2.3.2.11 Wayang Krucil 1648
Raden Pekik di Surabaya membuat wayang Krucil pada ta- hun 1648 1571 Caka, dengan sengkalan: watu tunggangngane buta
widadari. Wayang ini dibuat dari kayu pipih papan berbentuk se- perti wayang kulit dan diukir seperlunya. Hanya tangan-tangannya
terbuat dari kulit. Pertunjukan wayang ini dilakukan pada umumnya di siang hari dan tidak menggunakan kelir. Kemudian untuk seterus-
nya wayang Klithik ini digunakan untuk pergelaran cerita Damarwu- lan-Minakjingga, sedang wayang Krucil untuk cerita-cerita dari kitab
Mahabharata, yang kemudian wayang tersebut disebut wayang go- lek Purwa. Cerita Damarwulan-Minakjingga adalah melambangkan
pertentangan antara Damarwulan sebagai bulan dan Minakjingga se- bagai matahari.
Wayang Klithik juga mengenal ciri-ciri menurut gayanya an- tara lain gaya Yogyakarta, gaya Surakarta, dan gaya Mangkunega-
ran. Pada gaya Yogyakarta bentuk wayang tersebut nampak kurang anatomis terutama pada pahatan kakinya, sehingga mengarah pada
bentuk primitif.
Sedangkan gaya Surakarta dan gaya Mangkunegaran men- dekati bentuk wayang kulit yang nampak arstistik dan mengarah pa-
da sifat kehalusan dan ketenangan. Untuk mengiringi pertunjukan wayang Klithik dipakainya gamelan dengan laras Slendro yang ber-
jumlah lima macam, yakni kendang, saron, kethuk-kenong, kempul barang dan gong suwuk-an. Irama gamelan pada umumnya sangat
monotoon seperti irama kuda lumping jathilan.
Pada setiap adegan jejeran ki dalang mengiringinya dengan tembang macapat seperti Dandang Gula, Sinom, Pangkur, Asma-
radana dan lain sebagainya. Tembang-tembang tersebut berperan sebagai suluk dalam pertunjukan wayang kulit.
Pada masa lalu pertunjukan wayang Klithik merupakan per- tunjukan ritual sakral tak ubahnya seperti pertunjukan wayang kulit
Purwa. Namun karena kondisi dan vareasi pertunjukannya yang se- cara teknis terlalu statis serta dalang yang berpegang teguh pada a-
turan baku dan sangat terikat pada lakon tertentu, tanpa mau me- ngembangkannya, sehingga pertunjukan tersebut tidak mampu me-
menuhi selera zaman dan banyak penonton yang meninggalkannya.
Selain itu ceritanyapun berkisar pada babad Majapahit tan- pa timbulnya cerita-cerita carangan atau gubahan baru. Pengaruh
modernisasi dan waktu memang membuat banyak upacara-upacara ritual yang sakral serta seni budaya tradisional makin lama makin le-
nyap karena telah kehilangan pamornya.
Di unduh dari : Bukupaket.com
Gambar 1.10 Wayang Golek Cirebon atau Wayang Cepak
2.3.2.12 Wayang Sabrangan 1704