Riset Tindakan Action Research

72 Barton et al. 2009 menyatakan bahwa desain dari metode ilmiah secara ideal perlu dipengaruhi oleh tujuan sosial penelitian. Tabel 6 Karakteristik utama pendekatan riset tindakan Technical AR Practical AR Critical AR Basis filosofi Ilmu alamiah natural sciences Hermeneutics Teori kritis critical theory Sifat realitas Dapat diukur Berganda multiple, holistik, dibangun constructed Interelasi dengan struktur kekuatan sosial dan politik Sifat masalah Sudah dikenal problem-posing Ditentukan dalam konteks problem solving Ditentukan dalam konteks hubungan untuk memunculkan nilai problematising Status pengetahuan Terpisah, deduktif Induktif, produksi teori, Induktid, produksi teori, emansipatori, dan parsipatori Sifat pemahaman Kejadian dijelaskan dalam bentuk sebab nyata dan efek bersama Kejadian digambarkan dalam bentuk interaksi antara konteks eksternal dengan pemikiran individual Kejadian dipahami dalam bentuk politik, sosial, dan hambatan ekonomi untuk meningkatkan kondisi Tujuan penelitian Menemukan “hukum” dari realitas Menemukan arti dari orang- orang yang membuat tindakan Memahami apa yang menghalangi demokratik dan praktik yang sama Hasil perubahan Perubahan bersifat bebas nilai dan jangka pendek Perubahan bersifat terikat nilai dan bergantung pada keterlibatan individu Perubahan bersifat relati nilai dan mendorong mansipasi terus menerus Sumber: Burns 2005 Kebutuhan akan hasil praktis, menempatkan riset tindakan dalam konteks sosial dimana interaksi antara lingkungan “eksperimen” dan interaksi eksperimen itu sendiri menempati peran kritis dan bernilai. Hal ini menunjukkan bahwa ada interaksi antara peneliti, subjek, dan konteks. Barton et al. 2009 menyatakan bahwa sebuah usaha telah diciptakan untuk mengidentifikasikan seperangkat norma dan kriteria yang digunakan untuk mendesain dan menilai riset tindakan, serta merepresentasikan riset tindakan sebagai scientifically rigorous. Secara singkat, Barton et al. 2009 menyimpulkan bahwa positivis berkaitan dengan closed systems thinking dan riset tindakan berkaitan dengan open systems thinking bersifat esensial dan melengkapi pendekatan ilmiah. Barton et al. 2009 menyatakan bahwa riset tindakan berhubungan dengan fase evaluasi dan abductive. Pembentukan fase abductive melibatkan teknik 73 brainstorming , mind-maps, analisis naratif, dan analisis kasus sebagai pendekatan dalam mengekstratindakan persepsi stakeholder dalam situasi kompleks. Tolbert 1974, diacu dalam Barton et al. 2009 mengajukan tujuh kriteria riset tindakan. Pertama, pencarian nilai sosial yang dirangkai dalam sistem terbukasosio-ekologikonteks worldview. Kedua, proses logis dapat diidentifikasi dengan mudah melalui mode kesimpulan modes of inference abductive, deduktif, dan induktif. Ketiga, proses kelompok yang mengadopsi perspektif ganda dan nilai pluralis baik sebagai pembatas yang bertentangan dengan perilaku keliru hedge against fallible behaviour dan sebagai platform praktik etis. Keempat, teknik evaluasi kritis yang melibatkan single, double, dan triple loop learning . Kelima, basis operasional dalam pembelajaran dialektis. Sebagai contoh, pembuatan perbandingan kritis antara bingkai sistem atau perspektif berbeda. Keenam, pengawasan proses dalam siklus riset tindakan yang menginformasikan secara minor koreksi yang dapat dibuat dan didokumentasikan. Ketujuh, kemungkinan bagi setiap tahap pertimbangan dalam bentuk riset tindakan berulang. Barton et al. 2009 memberikan komparasi antara riset tindakan dengan penelitian positivis Tabel 7. Barton et al. menyatakan, positivis tidak mempunyai fase pengambilan tindakan taking action dalam dunia yang lebih luas dan melakukan upaya untuk mengeluarkan kepentingan nilai ilmiah dan kemungkinan dalam perubahan konteks. Tabel 7 Komparasi riset tindakan dengan positivist science Property Positivist Science Action Research Systems frame Closed Open Repeatability Experimental result Process Conditionals on hypotheses Known and controllable Unknown and not controllable Objectivity Apparent indpedence of Researcher but dependent on The norms of peers Triple loop learning evaluation; dependent on values of the community of inquiry Dominant mode on inference Deduction Abdusction Action based No Yes Sumber: Barton et al. 2009b 74 Menurut Lipton 2004 dalam kasus-kasus tertentu, ketika observer menghadapi kepraktisan tindakan, positivis tidaklah cukup dan observer menemukan diri mereka untuk mengambil tindakan, atau paling tidak mengkontemplasikan hal tersebut pada basis “kesimpulan bagi penjelasan terbaik inference to the best explanation ”. Hipotesis terbaik dibentuk dan disesuaikan dengan tindakan dalam konteks pengawasan, intervensi penyesuaian, dan evaluasi. Menurut Barton et al. 2009, bagaimanapun positivis bersifat kritis dalam menetapkan establishing hipotesis “terbaik”. Fakta penting, bahwa harus menerima positivis hanya mengkonfirmasi hipotesis dalam kondisi yang ketat under strict conditions. Saat bertindak dalam hipotesis pada konteks open system, harus menggunakan basis hipotesis dengan penjelasan terbaik dan bertransisi dari area penelitian positivis ke area penelitian riset tindakan. Uchiyama 1999, mengkaji perbandingan antara positivist dan riset tindakan dengan menggunakan skema PDS plan, do, see - rencanakan, lakukan, amati Tabel 8. Karakteristik utama dari positivism adalah verifikasi hipotesis model “reality” untuk memperoleh pengetahuan ilmiah, sedangkan karakteristik riset tindakan adalah refleksi tindakan dalam aspek “S” untuk memperoleh tacit atau pengetahuan berdasarkan pengalaman tacit or experiencebased-knowledge. Tabel 8 Perbandingan antara paradigma positivism dengan riset tindakan Positivism SSM-based AR Plan Hypothesis The model of “reality” Experimental Design A Omoi Moddel A model relevant to “actuality” Action Plan Do Observation Collection Data Carry out Action Plan Learning by doing See Verification Reflection in action Kind of Knowledge Scientific or Explicit Knowledge Tacit or Experience-based knowledge Standard of Validity Repeatability Recoverability Sumber: Uchiyama 1999 75 Paradigma positivism mengembangkan model “reality” sebagai hipotesis, kemudian mendesain rencana eksperimental. Riset tindakan membentuk model relevan bagi “actuality”, melalui akomodasi dan desain rencana tindakan berdasarkan pembelajaran pertama yang diberikan dari perbedaan antara model dan “reality” pada aspek “P”. Selanjutnya, pada aspek “D” positivism membawa rencana eksperimental, mengobservasi hasilnya, dan mengumpulkan data, kemudian mencari apakah hipotesis benar “ya” atau tidak benar “tidak” pada aspek “S”. Apabila hasil hipotesis “tidak” harus kembali ke fase “P” atau menciptakan model baru “reality”, sedangkan hasil hipotesis “ya” maka dapat mengkontribusikan hipotesis sebagai pengetahuan ilmiah bagi koleksi pengetahuan manusia. Riset tindakan membawa rencana tindakan dalam fakta lapangan oleh peneliti sebagai perencana pada aspek “D”, kemudian merefleksi tindakan pada aspek “S”. Baik hasil tindakan ini sukses atau tidak, peneliti tetap dapat memperoleh proses “belajar sambil melakukan learning by doing” sebagai pembelajaran kedua, dan kemudian peneliti dapat menginternalisasikan pembelajaran ini sebagai pengetahuan berdasarkan pengalaman experience- based-knowledge . Lebih lanjut lagi, Uchiyama 1999 menyatakan bahwa riset tindakan berbeda dengan paradigma positivism. Riset tindakan dipandang sebagai upaya untuk memperoleh pengetahuan berdasarkan pengalaman experience-based knowledge yang dapat diaplikasikan pada fakta lapangan melalui praktik oleh peneliti itu sendiri. Berdasarkan hasil kajian ini, Uchiyama mengkategorikan SSM sebagai bagian dari riset tindakan. Menilik latar belakang SSM, Checkland dan Poulter 2006 memaparkan bahwa SSM dikembangkan menggunakan model penelitian alternatif model yang tepat untuk penelitian sosial pada level situasi kelompok atau organisasi yaitu riset tindakan action research. Uchiyama 1999 menjelaskan bahwa riset tindakan memfasilitasi suatu siklus tak berakhir endless cycle bagi proses belajar sambil melakukan learning by doing. Sebagai kajian riset tindakan, Checkland menitik beratkan SSM pada problem situation bukan dari teori. Sebagai alat pemecahan masalah, SSM muncul 76 bukan sebagai alat menghasilkan teori dan alat menguji teori Rose 1982. Sudut filosofis dari metodologi ontologi dan epistemologi ditempatkan pada matriks kuadran ‘interpretatif’ Burell dan Morgan 1979. Menurut Rose 1982, SSM berada pada penggunaan konsep sistem sebagai alat epistemologi mendapatkan pengetahuan dunia. Checkland 1981 mengatakan, “kita harus mengingatkan diri kita sendiri bahwa terdapat perbedaan antara realitas kompleks dengan catatan kita pribadi sebagai peneliti mengen ai hal tersebut.” Checkland 1999 menjelaskan, bahwa “hard systems thinking” berasumsi bahwa dunia yang dirasakan perceived world terdiri dari holons, sedangkan “soft systems thinking” berasumsi bahwa metodologi adalah proses investigasi process of enquiry sehingga menjadi holons . Rose 1982 menyatakan, bahwa model SSM dibedakan dari model sistem konvensional lainnya bentuk deskriptif dan normatif dari ‘sistem’. Investigasi metodologi tidak diperoleh dari perspektif ontologi pada dunia sistemik, tetapi dari konsep sistem epistemologi yang menstrukturkan pemikiran tentang dunia. Berdasarkan perspektif riset tindakan, teori Kurt Lewin diacu dalam Barton et al. 2009 telah mengalami berbagai inovasi dan perbaikan refinements. Masalah objektivitas telah dijelaskan oleh Argyris dan Schon 1989, melalui konsep pembelajaran single dan double loop yang melibatkan refleksi terbuka. Proses ini masih diperluas dengan dua cara yaitu 1 Flood dan Romm melalui konsep pembelajaran triple loop, dan 2 Checkland dan Howell melalui konsep struktur FMA dan kegunaannya dalam fase pembelajaran double loop. Checkland dan Poulter 2006 memaparkan, bahwa SSM dikembangkan menggunakan model penelitian alternatif model yang tepat untuk penelitian sosial pada level situasi kelompok atau organisasi yaitu riset tindakan action research. Uchiyama 1999 menjelaskan, bahwa riset tindakan memfasilitasi suatu siklus tak berakhir endless cycle bagi proses “belajar sambil melakukan learning by doing ”. Jenis penelitian ini, peneliti akan menerima kesulitan berupa ‘scientific’ experimental work . Kesulitan tersebut muncul karena situasi manusia yang unik, selalu berubah setiap waktu, dan memunculkan berbagai paradigma yang 77 berlawanan. Checkland dan Poulter 2006 menegaskan, bahwa peneliti riset tindakan action researcher harus masuk ke dalam situasi manusia dan mengambil tindakan dalam kegiatan tertentu, serta menggunakan pengalaman tersebut sebagai objek penelitian. Peneliti harus menyatakan kerangka kerja intelektual terlebih dahulu untuk memperoleh pemahaman mengenai pengalaman yang diperolehnya. Kerangka kerja eksplisit akan membantu peneliti dalam menggambarkan pengalaman risetnya dalam kerangka kerja yang terdefinisikan dengan baik well defined language of framework. Hal itu memungkinkan setiap orang di luar penelitian untuk ‘menemukan kembali recover’ kerangka kerja tersebut, untuk melihat apa yang telah dikerjakan dan bagaimana kesimpulan yang dicapai. Representasi proses riset tindakan yang sering digunakan, yaitu berupa siklus tunggal dengan kemungkinan pemakaian berulang-ulang tidak peduli apapun penggambaran riset tindakan yang digunakan Baskerville Wood- Harper 1996; Susman Evered 1978; Avison Wood Harper 1991, diacu dalam McKay dan Marshall 2001. Siklus ini dapat dilakukan melalui satu kali siklus mengacu pada Baskerville dan Harper 1998 sebagai riset tindakan linear dalam McKay dan Marshall 2001 atau siklus tersebut dapat diulang dalam konteks yang sama sehingga kepuasan hasil telah tercapai. Gambar 11 memperlihatkan terdapat sejumlah kajian yang merepresentasi berbagai jenis proses riset tindakan Kuadran A: McKay 2000; Kuadran B: Susman dan Evered 1978; Kuadran C: Burns 1994; Kuadran D: Checkland 1991, McKay dan Marshall 2001. Berdasarkan penjelasan di atas, sebagain besar literatur tentang riset tindakan mengartikan riset tindakan dalam konteks proses pembelajaran sambil melaksanakan sesuatu learning by doing dan utamanya untuk keperluan pemecahan masalah atau problem solving Hardjosoekarto 2012. Kendatipun demikian, menurut O’Brien 1998 proses pemecahan masalah dengan riset tindakan ini dapat dibedakan dari proses pemecahan masalah dalam pengertian sehari-hari, termasuk pemecahan masalah dalam konteks konsultansi dan praktik professional yaitu dalam hal penekanannya pada studi saintifik scientific study. 78 Sumber: McKay dan Marshall 2001 Gambar 11 Representasi dari siklus action research. Menurut Hardjosoekarto 2012, peneliti dalam suatu riset tindakan melakukan kajian terhadap masalah yang akan dipecahkannya dengan cara yang sistematik dan menjamin bahwa intervensi yang dilakukan dilandasi oleh pertimbangan teoritis tertentu. Maknanya, proses pemecahan masalah di dalam suatu organisasi dapat dibedakan antara pemecahan masalah yang berbasis riset tindakan dengan pemecahan masalah yang tidak berbasis riset tindakan. Selain didasarkan pada penahapan proses tertentu, pemecahan masalah yang berbasis riset tindakan ini didasarkan juga pada pertimbangan teoritis tertentu. Selanjutnya, untuk memfasilitasi penggunaan metode SSM dan pencarian konten situasi, Checkland dan Poulter 2006 menawarkan aplikasi penggunaan SSM dalam dua model yaitu SSM p untuk proses penggunaan SSM untuk melakukan studi, dan SSM c untuk menangani penyelesaian isi situasi yang bermasalah Gambar 12. Senada dengan Checkland dan Poulter 2006, McKay dan Marshall 2001 membagi SSM menjadi dua proses siklus ganda atau dual cycle process , yaitu problem solving interest dan research interest Gambar 13. 79 Gambar 12 Proses penggunaan SSM Gambar 13 Riset tindakan yang dipandang sebagai proses siklus ganda dual cycle . Pada penelitian yang berbasis problem solving interest Gambar 14 pada riset tindakan, McKay dan Marshall 2001 memaparkan bahwa peneliti riset tindakan action researcher harus menyadari permasalahan fakta lapangan real world yang salah satunya menyediakan cakupan untuk uraian tema atau ide penelitian. Setelah dilakukan identifikasi, peneliti harus melakukan penyelidikan dan pencarian fakta. Peneliti harus mencoba mencari lebih banyak sifat dasar dan konteks permasalahan, siapa pemilik masalah, peranan kunci pemangku kepentingan dalam proses pemecahan masalah, sejarah, budaya, dan komponen politik yang relevan. Kemudian, peneliti dan partisipan dapat berkolaborasi dalam merencanakan strategi pemecahan masalah. 80 Perencanaan tersebut, nantinya diimplementasikan ke dalam beberapa tahap tindakan. Selanjutnya, implementasi ini harus dimonitor untuk mengevaluasi dampaknya terhadap situasi permasalahan yang dirasakan. Pada waktu tertentu, ketika kepuasan hasil penelitian dianggap telah tercapai oleh pemangku kepentingan maka peneliti keluar dari situasi tersebut atau mengembangkan rencana tindakan dan membuat perubahan tambahan terhadap konteks permasalahan. Kajian riset tindakan yang berbasis research interest Gambar 15, peneliti harus memiliki tema, ide, tujuan, dan pertanyaan penelitian terkait dengan apa yang ingin peneliti capai. Setelah mengidentifikasikan minat penelitiannya, peneliti akan menggunakan literatur yang relevan untuk mengklarifikasi dan mengidentifikasi kerangka teori yang ada dan relevan. Peneliti menggunakan kerangka kerja teori untuk mengidentifikasi minat penelitiannya, kemudian peneliti merencanakan dan mendesain proyek penelitian yang bertujuan untuk menjawab pertanyaan penelitian, tema, dan tujuannya. Sumber: McKay dan Marshall 2001 Gambar 14 Problem solving interest. Gambar 15 Research interest. Selanjutnya, peneliti akan mengambil tindakan terkait dengan penelitiannya. Tindakan ini dimonitor berdasarkan minat penelitian, dan dievaluasi untuk melihat efek intervensi penelitian terhadap pertanyaan penelitian. Ketika pertanyaan penelitian terjawab atau kepuasan tercapai dengan mengacu pada teori yang digunakan, maka peneliti akan keluar dari setting penelitian. 81 Peneliti juga dapat mengembangkan rencana dan desain penelitian untuk mencari penjelasan lebih jauh mengenai teori dan hasil penelitian. Lebih lanjut lagi, McKay dan Marshall 2001 menyatakan bahwa refleksi pada F, MR, dan A dapat melahirkan pandangan baru yang tidak pernah diantisipasi dalam pertanyaan penelitian sebelumnya Gambar 16. Pada siklus problem solving interest , McKay dan Marshall 2001 juga menyatakan bahwa refleksi terhadap P menggunakan MPS dapat melahirkan experiential learning mengenai P dan MPS. Hal ini merupakan suatu pembelajaran yang didapat dari pengalaman yang dilakukan, dimana terdapat aktivitas intervensi dan tindakan pada konteks fakta lapangan, akan mendorong peneliti dan partisipan dalam experiential learning. Pada siklus research interest, peneliti dapat merefleksikan F, A, dan MR, juga akan dapat menghasilkan pandangan baru, memodifikasi pertanyaan yang telah ada, atau mendapatkan pertanyaan baru. Lebih lanjut lagi, McKay dan Marshall 2001 memaparkan pula bahwa desain siklus research interest nantinya akan melahirkan pengetahuan baru untuk dihasilkan generated pada A dan atau F. Selanjutnya, dengan merefleksikannya kepada F, A, dan MR, siklus research interest juga akan dapat menghasilkan pandangan baru, memodifikasi pertanyaan yang telah ada, atau mendapatkan pertanyaan baru. Sumber: McKay dan Marshall 2001 Gambar 16 Kerangka kerja riset tindakan. 82

2.8 Tinjauan Studi Terdahulu yang Relevan

Penelitian terhadap pengembangan UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu, dilandasi oleh beberapa penelitian sebelumnya. Beberapa penelitian memberikan acuan tentang pengembangan UKM sentra, dan penelitian yang dilakukan dari perspektif daya saing, resources- based , soft system methodology, dan riset tindakan action research. Widjajani dan Yudoko 2008 melakukan kajian tentang keunggulan kompetitif industri kecil dengan pendekatan berbasis sumber daya. Penelitian ini merupakan penelitian proses strategi strategy process research, yang meneliti perilaku strategis manajer pemilik industri kecil dalam mengelola usahanya untuk membangun keunggulan kompetitif dengan pendekatan berbasis sumber daya resource-based view atau RBV. Paradigma penelitian yang digunakan adalah interpretatif-induktif-kualitatif dengan penggabungan antara soft systems methodology SSM dan grounded theory. Hasil dari penelitian ini berupa model konseptual yang menggambarkan proses industri kecil logam di industri kecil tradisional logam Kiara Condong dalam membangun keunggulan kompetitifnya. Perilaku strategis yang ditemukan pada penelitian ini terdiri dari empat model, yaitu model perilaku penentuan strategi, model perilaku pelaksanaan produksi, model perilaku pelaksanaan litbang dan inovasi, serta model perilaku pelaksanaan pemasaran. Surminah et al. 2007 melakukan kajian tentang penggunaan soft systems methodology SSM dalam kemitraan antara lembaga litbang pemerintah dengan industri. Kajian ini fokus pada penggunaan metodologi SSM dan menyajikan ilustrasi proses dan luaran metodologi SSM dalam memahami kemitraan antara lembaga litbang pemerintah dengan industri. Kesimpulan yang didapatkan antara lain 1 SSM dapat dijadikan alternatif pendekatan untuk memahami dan menyelesaikan masalah yang terjadi pada litbang pemerintah seperti masalah kemitraan antara lembaga litbang pemerintah dengan industri; dan 2 Penggunaan SSM dalam konteks kemitraan litbang pemerintah dengan industri perlu memperhatikan masalah komunikasi, budaya organisasi, peraturan yang berlaku di antara pihak yang terlibat untuk mengurangi konflik dalam penggunaan metode ini. 83 Djamhari 2006 melakukan kajian tentang faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan sentra UKM menjadi klaster dinamis. Faktor-faktor yang secara tunggal atau berkombinasi, mempengaruhi daya hidup viability klaster UKM adalah jejaring kemitraan, inovasi teknologi, modal SDM dan kewirausahaan, infrastruktur fisik, keberadaan perusahaan besar, akses ke pembiayaan usaha, layanan jasa spesialis, akses terhadap pasar dan informasi pasar, akses terhadap layanan pendukung bisnis, persaingan, komunikasi, dan kepemimpinan. Intensitas dan spektrum kekuatan variabel ini beragam, dan hal ini dipengaruhi oleh kondisi internal dan eksternal klaster itu sendiri. Pada kondisi internal, faktor yang berpengaruh antara lain usia kematangan klaster, keragaman usaha homogeneity, tingkat resiko bisnis diantara UKM di dalamnya, dan probabilitas pelaku usaha dalam klaster akan tetap berafiliasi dengan klasternya. Faktor eksternal yang menonjol adalah faktor stabilitas ekonomi makro yang mempengaruhi iklim usaha, kelangsungan order, dan pelaku baru business new entrants yang memperburuk suasana persaingan pasar, dan last but not least, adalah regulasi pemerintah. Martin et al. 2008 melakukan kajian tentang penatakelolaan kawasan hutan rawan konflik melalui pendekatan metodologi sistem lunak. Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan pemahaman opini stakeholder yang berbeda terpencar terhadap perubahan yang diinginkan dan memungkinkan, dengan menggunakan metodologi sistem lunakSSM Soft System Methodology. Kesimpulan yang didapatkan, bahwa 1 prinsip-prinsip SSM yang dijalankan melalui strategi fasilitasi reflektif mampu mengubah suasana konflik yang disebabkan oleh perbedaan perspektif dan kepentingan menjadi media pembelajaran sosial saling memahami, sehingga menghasilkan langkah penatakelolaan bagi blok agroforestri hutan penelitian benakat yang semula “tidak terkelola”, dan 2 fase intervensi dalam tahapan SSM ini belum secara signifikan mengubah sikap para pihak terhadap preferensi tata guna lahan. Ini berarti potensi konflik dalam masa depan tetap ada, namun berpeluang untuk dikelola setelah terbukanya jalur komunikasi antarpihak melalui beragam aktivitas pengelolaan bersama.