Menangis yang Dibolehkan Menangis dalam konsep hadis

133 Macam-macam Menangis Ditinjau dari Segi Hukum Jika ditinjau dari segi hukum, maka aktivitas menangis dapat dikategorikan menjadi tiga bagian, yaitu: Menangis yang dibolehkan, menangis yang terlarang, dan menangis yang dianjurkan.

1. Menangis yang Dibolehkan

a Menangisi Mayit secara Wajar Dalam kajian Hadis, menangisi mayit mendapatkan perhatian tersendiri dari para ulama. Hal ini disebabkan karena banyaknya jalur periwayatan tentang hal tersebut dan adanya dugaan bahwa redaksi hadis menangisi mayit bertentangan dengan dalil-dalil yang lain, baik dari al-Qur’an ataupun Hadis, secara zahir. Berdasarkan penelusuran penulis, setidaknya didapatkan 71 jalur periwayatan dalam masalah ini dengan redaksi yang tidak terlalu jauh berbeda. Dari jumlah tersebut, 47 riwayat secara tegas menandaskan bahwa tangisan dapat melahirkan siksaan bagi mayit, dan 24 riwayat di antaranya menjelaskan klarifikasi atau koreksi yang dilakukan Siti ‘Aisyah r.a. terhadap Hadis-hadis tersebut yang diriwayatkan ‘Umar r.a. w.23 H. dan Abdullah bin Umar r.a. w.73 H. Apakah klarifikasi yang dilakukan Siti ‘Aisyah r.a.w.57 H. menggugurkan keberadaan Hadis-hadis tersebut? al-Syaikh Ibn al-Qayyim al-Jauzî w.751 H. dalam Syarh Sunan Abî Dâwûd menjelaskan bahwa riwayat ‘Umar dan Ibn ‘Umar telah disepakati oleh sekelompok sahabat yang lain. Riwayat inipun dicantumkan dalam “al- Sahîhain”. Sahabat Anas dan Abû Mûsâpun menjadi saksi terhadap riwayat ‘Umar r.a. Sahabat lain yang ikut terlibat dalam periwayatan ini adalah Hafsah, 134 Suhaib, dan Mughîrah bin Syu’bah. Demikian Ibn al-Qayyim. 165 Ibn Qutaibah juga menegaskan bahwa penolakan ‘Aisyah terhadap Hadis tersebut adalah dugaan zann dan ta’wil beliau sendiri. Sedangkan dugaan itu tidak dapat menolak eksistensi Hadis Rasulullah saw., kecuali jika’Aisyah menyampaikan sabda Rasul yang bertentangan atau bertolak belakang dengan Hadis menangisi mayit, tentu pernyataannya dapat diterima. Apalagi Hadis tentang menangisi mayit ini banyak diriwayatkan oleh sahabat, di antaranya ‘Umar, ‘Imrân ibn Husain, Ibn ‘Umar, dan Abû Mûsâ al-Asy’arî. 166 Memang, jika matan hadis dipahami secara literal – bahwa perbuatan orang lain menyebabkan siksaan mayit – bertentangan dengan nash-nash agama dan akal sehat. Berikut ini beberapa nas yang dianggap bertentangan dengan makna lahiriyah Hadis: ىﺮ أ رزو ةرزاو رﺰ مﺎ ا : 164 , ءاﺮ ا : 15 , ﺮ ﺎ : , ﺮ ﺰ ا : 7 , ا : 38 ﺮ اﺮ ةرذ لﺎ . ﺮ اﺮ ةرذ لﺎ ة ﺔ ﺰ ﺰ ا : 7 - 8 هر آ ﺎ ئﺮ ا آ رﻮ ا : 21 ﺔ هر آ ﺎ آ ﺮ ﺪ ا : 38 Imam Ibn Katsîr w.774 H., ketika menafsirkan surat al-An’âm ayat 164 di atas mengatakan: Hal ini merupakan informasi yang akan terjadi pada hari kiamat mengenai pembalasan, hukum, dan keadilan Allah. Sesungguhnya setiap diri hanya akan dibalas berdasarkan amal perbuatannya. Jika baik amalnya, maka baik pula balasannya. Jika buruk amalnya, maka buruk pula balasannya. Sesungguhnya kesalahan seseorang tidak ditanggung oleh orang lain. Inilah di 165 Ibn al-Qayyim, Syarh Sunan Abî Dâwûd, Beirût: Dâr al-Fikr, tth., Juz 8, h. 400-401 166 Ibn Qutaibah, ta’wîl Mukhtalaf al-Hadîts, Beirût: Mu’assasah al-Kutub al- Tsaqâfiyyah, 1988, Cet. I, h. 162 135 antara wujud keadilan-Nya. Hal ini sebagaimana yang terdapat dalam QS Fâtir ayat 18 dan Tâhâ ayat 112. 167 Sedangkan di antara Hadis yang berseberangan maknanya adalah; ﻮ ρ : و ﻚ إ ﺎ ا لﺎ لﺎ ؟ﻚ إ اﺬه 168 Jika diakui bahwa kedua jenis teks-teks ini sebagai bertentangan, maka kita dapat memasukkannya sebagai bagian dari pembahasan “’Ilm Mukhtalaf al-Hadîts” Ilmu tentang Kontroversialitas Hadis. Untuk menyelesaikannya ada empat alternatif, yaitu: 1. Metode al-jam’u wa al-taufîq memadukan dan menyelaraskan makna 2. Metode al-naskh menentukan yang awal dan yang akhir 3. Metode al-tarjîh menentukan yang terbaik 4. Metode al-tawaqquf penangguhan sementara 169 Sebelum lebih jauh penulis menjelaskan makna Hadis tersebut, perlu juga dipahami: Apakah yang dimaksud dengan “tangisan” di sini terbatas hanya pada tangisan keluarga atau juga tangisan orang lain. Permasalahan ini muncul karena dalam Hadis ditemukan redaksi yang berbunyi “ هأ ءﺎﻜ “ tersebab tangisan keluarganya kepadanya, sedang redaksi lain berbunyi “ ا ءﺎﻜ ” tersebab tangisan orang yang 167 Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azîm., Juz 2, h. 199 168 Abû Dâwûd, Sunan Abî Dâwûd, Juz 4, Kitâb al-Diyât bâb lâ Yu’khadzu Ahad bi Jarîrah Akhîh au Abîh, no. Hadis 4495, h. 168; al-Nasâ’î, Sunan al-Nasâ’i, Kitâb al-Qasâmah wa al-Qûd Bâb Hal Yu’khdzu Ahad bi Jarîrah Ghairih, no. hadis 4842, h. 776-777; Ibn Mâjah, Sunan Ibn Mâjah, Juz 2, Kitâb al-Diyât Bâb lâ Yajnî Ahad ‘alâ Ahad, no. Hadis 2671, h. 890; al-Dârimî, Sunan al-Dârimî, Juz 2, Kitâb al-Diyât Bâb lâ Yu’khadzu Ahad bi Jinâyah Ghairih, no. Hadis 2388, Kairo: Dâr al-Hadîts, 2000, Cet.ke-1, h. 53-54; Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad, Juz 3, h. 499, Juz 4, h. 163, 345, uz 5, h. 81; 168 al-Kandahlawi, Aujaz al-Masâlik, Beirût: Dâr al-Fikr, 1989, Juz 4, h. 272-273 169 Al-Suyûtî, Tadrîb al-Râwî, Kairo: Dâr al-Kutub al-Hadîtsah, 1966, Jilid 1, h. 197- 202 136 hidup. Imam al-Kandahlawi dalam “Awjaz al-Masâlik ilâ Muwatta Mâlik” dan al-Syaikh Badruddîn al-‘Aini w.855 H. dalam “’Umdah al-Qârî” memahami bahwa berdasarkan zahir Hadis metode al-jam’u wa al-taufîq, maka yang dimaksud adalah tangisan secara umum, baik dari keluarganya ataupun bukan keluarganya. Jumhur ulama, di antaranya al-Muzannî w. 264 H., Ibrâhîm al-Harbî, sebagian ulama Syafi’iyah termasuk Imam al-Nawawî w. 675 H., mentakwilkan bahwa siksa itu berlaku bagi orang yang berwasiat kepada keluarganya untuk diratapi setelah kematiannya. Sedangkan jika keluarganya menangisinya tanpa wasiat sebelumnya, hal ini tidaklah terlarang, 170 karena hal ini merupakan rahmat Allah. Begitulah yang juga ditunjukkan oleh Rasul saw. saat kematian anggota keluarganya sambil mengatakan,“Ini merupakan rahmat yang dianugerahkan Allah kepada hati hamba-hamba-Nya. Allah hanya memberikan rahmat kepada hamba-hamba yang penyayang.”Dan yang perlu ditegaskan adalah bahwa menurut para ulama sebagaimana yang dikatakan Imam al-Nawawî, tangisan yang melahirkan siksaan bagi mayit adalah tangisan yang disertai suara keras dan teriakan, bukan semata-mata deraian air mata. 171 Oleh karena itu, menurut al-Syaikh Muhammad Zakariyyâ al- Kandahlawi, jika mayit ditangisi tanpa wasiat darinya sebelumnya, maka ia 170 Ibid, Juz 3, h. 505; Al-‘Aini, ‘Umdah al-Qârî, Beirût; Dâr al-Fikr, 1989., Juz 8, h. 79; Khalîl Ahmad, Bazl al-Majhûd, Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, tth., Juz 3, h. 96 171 al-Nawawî, Sahîh Muslim bi Syarh al-Nawawî, Kairo: Dâr al-Hadîts, 1994, Juz 3, h. 506 137 tidak mendapat azab. Hal ini sesuai dengan firman Allah “Seseorang yang berdosa tidak menanggung dosa orang lain.” 172 Tentunya jika memang ia melihat bahwa di keluarganya tidak ada kebiasaan yang terlarang itu. Sementara itu, Ibn Qutaibah memberikan pemahaman yang agak berbeda. Menurut beliau, jika yang dimaksud adalah mayit kafir, hal ini tidak ada masalah. Karena memang mayit kafir setiap saat mendapatkan siksaan. Sedangkan jika yang dimaksudkan adalah mayit muslim, maka perlu ditegaskan, bahwa yang dimaksud dalam surat Al-An’am ayat 64 adalah hal-hal yang terkait dengan hukum dunia. Lebih lanjut beliau mengatakan, sesungguhnya siksa Allah jika sudah datang, akan menimpa secara merata kepada semua orang, yang jahat atau yang baik. Begitulah yang digambarkan Allah dalam surat al-Anfâl ayat 25 dan al-Rûm ayat 41. Tentang hal ini, Ummu Salamah pernah bertanya kepada: “Ya Rasulullah, apakah kami akan dihancurkan padahal di tengah-tengah kami banyak orang-orang salih?” Beliau menjawab: “Ya, jika keburukan telah menyebar.” 173 Dengan demikian, menangisi mayit, baik dia kerabat ataupun bukan, jika dilakukan secara wajar, tidaklah dianggap sebagai perbuatan tercela dan terlarang. Itulah sebabnya, Imam al-Nawawî w.675 H. dalam kitab “Riyâd al-Sâlihîn” memberikan judul “Bab Jawâz al-Bukâ ‘alâ al- Mayyît bi Ghair Nadb walâ Niyâhah” Bab yang menerangkan kebolehan menangisi mayit tanpa disertai dengan ratapan dan tangisan kuat. Adapun 172 al-Kandahlawi, Aujaz al-Masâlik, Juz 4, h. 271 173 Ibn Qutaibah, Ta’wîl Mukhtalaf al-Hadîts, h. 160-161 138 “niyâhah” tangisanratapan yang disertai teriakan dipandang sebagai keharaman. Demikian Imam al-Nawawî w.675 H.. 174 b Menangis karena Terharu Kepergian Rasulullah saw. dan terputusnya wahyu membuat Ummu Aiman, Abû Bakar w.13 H., dan ‘Umar w.23 H. menangis. Hal ini sebagaimana yang termuat dalam Hadis berikut ini: ﷲا ر ﺮﻜ ﻮ أ لﺎ لﺎ أ ﷲا لﻮ ر ةﺎ و ﺪ ρ ﷲا لﻮ ر نﺎآ ﺎ آ ﺎهروﺰ أ مأ ﻰ إ ﺎ ا ﺮ ρ ﺎ ﻜ ﺎﻬ إ ﺎ ﻬ ا ﺎ ﺎهروﺰ ﻚ ﻜ ﺎ ﺎﻬ ﺪ ﺎ ﷲا ﻮ ﺮ ﺮ ρ نأ ﻜ أ ﺎ ﺎ ﺎ نأ أ نﻮآأ ﷲا ﺪ ﻮ ﺮ ﺮ ρ ا ﺪ ﻮ ا نأ ﻜ أ ﻜ و ءﺎﻜ ا ﻰ ﺎ ﻬ ﻬ ءﺎ ا ﻬ نﺎ ﻜ ﺎ 175 Dari Anas, dia berkata: Sepeninggal Rasulullah saw.Abû Bakar r.a. pernah berkata kepada ‘Umar: “Marilah kita berkunjung ke rumah Ummu Aiman sebagaimana Rasulullah saw. biasa mengunjunginya. Ketika kami sampai di tempatnya, Ummu Aiman menangis.” Maka keduanya berkata kepadanya: “Apa yang membuatmu menangis? Apa yang ada di sisi Allah adalah lebih baik bagi Rasul-Nya.sa.” Lalu Ummu Aiman berkata: “Aku tidak menangis karena tidak mengetahui bahwa apa yang ada di sisi Allah lebih baik bagi Rasul-Nya saw. Akan tetapi, aku menangis karena wahyu telah terputus dari langit.” Maka hal itu membuat Abu Bakar dan Umar tersentuh sehingga keduanya menangis bersamanya. H.R. Muslim dan Ibn Mâjah Tangisan yang ditunjukkan oleh Ummu Aiman r.a., Abû Bakar r.a. w.13 H., dan ‘Umar r.a. w.23 H., adalah tangisan yang teramat wajar karena mengenang teladan tercinta mereka, Rasulullah saw. dengan segala kemuliannya. Maka, jika mereka berperilaku seperti itu, kitapun 174 al-Nawawî, Riyâd al-Sâlihîn,Kairo: Matba’ah al-Istiqâmah, 13571939, h. 363; Lihatlah Hadis-hadis tentang tangisan Rasulullah saw. Menyaksikan kematian orang-orang yang dicintainya pada pembahasan terdahulu 175 Hadis ini sahih. Muslim, Sahîh Muslim, Juz 2, Kitâb Fadâ’il al-Sahâbah r.a.Bâb min fadâ’il Ummi Aiman r.a., h. 379; Ibn Mâjah, Sunan Ibn Mâjah, Juz 1, Kitâb al-Janâ’iz Bâb Dzikr Wafâtih wa Dafnih saw., no. Hadis 1635, h. 523-524 139 diperkenankan menangis mengenang kemuliaan, keshalihan dan perjuangan mereka memuliakan Islam. Kita menangis karena kita tertinggal jauh dari mereka dalam melakukan amal salih sebagai bekal di akhirat. Kita menangis, karena banyak noda dan dosa yang menghiasi hari-hari kita. Bahkan, jika tangisan kita memberikan implikasi positif dalam kehidupan, boleh jadi ia akan bernilai ibadah di sisi Allah. Tentang tangisan yang terjadi karena keterharuan juga pernah terjadi pada seorang sahabat, Ubay bin Ka’ab r.a. w.21 H. Beliau menangis saat namanya disebut oleh Allah. Hal ini sebagaimana yang tercantum dalam Hadis berikut ini: ﷲا ر ﻚ ﺎ أ ا لﺎ ρ ﷲا نإ لﺎ بﺎ ﻜ ا هأ اوﺮ آ ﺬ ا ﻜ ﻚ أﺮ أ نأ ﺮ أ ﻰﻜ لﺎ ﺎ و 176 Dari Anas, ia berkata: Rasulullah saw. bersabda kepada Ubay bin Ka’ab: “Sesungguhnya Allah memerintahkan kepadaku untuk membacakan kepadamu ‘lam yakun al-ladzîna kafarû’ Surat al-Bayyinah.” Ubay bertanya: “Apakah Allah menyebut namaku kepadamu?” Beliau menjawab: “Ya Dia telah menyebut namamu kepadaku.” Lantas Anas berkata: “Maka Ubaypun menangis.” H.R. al-Bukhârî, Muslim, al-Tirmidzî, dan Ahmad Tangisan yang dilakukan Ubay bin Ka’ab w.21 H. di hadapan Rasulullah saw. karena terharu dengan berita yang disampaikan oleh beliau. Sikap beliau sendiri yang tidak mencegahnya, menunjukkan bahwa tangisan seperti ini dibolehkan. Tangisan ini terjadi karena terharu dan bahagia namanya disebut oleh Zat Yang Mahamulia kepada manusia termulia, yaitu 176 al-Bukhârî, Sahih al-Bukhârî, Juz 4, Kitâb al-Manâqib Bâb Manâqib Ubay bin ka’ab r.a., h.228, Juz 6, Kitâb Tafsîr al-Qur’ân Bâb Sûrah Lam Yakun, h. 90; ; Muslim, Sahîh Muslim, Juz I, Kitâb al-Masâjid wa Mawâdi’ al-Salâh Bâb Istihbâb Qirâ’ah al-Qur’ân ‘alâ Ahl al-Fadl wa al-Hudzdzâqh fîh, 320, Juz 2, Kitâb Fadâ’il al-Sahâbah r.a. Bâb min fadâ’il Ubay bin Ka’ab wa Jamâ’ah min al-Ansâr r.a., h. 383; al-Tirmidzî, Sunan al-Tirmidzî, Juz 5, Abwâb al-Manâqib bâb Manâqib Mu’âdz ibn Jabal wa Zaid ibn Tsâbit wa Ubay ibn ka’ab wa Abî ‘Ubaidah ibn al-Jarrâh r.a., no. Hadis 3880, h. 330; Ahmad, Musnad Ahmad, Juz 3, h. 218 140 Rasulullah saw.

2. Menangis yang Dilarang