Menangis dalam konsep hadis

(1)

MENANGIS DALAM KONSEP HADIS

Tesis

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Magister dalam Studi Ilmu-ilmu Agama

Bidang Tafsir Hadis

Oleh

Abdul Muiz, S.Ag.

NIM: 00.2.00.1.05.01.0180

S E K O L A H P A S C A S A R J A N A

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(2)

(3)

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Tesis ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata 2 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya,

maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 31 Oktober 2007


(4)

MENANGIS DALAM KONSEP HADIS

Tesis

Diajukan kepada Sekolah Pascasarjana untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Magister dalam Studi Ilmu-ilmu Agama

Bidang Tafsir Hadis

Oleh: Abdul Muiz, S.Ag. NIM: 00.2.00.1.05.01.0180

Pembimbing I, Pembimbing II,

Dr.H. Ahmad Wahib Mu’thi, M.A. Dr.H. Ahmad Lutfi Fathullah, M.A.

PROGRAM STUDI TAFSIR HADIS

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(5)

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Tesis berjudul MENANGIS DALAM KONSEP HADIS telah diujikan dalam sidang munaqasyah Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada 27 September 2007. Tesis ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Magister Agama (M.A.) pada Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 27 September 2007

Sidang Munaqasyah

Ketua Merangkap Anggota, Sekretaris Merangkap Anggota,

Dr. Fuad Jabali, MA Drs. Ikhwan, MA NIP:150 242 799 NIP: 150 254 958

Anggota,

Dr. Romlah Askar, MA Dr. Yusuf Rahman, MA

NIP: 150 254 101

Dr.H. Ahmad Wahib Mu’thi, M.A. Dr.H. Ahmad Lutfi Fathullah, M.A. NIP: 150 183 152 NIP:150


(6)

TRANSLITERASI ARAB-LATIN

1.

Konsonan

ا

=

ف

= f

ب

= b

ق

= q

ت

= t

ك

= k

ث

= ts

ل

= l

ج

= j

م

= m

ح

= h

ن

= n

خ

= kh

و

= w

د

= d

ـه

= h

ذ

= dz

ء

= `

ر

= r

ى

= y

ز

= z

س

= s

ش

= sy

ص

= s

ض

= d

ط

= t

ظ

= z

ع

=

غ

= gh

Vokal pendek = a = i = u Vokal Panjang

ا

= â

ي

= î

و

= û

Diftong

يأ

= ai


(7)

ABSTRAK

Sejak dilahirkan, bahkan sebelum lahir ke dunia, hingga Allah swt. memanggil ke pangkuan-Nya, sosok agung Nabi Muhammad saw. sedemikian menarik perhatian umat manusia. Penegasan Allah swt. bahwa beliau adalah

uswah hasanah bagi setiap orang beriman (QS.al-Ahzâb/33:21) dan beliau benar-benar memiliki akhlak yang agung (QS.al-Qalam/68:4) memberikan motivasi tersendiri bagi para sahabat, tabiin, dan salihin untuk senantiasa mencermati seluruh perilaku dan gerak-gerik beliau, untuk selanjutnya ditiru dalam kehidupan mereka.

Salah satu perilaku yang menarik untuk dikaji dan dicermati adalah tangisan yang pernah terjadi pada diri teladan umat tersebut. Jika al-Qur’an pernah menggambarkan bahwa di antara Ahli KItab ada orang-orang yang beriman dan meneteskan air mata saat ayat-ayat suci al-Qur’an dilantunkan (QS.al-Mâ’idah/5:83) dan para nabi serta keturunannya juga selalu menangis saat mendengar lantunan ayat-ayat Allah swt. (QS.Maryam/19:58), lalau bagaimanakah dengan keseharian hidup Rasulullah saw. yang dipandang sebagai manusia paling bertakwa sepanjang sejarah?

Berdasarkan penelusuran penulis terhadap sebelas kitab (al-kutub al-tis’ah

dan dua kitab zuhdwa raqâ’iq), penulis menemukan kurang lebih 183 hadis yang dinisbahkan kepada Rasulullah saw. (qaul dan fi’il) mengenai menangis dari 483 hadis yang berhasil penulis kumpulkan yang menggunakan term menangis.

Dari hasil penelitian penulis, dapat disimpulkan bahwa ternyata hari-hari keberagamaan beliau banyak diwarnai dengan tangisan dan deraian air mata,


(8)

bukan dengan canda dan gelak tawa. Seluruh tangisan yang ditampilkan dalam kehidupan beliau, tidak ada yang buruk dan bertentangan dengan petunjuk dan tuntunan Allah swt.

Jika ditinjau dari segi hukum, maka menangis dapat dikategorikan menjadi tiga bagian, yaitu: menangis yang dibolehkan, menangis yang terlarang, dan menangis yang dianjurkan.

Menangis yang dibolehkan yaitu menangisi mayit secara wajar dan menangis karena terharu. Hal ini dibuktikan dengan perilaku Rasulullah saw. yang senantiasa menangis saat menyaksikan kematian orang-orang yang dicintainya. Sedangkan menangis yang terlarang adalah menangisi mayit secara tidak wajar dan berlebih-lebihan karena diiringi dengan nadb dan nauh/niyâhah, yaitu menyebut-nyebut kebaikan si mayit secara berlebihan yang disertai dengan ratapan, raungan, dan suara jeritan yang tinggi. Bahkan, biasanya dalam tradisi jahiliyah, mereka juga memukul-mukul muka dan merobek-robek baju mereka. Dalam kondisi demikian, si mayit ketika sebelum meninggal tidak memberikan pesan agar cara menangis seperti itu ditinggalkan, atau bahkan dia memberikan wasiat agar keluarganya menangisi dirinya kelak dengan cara seperti itu. Itulah sebabnya, Rasulullah saw. bersabda: “Nayit itu akan disiksa di kuburnya tersebab ratapan (orang yang hidup) kepadanya.” (H.R. al-Bukhârî)

Adapun menangis yang dianjurkan adalah menangis karena takut kepada Allah swt., menangis saat membaca atau mendengarkan al-Qur’an, menangis saat berzikir kepada Allah swt. dalam kesendirian, menangis saat menegakkan salat dalam kekhusyuan, dan menangis saat mendengarkan nasehat keagamaan.


(9)

Imam Abû Dâwûd meriwayatkan dari Tsâbit dari Mutarrif dari Ayahnya, ia berkata: “Saya melihat Raulullah saw. sedang salat dan di rongga dadanya terdengar suara seperti orang yang berjalan kaki karena tangisannya.”

Satu hal yang dapat disimpulkan dari tesis ini adalah bahwa ternyata ditemukan korelasi positif antara menangis dengan kesalihan pribadi. Menangis adalah salah satu karakteristik orang-orang yang salih, di samping karakteristik yang lainnya. Nabi Muhammad saw., para nabi, sahabat, tabiin, dan sâlihîn, senantiasa mengisi hari-hari keberagamaan mereka dengan tetesan air mata spiritual yang sarat makna. Tangisan mereka semakin mendekatkan diri mereka kepada Sang Khalik. Tangisan mereka mampu mempengaruhi perbaikan kualitas hidup mereka. Tangisan mereka adalah tangisan yang melahirkan implikasi positif dalam kehidupan sosial.

Bagi kita sebagai umatnya, yang layak dan patut kita lakukan adalah meniru dan mengikuti perilaku teladan kita itu dengan berupaya secara optimal membersihkan jiwa dan hati kita (tazkiyah al-nafs). Salah satu proses tazkiyah al-nafs adalah dengan melakukan berbagai ibadah ritual yang telah diajarkan oleh Allah swt. dan Rasul-Nya sambil merenungi hikmah dan pesan moral yang terkandung di dalamnya.


(10)

KATA PENGANTAR

Bismillâhirrahmânirrahîm

Segala puji dan syukur kepada Allah, Zat Yang Mengatur segala apa yang ada di alam raya. Berkat qudrah dan iradah-Nya, alhamdulillâh, penulis akhirnya dapat merampungkan tesis ini yang sudah sekian lama tertunda. Penulis sadar betul, bahwa tesis ini masih menyimpan sekian kekurangan. Namun demikian, al-faqîr mengharapkan agar Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang berkenan menjadikannya sebagai salah satu amal salih yang benar-benar ikhlas guna mendapatkan ridha dan berkah-Nya. Salawat dan salam senatiasa penulis harapkan agar Allah swt. senantiasa mencurahkannya kepada teladan umat tanpa cacat, Nabi Muhammad saw., keluarga, dan seluruh sahabatnya.

Penyelesaian tesis ini tidak lepas dari bantuan beberapa pihak. Oleh karena itu, sebagai ungkapan kebahagiaan, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Kepada kedua orang tua penulis, Abi Sadeli (Aba) dan Umi Suryani (Ema) yang telah mendidik dan mengasuh penulis sejak saat di kandungan hingga saat ini. Ucapan terima kasih ini juga penulis sampaikan kepada mertua penulis, yaitu Ayahanda Sumardi dan Ibunda Sri Rahayu, yang telah memberikan kepercayaan kepada penulis untuk mendampingi puteri keduanya dalam meniti kehidupan. Penulis berharap, semoga Allah berkenan memasukkan mereka semua kelak ke dalam golongan salihīn, dan membangkitkan mereka bersama para siddiqīn dan syuhadā. Ucapan terima kasih ini juga penulis sampaikan kepada seluruh


(11)

abang dan adik yang keberadaannya turut memberikan andil dalam membentuk jati diri penulis;

2. Istri tersayang (Yayang Dewi Darmawanti, A.Mk.) dan dua buah hati kami tercinta (Muhammad Sayyidul Awliya Izzati dan Muhammad Hawdhi Izzati). Keberadaan mereka semua adalah anugerah besar yang diberikan kepada penulis dan menjadi dorongan tersendiri dalam menyelesaikan tesis ini;

3. Kedua orang tua angkat penulis, Bapak H. Emon Soemitra dan Ibu Hj. Ika Emon S. serta keluarga, yang telah banyak memberikan bantuan, baik moril maupun materil. Semoga Allah memasukkan mereka semua min ahlil khair;

4. Bapak Ust.Drs.H. Abdul Khalim, M.M., yang telah banyak memberikan dorongan moril dan materil sehingga penulis merasa terpacu terus untuk menyelesaikan tesis ini;

5. Bapak Prof.Dr.K.H. Said Agil Husein al-Munawwar, M.A. selaku mantan Direktur Program Pasca Sarjana UIN Jakarta, sekaligus Ketua Konsentrasi Tafsir Hadis dan Dosen, yang dalam banyak kesempatan perkuliahan telah memberikan motivasi kepada penulis;

6. Bapak Prof.Dr. H. Ahmad Thib Raya, M.A. yang telah mengkritisi judul tesis ini dan meng-acc-nya;

7. Bapak Dr. H. A. Wahib Mu’thi, M.A. dan Dr.H. Ahmad Lutfi Fathullah, M.A. yang telah bersedia menjadi pembimbing. Bimbingan keduanya sangat membantu penulis dalam menyelesaikan tesis ini;


(12)

8. Segenap dosen Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta yang telah menuangkan ilmunya kepada penulis selama perkuliahan;

9. Kepada seluruh guru dan teman-teman yang telah banyak berpartisipasi memberikan bantuan kepada penulis, seperti Ust.H. Lukman Hakim, Ust. Fu’ad Thohari, M.A., Ust.H. Mulyadi, M.A., Drs.H. Slamet Khaeruddin, M.A., Hadiyan, M.A., dan yang lainnya;

10.Pimpinan dan karyawan Perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Perpustakaan Umum Iman Jama;

Akhirnya, dengan segala kerendahan dan ketulusan hati, penulis mengharapkan adanya saran, koreksi, dan teguran dari berbagai pihak, demi penyempurnaan tesis ini.

Semoga apa yang telah penulis lakukan ini dicatat sebagai bagian dari amal saleh demi meraih ridha dan berkah-Nya. Sehingga memberikan manfaat kepada setiap orang yang membacanya.

Hasbunallâh wa ni’mal wakîl ni’mal maulâ wa ni’man nasîr

Jakarta, Oktober 2007


(13)

DAFTAR ISI

LEMBAR PERNYATAAN

PERSETUJUAN PEMBIMBING PENGESAHAN PANITIA UJIAN PEDOMAN TRANSLITERASI

ABSTRAK i

KATA PENGANTAR... iv

DAFTAR ISI vii BAB I PENDAHULUAN 1 A. Latar Belakang dan Pokok Permasalahan ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 7

C. Kajian Pustaka... 7

D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 9

E. Metodologi ... 9

F. Sistematika Pembahasan ... 11

BAB II MENANGIS DALAM PANDANGAN ISLAM 12 A. Pengertian Menangis... 12

B. Macam-macam Menangis ... 25

C. Menangis dalam Perspektif al-Quran... 30

D. Antara Menangis dan Tertawa ... 73

BAB III

MENANGIS DALAM KONSEP HADIS 82

A. Beragam Tangisan Rasulullah saw. ... 82

B. Hukum Menangis ... 110

C. Keutamaan Menangis... 135

BAB IV

MENANGIS DAN KESALIHAN PRIBADI 145

A. Pengertian dan Karakteristik Kesalihan ... 145

B. Menyucikan Hati sebagai Upaya Membiasakan Menangis 177

BAB V

KESIMPULAN 229

DAFTAR PUSTAKA... 231


(14)

(15)

DAFTAR ISI

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PEMBIMBING PENGESAHAN PANITIA UJIAN

PEDOMAN TRANSLITERASI... iv

ABSTRAK KATAPENGANTAR... i

DAFTARISI ... v

BAB I ... P ENDAHULUAN... 1

G. Latar Belakang dan Pokok Permasalahan ... 1

H. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 7

I. Kajian Pustaka ... 8

J. Tujuan dan Kegunaan Penelitian... 9

K. Metodologi ... 10

L. Sistematika Pembahasan ... 11

BAB II ... M ENANGIS DALAM PANDANGAN ISLAM... 13

E. Pengertian Menangis ... 13

F. Macam-macam Menangis... 28

G. Menangis dalam Perspektif al-Quran ... 33

H. Antara Menangis dan Tertawa... 81

BAB III

... M

ENANGIS DALAM KONSEP HADIS

... 90

D. Beragam Tangisan Rasulullah saw... 90

E. Macam-macam Menangis Ditinjau dari Segi Hukum ... 122

F. Keutamaan Menangis ... 150

BAB IV

... M

ENANGIS DAN KESALEHAN PRIBADI... 161

C. Pengertian dan Karakteristik Kesalehan... 161


(16)

BAB V

... K

ESIMPULAN

... 245

DAFTARPUSTAKA ... 252


(17)

TRANSLITERASI ARAB-LATIN

2.

Konsonan

ا

=

ف

= f

ب

= b

ق

= q

ت

= t

ك

= k

ث

= ts

ل

= l

ج

= j

م

= m

ح

= h

ن

= n

خ

= kh

و

= w

د

= d

ـه

= h

ذ

= dz

ء

= `

ر

= r

ى

= y

ز

= z

س

= s

ش

= sy

ص

= s

ض

= d

ط

= t

ظ

= z

ع

=

غ

= gh

Vokal pendek = a = i = u Vokal Panjang

ا

= â

ي

= î

و

= û

Diftong

يأ

= ai


(18)

رﺎ ﻻاو

دﺎﺣﻻا

ﺖ ﺮﻬ

ا

ﺪ ا

ةﺮ

ا

ﺔ ﺎ ا

مﻮ

تﺎ

ا

نﺈ

ا

اﻮ ا

. 1

ا

ا

ﺮ آ

ﺎ ه

سﺎ ا

نﺎ ا

ا

ﺔ ﺎ او

2 .

ﺎهﺬ أ

ﺪ ز

ﺔ اﺮ ا

ﺬ أ

. 3

ا

ﺪﻬ ا

آﺪ أ

غﺮ

اذإ

ﷲﺎ

ذﻮ

رأ

4 .

مﻮ

آ

آﺪ أ

بﺎ

اﺮﻬ

نأﻮ

أرأ

ء

رد

ه

ه

تاﺮ

5 .

ر

ذﺄ ا

نذﺆ

ﺎﻬ

أ

نأ

اوروﺰ

نذﺄ

ﺎهﺮ

روزأ

نأ

ذﺄ او

تﻮ ا

ﺮآﺬ

ﺎﻬ ﺈ

رﻮ ا

6 .

ﺔ ﺎ ا

مﻮ

ناﺮ ا

اؤﺮ

إ

7 .

آأ

تﻮ

هﺮ

اداﺪ إ

ﻬ أو

اﺮآذ

.

سﺎ آ ا

ﻚ وأ

8 .

تﻮ ا

تاﺬ ا

مذﺎه

ﺮآذ

اوﺮ آأ

. 9

أ

ﷲا

نإ

نﻮ

ا

بﺬ

...

ا

نإو

هأ

ءﺎﻜ

ب

10 .

و

إ

ﺎ ا

. 11

أ

ر

ل

ﷲا

ﷲا

و

أ

ن

أ

أ

و

ه

ا

,

أ

ت

ر

ة

ا

ءﺎ

إ

اذ

12 .

ﻚ أ

ﻚ ﺎ

ﻚ و

و

ﻚ أ


(19)

ﺎ اﺬ

رﺎ ا

هأ

نﻮهأ

نإ

نﺎآاﺮ و

ن

ﺎ د

ﺎ ﻬ

رﺎ

14 .

ا

و

ﺮ ا

نإ

ة

ا

كﺮ

ﺮ ﻜ او

كﺮ

. 15

ا

لﻮ

و

نﺰ

او

ا

نا

نﻮ وﺰ

ﻚ اﺮ

ﺎ او

ﺎ ر

16 .

ﷲا

نإ

اوﺮ آ

ﺬ ا

أﺮ أ

نأ

ﺮ أ

ﻰﻜ

لﺎ

ﺎ و

لﺎ

بﺎ ﻜ ا

هأ

17 .

نﺎ ر

مﺎ

ضﺮ

ﻰ ﺎ و

كرﺎ

ﷲا

نإ

ﺎ و

و

18 .

ا

أ

ﺔ ﺎ ا

مﻮ

لﻮ

ﻰ ﺎ

ﷲا

نإ

نﻮ ﺎ

إ

مﻮ

ﻬ أ

مﻮ ا

19 .

ﷲا

نإ

ﺮ ﺮ

ﺪ ا

ﺔ ﻮ

. 20

نإ

ﻰً

أ

ﻰ إ

آو

ﻰ أ

و

ﺬ أ

و

21 .

نﺎ

و

ﷲا

ا

نأ

لﺎ

وأ

ﻮهو

ﻮهو

نﻮ

نﺎ رﺬ

22 .

نﺈ

اﻮﻜ ﺎ

ﻮ أﺮ

اذﺈ

نﺰ

لﺰ

ن ﺮ ا

اﺬه

نإ

ﻮﻜ

اﻮآﺎ

ا

23 .

ﷲا

ﺎ إ

ءﺎ ﺮ ا

دﺎ

. 24

ﺎ إ

ﻚ ا

ﺎ آ

ءﻮ او

ﺎ ا

ا

ﺮ ﻜ ا

ﺎ و

25 .

ىﻮ

ئﺮ

ﺎ إو

ﺔ ﺎ

لﺎ

ا

ﺎ إ

. 26

ا

إ

يﺮ

ا

نا

. 27

ىرأ

إ

أو

نوﺮ

نﻮ

. 28

و

ﺔ ا

يﺬ ا

و

ﻰ وأ

ﺎ ا

رﺎ ا

29 .

ﺮآﺬ ا

ﺎآ

. 30


(20)

بﻮ ﺬ او

تﻮ ا

ﺆ ا

. 32

و

م ا

أﺮ و

مﺎ ا

فﺮ

33 .

ا

ضﺮ

ادﻮ

ادﻮ

ﺎآ

بﻮ ا

. 34

ا

ا

. 35

ناﺮ ا

ءاوﺪ ا

. 36

ﷲا

لﻮ ر

أر

ﷲا

و

ءﺎﻜ ا

ﻰ ﺮ ا

ﺰ زﺄآ

ﺰ زأ

رﺪ

و

ﷲا

و

37 .

آﺪ أ

د

ﺮ ا

. 38

ﷲا

مﻮ

إ

. 39

سﺎ ا

ﷲا

ا

رﺎ ا

ﺔ ا

40 .

ﺎ ﻬ

ةرﺎ آ

ا

ﻰ إ

او

ا

ة

ا

. 41

ا

ﺎﻬ ﺎ

ة

/

لﺎ

يأ

ﺎﻬ و

ﺪ اﻮ ا

42 .

مﺎ ا

ؤﺮ ا

نإو

و

إ

إ

ﺎ وأ

43 .

مﻮ ﺎآ

رأ

رﺎ او

ﺔ ا

ﺮ او

ﺮ ا

44 .

ﺮ ﻜ

ةﺮ ا

ﻰ إ

ةﺮ ا

روﺮ ا

او

ﺎ ﻬ

ﺔ ا

إ

ءاﺰ

45 .

نﺎ

ﺎ ﻬ

رﺎ ا

ﷲا

و

سﺮ

ﷲا

46 .

ﺪ ا

ﷲا

ﺔ ور

وأ

ةوﺪ

ﺎ و

ﺎﻬ

47 .

ﷲا

ا

ذﻮ

لوأ

تﺎ ا

رأو

بﺎ ﻜ ا

ﺔ ﺎ

و

48 .


(21)

ةﺮ ا

ةرﻮ

ةدﺎ ا

ﺮﻜ ا

. 49

ءﺎ

ة

ا

نﺈ

. 50

ﺮ أ

اذإ

و

ﷲا

ا

نﺎآ

51 .

يﺰ أ

ﺎ أو

مﺎ ا

إ

مدا

ا

آ

. 52

و

ناد

ﻜ ا

تﻮ ا

. 53

حارو

آﺪ أ

اﺪ

اذإ

آ

ىﺮ أ

رو

وو

ﺔ ﻜ ا

ﺎ آ

ﻜ ﻮ

ﺮ و

54 .

ﺬه

إ

آردأ

فﺮ أ

ﺬهو

ة

ا

ة

ا

55 .

ﺎً

إ

لﻮ أ

. 56

ﻮﻬ

ناﺮ ا

ﷲا

ﺎ ا

ر

ا

إ

ﺪ ﺎ

رﺎﻬ ا

و

ا

ءﺎ ا

57 .

ا

ةﺮ آ

نﺈ

ااوﺮ ﻜ

ا

. 58

ﺮ ﺪ

ةءاﺮ

و

ﺎﻬ

ةدﺎ

ﺎﻬ

59 .

تاﻮ ا

تﻮﻜ

. 60

ﻰ ﺎ

ﷲا

ﺮآذ

ﺎ ر

ﻚ ﺎ

لاﺰ

. 61

و

ا

ﻰﻜ

ﺪ أ

رﺎ ا

. 62

آﺪ أ

. 63

بﺮ ا

ﷲا

. 64

ﻮ أ

أ

ﺔﻜ

ﺎ واﺬه

أر

ﻮ رو

ﺎً

آ

ﻚ ذ

كﺮ

65 .

ةﺰ

آاﻮ

. 66

ﻰﻜ و

أ

أ

ﻬ ا

. 67


(22)

أ

نﻮ

اﺮ آ

ﻜ و

. 69

ﺬ ﻮ

مﻮ ا

. 70

ﷲا

ﻰ إ

أ

ء

ﺮ أو

. 71

ﺎ دو

بﻮ ا

و

دوﺪ ا

بﺮ

ا

ىﻮ ﺪ

ﺔ هﺎ

72 .

نأ

ﻜ أ

ﷲا

نأ

أ

نﻮآأ

ﷲا

ﻮ ﺮ

نأ

ﻜ أ

ﻜ و

و

ءﺎ ا

ا

ﻮ ا

73 .

و

ﷲا

ا

آأ

و

ﺎ ﺮ

اﺰ

ﷲا

ﺔ ﻮ

ةﺎ

74 .

و

ﷲا

لا

ﷲا

لﻮ ر

و

ﷲا

75 .

نﺎآ

ﺎ أر

ﺪ و

داﺪ ا

رﺪ

مﻮ

سرﺎ

إ

ﺎ و

إ

ﷲا

ا

لﻮ ر

أ

ﻜ و

ةﺮ

و

76 .

اًﺮ

ءﺎ و

دا

ا

. 77

ﺔ ﻮ ﻜ

ة

ئﺮ ا

ةرﺎ آ

ﺎآ

إ

ﺎﻬ ﻮآرو

ﺎﻬ ﻮ و

ﺎهءﻮ و

بﻮ ﺬ ا

ﺎﻬ

78 .

نإو

عﻮ د

جﺮ

نﺎآ

ﷲا

بﺎ ﺬ ا

سأر

79 .

ﷲا

ﺪ ﺎ

إ

ﷲا

ﺎ ﻮ

مﻮ

ﺎ ﺮ

رﺎ ا

ﻬ و

مﻮ ا

ﻚ ﺬ

80 .

نﺎﻜ

إ

دﺎ ا

مﻮ

ن

. 81

ةرﺮ ا

ماﺮﻜ ا

ةﺮ ا

ناﺮ اﺎ

ﺮهﺎ ا

. 82

سﺎ ﺎ

ﺮﻜ

ﺎ أ

اوﺮ

. 83

و

ا

ﻮ أ

ا

. 84


(23)

ا

ﺔﻜ

. 86

ﷲا

بﺎ آ

ﺎ ﺮ

أﺮ

. 87

ﺪ أ

ﷲا

ﻮه

ةﺮ

مﻮ

آ

أﺮ

نأ

إ

بﻮ ذ

د

نﻮ

88 .

ددﺰ

ﺮﻜ او

ءﺎ

ا

اﺪ

إ

ﷲا

89 .

ا

ﺮ ﺄ

. 90

عﺰ

لﺎ

آ

ﺆ ا

و

ا

ﻮهو

91 .

و

و

ﺆ ا

. 92

ةرﺎ آ

تﻮ ا

. 93

إ

مﺎﻬ

مﻮ

ةﺮ ا

. 94

ه

ﷲا

ﺎﻬ و

ﺔ ر

ءﺎ

بﻮ

و

دﺎ

إ

دﺎ

ا

ءﺎ ﺮ ا

95 .

ﺔ ا

فرﺎ

ر

ه

. 96

ﺔ ا

اﻮ ﺪ

يﺬ ا

و

اﻮ

. 97

بﺎ آ

نﻮ

ﷲا

تﻮ

مﻮ

اﺎ و

ﺔ ﻜ ا

إ

ﻮ راﺪ و

ﷲا

98 .

ﺎ ﺎ او

ﺎ ﺎ إ

نﺎ ر

مﺎ

و

ذ

مﺪ

99 .

و

.100

و

ﻬﻜ

بﺬﻜ

مﻮ ا

ثﺪ

يﺬ

و

و

101 .

ﺎﻬ

ﺮﻜ

و

ﺎهأﺮ

و

.102

ة

ﺎ رأ

ل

.103

ﺎ ﻬه

تاﺮ ا

.104

اوﺪ ﺄ

اﺬه

اﻮ إ

.105

نﻮﻜ

رﺎ ا

هأ

ءﺎﻜ ا

عﻮ ﺪ ا

106 .


(24)

(25)

BAB I

PENDAHULUAN

Pokok Permasalahan

Ketika kita memperhatikan beragam hasil ciptaan Allah swt., nyatalah bahwa manusia merupakan sosok makhluk yang paling sempurna sekaligus unik ketimbang makhluk lainnya. Apa yang ada dalam diri manusia, baik secara fisik maupun psikis, senantiasa menarik untuk dikaji. (QS.Fussilat/41:53)

Satu di antara fenomena anfus yang tersirat dalam QS.Fussilat/41:53 tersebut adalah “menangis”. Dengan demikian, menangis (al-bukâ) merupakan salah satu sunnatullah (law of nature) terhadap kejiwaan manusia.1

Jika selama ini dalam pandangan mayoritas masyarakat, menangis selalu diidentikkan dengan “kecengengan” atau “keputusasaan”, sebuah predikat negatif di mata umum, ternyata tidaklah demikian dalam perspektif al-Qur’an dan Hadis. Sungguh menarik, ternyata dalam beberapa ayat al-Qur’an, Allah SWT. menegaskan bahwa di antara karakteristik orang-orang yang beriman adalah mereka yang senantiasa menyungkurkan muka untuk bersujud sambil menangis setiap kali mendengar ayat-ayat al-Qur’an. Allah menyatakan bahwa para nabi serta orang-orang yang mendapatkan petunjuk dan terpilih, apabila mendengar ayat-ayat Allah swt., mereka menyungkur dengan bersujud sambil menangis (QS.al-Isrâ/17:109 & QS.Maryam/19:58)

Menurut Syeikh Muh. ‘Ali al-Sâbûnî, hal ini terjadi karena dalam diri mereka timbul rasa takut (khasy-yah) kepada Allah. Begitulah keadaan orang-orang yang mempunyai derajat yang tinggi dan kebersihan jiwa (nafs) di sisi Allah swt. Pernyataan Allah tersebut, ungkap al-Qurtubî, sekaligus menjadi

1


(26)

petunjuk (dalâlah) bahwa ayat-ayat al-Qur’an mampu memberikan pengaruh kepada kalbu manusia.2

Jika demikian gambaran umum (deskripsi global) al-Qur’an tentang menangis, lalu bagaimana pula gambaran atau konsep hadis yang merupakan penjelas (mubayyin) terhadap ayat-ayat al-Qur’an dalam masalah ini: memerintah, melarang, atau membiarkan begitu saja? Bagaimana realitas kehidupan Rasulullah saw. yang dikenal sebagai manusia paripurna (insan kâmil) dalam perilakunya sehari-hari?

Kajian tangisan-tangisan Rasulullah saw. menjadi menarik karena beliau tidak sekedar sebagai tokoh bagi dunia Arab atau tokoh bagi umat Islam saja, tetapi juga tokoh berpengaruh yang menjadi sorotan dunia sejak beliau dilahirkan hingga dunia berakhir. Segala tindak-tanduknya menjadi pusat perhatian kawan maupun lawan, muslim ataupun nonmuslim. Segenap sisi kehidupan beliau dicatat dan diingat untuk dijadikan pelajaran sebagai teladan hidup manusia.

Umat Islam periode awal (sahabat) telah menjadikan Rasulullah saw. sebagai pusat keagamaan dan keduniawian mereka sejak Allah swt. memberi petunjuk kepada mereka dan menyelamatkan mereka dari kesesatan dan kegelapan menuju hidayah dan cahaya. Perkataan, perbuatan, dan segala gerak-gerik beliau adalah pusat perhatian dan kekaguman mereka (QS. al-Ahzâb/33:21).3

Sikap seperti ini selanjutnya diestafetkan kepada generasi-generasi berikutnya sehingga tercatatlah dalam sejarah berpuluh-puluh, bahkan ratusan

2

Muh. ‘Ali al-Sâbûnî Safwah al-Tafâsîr, (Jakarta: Dâr al-Kutub al-Islâmiyyah, 1999/1420), Jilid 2, h. 221

3

Mustafâ al-Sibâ’î, Sunnah dan Peranannya dalam Penetapan Hukum Islam. Penerjemah Dr. Nurcholis Madjid (Jakarta:Pustaka Firdaus,1991), h. 13


(27)

riwayat yang menerangkan sifat dan pribadi beliau. Sifat anggota badan Nabi, keringat Nabi, rambut Nabi, janggut Nabi, sorban Nabi, jubah Nabi, senyuman Nabi, sifat pemaaf Nabi, termasuk dalam hal ini adalah tangisan Nabi, serta sifat-sifat lainnya, baik yang berhubungan dengan perangai (khuluq) ataupun yang berhubungan dengan gambaran fisik (khalq), dicatat dan menjadi pusat pembahasan umat.4

Sebagai teladan yang telah dibakukan dan dilegalkan keabsahannya melalui firman Ilahi yang tidak diragukan kebenarannya, maka dapat pula dipastikan kualitas (mâhiyah) kepribadian hidup beliau. Beliau adalah orang pertama yang mengimplementasikan segala titah al-Qur’an. Beliau adalah sosok manusia yang perangainya, sebagaimana pernyataan ‘Aisyah r.a., adalah al-Qur’an.5 Apabila beliau memerintah, maka beliaulah orang pertama yang melakukannya. Apabila beliau melarang untuk mengerjakan sesuatu, maka beliau pula orang pertama yang meninggalkannya. Demikian pula halnya dengan menangis.

Melalui sabda-sabda mulianya, beliau hendak mengajarkan umatnya

membiasakan menangis dalam mengisi saat-saat keberagamaan, bukan dengan canda dan gelak tawa.

Suatu ketika, sebagaimana diriwayatkan Imam al-Bukhârî (w. 256 H.) dari Abdullâh bin Mas’ûd (w. 32 H.), bahwa Rasulullah saw. meminta kepada Abdullâh bin Mas’ûd r.a. untuk membacakan al-Qur’an baginya. Iapun memenuhi permintaan tersebut dengan membacakan surat al-Nisâ. Ketika sampai pada ayat,

4

Moenawar Khalil, Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad, (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1994), Jilid 7, hal.211-321

5


(28)

“Maka bagaimanakah (halnya orang-orang kafir nanti), apabila Kami mendatangkan seorang saksi (rasul) dari tiap-tiap umat dan Kami mendatangkan kamu (Muhammad) sebagai saksi atas mereka (sebagai umatmu).” (QS.4:41), beliau berkata: “Tahanlah!” Ketika itu, tampaklah kedua mata beliau mencucurkan air mata.6 Pada kesempatan yang lain, tatkala putra beliau (Ibrâhîm) meninggal dunia, beliau menitikkan air mata.7

Rasulullah saw. adalah manusia yang paling empati dan paling mudah menangis saat melihat penderitaan orang lain. Suatu hari seorang sahabat menginformasikan kepada beliau bahwa ada seorang sahabat lain yang anaknya sedang mengalami sakaratul maut. Lalu anak itu diserahkan dan diletakkan di atas pangkuan beliau. Melihat penderitaan anak tersebut, Rasulullah saw. menangis.8

Siti ‘Aisyah r.a., istri tercinta beliau, pernah pula menyaksikan suami tercintanya tersebut menangis terisak-isak saat menegakkan qiyamulail, yang oleh Siti ‘Aisyah, kejadian malam tersebut dianggap sebagai kejadian yang mempesona.9

Tangisan-tangisan yang ditunjukkan oleh Nabi Muhammad saw. bukanlah lambang keputusasaan dan kecengengan. Tangisan-tangisan tersebut adalah tangisan yang terjadi karena kelembutan dan kebeningan hati beliau. Tangisan Nabi yang terjadi di tengah masyarakat adalah tangisan kasih sayang (tangisan empati). Dan tangisan Nabi saat shalat adalah karena kekhusyuan merasakan

6

al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî, Juz 4, Kitab Fadâ’il Qur’ân Bab Qaul Muqri li al-Qâri hasbuk, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1986), h. 114

7

Ibid, Juz 2, Kitâb al-Janâ’iz Bab Qaul al-Nabi saw. Innâ bik lamahzûnûn, h. 85

8

Ibn Mâjah, Sunan Ibn Mâjah., Juz 1, Kitâb al-Janâ’iz Bâb Mâ Jâ fî Bukâ ‘alâ al-Mayyit, no. hadis1588, (Indonesia: Maktabah Dahlân, tth) , h. 506

9

Ibn Katsîr, op.cit., Juz 1, h. 440; Jalaluddin Rakhmat, Renungan-renungan Sufistik, (Bandung: Penerbit Mizan, 1999), h. 20


(29)

keagungan Allah swt. Keduanya adalah tangisan bermakna yang berkualitas dan dapat mendekatkan diri kepada Allah. Keharmonisan hubungan vertikal dengan Sang Khaliq (silah billâh) dan hubungan horizontal dengan sesama manusia (sila bin nâs) merupakan wujud dari kesalihan pribadi, dan ini secara tegas dan jelas tergambar dalam pribadi Nabi Muhammad saw. Tangisan-tangisan beliau adalah tangisan ibadah yang sarat muatan makna. Tangisan-tangisan beliau adalah tangisan ‘abdun sâlih yang dekat dengan Rabb-nya. Tangisan-tangisan beliau adalah tangisan yang memberikan implikasi positif dalam kehidupan, tangisan spiritual yang menimbulkan sikap optimis (rajâ) menghadapi hidup, dan memberikan kesehatan mental beliau.

Di sisi lain ditemukan banyak Hadis (menurut hitungan penulis berjumlah 71 riwayat) yang secara tegas menyebutkan bahwa tangisan orang yang masih hidup terhadap mayit akan menambah siksaan mayit tersebut. Padahal ditemukan pula ayat yang secara zâhiriyah menegaskan bahwa seseorang tidak memikul dosa orang lain (QS al-An’âm:164; al-Isrâ:15; Fatir:18; al-Zumar:7; al-Najm:38; al-Zalzalah:7-8)

Oleh karena itu, jumhur ulama, di antaranya Muzannî, Ibrâhîm al-Harbi dari kalangan ulama bermazhab Syâfi’î, termasuk Imam al-Nawawî (w.675 H.) mentakwilkan bahwa siksaan itu berlaku bagi orang yang berwasiat kepada keluarganya agar mayatnya diratapi. Sedangkan jika keluarga yang menangisinya tanpa wasiat sebelumnya, hal ini tidaklah terlarang,10 karena hal ini merupakan rahmat Allah. Imam al-Nawawî menambahkan bahwa ulama sepakat yang dimaksud dengan tangisan yang melahirkan siksaan adalah “Tangisan yang

10

al-Nawawî, Sahîh Muslim bi Syarh al-Nawawî, (Kairo: Dâr al-Hadîts, 1994), Juz 3, h. 506


(30)

disertai dengan suara keras dan teriakan”, bukan semata-mata deraian air mata.11 Inilah sebagian dari tradisi jahiliyah yang tercela.

Ada pula yang memahami bahwa hadis-hadis tersebut berlaku bagi orang-orang kafir, Yahudi, atau pelaku dosa lainnya sebagaimana yang terdapat dalam riwayat Ibn ‘Abbâs (w.68 H.) dan ‘Aisyah (w.57 H.). Sedang huruf “ba” sendiri tidak dipahami sebagai bermakna “sebab”, tetapi musahabah” (berbarengan/menyertai) sehingga maknanya adalah bahwa orang-orang kafir, Yahudi, atau pelaku dosa lainnya disiksa pada saat keluarganya menangisi kematiannya, bukan ia disiksa karena tangisan keluarganya. Demikian ungkap Imam al-Suyûtî (w. 911 H.).12

Dengan demikian, Rasulullah saw. melalui hadis-hadisnya tidak memandang sama terhadap semua tangisan yang dilakukan atau dialami oleh seseorang. Motif atau niat serta tujuan seseorang melakukan tangisan merupakan landasan untuk menyatakan nilai tangisan seseorang. Islam tidak menginginkan seseorang melakukan tangisan “apa adanya”, tetapi juga “bagaimana seharusnya” sehingga, sebagaimana yang disebutkan di atas, tangisan seseorang menjadi bernilai ibadah yang mendapatkan ridha Allah.

Berdasarkan hal tersebut, maka masalah pokok yang akan dibahas dalam tesis ini adalah bagaimana sesungguhnya menangis dalam konsep hadis. Lebih khusus lagi, tesis ini akan mengkaji tangisan Rasulullah saw. selama hidupnya.

Pembatasan dan Perumusan Masalah

11

Ibid

12

al-Suyûtî, Syarh Sunan al-Nasâ’î, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, tth), Juz 4, h. 18; al-Nawawî, loc.cit.


(31)

Sebagai penjelas (mubayyin) al-Qur’an, posisi hadis sangat strategis dalam membicarakan dan memecahkan sebuah persoalan yang terjadi, termasuk dalam masalah menangis ini. Sebagai sebuah fenomena kejiwaan, banyak persoalan yang muncul di seputar menangis ini. Disebabkan kesempatan dan kemampuan yang terbatas, tesis ini secara khusus akan menjawab persoalan berikut ini:

Bagaimana hukum dan macam-macam menangis

Bagaimanakah keterkaitan antara menangis dengan kesalihan atau kesucian hati seseorang?

Selain itu, dalam mengkaji masalah menangis dalam pandangan hadis ini, penulis akan menggunakan sumber rujukan (al-kutub al-asliyyah) kepada al-kutub al-tis’ah, yaitu: Sahîh al-Bukhârî, Sahîh Muslim, Sunan al-Tirmidzî, Sunan Abî Dâwûd, Sunan al-Nasâ’î, Sunan Ibn Mâjah, al-Muwatta Mâlik, Musnad Ahmad bin Hanbal, dan Musnad al-Dârimî, serta beberapa kitab Zuhud dan Raqâ’iq. Penambahan dua jenis kitab yang terakhir ini dilakukan karena masalah menangis sangat terkait dengan persoalan hati. Sementara masalah hati ini banyak dibahas dalam keduanya.

C. Kajian Pustaka

Rasulullah saw. dengan hadis-hadisnya akan selalu menarik perhatian banyak pemerhati untuk melakukan kajian terhadapnya. Berbagai sisi kehidupan beliau: cara berpakaian, cara makan, cara berjalan, sorban yang dikenakan, keringat yang dikucurkan, senyum-senyum yang dihadirkan, canda-canda beliau, dan sebagainya, selalu menarik untuk dicermati dan dihayati.


(32)

Sejauh pelacakan penulis, belum ada suatu buku atau karya ilmiah yang mengungkap persoalan ini secara khusus. Beberapa tulisan yang memiliki keterkaitan dengan pembahasan ini adalah:

1. Buku berjudul “Apa Arti Tangisan Anda” karya Drs. Abdul Mujib, M.Ag. yang dalam pembahasannya juga menyitir beberapa hadis masyhur tentang menangis.

2. Jalaluddin Rakhmat dalam beberapa bukunya:

a. Reformasi Sufistik dalam sub pembahasan “Tobat Nasional dan Tabaki”;

b. Meraih Cinta Ilahi dalam sub pembahasan “Menghidupkan Kembali Tradisi Menangis”;

c. Renungan-renungan Sufistik dalam sub pembahasan “Mencari Kenikmatan Shalat”.

Selain itu, penulis juga menemukan sebuah buku karya Nasy’at al-Masri yang secara khusus membahas tentang senyuman-senyuman Rasulullah saw. Buku yang telah diterjemahkan ke dalam edisi Indonesia dengan judul “Senyum-senyum Rasulullah” itu diterbitkan oleh Penerbit Gema Insani Press. Sementara tentang tangisan-tangisan beliau, belum penulis temukan.

Oleh karena itu, penulis akan mencoba untuk mengkaji persoalan menangis ini dengan merujuk kepada kitab-kitab di atas. Untuk mendapatkan hasil yang memuaskan, penulis akan menggunakan kitab-kitab syarh (penjelas) atas kitab-kitab hadis tersebut, selebihnya tentu akan digunakan penalaran penulis sendiri. Pembahasan juga akan disempurnakan dengan berbagai kitab tafsir yang menjelaskan beberapa buah ayat tentang menangis.


(33)

D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Penelitian ini bertujuan menghimpun berbagai informasi dalam hadis tentang menangis. Dari informasi yang terhimpun diharapkan akan menghasilkan nilai guna sebagai berikut:

1. Hasil kajian tentang menangis dalam konsep hadis diharapkan menjadi pengetahuan yang memperkaya khazanah keislaman, khususnya di bidang hadis dan juga sejarah (târîkh).

2. Diharapkan umat Islam dapat membedakan antara menangis yang berkualitas sehingga dianjurkan atau bahkan diperintahkan untuk dilakukan dengan menangis yang tidak berkualitas atau bahkan menyesatkan sehingga harus ditinggalkan.

3. Melalui penelitian ini diharapkan umat Islam dapat mengikuti dan membiasakan menangis yang dianjurkan sebagaimana gambaran di atas dengan melakukan penyucian jiwa (tazkiyah al-nafs). Sebagai kelanjutan dari poin ketiga di atas, diharapkan agar umat Islam yang bersih jiwanya akan mampu memberikan manfaat dan kebaikan kepada orang lain sehingga akan terwujud Islam sebagai rahmah li al-‘âlamîn.

E. Metodologi

Dalam membahas permasalahan menangis ini, penulis sepenuhnya melakukan studi kepustakaan (library research) dengan sumber utama al-kutub al-tis’ah, yaitu: Sahîh al-Bukhârî, Sahîh Muslim, Sunan al-Tirmidzî, Sunan Abî Dâwûd, Sunan al-Nasâ’î, Sunan Ibn Mâjah, al-Muwatta Mâlik, Musnad Ahmad bin Hanbal, dan Musnad al-Dârimî, serta beberapa kitab Zuhud dan Raqâ’iq.


(34)

1. Penulis akan mengumpulkan seluruh hadis yang yang menggunakan term menangis, seperti: al-bukâ, dama’at ‘ainâh, fâdat ‘ainâh, dzarafa, ‘abara, inhamala, dan anîn, serta derivasi dari kata-kata tersebut; dari penelusuran penulis terhadap kitab-kitab di atas, penulis berhasil menemukan kurang lebih 484 hadis yang terkait dengan menangis;

2. Langkah selanjutnya, penulis akan mengklasifikasikan Hadis-hadis tersebut sesuai dengan temanya; Dan dari 484 Hadis yang ada, penulis menemukan 173 Hadis yang menjadi pokok pembahasan, baik yang berbentuk verbal (qaul) ataupun praktis (fi’il);

3. Khusus untuk Hadis-hadis menangis yang terkait langsung dengan kepribadian Nabi Muhammad saw., penulis akan mengkajinya secara khusus dan lebih mendalam, karena di sinilah inti pembahasan tesis ini; 4. Dan terakhir, penulis akan mengkorelasikan antara menangis dengan

kesalehan pribadi. Tentunya pada langkah ini, akan dipaparkan juga beberapa kiat untuk menyucikan hati sebagai sebuah upaya untuk dapat melakukan tangisan yang bermakna yang biasa dilakukan oleh Rasulullah saw., para sahabat, dan orang-orang salih.

Dalam tesis ini penulis tidak memberikan penilaian kualitas setiap Hadis yang dicantumkan. Jika yang dicantumkan adalah riwayat Imam al-Bukhârî dan Imam Muslim, maka hadis itu telah dianggap sahih. Namun, jika bersumber dari kitab lain, maka penulis hanya akan menyampaikan penilaian dari ulama, dan itupun tidak semuanya.

Untuk mendapatkan pemahaman yang dapat dipertanggungjawabkan dari Hadis-hadis yang terdapat dalam kitab-kitab di atas, penulis akan merujuk kepada


(35)

kitab-kitab syarh. Selain dari itu, ada sumber-sumber lain yang digunakan sebagai referensi penunjang, terutama yang langsung terkait dengan pembahasan tesis ini, seperti kitab-kitab tafsir, tasauf, dan sejarah.

F. Sistematika Pembahasan

Penulisan tesis ini dibagi menjadi lima bab yang semuanya berisi hal-hal pentingyang berhubungan dengan menangis.

Bab pertama adalah Pendahuluan yang berisi tentang penjelasan umum seputar tesis. Bab ini terdiri dari: Pokok Permasalahan, Pembatasan dan Perumusan Masalah, Kajian Pustaka, Tujuan dan Kegunaan Penelitian, Metodologi, dan Sistematika Pembahasan.

Bab kedua membahas menangis dalam pandangan Islam. Pada bab ini akan dijelaskan pengertian menangis, macam-macam menangis, menangis dalam perspektif Al-Quran, dan antara menangis dan tertawa.

Bab ketiga akan membahas menangis dalam konsep Hadis. Dalam pembahasan ini penulis akan menjelaskan Berbagai tangisan yang pernah terjadi pada diri Rasulullah saw., macam-macam tangisan dilihat dari sisi hukum, dan keutamaan menangis.

Bab keempat berjudul menangis dengan kesalehan pribadi. Bab ini terdiri dari pengertian dan karakterisitik kesalehan serta menyucikan hati sebagai upaya membiasakan menangis.

Sedangkan bab kelima sebagai bab terakhir adalah penutup yang berisi kesimpulan dari pembahasan tesis ini dan saran.


(36)

BAB II

MENANGIS DALAM PANDANGAN ISLAM

Pengertian Menangis

Dalam “Kamus Besar Bahasa Indonesia” disebutkan bahwa “tangis” atau “menangis” diartikan sebagai ungkapan perasaan sedih (kecewa, menyesal, dan lain-lain) dengan mencucurkan air mata dan mengeluarkan suara (tersedu-sedu, menjerit-jerit, dan sebagainya).13

al-Syaikh al-Tabarsî (w. 546 H.) dalam kitab “Majma’ al-Bayân fî Tafsîr al-Qur’ân” mendefinisikan menangis (al-bukâ) sebagi berikut:

ﺪﺨْا

عْﻮ ﺪ ا

يْﺮﺟ

ﻪْﺟﻮْا

ْ

ﺮﻬْﻈ

ْ

لﺎ

“Menangis (al-bukâ) adalah suatu kondisi kemurungan hati yang lahir atau tampak dari kedukaan di wajah yang disertai dengan deraian air mata di atas pipi.”14

Pengertian menangis di atas meniscayakan adanya cucuran atau tetesan air mata dari orang yang menangis. Hal ini berbeda dengan pengertian sedih atau duka cita. Term sedih dalam “Kamus Besar Bahasa Indonesia” diartikan sebagai: (1) susah hati; merasa sangat pilu di hati; (2) menimbulkan rasa susah (pilu, dan sebagainya) dalam hati; duka.15 Sedangkan “duka cita” sendiri diartikan sebagai: kesedihan (hati); kesusahan (hati).16

Dalam ungkapan lain, “menangis” (weep) diartikan sebagai “to sheed tears as expression of emotion.” (Mencucurkan air mata sebagai ungkapan emosi). Atau “to express grief or anguish for lament” (Ungkapan kesedihan atau penderitaan karena meratap atau menyesal).

13

Tim Penyusun, Kamus Besar bahasa Indonesia, , (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), Cet.II, h. 1139

14

al-Tabarsî, Majma’ al-Bayân fƯ Tafsîr al-Qur’ân, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1994), Juz 5, h. 90

15

Ibid, h. 889

16


(37)

Dari pengertian yang telah dipaparkan di atas dapat dipahami bahwa ekspresi menangis terkadang diwujudkan oleh gejala-gejala lahiriah, seperti cucuran air mata, isakan atau lengkingan suara yang keluar dari mulut, mata berkaca-kaca, keluarnya ingus dari hidung, ataupun gerakan-gerakan tangan, kaki, atau kepala yang tak beraturan dan tak bertujuan. Terkadang ekspresi menangis terpendam dalam batin, yang tampak hanyalah kemurungan dan kelesuan wajah.17

Menangis, sebagaimana yang telah dijelaskan di atas adalah sesuatu yang telah dipahami secara umum oleh masyarakat. Karena menangis adalah fenomena keseharian yang acap kali disaksikan dalam realitas kehidupan.

Dalam litertur utama Islam, yaitu al-Qur’an dan Hadis, ditemukan beberapa istilah yang digunakan untuk menunjuk kepada pengertian menangis ini. Istilah-istilah tersebut adalah sebagai berikut:

1. Fâdat al-‘ain/al-a’yun/al-’uyûn (bercucuran air mata) dan segala derivasinya

Kata “fāda” pada asalnya dinisbahkan kepada kata “al-mâ” (air). Orang akan mengatakan “fâda al-mâ” (Air melimpah) jika air itu banyak sehingga mengalir sampai ke tepian lembah. Jika dikatakan “Afâdat al-‘ain al-dam’a tufîduhu ifâdah” maka maknanya adalah: Mata mencucurkan air mata yang banyak. Contoh kalimat yang lain adalah:

a). Afâda fulân dam’ah, yang artinya “Si Fulan mencucurkan air matanya.”

17

Abdul Mujib, Apa Arti Tangisan Anda, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), Cet.I, h. 1


(38)

b). Fâd al-mâ wa al-matar wa al-khair idzâ katsura, yang artinya “Air, hujan, dan kebaikan melimpah, jika banyak.”

Dalam sebuah Hadis disebutkan “yafîd al-mâl” yang artinya “Harta melimpah”. Maksudnya adalah banyak (yaktsuru).18

Di dalam al-Qur’an, kata ini (fâda) ditemukan pada dua tempat dan keduanya dalam bentuk fi’il mudâri’ (tafƯdu) serta dinisbahkan kepada lafal ‘a’yun”. Kedua ayat tersebut adalah:

ﺪ ا

ﻬ أ

ىﺮ

لﻮ ﺮ ا

ﻰ إ

لﺰ أ

اﻮ

اذإو

اﻮ ﺮ

ﺪهﺎ ا

ﺎ آﺎ

ﺎ اء

ﺎ ر

نﻮ ﻮ

ا

Dan apabila mereka mendengarkan apa yang diturunkan kepada Rasul (Muhammad), kamu melihat mata mereka mencucurkan air mata disebabkan kebenaran (al-Qur’an) yang telah mereka ketahui (dari kitab-kitab mereka sendiri); seraya berkata: "Ya Tuhan kami, kami telah beriman, maka catatlah kami bersama orang-orang yang menjadi saksi (atas kebenaran al-Qur’an dan kenabian Muhammad saw.) . (QS.al-Maidah/5:83)

و

أ

اذإ

ﺬ ا

كﻮ

اﻮ ﻮ

ﻜ أ

ﺪ أ

أ

ﺎ ﺰ

ﺪ ا

ﻬ أو

نﻮ

اوﺪ

dan tiada (pula dosa) atas orang-orang yang apabila mereka datang kepadamu, supaya kamu memberi mereka kendaraan, lalu kamu berkata: "Aku tidak memperoleh kendaraan untuk membawamu", lalu mereka kembali, sedang mata mereka bercucuran air mata karena kesedihan, lantaran mereka tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan. (QS.al-Taubah/9:92)

Sedangkan dalam Hadis, contohnya adalah sebagai berikut:

ر

ﺪ ز

ﺔ ﺎ أ

ﷲا

ﺔ ا

نأ

ﺎ ﻬ

ρ

ﻮهو

إ

رأ

ﷲا

ا

ا

نأ

أو

ﺪ و

و

ا

ﺎﻬ إ

رﺄ

ﺎ ﺪﻬ ﺎ

تﺮ

م

و

ﻰ أ

ﺎ و

ﺬ أ

نإ

لﻮ

مﺎ

رﺄ

و

ﻰً

ء

آو

ا

ρ

ﷲا

ا

ا

ﺎ و

و

و

ا

ρ

ﷲا

لﻮ ر

اﺬه

لﺎ

ﷲا

ﺎﻬ و

ﺔ ر

ﺬه

لﺎ

و

دﺎ

ءﺎ

بﻮ

ا

إ

دﺎ

ءﺎ ﺮ ا

18


(39)

Dari Usâmah bi Zaid r.a. (berkata): Sesungguhnya seorang anak perempuan Nabi saw. mengirimkan pesan kepada Nabi saw.saat beliau bersama Sa’ad dan Ubay bin ka’ab. (Isi pesannya) ‘Kami menduga bahwa ajal anak saya telah tiba, maka saksikanlah kami.’ Lalu Rasulpun mengirimkan salam kepadanya dan bersabda, “Sesungguhnya apa yang diambil dan apa yang diberi adalah milik Allah. Segala sesuatu di sisi-Nya telah ada ketentuannya, maka harapkanlah ridha Allah dan bersabarlah. Lalu Nabi saw. berdiri dan anak kecil yang tengah sakit itu diletakkan di pangkuan beliau. Tak berapa lama kemudian, tubuh beliau bergetar dan air matapun bercucuran. Melihat hal ini, Sa’d bertanya, “Ya Rasulullah, apa artinya ini?”19 Beliau menjawab, “Ini adalah (tanda) kasih sayang yang disemayamkan oleh Allah ke dalam kalbu orang yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya. Allah tidak akan melimpahkan kasih sayang kecuali kepada orang-orang yang menyayangi (sesama).”(H.R. al-Bukhârî)20 2. Dami’at al-‘ainân (Bercucuran air mata) dan segala derivasinya.

Term “al-dam’” ini sejak awal penggunaannya memang dinisbahkan kepada kata “al-‘ainân”. al-Dam’u yang bentuk jamaknya (plural) adalah “admu’” dan “dumû’” bermakna air mata (mâ al-‘ain) Sedangkan orang yang mudah menangis atau mencucurkan air mata disebut “al-dami’/al-dammâ’/al-damû’/al-damî’”. Imam Husein bin Zaid bin Ali ridwânullâh alaihim mendapatkan gelar (laqab) “dzû al-dam’ah” (Pemilik tetesan air mata) karena seringnya atau banyaknya tetesan air mata yang keluar dari kedua kelopak matanya.21

Dalam al-Qur’an, kata “al-dam’u” ditemukan pada dua tempat, yaitu dalam surat al-Mâidah ayat 83 dan surat al-Taubah ayat 92 sebagaimana yang telah dicantumkan pada poin pertama (fâda). Pada kedua ayat tersebut, term “al-dam’” digunakan dalam bentuk masdar, yaitu “al-dam’” dan dinisbahkan kepada kata “tafîdu”. Dan menurut Imam al-Alûsî (w. 1270 H.), lafazh “min”

19

Pertanyaan Sa’d ini muncul karena beliau pernah mendengar Rasulullah melarang menangisi orang yang akan atau telah meninggal dunia.

20

al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî, Juz 7, Kitâb al-Mardâ wa al-Tibb Bâb ‘Iyâdah al-Sibyân, (Beirût: Dâr al-Fikr, 1986), h. 5

21


(40)

yang mendahului kata “al-dam’i” pada kedua ayat tersebut bermakna “li al-ajl wa al-sabab” (sebab).22

Dalam literatur Hadis, term “ad-dam’” ditemukan dalam berbagai bentuk: mâdi/past tense (dami’at), mudâri/present tense (tadma’ân), dan mashdar/noun (al-dam’, dam’uh, dan sebagainya). Sebagai contoh, berikut ini akan dicantumkan salah satu Hadis yang menggunakan kata tersebut:

لﺎ

لﺎ

ﷲا

أ

ر

ل

ﷲا

ρ

أ

ن

أ

أ

و

ه

ا

,

أ

ت

ر

ة

ا

ءﺎ

إ

اذ

)

ا

ذ

ا

آ

ا

و

ﺆه

ء

ﺪا

(

ر

ل

ﷲا

ρ

نﺎ ﺪ

ﺎ و

إ

تﺮ

Dari ‘Alqamah ia berkata: Abdullâh berkata: Aku diperintahkan oleh Rasulullah saw. untuk membacakan (al-Qur’an) untuknya, dan ketika itu beliau berada di atas mimbar. Maka, akupun membacakan untuknya dari surat An-Nisa. Ketika sampai pada ayat yang berbunyi “ Maka bagaimanakah (halnya orang kafir nanti), apabila Kami mendatangkan seseorang saksi (rasul) dari tiap-tiap umat dan Kami mendatangkan kamu (Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu (sebagai umatmu). “, Rasulullah saw. memberikan isyarat kepadaku dengan tangannya (agar aku menghentikan bacaanku sesaat). Tatkala aku menoleh dan memperhatikannya, terlihatnya kedua matanya berlinang air mata. (H.R. al-Tirmidzî).23

3. al-Bukâ

Dalam “Kamus kontemporer Arab-Indonesia” karya Attabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor serta “Kamus Al-Munawwir” karya Ahmad Warson M., kata “al-bukâ” diartikan sebagai ratapan atau tangisan.24

Menurut al-Farrâ (w. 207 H.), kata ini dapat dibaca panjang (yumadd) dan dapat pula dibaca pendek (yuqassar). Jika dibaca panjang (

ءﺎﻜ

), maka yang dimaksud adalah suara yang mengiri tangisan (

نﻮﻜ

يﺬ ا

تﻮ ا

22

al-Alûsî, Rûh al-Ma’ânî, (Beirût: Dâr al-Fikr, 1414 H./1994), Jilid 10, h. 233

23

al-Tirmidzî Sunan al-Tirmidzî, Juz 4, Abwâb Tafsîr al-Qur’ân, no. hadis 3213, (Indonesia: Maktabah Dahlân, tth.), h. 304

24

Attabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor , Kamus kontemporer Arab-Indonesia, (Yogyakarta: Penerbit Multi Karya Grafika, 1998), Cet.V, h. 346; Ahmad Warson M, Kamus Al-Munawwir, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), Cet.XIV, h. 103


(41)

ءﺎﻜ ا

). Sedangkan jika dibaca pendek (

ﻰﻜ

), maka yang dimaksud adalah “air mata dan keluarnya air mata (

ﺎﻬ وﺮ و

عﻮ ﺪ ا

). 25

Abu Zaid pernah menyenandungkan sebuah sya’ir yang ditujukan kepada Ka’ab bin Malik:

ﺎهﺎﻜ

ﺎﻬ

و

ﻮ ا

و

ءﺎﻜ ا

ﺎ و

“Mataku menitikkan air mata, dan itu memang haknya. Akan tetapi, tangisan dan ratapan itu tidak memberikan arti apa-apa.”

Al-Khansa juga pernah menyenandungkan sebuah sya’ir yang di dalamnya digunakan kata “al-bukâ” yang dipanjangkan (yaitu

ءﺎﻜ ا

).

Sya’ir tersebut berbunyi:

أو

بﻮ

ا

د

ا

ا

ﺪ اذ

ءﺎﻜ ا

اذإ

ا

ا

كءﺎﻜ

أر

Aku serahkan segala urusan kepadamu saat engkau masih hidup

(Setelah kematianmu) kepada siapakah segala urusan besar diserahkan? Jika menangisi orang yang terbunuh dianggap buruk

Maka aku yakin bahwa menangisi (kematian)-mu adalah baik dan indah Orang yang sering menangis disebut “bakiyyun” (

) atau “bakkâ” (

ﺎﻜ

).26 Dari pengertian di atas, maka dapat dipahami bahwa menangis dalam pengertian “al-bukâ” meniscayakan adanya tetesan atau cucuran air mata yang keluar dari kedua kelopak mata. Untuk memperjelas hal ini, Syaikh Abu ‘Ali al-Fadl bin al-Hasan al-Tabarsî (w. 548 H.) mendefiniskan “al-bukâ’ (menangis) sebagai berikut;

ﺪ ا

عﻮ ﺪ ا

يﺮ

ﻮ ا

ﺮﻬ

لﺎ

“Menangis (al-bukâ) adalah suatu kondisi kemurungan hati yang lahir atau tampak dari kedukaan di wajah yang disertai dengan deraian air mata di atas pipi.”27

25

Ibn Manzûr, Lisân al-‘Arab., Jilid 14, h. 82

26

Ibid, h. 83

27


(42)

Dalam nas-nas agama, nampaknya istilah inilah yang paling poluler dan paling banyak digunakan. Di dalam al-Qur’an saja, kata “al-bukâ” dengan segala bentuknya ditemukan dalam tujuh tempat, yaitu: QS.al-Taubah:82, Yûsuf:16, al-Isrâ:109, Maryam:58, al-Najm:43 & 60, dan al-Dukhân:29. Sebagai contoh, berikut ini akan dikutip dua ayat dari ketujuh ayat di atas:

اﻮﻜ

نﻮ ﻜ

اﻮ ﺎآ

ءاﺰ

اﺮ آ

اﻮﻜ و

Maka hendaklah mereka tertawa sedikit dan menangis banyak, sebagai pembalasan dari apa yang selalu mereka kerjakan. (QS.al-Taubah/9:82)

أ

ﺬ ا

ﻚ وأ

ﷲا

و

مداء

ﺔ رذ

ا

اذإ

او

ﺎ ﺪه

و

اﺮ إو

هاﺮ إ

ﺔ رذ

و

حﻮ

ﺎًﻜ و

اﺪ

اوﺮ

ﺮ ا

تﺎ اء

Mereka itu adalah orang-orang yang telah diberi nikmat oleh Allah, yaitu para nabi dari keturunan Adam, dan dari orang-orang yang Kami angkat bersama Nûh, dan dari keturunan Ibrâhîm dan Israel, dan dari orang-orang yang telah Kami beri petunjuk dan telah Kami pilih. Apabila dibacakan ayat-ayat Allah Yang Maha Pemurah kepada mereka, maka mereka menyungkur dengan bersujud dan menangis. (QS.Maryam/19:58)

Sedangkan dalam Hadis, penggunaan lafal “al-bukâ” dengan segala derivasinya untuk makna “menangis” terbilang yang paling banyak. Berikut ini akan dicantumkan beberapa hadis yang menggunakan kata tersebut:

ا

ةﺮ ﺮه

أ

ρ

لﺎ

ﻰﻜ

ﺪ أ

رﺎ ا

ﷲا

و

عﺮ ا

ا

دﻮ

و

ر

ﷲا

ئﺮ ا

ﺮ ا

ﻮ أ

لﺎ و

اﺪ أ

ئﺮ ا

يﺮ

نﺎ دو

اﺪ أ

يﺮ

Dari Abû Hurairah dari Nabi saw. beliau bersabda, “Tidak akan masuk ke dalam neraka seseorang yang menangis karena takut (akan murka) Allah sehingga susu perahan dapat kembali ke ambing/mamaenya. Dan (juga) tidak akan berhimpun debu fi sabilillah dan asap neraka jahanam pada lubang hidung seseorang selama-lamanya. Abû Abdirrahmân al-Muqri (dalam


(43)

riwayat lain) berkata: pada lubang hidung seorang muslim selama-lamanya.” (H.R. Ahmad)28

لﻮ

يﺮهﺰ ا

لﺎ

ﺰ ﺰ ا

ﻮ أ

داور

أ

نﺎ

لﺎ

ﻚ ﻜ

ﻮهو

ﻚ ﺎ

ا

أ

د

ا

ﺬه

إ

آردأ

فﺮ أ

ة

ا

ﺬهو

ة

Dari ‘Usmân bin Abî Rawâd, saudara Abdul ‘Azîz, ia berkata: Saya mendengar al-Zuhrî berkata: Saya datang kepada Anas bin malik di Damaskus yang kebetulan ketika itu ia sedang menangis. Akupun bertanya kepadanya: “Apa yang menyebabkan engkau menangis?” Ia menjawab, “Saya tidak mengetahui lagi amal yang kudapati (di masa Nabi saw. Yang masih diindahkan orang) selain salat. Itupun sudah disia-siakan orang .”(H.R. al-Bukhârî) 29

4. al-Dzarf

Dalam kamus “lisân al-‘Arab”, al-Munjid, “Kamus kontemporer Arab-Indonesia” karya Attabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor serta “Kamus Al-Munawwir” karya Ahmad Warson M., kata dzarf bermakna “sabb al-dam’” (mengalirkan atau meneteskan air mata). Dzarafa semakna dengan kata “sâla” (mengalir). Dzarafat al-‘ain al-dam’ bermakna “Kelopak matanya mengalirkan atau meneteskan air mata.”30

Dalam “Kamus Ilyas al-‘Ashri” disebutkan bahwa “dzarafat al-‘ain dam’aha” bermakna “to shed tears: to water” yang artinya mencucurkan atau meneteskan air mata.31

Dalam sebuah Hadis dari al-‘Irbâd ia berkata: “Rasulullah saw. menyampaikan nasehat yang sangat berkesan kepada kami (mau’izah

28

Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad, (Beirût: Dâr al-Fikr, t.t.), Jilid 2, h. 505

29

al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî, Kitâb Mawâqît al-Salâh Bâb Tadyî’ al-Salâh ‘an Waqtihâ, Juz 1, h. 134

30

Ibn Manzûr, Lisân al-‘Arab., Juz 9, .h. 109; Lous Ma’luf, al-Munjid fi Lughah wa al-A’lâm, (Beirût: Dâr al-Masyriq, 2002), Cet.XXXIX, h. 235; Ahmad Warson M., Kamus Al-Munawwir, h. 445; Attabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus kontemporer Arab-Indonesia., h. 931

31

Ilyas Anton Ilyas dan Edwar Ilyas, Qamus Ilyas al-‘Ashri: ‘Arabi-Injilizi, (Beirut: Dar al-Habl, 1972), h. 231


(44)

bâlighah) sehingga membuat yang mendengarnya mencucurkan air mata (dzarafat minhâ al-‘uyûn).”32

Dalam al-Qur’an, kata ini tidak ditemukan penggunaannya. Sedangkan dalam hadis adalah sebagai berikut:

ا

نأ

ﺔ ﺎ

ρ

ﻮهو

ﻮهو

نﻮ

نﺎ

لﺎ

وأ

نﺎ رﺬ

33

Dari ‘Aisyah (ia berkata): Sesungguhnya Nabi saw. mencium ‘Utsmân bin Maz’ûn ketika ia telah menjadi mayat sambil menangis. (atau: kedua matanya meneteskan air mata). (H.R. al-Tirmidzî dan Abû Dâwûd)

5. ‘Abrah (air mata)34

Kata “’abara” memiliki beberapa arti, yaitu:

a. Menta’birkan atau menafsirkan. Sebagai contoh adalah yang terdapat dalam surat Yûsuf ayat 43 berikut ini:

و

فﺎ

ﻬ آﺄ

نﺎ

تاﺮ

ىرأ

إ

ﻚ ا

لﺎ و

ا

ﺎﻬ أﺎ

تﺎ ﺎ

ﺮ أو

ت

نإ

يﺎ ؤر

ﻮ أ

نوﺮ

ﺎ ؤﺮ

آ

Raja berkata (kepada orang-orang terkemuka dari kaumnya): "Sesungguhnya aku bermimpi melihat tujuh ekor sapi betina yang gemuk-gemuk dimakan oleh tujuh ekor sapi betina yang kurus-kurus dan tujuh bulir (gandum) yang hijau dan tujuh bulir lainnya yang kering." Hai orang-orang yang terkemuka: "Terangkanlah kepadaku tentang takbir mimpiku itu jika kamu dapat menakbirkan mimpi."(QS.Yûsuf/12:43)

32

Ibn Manzûr, Lisân al-‘Arab, Juz 9, .h. 109

33

al-Tirmidzî, Sunan al-Tirmidzî, Juz 2, Abwâb al-Janâ’iz Bâb Mâ Jâ fî Taqbîl al-Mayyit no. hadis 994 h. 229; Abû Dâwûd, Sunan Abî Dâwûd, Juz 3, Kitâb al-Janâ’iz Bab fî Taqbîl al-Mayyit (Jakarta: Dâr al-Hikmah, tth.), h. 201; Menurut Imam al-Tirmidzî, kualitas hadis ini adalah hasan sahih.

34

Ibid, .h. 529-533; Ahmad Warson M., Kamus Al-Munawwir, hal. 887-889; Attabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia, h. 104, 1268


(45)

Orang yang menafsirkan mimpi disebut “’âbir” yaitu orang yang mencermati sesuatu, karena ia mencermati dua sisi mimpi, lalu ia memikirkan ujung-ujungnya, ia cermati segala yang terjadi dalam mimpi, dari awal hingga akhir. Ini semua diambil dari kata “al-‘ibr” yang artinya tepi atau sisi sungai

b. ‘Abara bermakna marra wa fâta yang artinya berlalu atau lewat. Oleh karena itu orang yang melewati suatu jalan disebut “âbir sabîl”. Dalam al-Qur’an disebutkan:

اﻮ اء

ﺬ ا

ﺎﻬ أﺎ

ا

اﻮ ﺮ

ىرﺎﻜ

أو

ة

و

نﻮ ﻮ

اﻮ

إ

اﻮ

يﺮ ﺎ

ﺎ ا

ﺪ أ

ءﺎ

وأ

وأ

ﻰ ﺮ

آ

نإو

أ

و

اﺪ

اﻮ

ءﺎ

اوﺪ

ءﺎ ا

نإ

ﻜ ﺪ أو

ﻜهﻮ ﻮ

اﻮ

ﷲا

ارﻮ

اًﻮ

نﺎآ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu salat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau kembali dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun. (Q.S.al-Nisâ/4:43)

c. ‘Abara bermakna tadabbara (merenungi /mengkaji).jika dikatakan “’abaral kitâb”, maka maknanya adalah : ia merenungi isi kandungan kitab itu tanpa mengeraskan bacaannya.

d. ‘Abara bermakna wazana (menimbang) contoh:

هارﺪ او

عﺎ ا


(46)

e. Jika kata ‘abara ini berkembang menjadi i’tabara minh (

ﺮ إ

), maka maknanya adalah ta’ajjaba (takjub/heran)

f. I’tabara (

ﺮ إ

) dapat pula diartikan mengambil pelajaran. Ibrah artinya pelajaran. Dalam al-Qur’an disebutkan:

وا

او

ا

رﺎ

…Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai pandangan.(Q.S. Al-Hasyr/58:2)

g. al-‘Abûr = anak kambing

h. al-‘Abîr = campuran minyak wangi yang dipadukan dengan za’faran. Adapula yang menyatakan bahwa yang dimaksud al-‘abir adalah za’faran.

i. ‘Abara (

) dan ista’bara(

إ

) bermakna “bakâ” yang artinya “menangis’. al-‘Abrah bermakna “al-dam’ah” yang artinya air mata. Ada pula yang mengartikan al-‘abrah dengan:

1) Bercucuran air mata tanpa mendengar suara tangisan. 2) Air mata sebelum bercucuran.

3) Gejolak (taraddud) tangisan di dalam dada 4) Kesedihan tanpa tangisan

Jama’ ‘abrah adalah ‘abarât atau ‘ibar. Dari sekian arti di atas, makna yang paling sahih adalah yang pertama (al-dam’ah). Jika dikatakan “’abarat ‘ainuh was ta’barat” (

تﺮ

او

تﺮ

) maka maknanya adalah

د

atau

تﺮ

yang artinya bercucuran air matanya. Orang yang bercucuran air matanya disebut “al-‘âbir” (

ﺮ ﺎ ا

)


(47)

j. Kata “al-‘ubr” memiliki beberapa makna berikut ini: 1) Perempuan yang kehilangan anaknya

2) Menangis karena sedih 3) Yang banyak

4) Kelompok orang

5) Awan yang berjalan cepat 6) Yang amat kuat

Dalam al-Qur’an tidak ditemukan penggunakan “’abrah” yang bermakna menangis atau mencucurkan air mata. Sedangkan dalam Hadis di antaranya adalah sebagai berikut:

ﷲا

لﻮ ر

إ

لﺎ

ا

ρ

و

ﺮ ا

بﺎ

ا

ﻮه

اذﺈ

ا

لﺎ

تاﺮ ا

ﺎ ﻬه

35

Dari Ibn ‘Umar r.a. ia berkata: Rasulullah saw. menghadap hajar (aswad) lalu beliau meletakkan kedua bibirnya di atas batu tersebut sambil menangis cukup lama. Kemudian beliau berpaling dan tiba-tiba saja ada ‘Umar bin Khattab yang juga menangis. Lalu beliau bersabda: “Ya Umar, di sinilah air mata akan banyak bertetesan.” (H.R. al-Bukhârî dan Ibn Mâjah)

6. Anîn (rintihan atau tangisan)

Anîn berasal dari kata “anna-ya’innu-anînan” yang artinya merintih, mengerang, atau mengaduh. Jika dikatakan “anna al-rajul min al-waja’i” maka artinya adalah “Seseorang merintih atau mengerang karena sakit yang dideritanya.” 36 Orang yang banyak merintih disebut “annaan, unaan, unanah”.

35

Ibn Mâjah, Sunan Ibn Mâjah, Juz 2, Kitâb al-Manâsik Bâb Istilâm al-Hajar no. Hadis 2945 (Indonesia: Maktabah Dahlân, tth.), h. 982; Lihat pula Hadis yang menggunakan term ‘abrah pada: al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî, Juz 6, Kitâb Tafsîr al-Qur’ân Bâb Inna al-ladzîn Yuhibbûna an Tasyî’a al-Fâhisyah h. 11-13;

36

Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir, h. 45; Ibn Manzûr, Lisân al-‘Arab., Juz 13, h. 28


(48)

Di dalam al-Qur’an tidak ditemukan satupun ayat yang menggunakan term ini. Sedangkan dalam Hadis adalah sebagai berikut:

رﺎ

ا

ةءﺮ ا

نأ

ﺎ ﻬ

ﷲا

ر

ﷲا

ﺮ ﺎ

ﷲا

لﻮ ﺮ

ρ

أ

أ

ﷲا

لﻮ رﺎ

ﺮ ا

نإ

لﺎ

ارﺎ

نﺈ

يﺬ ا

نأ

تدﺎآ

ﺎهﺪ

نﺎآ

ا

ﺔ ا

ا

لﺰ

ρ

ا

أ

إ

ﺎﻬ

ﺎهﺬ أ

لﺎ

تﺮ ا

يﺬ ا

ﺎآ

ﺮآﺬ ا

37

Dari Jâbir bin ‘Abdillâh r.a. ia berkata: Seorang wanita Ansar bertanya kepada Rasulullah saw. : Ya Rasulullah, bolehkan saya buatkan untuk Tuan sebuah bangku tempat duduk Tuan? Karena sessungguhnya saya mempunyai anak muda tukang kayu.” Nabi menjawab: “Kalau anda mau, silakan!” Wanita itu berkata: “Maka saya buatkan sebuah mimbar untuk beliau. Pada hari Jumat Nabi duduk di mimbar itu. Pohon kurma yang berada di samping beliau berkhutbah itu berteriak sehingga hamper belah. Nabi saw. turun, lalu beliau pegang pohon kurma itu dan mendekapnya. Pohon kurma itupun menangis seperti tangisan seorang anak kecil yang didiamkan (ibunya). (Beliau mendekapnya) sampai pohon kurma itu tenang. Nabi bersabda: “Ia menangis seperti itu karena mendengar zikir (pelajaran yang disampaikan Rasul).” (H.R. al-Bukhârî)

7. Inhamalat al-‘ain

Kata “inhamala” jika dinisbahkan kepada kata “al-‘ain” maka maknanya adalah “menangis”. Sehingga dalam “Kamus Al-Munawwir” dan “Kamus Kontemporer Arab-Indonesia”, kata “inhamalat ‘ainuh” bermakna bercucuran air matanya.38

37

al-Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî., Juz 3, Kitâb al-Buyû’ Bâb al-Najjâr, h.14; Lihat juga Ahmad bin Hanbal, al-Musnad, Juz 3, h. 300

38

Ahmad Warson M., Kamus Al-Munawwir, h. 1518; Attabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia, h. 268


(49)

Di dalam al-Qur’an, tidak ditemukan satupun ayat yang menggunakan kata ini. Sedangkan dalam Hadis, ditemukan beberapa contoh, di antaranya yang diriwayatkan oleh Imam Abû Dâwûd dalam Kitab al-‘Ilm berikut ini:

ﷲا

لﻮ ر

لﺎ

لﺎ

دﻮ

ﷲا

ρ

أﺮ إ

ا

إ

لﺎ

؟لﺰ ا

ﻚ و

أﺮ ا

لﺎ

ءﺎ ا

ةرﻮ

ﻰ إ

ﻬ ا

تأﺮ

لﺎ

يﺮ

ا

نا

)

ا

ذ

ا

آ

ا

(

اذﺈ

أر

ﺔ ا

ن ﻬ

3 9

Dari ‘Abdullâh bin Mas’ûd r.a. ia berkata: Rasulullah saw. berkata kepadaku: ‘Bacakanlah untukku surat al-Nisâ!’ Ibn Mas’ûd berkata: Aku

bertanya:’Apakah aku akan membacakannya untukmu, sedangkan ia diturunkan kepadamu?‘ Beliau menjawab: ‘Sesungguhnya aku suka

mendengarnya dari orang lain.‘ Ibn Mas’ûd berkata: Akupun membacakannya sehingga ketika sampai pada ayat “(Maka bagaimanakah {halnya orang-orang kafir nanti}, apabila kami mendatangkan seorang saksi {Rasul} dari tiap-tiap umat”) – QS. al-Nisâ:41 Kuangkat kepalaku. Tiba-tiba (kulihat) kedua mata beliau meneteskan air mata.” (H.R. Abû Dâwûd)

B. Macam-macam Menangis

Di dalam al-Qur’an, Allah menyatakan:

ا

ﺎ ﺎ اء

ﻬ ﺮ

ا

أ

ﻬ أ

و

قﺎ

ﺪ ﻬ

ء

آ

أ

ﻚ ﺮ

وأ

Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa al-Qur'an itu adalah benar. Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagi kamu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu? (QS.Fussilat/41:53)

Dalam ayat ini, Allah swt. ingin menegaskan dan menjelaskan kepada orang-orang musyrik dan orang-orang yang ingkar bahwa al-Qur’an adalah hak dan benar-benar turun dari sisi Allah, bukan buatan manusia sebagaimana anggapan musuh-musuh Islam. Ada dua cara yang ditempuh Allah untuk

39


(1)

Dâwûd, Abû, Sunan Abî Dâwûd, Jakarta: Dâr al-Hikmah, t.t.

Effendi, Djohan, Menemukan Makna Hidup, Jakarta: Mediacita, 2001, Cet. Ke-1.

Farid, Ahmad, Al-Bahr Râ’iq fî Zuhd wa Raqâ’iq, T.tp.: Al-Maktabah al-Taufîqiyyah, t.t.

Al-Ghazâlî, Ihyâ ‘Ulûm al-Dîn, Indonesia: Dâr Ihyâ al-Kutub al-‘Arabiyyah, t.t Hart, Michael H., Seratus Tokoh yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah,

Jakarta: Pustaka Jaya, 1991, Cet.ke-13.

Haekal, Sejarah Hidup Muhammad, Jakarta: Penerbit Tintamas, 1984, Cet. ke-9. Hamadah, Abbas Mutawalli, Sunnah Nabi saw.: Kedudukannya Menurut

Al-Quran, bandung: Gema Risalah Press, 1997, Cet. ke-2. Hamka, Tafsir Al Azhar, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1985 Hanbal, Ahmad bin, Musnad Ahmad, Beirût: Dâr al-Fikr, t.t.

Al-Hasani, Syaikh Ahmad bin Muhammad bin ‘Ajibah, Îqâz al-Himam, Beirût: Dâr al-Fikr, t.t

Hawwa, Sa’id, Mensucikan Jiwa, Jakarta: Robbani Press, 2003, Cet.ke-3.

Al-Husaini, HMH. Al-Hamid, Baitun Nubuwwah, Bandung:Pustaka Hidayah, 1997, Cet. Ke-3

Ilyas, Ilyas Anton dan Ilyas, Edwar, Qamus Ilyas al-‘Ashrî Arabi Injilîzî, Beirût; Dâr al-Halb, 1972

Jamal, Ibrahim M., Penyakit Hati, Bandung: Pustaka Hidayah, 1997, Cet. Ke-2 Al-Jauzi, Ibn, Birrul Walidain, Penerjemah………..Surabaya: Pustaka Progressif,

1993, Cet.ke-1.

Al-Jauzî, Ibn al-Qayyim, Syarh Sunan Abî Dâwûd, Beirût: Dâr al-Fikr, t.t.

_ _ _ _ , Zâd al-Ma’âd fî Hady Khair al-‘Ibâd, Beirût: Mu’assasah al-Risâlah, 1998.

Al-Kandahlawi, Aujaz al-Masâlik, Beirût: Dâr al-Fikr, t.t.

Katsîr, Ibn, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azîm, Semarang: Toha Putra, t.t.

Khalid Muh. Khalid, Karakteristik Perihidup Shahabat Rasulullah, Jakarta: Pustaka Amani, 1997 Cet.ke-1.


(2)

_ _ _ _ , Muhammad Rasulullah juga Manusia Biasa, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1985, Cet.ke-1.

Khalil, Moenawar, Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad, Jakarta: PT Bulan Bintang, 1994.

Al-Khatîb, M. ‘Ajjâj, Usûl Hadîts ‘Ulûmuh wa Mustalahuh, Beirût: Dâr al-Fikr, 1989.

Mâjah, Ibn, Sunan Ibn Mâjah, Indonesia: Maktabah Dahlân, t.t.

Al-Malîbari, Zain al-Dîn, Irsyâd al-‘Ibâd ilâ Sabîl al-Rasyâd, Indonesia: Dâr Ihyâ al-Kutub al-‘Arabiyyah, t.t.

Mâlik, Al-Muwatta, Kairo: Dâr al-Hadîts, 1993, Cet.I.

Ma’luf, Louis, Al-Munjid fî al-Lughah wa al-A’lâm, Beirût: Dâr al-Masyriq, 2002, Cet.ke-39.

Manzûr, Ibn, Lisân al-‘Arab, Beirût: Dâr al-Fikr, 1990, Cet. ke-1.

Al-Mubârak, Abdullâh ibn, Al-Zuhd wa al-Raqâ’iq, Kairo: Dâr al-‘Aqîdah, 2004, Cet. I.

Al-Mubârakfûri , Muh. ‘Abdurrahmân, Tuhfah al-Ahwazî, Beirût: Dâr al-Fikr, t.t. Mujib, Abdul, Apa Arti Tangisan Anda, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002. Munawwir, Ahmad Warson, Kamus Al-Munawwir, Surabaya: Pustaka Progressif,

1997, Cet. Ke-14.

Muslim, Sahîh Muslim, Indonesia: Dâr Ihyâ al-Kutub al-‘Arabiyyah, t.t.

Najati, M. Utsman Najati, Psikologi dalam Tinjauan Hadist Nabi saw., Jakarta: Mustaqim, 2003, Cet. Ke-1

Al-Nasâ’î, Sunan al-Nasâ’î, Beirût: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2002, Cet.ke-1. Al-Nawawî, Syarh al-Arba’în al-Nawawiyah, Surabaya: Maktabah Ahmad bin

Sa’ad bin Nabhân wa Aulâdih, t.t.

_ _ _ _ , Al-Adzkâr, Indonesia: Syirkah Nur Asia, t.t.

_______ , Sahîh Muslim bi Syarh al-Nawawi, Kairo: Dâr al-Hadîts, 1415/1994. _ _ _ _ , Riyâd al-Sâlihîn, Kairo: Matba’ah al-Istiqâmah, 1939.

Al-Qadir, Syaikh ‘Abd, Percikan Cahaya Ilahi, Penerjemah Arief B. Iskandar, Bandung: Pustaka Hidayah, 2001.


(3)

Qaradawi, Yusuf, Bagaimana Memahami Hadis Nabi saw., Bandung: Penerbit Kharisma, 1984, Cet. ke-1.

_ _ _ _ , Berinteraksi dengan Al-Qur’an, Jakarta: Gema insani Press, 1999, Cet.ke-1.

_ _ _ _ , Merasakan Kehadiran Tuhan, Yogyakarta: Penerbit Mitra Pustaka, 2003, Cet. Ke-7.

Al-Qarni, Aidh, Visualisasi Kepribadian Muhammad saw., Bandung: Penerbit IBS, 2006.

Al-Qattân, Mannâ’, Mabâhits fî ‘Ulûm Qur’ân, Riyâd: Mansyûrât ‘Asr al-Hadîts, 1973.

Qudâmah, Ibn , Minhâj al-Qâsidîn, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1997, Cet. I. _ _ _ _ , Mereka yang Kembali, Penerjemah Abu Ahmad Najieh, Surabaya:

Risalah Gusti, 2000

Al-Qurtubî, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, Beirût: Dâr al-Fikr, 1407/1987, Cet.ke-1.

Qutaibah, Ibn, Ta’wîl Mukhtalaf Hadîts, Beirût: Mu’assasah Kutub al-Tsaqâfiyyah, 1988.

Quthb, sayyid, Fi Zhilalil Qur’an, Penerjemah………….. Jakarta: Gema Insani Press, 2004, Cet. Ke-1

Rakhmat, Jalaluddin, Reformasi Sufistik, Bandung: Pustaka Hidayah, 1999, Cet.ke-2.

_ _ _ _ , Meraih Cinta Ilahi, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2003, Cet.ke-3. _ _ _ _ , Renungan-renungan Sufistik, Bandung: Penerbit Mizan, 1999, Cet.ke-9. Al-Râzî, Fakhr al-Dîn, Mafâtih al-Ghaib, Beirût: Dâr al-Fikr, 1983.

Sabiq, Sayid, Aqidah Islam, Penerjemah...Bandung: CV Diponegoro, 1999.

Al-Sâbûnî, M. Ali, Safwah al-Tafâsîr, Jakarta: Dâr al-Kutub al-Islamiyyah, 1999, Cet.ke-1.

Al-Sa’îd, Khumais, Menangislah Sebagaimana Rasulullah saw. dan Para Sahabat Menangis, Bogor: Pustaka Ibnu Katsir, 1426/2005.


(4)

Schimmel, Annemarie, Dan Muhammad adalah Utusan Allah, Bandung: Penerbit Mizan, 2000, Cet. Ke-7.

Shahab, Idrus, Sesungguhnya Dialah Muhammad, Bandung: Pustaka Hidayah, 2004, Cet.ke-3.

Shaleh, Asbabun Nuzul, Bandung: Penerbit C.V. Diponegoro, 1984.

Shihab, M. Quraish, Menyingkap Tabir Ilahi, Ciputat: Penerbit Lentera hati, 2001, Cet. Ke-4.

_ _ _ _ , Tafsir Al-Mishbah, Jakarta: Penerbit Lentera Hati, 1423/2002

_ _ _ _ , h , Tafsir Al-Qur’an Al-Karim, Bandung: Pustaka Hidayah, 1997, Cet. Ke-2

_ _ _ _ , Wawasan Al-Quran, Bandung: Penerbit Mizan, 1996, Cet. Ke-1

Al-Sibâ’î, Mustafa, Sunnah dan Peranannya dalam Penetapan Hukum Islam, Penerjemah Dr. Nurcholis Madjid, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1001

Al-Siddîqî, Muhammad bin ‘Allân, Dalîl al-Fâlihîn, Beirût: Dâr al-Fikr, t.t.

As-Sinjari, Abdurrahman, et.al., Menangis karena Takut pada Allah, Jakarta: Pustaka AL-Kautsar, 2005, Cet. Ke-14.

Al-Suyûti, Syarh Sunan al-Nasâ’î, Beirût: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.t. Suyuti, Ahmad, Percik-percik Kesucian, Jakarta: Pustaka Amani, 1996.

Syahbah, Muh. Abû, Fî Rihâb al-Sunnah al-Kutub as-Sihhah al-Sittah, Mesir: Majma’ al-Buhûts al-Islâmiyyah, 1969, Cet.ke-8.

Syarif,M.M., Advent of Islam, Fundamental Teaching of The Qur’an (terj.), Bandung: Penerbit Mizan, 1997, Cet.ke-8.

Al-Tabarî, Abû Ja’far Muhammad ibn Jarîr, Târîkh al-Umam wa al-Mulûk, Beirût: Dâr al-Fikr, 1987, Cet.I.

Al-Tabarsî, Majma’ al-Bayân, Beirût: Dâr al-Fikr, 1414/1994. Al-Tirmidzî, Sunan al-Tirmidzî, Indonesia: Maktabah Dahlân, t.t.

Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2002, Cet. Ke-2.

Usman, Muhammad, Al-Quran dan Psikologi, Jakarta: Aras Pustaka, 2001, Cet. Ke-1.


(5)

Yahya, Harun, Moralitas Al-Qur’an, Jakarta: Robbani Press, 2002.

Yaqub, Ali Mustafa, Kritik Hadis, Jakarta: Pustaka firdaus, 1996, Cet. Ke-2. Zuhaili, Wahbah, Al-Tafsîr al-Munîr , Beirût: Dâr al-Fikr, 1991.


(6)