Penggunaan Antibiotik Faktor Dominan Resistensi
Studi awal menunjukkan bahwa pasien tuberkulosis paru dengan BTA + terus mengalami peningkatan, terutama tiga tahun terakhir, hal ini juga
didukung dengan prevalensi pasien tuberkulosis di DKI Jakarta yang tinggi, ditandai dengan survei TB dari RISKESDAS tahun 2010 yang menyatakan
bahwa terdapat 1.032 kasus tuberkulosis setiap 100.000 penduduk.
4
Meningkatnya kasus TB di Fatmawati dapat dikarenakan karena tingkat kepadatan penduduk yang tinggi, sehingga kontak dengan penderita TB lebih
besar dibandingkan dengan di pedesaan.
11
Namun, dari keseluruhan populasi pasien TB dalam penelitian ini, hanya sedikit yang mendapatkan pengujian kultur
resistensi kuman Mycobacterium tuberculosis. Selama tiga tahun terakhir 1 Juli 2009
– 31 Juli 2012, hanya diperoleh 88 pasien tuberkulosis dengan hasil pemeriksaan BTA dan pengujian kultur resistensi yang valid. Hal ini disebabkan
karena sebagian besar sputum yang dierima Laboratorium Klinik Instalasi Patologi tidak memenuhi syarat spesimen untuk pemeriksaan BTA, sehingga
tidak bisa dikirim ke laboratorium rujukan untuk dilakukan pengujian resistensi. Selain itu, pasien TB paru di RSUP Fatmawati cenderung sulit untuk
mengeluarkan sputumnya sehingga tidak dapat dilakukan pemeriksaan BTA mikroskopis.
Dari 88 sampel penelitian diketahui 32 pasien di antara mengalami resistensi antibiotik lini pertama 36,36. Resistensi ini terjadi sebagai akibat
dari pengobatan TB yang tidak adekuat dan penularan dari pasien MDR-TB. Pengobatan yang tidak adekuat biasanya disebabkan oleh hal-hal berikut:
1. Regimen, dosis, dan cara pemakaian yang tidak benar. 2. Ketidakteraturan dan ketidakpatuhan pasien untuk minum obat.
3. Terputusnya ketersediaan OAT. 4. Kualitas obat yang rendah.
32
Hasil pemeriksaan sputum BTA yang dilakukan laboratorium RSUP Fatmawati menunjukkan bahwa dari tiga kali pengumpulan sputum SPS, waktu
terbaik untuk mengetahui jumlah kuman Mycobacterium tuberculosis yang sebenarnya adalah saat sputum pertama di pagi hari. Ini dikarenakan pada pagi
hari sputum penderita TB sudah terbentuk sejak penderita beristirahat di malan hari Hal ini dibuktikan dengan hasil BTA+ yang lebih banyak dibandingkan
hasil negatifnya, sementara pada pemeriksaan sewaktu baik awal kunjungan
62
maupun saat diminta mengeluarkan sputum, hasil pemeriksaan tidak terlalu signifikan dan masih banyak pasien yang memperoleh hasil BTA -.
Hasil survei RISKESDAS tahun 2010 menyatakan bahwa pasien TB sebagian besar berada pada usia 55-64 tahun dan pada usia produktif 25-54
tahun.
4
Selain itu, hasil penelitian di RSUP Persahabatan menyatakan bahwa kasus resistensi tuberkulosis tertinggi terjadi pada usia 25 - 34 tahun sebanyak
35,6.
25
Hal serupa juga ditemukan pada distribusi umur sampel penelitian. Pada 88 sampel penelitian sebagian besar pasien TB berusia 21-60 tahun usia
produktif. Hal ini terjadi karena pada usia produktif tingkat penularan TB lebih tinggi, karena pasien mudah berinteraksi dengan orang lain, dan mobilitas yang
tinggi.
25
Akibat yang dapat timbul adalah terjadi penurunan produktivitas pada pasien TB tersebut yang berdampak pada penurunan perekonomian pasien, dan
mempengaruhi kemampuan pasien untuk memenuhi pengobatan TB. Hal inilah yang mendorong terjadinya resistensi TB.
33
RISKESDAS tahun 2010 menyatakan bahwa laki-laki lebih berisiko terserang tuberkulosis daripada perempuan.
4
Selain itu penelitian di RSUP Persahabatan menemukan pasien tuberkulosis resisten yang berjenis kelamin laki-
laki lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan.
25
Namun pada 88 sampel penelitian pasien wanita lebih banyak dibandingkan dengan laki-laki. Meskipun
demikian, hasil pengujian kultur resistensi menunjukkan bahwa laki-laki lebih banyak mengalami kasus resistensi tuberkulosis dibandingkan dengan
perempuan, sesuai dengan penelitian di RSUP Persahabatan. Hal ini dapat terjadi karena umumnya laki-laki enggan mengkonsumsi obat tuberkulosis secara rutin
dibandingkan dengan perempuan, ditambah dengan pengaruh pola hidup yang tidak sehat. Perempuan lebih sering mengalami kekhawatiran akan dikucilkan
dari keluarga dan lingkungan akibat penyakitnya.
25
Ditinjau dari jenis pasien tuberkulosis sebagian besar berasal dari pasien umum, artinya seluruh biaya pemeriksaan dan pengobatan tuberkulosis
dibebankan kepada pasien yang bersangkutan. Yang menjadi masalah bagi pasien umum adalah:
1. Pasien tuberkulosis umumnya diderita oleh masyarakat dengan tingkat ekonomi menengah ke bawah sehingga banyak yang tidak menjalani
pengobatan tuberkulosis hingga tuntas dengan alasan ekonomi yang sulit.
4
63
2. Pasien tersebut sakit dan menjadi tidak produktif, akibatnya sosio- ekonomi menjadi rendah dan pasien tidak bisa membayar biaya
pengobatan secara rutin, terlebih dengan biaya obat-obatan yang mahal.
33
Ditinjau dari jenis tuberkulosis yang diderita pasien di RSUP Fatmawati, diketahui bahwa tuberkulosis kasus baru masih banyak ditemukan. Hal ini
disebabkan faktor kepadatan penduduk sehingga tingkat penularan penyakit menjadi lebih tinggi.
11
Namun demikian, sebagian besar kasus tuberkulosis terutama tuberkulosis resisten terjadi pada pasien TB relaps kasus kambuh. TB
relaps terjadi karena pengobatan TB yang tidak tuntas sehingga M.tuberculosis yang masih ada dapat kembali menginfeksi pasien dengan kemungkinan kuman
tersebut menjadi resisten.
9
Pasien putus obat juga dapat mengalami resistensi karena pasien yang putus obat tersebut harus mengulang pengobatan tuberkulosis
lagi hingga tuntas.
32
Penggunaan antibiotik yang tidak terkontrol, pemilihan antibiotik yang tidak tepat, dosis yang tidak sesuai, lamanya waktu pemakaian dan kemungkinan
terjadinya putus obat dapat menyebabkan kuman menjadi resisten terhadap antibiotik tersebut.
32
Hasil pencatatan penggunaan antibiotik pada 32 pasien resisten tuberkulosis menunjukkan bahwa sebagian besar pasien yang mengalami
resistensi tuberkulosis menggunakan antibiotik rifampisin selama masa pengobatannya. Hal ini dikarenakan umumnya pasien tuberkulosis diresepkan
obat anti tuberkulosis dengan sistem DOTS, yaitu berupa obat kombinasi dosis tetap yang mengandung rifampisin, isoniasid, etambutol dan pirazinamid,
sementara pasien yang diresepkan antibiotik streptomisin umumnya karena ditemukan keterangan bahwa pasien tersebut mengalami hipersensitivitas
terhadap rifampisin. Keterangan tersebut diperoleh dari data pemeriksaan dokter yang terdapat di dalam rekam medis. Pada kasus tertentu, di mana pasien
tuberkulosis tersebut dicurigai mengalami MDR-TB maka pengobatan tuberkulosis yang diberikan berupa antibiotik lini kedua, seperti golongan
quinolon, amikasin, dan sebagainya.
9
Hasil penelitian
Susi tahun
2008 mengenai
pola resistensi
Mycobacterium tuberculosis pada narapidana di lembaga permasyarakatan Medan pada tahun 2007 menyebutkan bahwa telah terjadi resistensi antibiotik
rifampisin 40 dan streptomisin 86,7.
1
Hasil penelitian tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan hasil penelitian yang dilakukan di RSUP Fatmawati, di
64