawan dengan kompetensi yang tinggi, akan lebih mampu menyediakan produk dan layanan yang sesuai dengan kebutuhan dan keinginan pelanggan. Perusahaan dengan kompetensi superior, dapat memperoleh keunggulan bersaing yang berkesinambungan dan selanjutnya dapat meningkatkan kinerjanya. Selanjutnya agar dapat mempertahankan keunggulan bersaing tersebut, kompetensi yang dimiliki perusahaan haruslah mampu menambah nilai, langka, sulit ditiru, dan sulit digantikan. Pengetahuan yang dimiliki karyawan perusahaan menjadi salah satu kompetensi yang sulit ditiru, karena membutuhkan waktu yang lama dan biaya yang mahal untuk ditiru. Selain itu seseorang dengan keahlian khusus yang dimiliki perusahaan akan menjadi keunggulan strategis dan merupakan basis bagi kinerja superior. Perusahaan dengan kompetensi yang bernilai dan langka akan menghasilkan keunggulan bersaing yang lebih besar dibandingkan pesaingnya, yang selanjutnya menghasilkan kinerja keuangan superior. Keunggulan bersaing dan kinerja yang dihasilkan perusahaan merupakan konsekuensi dari sumber daya khusus dan kompetensi yang dimiliki. Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa perusahaan harus memiliki kemampuan untuk mengkordinasikan sumber daya strategis dengan baik, karena merupakan kunci dalam membangun kompetensi dan pada akhirnya pencapaian kinerja yang tinggi. Rahman 2006 melakukan kajian tentang kerangka dasar pembentukan kebijakan UKM Indonesia. Kajian lebih diarahkan dan difokuskan pada upaya untuk mengidentifikasi dasar-dasar penetapan kebijakan UKM Indonesia serta kebijakan apa saja yang relevan, sesuai dengan hasil identifikasi tersebut. 85 Kerangka utama dalam upaya menetapkan kebijakan pengembangan dan perkuatan UKM dapat dimulai dari upaya untuk mengidentifikasi pola dasar dalam pengembangan UKM, dalam bentuk tingkatan dalam kebijakan UKM yang akan berpengaruh terhadap proses operasinya sehari hari, yaitu kebijakan pada tingkatan mikro micro level policies, tingkatan makro macro level policies dan tingkatan meso meso level policies . Identifikasi kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan ketiga pola dasar kebijakan pengembangan UKM tersebut amat diperlukan untuk mengetahui apa saja prioritasfokus kebijakan pengembangan UKM yang dapat ditetapkan. Hal ini tentunya dilakukan berdasarkan kebutuhan dan fakta serta kondisi riil yang terjadi pada UKM Indonesia. Kesimpulan dan implikasi kebijakan yang didapatkan antara lain 1 diperlukan pengembangan kebijakan UKM yang sesuai sifatnya, harus berdasarkan pada fakta dan kondisi yang terjadi pada UKM; 2 memperhatikan fakta-fakta yang terjadi pada UKM Indonesia, maka akan lebih relevan dan efektif jika pada tahap awal prioritasfokus kebijakan lebih diarahkan pada upaya perkuatan kapasitas internal UKM dan peningkatan firm level competitiveness UKM Indonesia atau dengan kata lain, penetapan kebijakan pada mikro level; 3 pengembangan kebijakan UKM perlu dilakukan secara integral, dinamis dan berkelanjutan dengan melibatkan berbagai pihak yang berkepentingan terhadap eksistensi UKM dalam perekonomian Indonesia. Fitriati 2012 melakukan kajian tentang rekontruksi daya saing UMKM berbasis soft systems methodology. Berdasarkan hasil kajian, bahwa penggunaan framework NIES pada rekonstruksi daya saing UMKM dalam menjamin tercapainya daya saing UMKM industri kreatif pada 1 tataran makro menunjukkan besarnya peran state regulation dan market mechanism; 2 tataran meso menunjukkan besarnya peran collective action serta monitoring and enforcement ; 3 tataran mikro menunjukkan adanya peran decoupling compliance , serta embeddedness pada pelaku usaha yang merupakan basis daya saing di tataran mikro; dan 4 adanya hubungan timbal balik di antara tiga tataran berupa interkonektivitas interconnectivity dan penjajaran alignment pada tiga tingkat kerangka kelembagaan berbasis daya saing. 86 Dalam konteks UMKM industri kreatif Kota Depok sebagai rujukan penelitian, hubungan tersebut dapat diwakili, pertama, hubungan timbal balik secara top-down makro ke meso dan mikro yang timbul dari kebutuhan terhadap aturan yang jelas, yang memberikan kesempatan dan kepastian usaha bagi UMKM untuk dapat menjalankan usahanya, mengakses sumber daya produktif dan mendapatkan perlindungan usaha dari persaingan yang tidak sehat. Aturan yang jelas juga dapat mendorong terbentuknya usaha bersamakolektif yang memungkinkan tercapainya skala usaha dan efisiensi usaha yang lebih tinggi di antara UMKM, yang difasilitasi melalui kelompok usaha atau asosiasi. Kedua, hubungan timbal balik yang timbul secara bottom up dari mikro ke meso ke makro, dimana aspirasi UMKM yang disalurkan melalui asosiasi menjadi masukan bagi kebijakan di tingkat makro yang dibutuhkan untuk penguatan kelembagaan insitutional strengthening dan kapasitas UMKM. Berkembangnya sentra-sentra UMKM industri kreatif dengan komoditas unggulannya masing- masing juga dapat mempengaruhi pengembangan struktur kebijakan dan pembinaan yang perlu disediakan untuk mendukung peningkatan daya saing UMKM di sentra-sentra tersebut. Hubungan timbal balik ini menunjukkan bahwa mekanisme decoupling, compliance dan embeddedness dalam pengembangan daya saing UMKM. Untuk UMKM industri kreatif di Kota Depok, hubungan timbal balik di antara tiga tataran sebenarnya sudah berjalan, meskipun masih perlu dioptimalkan. Puradinata 2012 melakukan kajian tentang pembelajaran interorganisasional dan penciptaan pengetahuan dalam pengembangan bioethanol di Indonesia dengan pendekatan soft systems methodology. Penelitian ini merupakan implementasi dari penelitian dual imperatives McKay dan Maeshall 2001, mencakup research interest dan problem solving interest, yaitu riset tindakan action research yang menggunakan soft system methodology SSM. Penelitian ini termasuk katagori SSM based action research, yang sesuai dengan kategori theoritical research practicebusiness change practice dari Cronholm and Goldkuhl 2003. Dalam penelitian ini dikaji bagaimana suatu organisasi bisnis menyiapkan dirinya mengatasi berbagai masalah problematik yang dihadapinya. 87 Penelitian ini menyimpulkan bahwa efektivitas proses pembelajaran IGDI identification, generation, diffusion, and integration dipengaruhi oleh faktor keberhasilan yang terdiri dari motivasi, leadership, trust, kapasitas penyerapan, kemampuan mengkombinasikan berbagai kapabilitas, kedekatan, dan teknologi infromasi. Sedangkan untuk mengatasi masalah problematiknya PT. Medco Ethanol Lampung harus mengadakan integrasi vertical ke arah hulu, agar menjamin tersedianya bahan baku dalam waktu, harga, dan kualitas yang sesuai standar, melalui penguasaan perkebunan. Sedangkan ke arah hilir perlu memperluas konsumen melalui kerja sama erat dengan pemerintah, yang diharapkan bisa memfasilitasi upaya peningkatan jumlah konsumen. Secara keseluruhan harus ada sinergi antara makro dan mikro untuk mencapai keunggulan bersama. 3 METODOLOGI

3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan melalui tahapan persiapan, pengumpulan data, pengolahan data, dan analisis data. Tahap persiapan dan pengumpulan data dilakukan selama empat bulan, mulai Juli 2011 sampai dengan Nopember 2011. Pengolahan dan analisis data dilakukan selama sepuluh bulan, mulai Nopember 2011 sampai dengan September 2012. Kegiatan persiapan, pengolahan, dan analisis data dilaksanakan di Jakarta, sedangkan pengumpulan data dilakukan di lokasi penelitian yaitu Desa Kenanga Blok Dukuh, Kecamatan Sindang, Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat. Fokus penelitian yang ditinjau adalah 34 unit pengolahan ikan UPI UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Desa Kenanga, yang terdiri dari 26 UPI skala usaha kecil dan 8 UPI skala usaha menengah.

3.2 Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan soft system methodology SSM, dimana inti proses pendekatan metode SSM adalah membandingkan antara kondisi nyata yang ada dengan kondisi model yang seharusnya terjadi, sehingga menghasilkan pemahaman lebih baik atas kondisi yang dijadikan objek penelitian. Implikasinya adalah dihasilkan beberapa ide untuk menghasilkan perbaikan melalui sejumlah aksi. Menurut Jeppensen 2009, SSM dapat dibedakan dengan beberapa metodologi yang berkembang dalam khazanah riset sosial, baik yang secara langsung berlabel metodologi serba sistem system methodology maupun yang tidak secara langsung berlabel metodologi serba sistem. Tiga ciri utama SSM adalah 1 pemahaman dan analisis situasi masalah; 2 analisis relasi dan peran para pihak terkait; dan 3 analisis relasi dan peran politik serta sosial para pihak terkait. Secara singkat, suatu metodologi penelitian dapat dibedakan menjadi metodologi berpikir serba sistem keras hard system thinking dan berpikir serba 90 sistem lunak soft system thinking. Perbedaan umum dua kategori berpikir serba sistem menurut Maani dan Cavana 2004 dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9 Perbedaan umum dua kategori berpikir serba sistem Hard System Thinking Soft System Thinking Fakta lapangan Well structured strukturnya berbentuk Ill structured strukturnya tidak berbentuk Fakta lapangan Simply complexity kompleksitas sederhana Complexity kompleksitas Orientasi riset Bersifat eksternal Bersifat internal Contoh metodologi System dynamics Soft system methodology Sumber: Maani dan Cavana 2004 Kerangka kerja teori atau theoretical framework F dan metode M yang digunakan untuk memformulasikan dan memandu intervensi penelitian, serta menciptakan perasaan akumulasi pengalaman dalam intervensi penelitian tersebut Checkland 1991. Refleksi terhadap F, M, dan A atau tema penelitian dilakukan agar penemuan hasil penelitian tercapai. Dalam konteks penelitian ini, peneliti menggunakan SSM baik untuk keperluan riset research interest maupun keperluan pemecahan masalah problem solving interest. Pada akhirnya, desain siklus riset tindakan, akan melahirkan pengetahuan baru, memodifikasi pertanyaan yang telah ada, atau mendapatkan pertanyaan baru untuk dihasilkan generated pada A dan atau F. Peneliti melakukan perbaikan atas situasi permasalahan problematical situation dalam pengembangan UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu Tabel 10. Menurut Checkland dan Poulter 2006, metode SSM dilaksanakan melalui tujuh tahapan yaitu 1 identifikasi permasalahan tidak terstruktur; 2 strukturisasi permasalahan; 3 perumusan root definitions; 4 perumusan model konseptual; 5 perbandingan model konseptual dengan fakta lapangan; 6 penentuan perubahan yang secara sistem diinginkan; dan 7 pelaksanaan langkah tindakan untuk perbaikan. Siklus ini akan berulang apabila ditemukan hal-hal yang dipandang perlu diperbaiki ataupun ditingkatkan kualitasnya.