Peragaan wayang dilakukan sambil berdiri di balik layar yang luas dengan sorot cahaya lampu yang berubah-ubah serta ber-
warna-warni. Untuk memperoleh bayangan yang besar maka ki da- lang menggerakkan wayang dengan mendekat ke lampu.
Bagaimanapun juga, ternyata wayang Sandosa yang bersi- fat kolektivitas dengan bentuk mirip teater di balik layar itu, telah me-
nambah khasanah budaya bangsa kita.
2.3.2.22 Wayang Wong Wayang Orang 1757 – 1760
Salah satu pengisian Kebudayaan Nasional pada pergela- ran wayang serta untuk meresapi seni dialog wayang antawacana
dan menikmati seni tembang, K.B.A.A. Mangkunegoro I 1757 – 1795 telah menciptakan suatu seni drama Wayang Wong yang pe-
laku-pelakunya terdiri dari para pegawai kraton Abdi Dalem. Menu- rut K.P.A. Kusumodilogo dalam bukunya yang berjudul Sastramiruda
tahun 1930 menyatakan, wayang wong tersebut dipertunjukan untuk pertama kalinya pada pertengahan abad ke-XVIII + 1760. Konon
wayang ini mendapat tantangan yang hebat, bahkan dengan adanya perubahan bentuk tersebut diramalkan orang kelak akan timbul ke-
sulitan atau celaka dan penyakit, demikian menurut disertasi Dr. G- .A.J. Hazeu di Leiden pada tahun 1897 dengan judulnya Bijdrage tot
het Kennis van het Javaansche Tooneel. Ternyata pendapat tersebut adalah tidak benar, karena setelah pergelaran wayang wong ini di
tangani sendiri oleh Mangkunegoro V pada tahun 1881, wayang ter- sebut menjadi hidup kembali.
Sesuai dengan nama atau sebutannya, wayang tersebut ti- dak lagi dipergelarkan dengan memainkan boneka-boneka wayang,
melainkan menampilkan menusia-manusia sebagai pengganti bone- ka wayang. Kini nampak jelas, bahwa jenis-jenis wayang seperti wa-
yang Purwa, wayang Gedog, mendapatkan namanya dari sifat cerita yang ditampilkan, sedangkan wayang Golek, wayang Wong berda-
sarkan ciri-ciri teknis ataupun bentuk pada boneka-bonekanya.
Sebagai seni hiburan, wayang Wong telah tersebar luas dan dibeberapa kota besar telah berdiri perkumpulan-perkumpulan
wayang orang dengan berbagai macam nama serta mutunya. Na- mun umumnya perkumpulan-perkumpulan atau organisasi-organisa-
si wayang tersebut merupakan wayang orang Purwa, karena pemen- tasannya menggunakan cerita epos Ramayana dan Mahabharata
serta dengan iringan gamelan Jawa laras Slendro dan Pelog.
2.3.3 Wayang Madya
Wayang ini dicipta pada waktu Pangeran Mangkunegoro IV 1853 – 1881 berusaha menggabungkan semua jenis wayang yang
ada menjadi satu kesatuan serta disesuaikan dengan sejarah Jawa sejak beberapa abad yang lalu sampai masuknya agama Islam di
Jawa dan diolah secara urut. Semula Sri Mangkunegoro IV meneri-
Di unduh dari : Bukupaket.com
ma buku Serat Pustaka Raja Madya dan Serat Witaradya dari Raden Ngabehi Ronggo Warsito 1802 – 24 Desember 1873 pada tahun
1870 1792 Caka. Buku tersebut berisikan cerita riwayat Prabu Aji Pamasa
atau Prabu Kusumawicitra dari negeri Mamenang di Kediri, yang ke- mudian kerajaan tersebut pindah ke Pengging atau disebut Pengging
Witaradya. Kesimpulan dari isi buku tersebut berkaitan dengan buku Serat Pustaka Raja Purwa, yang menceritakan riwayat dewa-dewa,
riwayat para Pandawa sampai akhir perang Bharatayuda. Lalu tim- bullah gagasan Sri Mangkunegoro IV untuk membuat jenis wayang
baru, yang dapat menyambung zaman Purwa dengan zaman Jeng- gala dengan cerita-cerita Panji.
Dari gagasan tersebut maka terciptalah jenis wayang baru yang disebut wayang Madya. Wayang Madya adalah satu jenis wa-
yang yang menggambarkan dari badan-tengah ke atas berwujud wa- yang Purwa, sedang dari badan-tengah ke bawah berwujud wayang
Gedog. Wayang Madya tersebut memakai keris dan dibuat dari kulit, ditatah dan disungging.
Gusti Pangeran Aryo Adipati Mangkunegoro IV membagi sejarah wayang dalam tiga masa yang disesuaikan dengan jenis-je-
nis wayang untuk ketiga masa tersebut, yaitu masa pertama dari ta- hun 1 – 785 Caka tahun 78 – 863 Masehi, dari kedatangan Prabu
Isaka Ajisaka sampai wafatnya Maharaja Yudayana di kerajaan As- tina, yang disebut wayang Purwa, masa kedua dari tahun 785 –
1052 Caka tahun 863 – 1130 Masehi, sampai Prabu Jayalengkara naik tahta, yang disebut wayang Madya bahasa Sanskerta: madya =
tengah, masa ketiga dari tahun 1052 – 1552 Caka tahun 1130 – 1431 Masehi, sampai masuknya agama Islam, yang disebut wayang
Wasana bahasa Sanskerta: wasana = akhir
Di unduh dari : Bukupaket.com
Gambar 1. 14 Yudayaka Wayang Madya
Tokoh-tokoh wayang yang mendominasi akhir wayang pur- wa adalah putra-putra keturunan Pandawa antara lain Sasikirana
anak Gathotkaca, Sangasanga anak Satyaki, Dwara anak Samba, serta anak-anak keturunan Parikesit, yaitu Yuda-yaka, Yudayana,
dan Gendrayana. Gendrayana adalah cucu Perikesit yang merupa- kan tokoh terakhir dari wayang Purwa dan kemudian dilanjutkan oleh
Prabu Jayabaya putra Gendrayana, sebagai tokoh Pemula dari wa- yang Madya.
Salah satu cerita wayang Madya bersumber pada Serat Anglingdarma yang aslinya terdapat di Sasana Pustaka Kraton Sura-
karta dengan tokoh-tokoh wayang seperti Angklingdarma dari keraja- an Malwapati serta Batik Madrim sabagai patihnya. Ciri khas wayang
Madya adalah suatu kombinasi perwujudan wayang Purwa dengan wayang Gedog yang tidak satupun tokoh wayangnya menggunakan
busana gelung cupit urang, sedang semua wayang Madya menggu- nakan rambut yang terurai ke bawah seperti pada tokoh wayang
Di unduh dari : Bukupaket.com
Purwa Lesmana Mandrakumara yaitu putra Prabu Duryudana dari negara Astina kelurga Kurawa.
2.3.4 Wayang Gedog