- 2+ : 101 - 200 koloni.
- 3+ : 201 - 500 koloni.
- 4+ : 500 koloni.
2.4.6. Tes Biokimia
Tes biokimia
dilakuan untuk
mengidentifikasi keberadaan
Mycobacterium tuberculosis dengan Mycobacterium Other Than Tuberculosis MOTT. Berbagai tes tersebut antara lain:
1. Merah netral: Untuk membedakan antara Mycobacterium tuberculosis dan Mycobacterium bovis terhadap mycobacterium lainnya. Hasil pada
Mycobacterium tuberculosis dan Mycobacterium bovis adalah positif. 2. Percobaan niasin: Hasil positif berarti Mycobacterium tuberculosis.
3. Nikotinamida 5000 mikrogramµgml: Hasil negatif berarti Mycobacterium tuberculosis.
4. Arysulfatasa: Berdasarkan ada tidaknya enzim arylsulfatasa pada kuman. Enzim ini dapat melepaskan phenolphtalein dari ikatannya pada medium yang
dapat dideteksi dengan alkali. Hasil pada Mycobacterium tuberculosis adalah negatif.
5. Reduksi nitrat: Berdasarkan ada tidaknya enzim nitrat reduktasa yang dapat merubah nitrat menjadi nitrit. Adanya nitrit dapat diketahui dengan reagen
asam sulfanilat. Hasil pada Mycobacterium fortuitum dan Mycobacterium kansasii adalah positif, sedangkan Mycobacterium tuberculosis bisa positif
atau negatif. 6. Hidrolisis Tween-80 selama 10 hari: Berdasarkan ada atau tidaknya hidrolisis
dilihat dengan indikator merah netral. Hasil pada Mycobacterium kansasii adalah positif dan Mycobacterium tuberculosis adalah negatif.
7. Pertumbuhan pada 4 p-nitro-benzoic-acid 500 µgml: Mycobacterium tuberculosis tidak tumbuh, sedangkan Mycobacterium fortuitum tumbuh.
8. Pertumbuhan pada thiacetazone: Mycobacterium tuberculosis tidak tumbuh, sedangkan Mycobacterium fortuitum tumbuh.
17
2.5. Klasifikasi Tuberkulosis
Tipe pasien tuberkulosis ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan TB sebelumnya. Ada beberapa tipe pasien yaitu :
18
1. TB kasus baru, yaitu pasien TB yang belum pernah mendapat pengobatan dengan OAT sebelumnya, atau sudah pernah menggunakan OAT kurang dari
satu bulan.
9
2. TB kasus kambuh relaps, pasien tuberkulosis yang pernah mendapat pengobatan tuberkulosis sebelumnya dan telah dinyatakan sembuh atau
pengobatan tuntas, kemudian kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif atau kultur TB positif.
9
3. TB kasus putus obatdefaultdrop out, yaitu pasien TB yang tidak mengambil obat selama 2 bulan berturut-turut atau lebih sebelum masa pengobatannya
selesai.
9
4. TB gagal terapi, yaitu pasien TB dengan BTA positif yang masih tetap positif atau kembali menjadi positif pada akhir bulan ke-5 satu bulan sebelum akhir
pengobatan.
9
5. TB kasus kronik persisten, pasien TB dengan hasil pemeriksaan BTA masih positif setelah selesai pengobatan ulang kategori 2 dengan pengawasan yang
baik.
9
2.6. Faktor Risiko
Faktor risiko dapat dibedakan menjadi faktor risiko yang dapat diubah modifiable risk factor dan faktor risiko yang tak dapat diubah unmodifiable risk
factor.
23
Faktor risiko tuberkulosis meliputi usia, jenis kelamin, penyakit penyerta, kepadatan hunian dan kondisi rumah, status sosial ekonomi dan
perilaku individu.
1. Usia.
Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar RISKESDAS tahun 2010 menunjukkan peningkatan infeksi tuberkulosis aktif yang terdiagnosa secara
bermakna sesuai dengan bertambahnya umur. Hasil RISKESDAS menunjukkan angka tertinggi prevalensi tuberkulosis pada tahun 2010 berada pada usia 55-64
tahun. Di Indonesia, sebagian besar penderita tuberkulosis terjadi mulai dari usia produktif 15-50 tahun sampai lanjut usia 60 tahun
.4
2. Jenis kelamin.
Hasil survey menunjukkan laki-laki lebih banyak mengalami penyakit tuberkulosis dibandingkan perempuan. Banyak faktor yang melatarbelakangi
19
hal tersebut, terutama pengaruh pola hidup yang tidak sehat termasuk kebiasaan merokok. Pada tahun 2010 hasil survey menunjukkan di Indonesia
sebagian besar penderita tuberkulosis dialami oleh pria 0,819 dibandingkan dengan wanita 0,634.
4
3. Penyakit penyerta.
Umumnya penderita tuberkulosis dalam kondisi malnutrisi dengan berat badan berkisar 30-50 kg atau indeks masa tubuh kurang dari 18,5 pada orang
dewasa. Hal ini juga didukung oleh faktor ekonomi yang buruk terutama untuk menyediakan makanan bergizi cukup sehingga banyak ditemukan
pasien tuberkulosis dengan status gizi buruk. Selain faktor gizi, penyakit seperti Diabetes Melitus DM dan infeksi HIV-AIDS merupakan salah satu
faktor risiko yang tidak berketergantungan untuk meningkatkan kemungkinan terjadinya tuberkulosis. Dalam wabah ini, lebih dari 90 penderita terinfeksi
HIV cenderung terkena infeksi TB dengan cepat dan aktif serta serangan infeksi TB juga relatif tinggi dengan mortalitas tinggi.
24
4. Kepadatan hunian.
Kepadatan penghuni merupakan suatu proses penularan penyakit. Semakin padat maka perpindahan penyakit khususnya penyakit menular
melalui udara akan semakin mudah dan cepat, apalagi terdapat anggota keluarga yang menderita TB dengan BTA+.
Kondisi kepadatan hunian perumahan atau tempat tinggal lainnya seperti penginapan, panti-panti tempat penampungan akan besar pengaruhnya
terhadap risiko penularan. Di daerah perkotaan urban yang lebih padat penduduknya dibandingkan pedesaan rural peluang terjadinya kontak
dengan penderita TB lebih besar.
11
Namun demikian, hasil RISKESDAS pada tahun 2010 menunjukkan hasil yang sedikit berbeda. Prevalensi tuberkulosis
pada tahun 2010 lebih banyak terjadi pada penderita yang tinggal di pedesaan 0,750 dibandingkan dengan perkotaan 0,703.
4
5. Kondisi rumah.
Dari kondisi lingkungan tempat tinggal dapat terlihat tingkat kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat dan kondisi lingkungan yang sehat.
20
Rumah dikatakan baik dan aman, apabila kualitas bangunan dan lingkungan dibuat dengan serasi. Adapun karakteristik rumah sehat antara lain:
a. Bahan bangunannya memenuhi syarat. b. Ventilasi cukup, yaitu minimal luas jendelaventilasi adalah 15 dari
luas lantai. c. Cahaya matahari cukup, di mana cahaya matahari ini dapat diperoleh dari
ventilasi maupun jendalagenting kaca. Suhu udara yang ideal di dalam rumah antara 18-30
o
C. Suhu optimal pertumbuhan bakteri sangat bervariasi, Mycobacterium tuberculosis tumbuh optimal pada suhu 37
o
C. d. Luas bangunan rumah cukup, yaitu luas lantai bangunan rumah harus
cukup sesuai dengan jumlah penghuninya.
11
6. Status sosial ekonomi keluarga
Sosial ekonomi yang rendah akan menyebabkan kondisi kepadatan hunian yang tinggi dan buruknya lingkungan, selain itu masalah kurang gizi
dan rendahnya kemampuan untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang layak juga menjadi problem bagi golongan sosial ekonomi rendah.
Berdasarkan hasil RISKESDAS pada tahun 2010 diketahui bahwa sebagian besar penderita tuberkulosis tidak memiliki pekerjaan yang memadai.
Sebagian bekerja sebagai buruh, nelayan atau petani, sementara sebagian lainnya tidak memiliki pekerjaan. Sama halnya dengan status pendidikan di
mana sebagian besar penderita tuberkulosis tidak pernah mendapatkan pendidikan formalsekolah.
4
7. Perilaku
Perilaku dapat terdiri dari pengetahuan, sikap dan tindakan. Pengetahuan penderita TB Paru yang kurang tentang cara penularan, bahaya dan cara
pengobatan akan berpengaruh terhadap sikap dan prilaku sebagai orang sakit dan akhinya berakibat menjadi sumber penular bagi orang disekelilingnya.
Kebiasaan merokok menjadi salah satu faktor risiko yang sangat mungkin menyebabkan seseorang terinfeksi kuman Mycobacterium tuberculosis. Hasil
penelitian Susanto menyatakan bahwa perempuan lebih sering terlambat datang ke pelayanan kesehatan dibandingkan dengan laki-laki. Hal ini
mungkin berhubungan dengan aib dan rasa malu lebih dirasakan pada perempuan dibanding laki-laki. Perempuan juga lebih sering mengalami
21