penganut Budha yang terdiri dari kaum bawah, orang-orang miskin digolongkan sebagai umat Budha Hinayana.
3.3.4 Kitab Utara Kandha
Kitab ini termasuk kitab Kandha yang paling baru. Memang dipetik dari cerita Ramayana Walmiki bagian akhir dari Kakawin yang
berbahasa Jawa Kuna. Kitab Utara Kandha yang baru, ditulis de- ngan menggunakan gubahan baru, berbahasa prosa. Isinya berma-
cam-macam gubahan. Rincian ceritanya banyak sekali, misalnya ter- jadinya raksasa-raseksi, yaitu cerita tentang nenek moyang Dasamu-
ka. Juga tentang lahirnya Dasamuka dan sikap dan sifat Dasamuka yang kejam dan tidak hormat kepada para dewa dan pendeta. Bah-
kan cerita Arjunasasrabahu-pun dimuat juga. Dalam kakawin Rama- yana tidak memuat gubahan ini. Kitab Utara Kandha gubahan baru
ini isi pokoknya adalah menceritakan Dewi Sinta ketika sudah pulang ke Ayodya.
Dikisahkan bahwa masyarakat masih mencemburukan ke- pada Sinta tentang kesuciannya selama berada dalam belenggu Da-
samuka. Mendengar berita kecemburuan masyarakat, segeralah Ra- ma menyuruh Sinta pergi dari Ayodya dalam kondisi sedang hamil.
Dalam perjalanannya sampai di sebuah pertapaan yang dihuni oleh seorang Empu bernama Walmiki. Kemudian Sinta tinggal di pertapa-
an tersebut hingga melahirkan bayi kembar laki-laki diberi nama Ku- sa dan Lawa.
Dua orang anak Kusa dan Lawa inilah yang kemudian didi- dik Empu Walmiki sehingga pandai mampu membaca lontar, pandai
bercerita. Bahkan bisa menceritakan kehidupan sang ayah yaitu Sri Rama hingga muncul buku Ramayana. Ketika Sinta akan kembali ke
Ayodya memenuhi panggilan Sri Rama, tiba-tiba setelah beberapa langkah, buminya retak sangat lebar dan Sinta terjerumus ke dalam-
nya dan meninggal. Sri Rama tidak lama kemudian harus pulang ke kahyangan sebagai Wisnu.
3.3.5 Korawaçrama
Dalam kitab ini menyebutkan sang Hyang Taya yang ditem- patkan di atas Sang Hyang Parameçwara Batara Çiwa atau Batara
Guru. Dalam bahasa Jawa kata Taya berarti kosong atau tidak keli- hatan, tidak bisa diraba, bersifat gaib. Sang Hyang Taya adalah na-
ma untuk menyebut Tuhan orang Jawa-asli. Percaya kepada Sang Hyang Taya disebut Kapitayan. Di Jawa Sang Hyang Taya sama de-
ngan Sang Hyang Tunggal atau Sang Hyang Wenang, itulah Tuhan orang Jawa asli dan masih ada nama lain.
Isi Kitab Korawaçrama juga beraneka ragam. Tetapi pokok isinya adalah para Korawa akan dilakonkan membalas dendam ke-
pada Pandawa.
Di unduh dari : Bukupaket.com
Bagawan Abiyasa diminta untuk menghidupkan kembali pa- ra Korawa dan para sekutunya. Mereka-pun hidup atas kehendak
Sang Begawan. Kemudian mereka merencanakan untuk mengada- kan pembalasan terhadap saudara-saudaranya yaitu Pandawa. Su-
dah barang tentu dengan wataknya yang sombong itu mereka akan membuat sakit dan siksa serta susah bagi orang-orang Pandawa, bi-
arlah hidupnya tidak tenteram. Tetapi apa mau dikata, belum lagi sampai kepada pembalasan, habislah cerita itu.
3.3.6 Kitab Bharatayuda saduran baru
Kitab ini jelas menyadur dari Kitab Bharatayuda yang lama. Disadur oleh Kiai Yasadipura jaman kerajaan Surakarta Islam. Tentu
saja banyak hal yang disanggit untuk disesuaikan dengan pemikiran dan penalaran yang diperbarui oleh pengarangnya, dan yang pasti
unsur ke-Islam-an tentu mendasarinya.
Namanya saja menyadur, tentu ada hal-hal yang berbeda atau bahkan dibedakan sebab kondisi maupun situasi alaminya su-
dah mengalami pergeseran. Namun demikian banyak para ahli sas- tra yang mencela atau menyalahkan. Ki Yasadipura pun dalam pe-
nyaduran Bhratayudanya dianggap hanya meraba-raba tidak me- ngerti Bharatayuda aslinya secara mendalam. Kritikan Purbocaroko
yang dianggap meraba-raba itu misalnya begini : Di dalam Kitab Ka- wi bagian 10 bait yang ke-6 berbunyi, “Kunang tawuri sang nrepang
Kuru ya kari lud brahmana, rikan sira sinapa sang dwija sagotra ma- tya laga”. Artinya, “Adapun tawur tumbal atau korban sang Duryu-
dana adalah seorang brahmana dengan cara dibunuh, menyusul- lah tawur Pandawa, oleh sebab itu dikutuknyalah sang Duryudana
oleh sang Brahmana itu, bahwa ia akan mati dalam peperangan ber- sama wangsanya.
Ada lagi yang dianggap meraba-raba atau kurang pas, ba- gian ke-12 bait ke- 5 yang kalimatnya berbunyi: “…prabu ing Ngas-
tina, tawurira pandita Sagotra nak putuneki apan kinarya tawur Ngastina neggih. “ Terjemahan: ….” Prabu di Hastina, tawur atau
korbannya pandita, Sagotra beserta anak cucunya memang sung- guh-sungguh dibuat tawur korban oleh Hastina.” Adapun yang di-
anggap salah faham yang berhubungan dengan Sagotra itu memang sudah lama.
Di dalam lakon Bale Si Gala-gala, Sagotra adalah seorang satriya gunung bang-bangan yang baru saja kawin, tetapi istrinya ti-
dak mencintainya. Berkat petunjuk Raden Arjuna, maka kedua-dua- nya mau saling menyeimbangkan cintanya. Jadilah hubungan suami
istri itu sangat harmonis. Maka bersumpahlah Sagotra “Kelak jika pe- rang Baratayuda terjadi, sanggup menjadi tawur korban untuk para
Pandawa.”
Demikan pula tentang matinya raden Jayad-ratha karena kepalanya terhempas oleh panah yang diceritakan dalam kitab Kawi
Di unduh dari : Bukupaket.com
bagian ke-16 bait ke-7 yang demikian “teka mara ye kisapwani bapa- nya atemah sirah juga.” Artinya “datanglah di pangkuan ayahnya
yang terperanjat karena ternyata hanya kepala saja. Kata ye kisap- wani bapanya dipisahkan menjadi yeki sapwani bapanya. Dalam ki-
tab Jarwa, sapwani lalu menjadi nama ayah raden Jayad-ratha, Ba- gawan Sapwani, yang dalam pewayangan menjadi Sempani.
Dalam kitab Kawi bagian ke-18 bait ke-2 berbunyi : “kuneng apan eweh anggra batane gati karya temen. Si tutu tatanpa nangga-
ha mene kigegong sakareng”, artinya “memang sungguh berat e- wed orang akan menyelesaikan perkerjaan yang penting tetapi si
patuh tak memikirkan barang sesuatu, itulah yang saya jadikan pe- gangan sekarang ini.”
Di sini kata Si tutu tatanpa diterjemahkan berbunyi si patuh tak memikirkan barang sesuatu-pun anut miturut boten mawi …. “
Si tutu ta menjadi Si tutu ka, lalu menjadi Si Tutuka atau Si Gathutka- ca. Memang “ta” dalam bahasa Kawi sering tertukar menjadi “ka”.
Tutuka ada yang mengucap Tutruka. Itu semua terjadi sewaktu Ga- thotkaca minta diri untuk berhadapan dengan Adipat Karna.
Ada lagi ketika prabu Salya meninggal dalam pertempuran. Dewi Satyawati menerima laporan “wonten bhretya kaparcaya ‘tuha
ya ta ‘jar i sira” kita Kawi bagian 44 bait 1. Artinya ada prajurit yang dipercaya, dialah yang berdatang sembah kepadanya. Kata Tuha ya
ta tua ia itu dijadikan nama patih negeri Mandraka bernama Tuha- yata. Dan yang lebih hebat lagi dalam bentuk wayangnya patih Tu-
hayata ini menjadi terbakukan berwujud patihan bermuka hijaubiru. Bermata kedondongan, hidung dempak, berjamang dengan rambut
terurai bentuk oren-gimbal, mengenakan sumping kembang kluwih, kalung ulur-ulur bermacam selendang, berkeris yang nampak ujud-
nya, menandakan ia bukan satriya. Mengenakan gelang berpontoh dan berkeroncong, berkain rapekan tentara, bercelana selendang
cindhe Harjowirogo, Sejarah Wayang Purwa,1982 : 241
Juga anak Raden Setyaki yang berjumlah 9 orang itu tidak disebut nama-namanya, hanya disebut Sang Asanga artinya mereka
yang 9 orang itu. Akhirnya sampai sekarang disebut Raden Sanga- sanga.
Masih banyak gubahan-gubahan yang baru dalam Bharata- yuda Yasadipura. Nampaknya Bharatayuda ini sangat disenangi
banyak orang. Terbukti buku ini sering dicetak tidak di satu tempat. Sedangkan isi ceritanya tetap Korawa dan Pandawa berebut Negara
Hastina.
3.3.7 Sena Gelung