140 Rasulullah saw.
2. Menangis yang Dilarang
Jika menangisi mayit secara wajar sebagai wujud kasih sayang kepada sesama dibolehkan, maka jika hal itu dilakukan secara berlebih-lebihan, ia
menjadi tercela dan karenanya dilarang. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa Hadis mengenai
menangisi mayit setidaknya didapatkan 71 jalur periwayatan dengan redaksi yang tidak terlalu jauh berbeda. Dari jumlah tersebut, 47 riwayat secara tegas
menandaskan bahwa tangisan dapat melahirkan siksaan bagi mayit, dan 24 riwayat di antaranya menjelaskan klarifikasi atau koreksi yang dilakukan Siti
‘Aisyah r.a.w.57 H. terhadap Hadis-hadis tersebut yang diriwayatkan ‘Umar r.a. w.23 H. dan Abdullâh bin ‘Umar r.a. w.73 H..
Apakah klarifikasi yang dilakukan Siti ‘Aisyah r.a. menggugurkan keberadaan Hadis-hadis tersebut?
al-Syaikh Ibn al-Qayyim al-Jauzi w.751 H. dalam Syarh Sunan Abî Dâwûd menjelaskan bahwa riwayat ‘Umar r.a. w.23 H. dan Ibn ‘Umar
r.a.w.73 H. telah disepakati oleh sekelompok sahabat yang lain. Riwayat inipun dicantumkan dalam “al-Sahîhain”. Sahabat Anas dan Abû Mûsâpun
menjadi saksi terhadap riwayat ‘Umar r.a. Sahabat lain yang ikut terlibat dalam periwayatan ini adalah Hafsah, Suhaib, dan Mughîrah bin Syu’bah.
Demikian Ibn al-Qayyim.
177
Berikut ini beberapa pemahaman yang disampaikan para ulama berkaitan dengan keragaman redaksi hadis tersebut:
177
Ibn al-Qayyim, Syarh Sunan Abî Dâwûd, Juz 8, h. 400-401
141 Pertama: Imam Badruddîn al-‘Aini w.855 H. menyatakan bahwa
berdasarkan riwayat Imam al-Baihaqî w.548 H. dalam “Sunan”-nya, Imam al-Syâfi’î w.204 H. cenderung kepada pendapat Siti ‘Aisyah w.57 H..
Pandangan istri Nabi ini dinilai lebih terpelihara berdasarkan al-Qur’an dan Sunnah. Di antara ayat-ayat yang mendukung adalah: QS. Ali ‘Imrân3:164;
al-Isrâ17:15; Fâtir35:18; al-Zumar39:38-39; Tâhâ20:15, dan al-Zalzalah:78. Sedangkan Hadis yang mendukung adalah Hadis yang telah dicantumkan di
atas. Imam al-Syâfi’î berpendapat bahwa dengan Hadis tersebut Rasulullah, sebagaimana juga Allah, ingin menjelaskan bahwa kejahatan yang dilakukan
setiap orang akan menjadi tanggung jawabnya sendiri, bukan tanggung jawab orang lain.
178
Akan tetapi, menurut al-Qurtubî w.567 H. bahwa pengingkaran ‘Aisyah terhadap Hadis dimaksud dan menghukumkan bahwa rawi ‘Umar r.a.
dan Ibn ‘Umar r.a. telah melakukan kesalahan, atau lupa, atau diduga hanya mendengar sebagian redaksi saja merupakan dugaan yang jauh. Bahkan oleh
Ibn Qutaibah w.236 H. dinilai hanya sebagai dugaan zannî dan penakwilan Siti ‘Aisyah saja. Sebab para sahabat yang meriwayatkan makna Hadis
tersebut banyak dan mereka tidak meragukannya. Kalaupun menurut beberapa riwayat Ibn Abî Mulaikah bahwa ketika Ibn ‘Umar r.a. mendengar
“sanggahan” ‘Aisyah berdiam diri saja, menurut al-Qurtubî w.567 H. hal ini bukan karena beliau ragu. Boleh jadi menurut beliau, Hadis riwayat beliau
memungkinkan untuk menerima takwil, atau mungkin kondisi yang tidak
178
al-Kandahlawi, Aujaz al-Masâlik, Juz 4, h. 270; Badruddîn al-‘Ainî, ‘Umdah al-Qârî, Juz 8, h. 79
142 memungkinkan beliau berbicara.
179
Kedua: Jumhur ulama, di antaranya al-Muzannî w.264 H., Ibrâhîm al-Harbî, sebagian ulama Syafi’iyah termasuk Imam al-Nawawî,
mentakwilkan bahwa siksa itu berlaku bagi orang yang berwasiat kepada keluarganya untuk diratapi setelah kematiannya. Sedangkan jika keluarganya
menangisinya tanpa wasiat sebelumnya, hal ini tidaklah terlarang,
180
karena hal ini merupakan rahmat Allah. Begitulah yang juga ditunjukkan oleh Rasul
saw. saat kematian anggota keluarganya sambil mengatakan, “Ini merupakan rahmat yang dianugerahkan Allah kepada hati hamba-hamba-Nya. Allah
hanya memberikan rahmat kepada hamba-hamba yang penyayang.” Dalam tradisi jahiliyah telah dikenal wasiat seseorang agar diratapi
setelah kematiannya. Hal ini tergambar dalam perkataan syair Tarfah bin al- ‘Abd:
هأ ﺎ أ ﺎ ﺎ اذإ
ما ﺎ ا ﻰ
و ﺪ
181
Jika aku meninggal kelak, maka ratapilah diriku dengan ratapan yang layak untukku, dan robek-robeklah saku baju, wahai Ummu Ma’bad.
Imam al-Nawawî w.675 H. menyampaikan pendapat sekelompok ulama bahwa Hadis ini berlaku bagi orang yang berwasiat untuk ditangisi dan
diratapi atau juga orang yang tidak berwasiat agar hal itu ditinggalkan. Siapa saja yang berwasiat untuk ditangisi dan diratapi atau tidak berwasiat agar hal
itu ditinggalkan, maka ia berhak mendapat azab. Mendukung pendapat di atas, Ibn al-Murâbit menegaskan:
179
Ibn Hajar al-‘Asqalânî, Fath al-Bârî,,Juz 3, h. 154; Ibn Qutaibah, Ta’wîl Mukhtalaf al- Hadîts, Beirût: Mu’assasah al-Kutub as-Tsaqâfiyyah, 1988, Cet., h. 162
180
Ibid, Juz 3, h. 505; Badruddîn Al-‘Ainî, ‘Umdah al-Qârî, Juz 8, h. 79; Khalîl Ahmad, Bazl al-Majhûd, Beirût: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, tth., Juz 3, h. 96
181
Badruddîn al-‘Ainî, ‘Umdah al-Qârî, Juz 8, h. 79
143 Jika seseorang telah mengetahui larangan meratapi mayit dan dia
tahu bahwa keluarganya mempunyai kebiasaan tersebut dan ia tidak menginformasikan keharaman perbuatan itu serta tidak melarangnya, maka
jika ia mendapat siksa, maka itu berdasarkan perbuatannya sendiri, tidak semata-mata perbuatan orang lain.
182
Oleh karena itu, menurut al-Syaikh Muhammad Zakariyyâ al- Kandahlawi, jika mayit ditangisi tanpa wasiat darinya sebelumnya, maka ia
tidak mendapat azab. Hal ini sesuai dengan firman Allah “Seseorang yang berdosa tidak menanggung dosa orang lain.”
183
Tentunya jika memang ia melihat bahwa di keluarganya tidak ada kebiasaan yang terlarang itu.
Ketiga: Apakah yang dimaksud tangisan dalam Hadis ini secara mutlak atau secara tertentu?
Imam al-Nawawî w.675 H. menjelaskan bahwa ulama sepakat yang dimaksud tangisan yang melahirkan siksaan bagi mayit adalah tangisan yang
disertai suara keras dan teriakan, bukan semata-mata deraian air mata.
184
Inilah sebagian dari tradisi jahiliyah yang tercela.
Oleh karena itu, dengan memadukan berbagai riwayat antara yang menggunakan lafal “bi bukâ ahlih” dan yang menggunakan lafal “bi ba’d bukâ
ahlih” riwayat Ibn ‘Abbâs r.a., serta yang menggunakan lafal yang berakar kata dari “niyâhah”, dipahami bahwa tidak semua tangisan menyebabkan siksaan bagi
mayit. Hanya tangisan yang disertai dengan teriakan keraslah yang terlarang. Itulah sebabnya, Imam al-Nawawî dalam kitab “Riyâd al-Sâlihîn” memberikan
judul “Bâb Jawâz al-Bukâ ‘alâ al-Mayyit bi Ghair Nadb walâ Niyâhah” Bab yang menerangkan kebolehan menangisi mayit tanpa disertai dengan ratapan dan
182
al-‘Asqalânî, Fath al-Bârî, Juz 3, h. 154-155
183
al-Kandahlawi, Aujaz al-Masâlik, Juz 4, h. 271
184
al-Nawawî, Sahîh Muslim bi Syarh al-Nawawî, Juz 3, h. 506
144 tangisan kuat. Adapun “niyâhah” tangisanratapan yang disertai teriakan
dipandang sebagai keharaman. Demikian Imam al-Nawawî.
185
Muhammad bin ‘Allân al-Siddîqî w. 1057 H. menjelaskan bahwa yang dimaksud “niyâhah” adalah mengangkat suara dengan keras sambil menyebutkan
kebaikan-kebaikan mayit padahal yang mereka anggap baik adalah buruk dalam pandangan Islam, meski tidak dengan ungkapan bersajak. Termasuk yang
diharamkan juga adalah mengangkat suara dengan menangis sampai melampaui batas walau tanpa ratapan dan teriakan.
186
Itulah pula sebabnya, Imam al-Bukhârî memberikan judul dalam kitabnya dengan “Bab Qaul al-Nabî Yu’adzdzab al-Mayyit bi Ba’d Bukâ Ahlih ‘alaih Idzâ
kâna al-Nauh min Sunnatih” Bab yang menjelaskan ucapan Nabi “mayit disiksa tersebab sebagian tangisan keluarganya kepadanya” jika ratapan merupakan
kebiasaannya. Menurut al-‘Asqalânî w.852 H., hal ini merupakan pembatasan Imam al-Bukhârî w.256 H. sebagaimana riwayat Ibn ‘Abbâs r.a. w.68 H.
dengan lafal “ba’d” muqayyad terhadap riwayat Ibn ‘Umar r.a. w.73 H. yang menggunakan redaksi global. Ini artinya tidak setiap tangisan yang terlarang,
tetapi tangisan tertentu sebagaimana yang dijelaskan di atas.
187
Perhatikanlah beberapa Hadis yang mencela sikap-sikap jahiliyah tersebut:
ﷲا ﺪ ﷲا
ر ا لﺎ لﺎ
ρ ﺎ
بﺮ ﺔ هﺎ ا ىﻮ ﺪ ﺎ دو بﻮ ا و دوﺪ ا
188
185
al-Nawawî, Riyâd al-Salihîn, h. 363
186
Muhammad bin ‘Allân al-Siddîqî, Dalîl al-Fâlihîn, Beirût: Dâr al-Fikr, tth., jilid 3, h. 405
187
al-‘Asqalânî, Fath al-Bârî, Juz 3, h. 152
188
al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî, Juz 2, Kitâb al-Janâ’iz Bâb laisa minnâ man Daraba al- Khudûd, h. 83; Muslim, Sahîh Muslim, Juz 1, Kitâb al-Îmân Bâb Tahrîm Darb al-Khudûd wa
Syaqq al-Juyûb wa al-Du’â bi Da’wâ al-Jâhiliyyah, h. 56
145 Dari ‘Abdullâh r.a. ia berkata: Nabi saw. bersabda: “Bukanlah termasuk
dari kebiasaan kami orang yang menampar-nampar pipi, merobek pakaian, dan berteriak dengan cara jahiliyah.” Muttafaq ‘alaih
ﷲا لﻮ ر لﺎ لﺎ ةﺮ ﺮه أ ρ
ﻬ ﺎ ه سﺎ ا نﺎ ا ا ﻰ ﺔ ﺎ او
ا ا ﺮ آ
Dari Abû Hurairah r.a. ia berkata: Rasulullah SAW. bersabda: “Ada dua hal yang dapat menyebabkan manusia menjadi kufur, yaitu mencela keturunan
dan meratapi mayit.” H.R. Muslim
189
3. Tangisan yang Dianjurkan