2.3.2.1.1 Wayang Kertas 1244
Karena gambar-gambar yang terdapat pada daun tal itu ter- lalu kecil untuk dipertunjukan, maka Raden Kudalaleyan atau yang
disebut Prabu Surya Hamiluhur dari Pajajaran memperbesar gambar wayang tersebut di atas kertas pada tahun 1244 1166 Caka, de-
ngan sengkalan: hyang gono rupaning jalmo.
2.3.2.2 Wayang Beber Purwa 1361
Prabu Bratono dari kerajaan Majapahit membuat wayang Beber Purwa untuk ruwatan pada tahun 1361 1283 Caka, dengan
sengkalan: gunaning pujangga nembah ing dewa. Pendapat terse- but tidak sesuai dengan ilmu sejarah, karena pada tahun 1350-1389
yang bertahta di Majapahit adalah Raja Hayam Wuruk; kecuali apa- bila Prabu Bratono adalah juga Prabu Hayam Wuruk. Wayang Beber
Purwa dimaksudkan suatu pergelaran wayang mBeber cerita-cerita purwa Ramayana atau Mahabharata.
2.3.2.3 Wayang Demak 1478
Berhubung wayang Beber mempunyai bentuk dan roman muka seperti gambar manusia, sedangkan hal itu sangat bertenta-
ngan dengan agama dan ajaran Islam, maka para Wali tidak menye- tujuinya. Penggambaran manusia merupakan kegiatan yang dinilai
menyamai, setidak-tidaknya mendekati kekuasaan Tuhan. Hal terse- but di dalam ajaran Islam adalah dosa besar. Akhirnya wayang Be-
ber kurang mendapat perhatian oleh masyarakat Islam dan lenyap- lah wayang Beber tersebut dari daerah kerajaan Demak. Kemudian
para Wali menciptakan wayang purwa dari kulit yang ditatah dan di- sungging bersumber pada wayang zaman Prabu Jayabaya. Bentuk
wayang diubah sama sekali, sehingga badan ditambah panjangnya, tangan-tangan memanjang hampir mendekati kaki. Selain itu leher,
hidung, pundak dan mata diperpanjang supaya menjauhi bentuk ma- nusia. Yang tinggal hanya gambaran watak manusia yang tertera pa-
da bentuk wayang purwa tadi. Hal ini dilakukan pada tahun 1518 1440 Caka, dengan sengkalan: sirna suci caturing dewa. Dan pada
tahun 1511 1433 Caka, dengan sengkalan: geni murub siniraming wong, semua wayang Beber beserta gamelanya diangkut ke De-
mak, setelah kerajaan Majapahit runtuh pada tahun 1478. Dari urai- an tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa wayang Kulit Purwa se-
perti yang kita lihat sekarang ini merupakan penjelmaan dari hasil ciptaan para Wali Sembilan Wali Sanga dalam abad ke-XVI.
2.3.2.4 Wayang Keling 1518
Wayang Keling merupakan satu-satunya jenis wayang di daerah pesisir utara pulau Jawa, yakni di Pekalongan. Munculnya
wayang tersebut berkaitan dengan masuknya agama Islam di Jawa, menjelang runtuhnya kerajaan Majapahit 1518 – 1522. Masa per-
Di unduh dari : Bukupaket.com
golakan Majapahit Paregreg, membuat orang-orang yang kokoh mempertahankan agama Hindu-Budha-nya lari berpencar ke daerah-
daerah lain dan keturunan-keturunan mereka kemudian menciptakan seni budaya baru dengan cerita-cerita pewayangan baru.
Meskipun dalam sepintas lalu wayang Keling tersebut mirip wayang kulit Jawa, namun perbedaan nampak menonjol pada ge-
lung cupit urang yang tidak sampai pada ubun-ubun. Antawacana- nya memakai bahasa rakyat setempat, dan satu hal yang menarik
dalam pagelaran wayang Keling tersebut ialah bahwa tokoh Wisang- geni dan Wrekodara bisa bertata krama dengan menggunakan baha-
sa halus Kromo Inggil.
Keling, seperti yang disebutkan dalam buku karya dua pe- nulis R. Suroyo Prawiro dan Bambang Adiwahyu, semula bermaksud
mengenang nenek moyang mereka yang datang dari Hindustan ma- suk ke Jawa untuk pertama kalinya, di samping itu juga sebagai ke-
nang-kenangan dengan adanya kerajaan Budha di Jawa yang dise- but kerajaan Kalingga.
Wayang Kelingpun jauh berbeda dengan Wayang Purwa. Silsilah wayang tersebut rupanya paling lengkap sejak zaman Nabi
Adam, Sang Hyang Wenang hingga Paku Buwono IV yaitu raja Su- rakarta Th. 1788 – 1820. Hal tersebut kiranya kurang rasioanl, me-
ngingat tidak adanya buku-buku atau catatan-catatan resmi yang menyatakan bahwa Sang Hyang Wenang adalah keturunan Nabi
Adam. Dalam pementasan wayang Keling, dalang berfungsi pula se- bagai Pendita atau Bikhu dengan memasukkan ajaran-ajaran dari
kitab Weda ataupun Tri Pitaka dalam usaha melestarikan agama Hindu dan Budha. Dengan demikian sang dalang termasuk juga se-
bagai pengembang faham Jawa Kejawen di daerah Pekalongan dan sekitarnya.
2.3.2.5 Wayang Jengglong