Tantri Kamandaka Sastra Lakon

manusia di pulau Jawa yang kemudian berkembang biak. Mereka belum berpakaian dan belum dapat bertutur kata. Para dewa diperintahkan untuk turun ke tanah Jawa supaya memberikan pelajaran kepada manusia agar mampu berbicara, ber- pakaian, membuat rumah dan alat-alat rumah dan lain sebagainya. Juga diceritakan bahwa pulau Jawa masih terapung sehingga mu- dah bergerak-gerak dan sering seperti timbangan. Sebelah timur be- rat, bagian barat mencuat ke atas dan sebaliknya. Dewalah yang akhirnya menerima perintah untuk menyeimbangkannya. Mereka ter- bang ke tanah Hindu India untuk mengambil puncak gunung Seme- ru dibawa ke pulau Jawa. Dimulai dari sebelah barat tanah gunung tadi dijatuhkan. Tetapi Jawa sebelah timur menjadi mencuat ke atas. Kemudian dari sebelah timur bagian tanah yang dijatuhi muncullah gunung-gunung, berupa gunung Katong atau gunung Lawu, gunung Wilis, gunung Kampud Kelud, gunung Kawi, gunung Arjuna, gu- nung Kemukus dan puncaknya paling akhir jadilah gunung Semeru. Dengan tertanamnya puncak yang memunculkan gunung semeru, maka pulau Jawa tidak lagi bergerak dan bahkan tidak akan bergerak-gerak lagi. Di situ juga diungkapkan tentang terjadinya ger- hana bulan yang menyadur cerita Mengaduk Samodera Manthana atau samudera susu dari kitab Adiparwa. Juga diceritakan tentang Batara Wisnu turun menjadi raja di Jawa bernama Prabu Kandiawan. Kemudian menurunkan putera-pu- teranya Sang Mangukuhan, sang Sandang Garba, sang Katung Ma- laras, sang Karung Kala dan Wreti Kandayun. Cerita prabu Kandi- awan diturunkan ke kitab-kitab babad. Hampir di setiap kitab babad yang menceritakan jaman tersebut menyebut nama Kandiawan dan putera-puteranya. Kitab Tantu Panggelaran terkait dengan kitab babad. Dan di dalam kitab tersebut terdapat nama-nama Medang Kamulyan, Me- dang Tantu, Medang Panataran dan Medang Gana. Dalam kitab Tantu Panggelaran juga memuat cerita yang bersifat Panggeli Hati dan lain-lainnya.

3.3.2 Tantri Kamandaka

Kitab Tantri Kamandaka bersumber pada kitab Pancatan- tra. Tantri Kamandaka berisi cerita tentang dongeng hewan. Namun kitab ini mengawalinya dengan cerita mirip seribu satu malam. Ada seorang raja, setiap malam harus kawin dengan wanita yang masih gadis. Maka semua gadis di negeri itu hilanglah kepera- wanannya. Seorang gadis, anak puteri sang patih tinggal satu-satu- nya yang masih memiliki keperawanan. Ia bernama Dyah Tantri. Cantik rupanya, molek parasnya. Ia tidak luput dari keinginan nafsu sang prabu. Akhirnya Dyah Tantri tidak bisa apa-apa kecuali iya dan iya. Tetapi atas kecerdikannya, Dyah Tantri minta didongengkan se- buah cerita. Karena sang prabu sangat sayang kepadanya, maka Di unduh dari : Bukupaket.com mendongenglah sang prabu. Begitu dongeng tamat sang prabu me- nagih janji, Sang Dyah Tantri tidak menolak. Hanya dengan kelem- butan budi dan bicara sopan, dia merayu mohon agar didongengkan sekali lagi. Mendongenglah sang prabu, dan tamatlah. Tagihan dira- yu minta didongengi dan terus sampai sang prabu sendiri nafsu ka- winnya menjadi berkurang banyak, bukan setiap malam. Maka te- nanglah negeri itu. Dalam kitab ini juga diceritakan tentang prabu Anglingdar- ma yang mengerti akan bahasa dialog hewan. Pada suatu hari, keti- ka sang prabu Anglingdarma sedang berburu di hutan, dilihatnyalah dua ekor ular sedang berlilitan dan bercumbu rayu. Setelah diamati dengan seksama, ternyata si ular betinanya adalah putera sahabat- nya Brahmana Naga raja. Dalam hati sang prabu mengatakan bah- wa perilaku si Nagini itu tidak pantas sebagai anak brahmana. Maka sebagai raja yang juga mempunyai kewajiban menjunjung tinggi go- longan brahmana, ular jantan itu dibunuh. Nagini dipukul sehingga lari terbirit-birit sambil menangis keras hingga mengagetkan para cantrik ular. Setelah tiba dan meng- hadap sang rama brahmana Nagaraja lalu melaporkan tindakan sang prabu Anglingdarma yang berani mau mengumpulinya. Karena tidak mau lalu diperkosa dan dipukuli. Tanpa pikir panjang, sang brahmana Nagaraja langsung menuju ke kerajaan menemui sang prabu Aridarma. Sampai di kerajaan brahmana Nagaraja berubah menjadi ular kecil langsung ke kamar peraduan, yang kebetulan sang prabu sedang beradu. Sebelum tidur sang prabu menceritakan perbuatan buruk si Nagini putera sahabatnya itu kepada permaisuri Dewi Mayawati. Mendengar pembicaraan itu ular kecil itu keluar dari bawah peraduan dengan berujud brahmana, sambil mengucapkan rasa terima kasihnya atas peringatan yang diberikan kepada si Na- gini puterinya. Sang brahmana Nagaraja kemudian berkata kepada prabu Aridarma: “Sang prabu, karena anda telah berjasa kepada brahmana, maka perintahlah apa yang kau kehendaki” Kemudian sang prabu menjawab ingin bisa dan mengetahui bahasa ucap dari semua hewan. Apa yang telah diinginkan prabu Aridarma dikabul- kan, dan mengertilah sang prabu Aridarma terhadap semua bahasa binatang. Pada suatu saat, berdualah sang prabu di peraduan. Sang Aridarma mendengar suara seekor cecak sedang berkata dalam ke- luhannya: “Aduh setia sekali sang prabu Aridarma ini dengan Maya- wati permaisurinya. Sedangkan aku ini punya suami tidak pernah menyayangiku, tidak pernah memegangku seperti sang prabu me- ngasihi sang permaisuri Dewi Mayawati.” Mendengar kata-kata keluhan dan sanjungan untuknya, sang prabu tertawa. Meskipun tawa itu hanya tawa kecil, namun itu sangat mengagetkan sang permaisuri. Maka hal itu ditanyakan dan hati Dewi Mayawati heran dan cemburu. Berhubung sang prabu Ari- Di unduh dari : Bukupaket.com darma tidak menjawab ilmu itu tidak boleh saiapapun mengerti ka- lau menjawab pasti mati. Besar keinginan sang dewi tetapi tidak dija- wab, maka memilih mati dibakar. Semua punggawa diperintahkan untuk membuat tungku perapian. Konon setelah jadi tungku perapian itu dan api mulai menyala, naiklah sang prabu bersama permaisuri. Sebelumnya, sang prabu telah bersedekah kepada fakir miskin dan para biksu. Dengan rukun serta penuh mesra sambil bergandeng ta- ngan terus naik ke tungku perapian. Begitu sampai di puncaknya sang prabu mendengar suara kambing betina bernama Wiwita dan jantannya bernama Banggali. Pada saat itu Wiwita minta diambilkan janur kuning. Tetapi Banggali tidak mau dan Wiwita merasa tidak di- cintai, kemudian ingin mati. “Kalau ingin mati, matilah”, begitu Bang- gali. Demikian sang prabu perasaannya menjadi lebih rendah dari Banggali. Maka turunlah sang prabu dari perapian, tidak jadi masuk ke dalam perapian. Mayawati dan Wiwita akhirnya masuk tungku pe- rapian.

3.3.3 Kunjarakarna