1
BAB I PENDAHULUAN
Pada bab I ini akan dikemukakan latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan definisi operasional.
1.1 Latar Belakang Masalah
Pembelajaran adalah proses belajar yang dilakukan oleh siswa di suatu lingkungan melalui bantuan guru sebagai fasilitator. Pembelajaran yang efektif
dan efisien setidaknya berfokus pada dua tujuan penting dari sekian banyak tujuan pendidikan, yakni meretensi dan mentransfer Anderson Krathwohl, 2010: 94.
Tujuan meretensi dalam pembelajaran menuntut siswa untuk mengingat apa yang sudah mereka pelajari, sedangkan mentransfer menuntut siswa bukan hanya
mengingat, tetapi juga memahami dan menggunakan apa yang sudah dipelajari. Sebagaimana dalam Taksonomi Bloom, kategori proses kognitif yang paling
dekat dengan meretensi adalah mengingat, sedangkan lima kategori lainnya merupakan proses-proses kognitif yang digunakan untuk mentransfer Anderson
Krathwohl, 2010: 95. Semakin tinggi dimensi proses kognitif akan menunjukkan semakin baik pembelajaran dan semakin maksimal pula
pengetahuan dan pengalaman belajar siswa. Pembelajaran yang baik menuntut siswa bukan hanya berada pada tahap kemampuan mengingat dan memahami,
melainkan mampu mengaplikasi, menganalisis, bahkan mengevaluasi dan mencipta.
Pembelajaran di Sekolah Dasar berdasarkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan KTSP dilaksanakan pada masing-masing mata pelajaran atau
disiplin ilmu, salah satunya Ilmu Pengetahuan Alam IPA. IPA adalah suatu pembelajaran pengetahuan alam yang disusun secara sistematis berdasarkan
observasi dan penelitian. IPA sebagai salah satu disiplin ilmu memiliki peranan yang penting terutama bagi anak-anak di Sekolah Dasar. Samatowa 2011: 2
menyatakan bahwa IPA di Sekolah Dasar membuka kesempatan untuk memupuk rasa ingin tahu anak didik secara alamiah untuk membantu mengembangkan
kemampuan bertanya dan mencari jawaban berdasarkan bukti yang ada. Amien 1987: 15 menyebutkan bahwa produk dan sasaran IPA antara lain adalah
2
konsep, prinsip, dan teori ilmiah. Proses pembelajaran yang demikian dapat mengembangkan potensi siswa yang berujung pada pembentukan sikap,
kecerdasan, dan karakter siswa sesuai dengan kebutuhannya. Dalam implementasinya, pembelajaran IPA Sekolah Dasar di Indonesia
secara umum masih terbatas pada tahap meretensi atau terbatas pada kemampuan mengingat dan memahami oleh siswa. Kemampuan pada tahap mentransfer atau
kemampuan mengaplikasi hingga mencipta masih belum dioptimalkan. Hal ini dibuktikan melalui data hasil studi oleh Programme of International Student
Assessment PISA yang berbasis di Paris. PISA melakukan penelitian terhadap siswa-siswa usia 15 tahun dari negara-negara anggota Organisation for Economic
Co-operation and Development OECD dan negara-negara mitra yang menghasilkan studi pada tahun 2009 untuk memetakan bagaimana tingkat literasi
dalam membaca, matematika, dan sains di negara-negara tersebut OECD, 2010. Tujuan dari studi tersebut adalah mengukur bagaimana para siswa menggunakan
pengetahuan dan keterampilan mereka dalam menghadapi tantangan-tantangan hidup yang konkret. Studi tersebut terutama menyoroti kemampuan-kemampuan
berpikir tingkat tinggi seperti kemampuan mengolah informasi, kemampuan melihat keseluruhan masalah secara holistik, hingga kemampuan menarik benang
merah dari beragam data yang tersedia. Dari 65 negara yang diteliti, capaian tingkat literasi siswa siswi Indonesia berada dalam urutan 57 OECD, 2009: 8.
Khusus untuk literasi sains, dikatakan bahwa hasil tes yang diperoleh negara- negara yang masuk dalam daftar penelitian tersebut tidak berubah antara tahun
2003, 2006, dan 2009. Sementara itu, pada tahun 2012 Indonesia mengalami penurunan peringkat untuk literasi sains yaitu 64 dari 65 negara OECD, 2012 :
232. Penurunan peringkat tersebut menunjukkan bahwa para siswa Indonesia mengalami kesulitan yang serius dalam berbagai kategori kemampuan berpikir
tingkat tinggi. Kemampuan mengaplikasi dan menganalisis merupakan dua kemampuan berpikir tingkat tinggi yang sangat diperlukan sebagai langkah awal
untuk menghadapi tantangan-tantangan hidup yang konkret. Rendahnya tingkat literasi sains para siswa di Indonesia seharusnya menjadi
keprihatinan bersama. Hal tersebut berhubungan dengan kurang maksimalnya pengembangan kemampuan berpikir tingkat tinggi mentransfer pada siswa, yang
3
dapat menghambat siswa untuk menghadapi tantangan-tantangan hidup yang konkret. Dalam hal ini, kemampuan mengaplikasi dan menganalisis sangat
diperlukan untuk menghadapi tantangan-tantangan hidup yang konkret. Salah satu penyebab kurangnya pengembangan berpikir tingkat tinggi pada siswa adalah
model pembelajaran di sekolah-sekolah yang masih banyak menggunakan metode pembelajaran tradisional dengan ceramah. Sani 2013: 159 mengungkapkan
bahwa pembelajaran dengan metode ceramah hanya menggunakan interaksi satu arah dari sumber belajar, yaitu guru. Pembelajaran dengan metode ini didominasi
komunikasi lisan dari guru ke siswa. Gurulah yang lebih aktif dalam proses pembelajaran, sehingga para siswa dengan sendirinya kurang diberi kesempatan
untuk mengembangkan cara-cara berpikir pada level yang lebih tinggi dari sekedar menghafal. Oleh karena itu, diperlukan metode pembelajaran yang lebih
bisa memfasilitasi siswa untuk aktif mengembangkan kemampuan berpikir tingkat tinggi.
Berdasarkan realitas yang terjadi, penelitian dengan metode inovatif perlu dilakukan untuk memfasilitasi siswa dalam mengembangkan kemampuan berpikir
tingkat tinggi. Berbagai penelitian dan jurnal pernah diterbitkan untuk mendukung pengembangan kemampuan berpikir tingkat tinggi dengan metode tertentu
misalnya Kurniawati, 2014; Yuli, 2012; Pinar Filiz, 2010; dsb. Berkaitan dengan hal tersebut, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian menggunakan
salah satu metode yang diduga dapat mengoptimalkan kemampuan berpikir tingkat tinggi, yaitu metode inkuiri. Sanjaya 2006: 194 menjelaskan bahwa salah
satu strategi inkuiri menekankan kepada aktivitas siswa secara maksimal untuk mencari dan menemukan, artinya strategi inkuiri menempatkan siswa sebagai
subjek belajar. Dengan kata lain, metode inkuiri menitikberatkan pada aktivitas dan pemberian pengalaman belajar secara langsung kepada siswa. Pengalaman
belajar secara langsung inilah yang menjadi fokus untuk pembelajaran yang menekankan penemuan sesuatu melalui proses mencari dengan menggunakan
langkah-langkah alamiah. Dalam hal ini, rangkaian kegiatan pembelajaran inkuiri menekankan proses berpikir secara kritis dan analitis untuk mencari dan
menemukan sendiri jawaban dari suatu masalah yang dipertanyakan. Sanjaya 2006: 199-203 mengemukakan 6 langkah pelaksanaan pembelajaran inkuiri
4
yaitu 1 orientasi, 2 merumuskan masalah, 3 mengajukan hipotesis, 4 mengumpulkan data, 5 menguji hipotesis, dan 6 merumuskan kesimpulan.
Penelitian ini hanya dibatasi pada pengaruh penerapan metode inkuiri terhadap kemampuan mengaplikasi dan menganalisis siswa kelas V SD
BOPKRI
Gondolayu Yogyakarta semester gasal tahun ajaran 20152016 khususnya pada mata pelajaran IPA Kompetensi Dasar 1.1 yaitu “Mengidentifikasi fungsi organ
pernapasan manusia”. Peneliti memilih SD BOPKRI Gondolayu sebagai tempat
penelitian karena sekolah ini memiliki berbagai prestasi akadamik maupun nonakademik. Salah satu prestasi akademik yang diperoleh adalah mendapat nilai
tertinggi hasil Ujian Nasional UN tahun 2014-2015 untuk sekolah Kristen se- Yogyakarta. Lokasi sekolah ini sangat strategis dan mudah dijangkau, serta
memiliki kelas pararel yang tepat digunakan untuk penelitian eksperimen. Kelas yang digunakan untuk penelitian adalah kelas V-1 sebagai kelompok eksperimen
dengan jumlah siswa sebanyak 30 anak dan kelas V-2 sebagai kelompok kontrol dengan jumlah siswa sebanyak 30 anak. Jenis penelitian yang digunakan dalam
penelitian ini adalah penelitian quasi experimental design tipe nonequivalent control group design.
1.2 Rumusan Masalah